Penyelenggaraan Ujian Nasional telah berakhir pada hari kamis, 19April
2012. Banyak laporan mengungkapkan pelaksanaan UN. Jawa Pos memajang foto seorang
pengawas ruangan di sebuah SMA di Madiun-Jawa Timur, tengah tertidur pulas. Sebuah stasiun
televisi menunjukkan hasil liputannya yang menyorot seorang siwa yang tengah
membuka kerpekan di bawah meja. Seorang siswa yang telah lulus SMA
mengungkapkan bagaimana upaya-upaya curang
dilakukan untuk mengelabuhi pengawas ruangan. Untuk apa semua mereka
lakukan?
Tahun ini adalah tahun
yang cukup menarik dalam penyelenggaraan UN: pertama naskah soal LJUN, dan berita acara serta daftar hadir,
denah kode soal, pakta integritas pengawas terbungkus dalam satu amplop. Kedua, adanya pakta integritas yang harus
ditandatangani pengawas yang menyatakan bersedia untuk melakukan pengawasan
secara jujur dan mengelak amplop yang
berisi lembar jawaban. Ketiga,adanya
pernyataan yang harus ditulis siswa bahwa mengerjakan dengan jujur lalu di bawahnya
dububuhi tanda tangan. Hal-hal yang menguatkan niat untuk berbuat jujur dalam
pelaksanaan Ujian Nasional.
Pengambilan naskah di
polsek dikawal oleh polisi, di beberapa tempat upaya untuk membuat jujur
dilakukan dengan menaruh cctv di dalam ruang kelas atau ruang ujian, sehingga pelaksanaanya bisa dimonitor
dari tempat atau ruang lain. Apakah ini mengindikasikan panitia penyelenggara,
pengawas ruangan, dan siswa diragukan kejujurannya? Bisa jadi, dan adalah biasa
sebab mekanisme ini telah disosialisasikan jauh hari sebelumnya.
Bicara masalah
pengawasan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional adalah persoalan yang sangat
bervariatif. Di beberapa sekolah yang dikenal kualifaid murid-muridnya begitu tertib dalam mengerjakan soal
ujian. Tapi pengalaman tahun-tahun sebelumnya beberapa teman mengeluhkan adanya
panitia yang memasuki ruang ujian dan memberikan kunci jawaban kepada siswanya.
Atau yang memberikan kunci jawaban di
kamar kecil dan salah satu dari siswa mengambilnya secara bergantian. Jika di
sekolah semacam ini pengawas berbuat sesuai aturan, menindak siswa yang
melakukan pelanggaran, siapa yang akan melindungi keselamatannya? Sebab, pernah
ada suatu kejadian seorang teman pengawas diserempet di jalan raya sepulang
mengawasi ujian, karena dianggap terlalu ketat sehingga tak memiliki kesempatan
untuk nyontek atau bekerjasama. Bahkan ada sekolah yang menolak mencantumkan
guru pengawas yang dikenal disiplin dalam menjalankan tugas.
Upaya-upaya untuk
berbuat tidak jujur ini bukan persoalan sesaat yang muncul ketika
penyelenggaraan UN. Sangat terbuka kemungkinan kendornya disiplin dan kejujuran
ini dimulai dari keseharian dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebab,
sudah menjadi gejala umum guru-guru yang
terkenal disiplin, tidak memberi kesempatan bekerjasama saat ulangan kurang
disukai oleh siswa. Artinya kalau peserta didik melakukan kecurangan saat
pelaksanaan UN adalah cerminan kebiasaan keseharian yang terjadi di sekolah.
Bahkan muncul lelucon UN
bukan siswa yang ikut ujian tetapi “Ujian Guru Nasional” karena guru yang sibuk
menjawab soal dan mengirimkan jawaban kepada siswanya. Tentu mereka tidak menjawab semuanya benar.
Mereka telah merekayasa untuk mendapatan nilai tidak terlalu tinggi dan sekedar
memenuhi standar kelulusan. Pola semacam ini sebenarnya mudah dilacak dengan
jumlah dan letak kesalahan jawaban siswa.
Semua kecurangan
dilakukan hanya untuk lulus ujian. Guru berbuat curang untuk ”membantu” siswa. Apa
manfaatnya jika nilai ujian nasionalnya bagus? Tidak ada pengaruhnya bagi siswa
selain hanya lulus. Sebab, nilai itu akan kembali pada kemampuan siswa. Jika
curang siswa hanya membanggakan angka-angka tetapi tak mendapatkan apa-apa.
Kalau hasil pemeringkatan hasil Ujian Nasional tersebut keluar dengan bangganya
sekolah (KepalaSekolah) yang melakukan kecurangan membanggakan hasil NUN.
Sayang, niat baik yang dilakukan oleh Kemendikbud tak disambut baik oleh
lembaga yang ada dibawahnya. Ironisme yang lain, siswa yang mendapatkan nilai
terbaik, ternyata bukan siswa yang memiliki prestasi yang paling baik. Serta
tak ada penghargaan bagi peserta yang mendapatkan nilai terbaik, seperti
jaminan untuk memasuki perguruan tinggi yang diinginkan, dan semacamnya.
Sehingga semkain menbguatkan bahaw tak ada tindak lanjut setelah
penyelenggaraan UN, selain menentukan kelulusan siswa, sementara amanah yang
tertuang dalam permendiknas no.20 tahun 2007: (4) pertimbangan untuk pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan serta (5) pertimbangan penentuan kelulusan peserta
didik memasuki pergguruan Tinggi, belum terlaksana. Ironis!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar