Kemarin pagi aku
mendapatkan buku dengan sampul warna coklat kekuningan. Cover yang molekdengan
ilustrasi seseorang memakai jubah warna kuning. Buku sehimpunan puisi seorang
kawan penyair Alfaizin Sanasren dengan
judul “Talken Koneng”. Buku dengan
tebal 50 halaman ini dipenuhi dengan puisi-puisi mantra yang diangkat
dan berangkat dari perjumpaanya dengan naskah-naskah mantra (Madura) pemberian leluhurnya.
Mantra adalah bahasa
pertama yang muncul dalam tradisi masyarakat sebagaibahsa komunikasi paling
sublime untuk berbagai kebutuhan komunikasi.Mantra yang diyakini sebagai
penakluk buaya di riau,kemudian diangkat kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri ke dalam puisi mantra.Dalam realitas keragaman sukubangsa sebagai bagian
dariperadaban bangsa ini,mantra memiliki
fungsi penyembuhan, kekebalan, sihir,kejantanan, perdagangan, pekasihan atau
percintaan dan juga dalam hubungan kelamin.
Kata pertama adalah mantra., demikian ujar Sutardji
Calzoum Bachri. Dalam kehidupan saat ini mantra terus menyihir kehidupan dalam
berbagai bentuk aktualisasinya.Sehimpun puisi yang berjudul “Talken Koneng” adalah sebentuk
reaktualisasi mantra Madura yang bermetamorfosis dan memberikan bentuk dan
pengaruh lain dari muasalnya. Perkembangan makna dan fungsi yang luput
dariperhatian kita ditengah serbuan mekanisasi industri yang melupakan kita
pada esensi.
“Talken Koneng” awalnya adalah sebentuk sihir untuk memanggil
kematian seseorang dengan aneka laku dan ritual yang dilakukan oleh penujum
dengan puasa dan membuat boneka kain yang diikat dengan kai kafan dan ditusuk
dengan paku, jarum, pada bagian tubuh
tertentu yang diinginkan. Paku-paku yang dihujamkan ke organ-organ vital dalam
tubuh yang dipetakan pada sebuah boneka kain. Si penyihir akan memanggil-mangil
nama korban sembari menghunjamkan paku membacakan mantra kematian.
Kengerian mantra kematian berbalik arah di tangan
Alfaizin menjadi sebuah ritual musikalyang ritmik dan mengubah panggilan
kematian jiwa pada kematian nafsu,:hum, hum, huuuuumma,/datang, datang,
datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas kekuningkangn tembaga/ tiga
puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradang-radang/legamsaga barabara/berkelokan/
memungut letup garammulutku berkutub/ huuummma,/ datanglah kepadaku/ aku
tuntaskan wujudmu/ maut tubuhmu/maut nafsumu// (Talken Koneng, halaman 1)
Mengapa membunuh nafsu? Ya manusia lahan subur nafsu,
birahi, serakah, ambisi jabatan,kekuasaan, dengan berbagai jalan dan cara
dikerjakan. Nafsu serakah dengan berbagai siasat yang terus berkelit
sebagaimana para pemimpin rakus yang penuh nafsu dan ambisi mempergunakan
kesempatan yang ada. Video porno para anggota dewan adalah nafsu birahi khewan
yang memang pantas untuk diamtikan. Nafsu kelelakian dan kehilangan harga diri
kaum perempuan yang tak mampu menjaga harkat dan martabatnya.
Kaum perempuan sebagai kaum pemuja tubuh. Sebuah
mantra semacam ”letrek”, “Susuk” yang
menyungsang pandang para lelaki. JIka susuk itu ditaruh di pelupuk mata, maka
siapa yang dipandang atau menatapnya akan jatuh cinta. Pun juga ketika kartu letrek
itu dimainkan tak ada lelaki yang bisa
kembali pulang ke rumah atau keluarga. Dia akan tersesat dalam rumah tubuh
perempuan yang menaklukkannya./ gurjem,pandang
tubuhku/matamu silau kemilau/mengigau bila tak berucap/ diam kalangkabutan/ (ayat-ayat pemuja tubuh, halaman 15)
Sesungguhnya diantara sekian banyak mantra yang akan
terus hidup dalam kehidupan adalah mantra percintaan. Mantra yang mencari
aktualisasinya di berbagai jejaring media sosial dan media cetak. Sebagaimana
pula mantra Percintaan dan kematian dalam Talken
Koneng yang bermula dari sebuah catatan di facebook. Catatan yang dikirimkan kepada kawan-kawan yang kemudian
dipilih dan dikumpulkan dalam buku.
Percintaan dan kematian dua sisi mata uang yang saling
melapisi. Jika percintaan itu dilakukan dengan dilandasi nafsu dalam sebuah
perselingkuhan maka lambat dan pasti akan membawanya pada “kematian”. JIka
politisi akan mematikan karier politiknya.Jika pejabat akan jatuh dari
singasana,mati jabatan yang diagungkannya. Jika tokoh masyarakat akan
diasingkan dari tengah khalayaknya, “mati” wibawanya.
Apabila cinta itu dilakukan dengan tulus dalam sebuah
pernikahan, akan mematikan nafsu badani dan syahwat ke dalam sebuah cinta yang
tentram. Sebuah “talken” tidak lagi untuk takluk-menaklukan, melainkan
berselagu dalam sebuah nyanyian mantra
kehidupan; cinta, lelaki, perempuan, pernikahan, nafsu, kematian dan
keabadian. Membaca buku ini sepertimebaca
kelebatan masa silam yang menakutkan dan mendebarkan dalam sebuah lompatan ke masa
kini yang penuh tegangan, canda, dan kenakalan-kenakalan dalam bahasa yang
kadang sulit dimenegerti atau tak ditemukan dalam kamus. Tersebab, karena
bahasa puisi lebih dekat ke dalam hati.*****(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar