Translate

Kamis, 19 April 2012

Ironisme Penyelenggaraan UN

Penyelenggaraan Ujian Nasional telah berakhir pada hari kamis, 19April 2012. Banyak laporan mengungkapkan pelaksanaan UN. Jawa Pos memajang foto seorang pengawas ruangan di sebuah SMA di Madiun-Jawa Timur,  tengah tertidur pulas. Sebuah stasiun televisi menunjukkan hasil liputannya yang menyorot seorang siwa yang tengah membuka kerpekan di bawah meja. Seorang siswa yang telah lulus SMA mengungkapkan bagaimana upaya-upaya curang  dilakukan untuk mengelabuhi pengawas ruangan. Untuk apa semua mereka lakukan?
Tahun ini adalah tahun yang cukup menarik dalam penyelenggaraan UN: pertama naskah soal LJUN, dan berita acara serta daftar hadir, denah kode soal, pakta integritas pengawas terbungkus dalam satu amplop. Kedua, adanya pakta integritas yang harus ditandatangani pengawas yang menyatakan bersedia untuk melakukan pengawasan secara jujur dan mengelak amplop yang berisi lembar jawaban. Ketiga,adanya pernyataan yang harus ditulis siswa bahwa mengerjakan dengan jujur lalu di bawahnya dububuhi tanda tangan. Hal-hal yang menguatkan niat untuk berbuat jujur dalam pelaksanaan Ujian Nasional.
Pengambilan naskah di polsek dikawal oleh polisi, di beberapa tempat upaya untuk membuat jujur dilakukan dengan menaruh cctv di dalam ruang kelas atau ruang  ujian, sehingga pelaksanaanya bisa dimonitor dari tempat atau ruang lain. Apakah ini mengindikasikan panitia penyelenggara, pengawas ruangan, dan siswa diragukan kejujurannya? Bisa jadi, dan adalah biasa sebab mekanisme ini telah disosialisasikan jauh hari sebelumnya.
Bicara masalah pengawasan dalam penyelenggaraan Ujian Nasional adalah persoalan yang sangat bervariatif. Di beberapa sekolah yang dikenal kualifaid murid-muridnya begitu tertib dalam mengerjakan soal ujian. Tapi pengalaman tahun-tahun sebelumnya beberapa teman mengeluhkan adanya panitia yang memasuki ruang ujian dan memberikan kunci jawaban kepada siswanya. Atau yang memberikan kunci jawaban  di kamar kecil dan salah satu dari siswa mengambilnya secara bergantian. Jika di sekolah semacam ini pengawas berbuat sesuai aturan, menindak siswa yang melakukan pelanggaran, siapa yang akan melindungi keselamatannya? Sebab, pernah ada suatu kejadian seorang teman pengawas diserempet di jalan raya sepulang mengawasi ujian, karena dianggap terlalu ketat sehingga tak memiliki kesempatan untuk nyontek atau bekerjasama. Bahkan ada sekolah yang menolak mencantumkan guru pengawas yang dikenal disiplin dalam menjalankan tugas.
Upaya-upaya untuk berbuat tidak jujur ini bukan persoalan sesaat yang muncul ketika penyelenggaraan UN. Sangat terbuka kemungkinan kendornya disiplin dan kejujuran ini dimulai dari keseharian dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebab, sudah  menjadi gejala umum guru-guru yang terkenal disiplin, tidak memberi kesempatan bekerjasama saat ulangan kurang disukai oleh siswa. Artinya kalau peserta didik melakukan kecurangan saat pelaksanaan UN adalah cerminan kebiasaan keseharian yang terjadi di sekolah.
Bahkan muncul lelucon UN bukan siswa yang ikut ujian tetapi “Ujian Guru Nasional” karena guru yang sibuk menjawab soal dan mengirimkan jawaban kepada siswanya.  Tentu mereka tidak menjawab semuanya benar. Mereka telah merekayasa untuk mendapatan nilai tidak terlalu tinggi dan sekedar memenuhi standar kelulusan. Pola semacam ini sebenarnya mudah dilacak dengan jumlah dan letak kesalahan jawaban siswa.
Semua kecurangan dilakukan hanya untuk lulus ujian. Guru berbuat curang untuk ”membantu” siswa. Apa manfaatnya jika nilai ujian nasionalnya bagus? Tidak ada pengaruhnya bagi siswa selain hanya lulus. Sebab, nilai itu akan kembali pada kemampuan siswa. Jika curang siswa hanya membanggakan angka-angka tetapi tak mendapatkan apa-apa. Kalau hasil pemeringkatan hasil Ujian Nasional tersebut keluar dengan bangganya sekolah (KepalaSekolah) yang melakukan kecurangan membanggakan hasil NUN. Sayang, niat baik yang dilakukan oleh Kemendikbud tak disambut baik oleh lembaga yang ada dibawahnya. Ironisme yang lain, siswa yang mendapatkan nilai terbaik, ternyata bukan siswa yang memiliki prestasi yang paling baik. Serta tak ada penghargaan bagi peserta yang mendapatkan nilai terbaik, seperti jaminan untuk memasuki perguruan tinggi yang diinginkan, dan semacamnya. Sehingga semkain menbguatkan bahaw tak ada tindak lanjut setelah penyelenggaraan UN, selain menentukan kelulusan siswa, sementara amanah yang tertuang dalam permendiknas no.20 tahun 2007: (4) pertimbangan untuk pemberian bantuan kepada satuan pendidikan serta (5) pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik memasuki pergguruan Tinggi, belum terlaksana. Ironis!!!!

Tidak ada komentar: