Translate

Jumat, 27 April 2012

Peserta Didik Bukan Obyek


Beberapa orang guru mengeluh di ruang guru kalau peserta didik di tahun ini kualitasnya jauh lebih rendah dari tahun yang lalu. Pada hal murid yang diterima sebagai peserta didik baru di sekolah kami merupakan hasil yang diperoleh melalui tiga tahapan seleksi. Jika demikian sebenarnya, maka dapat dipastikan peserta didik yang lolos seleksi adalah mereka yang terpilih.

Sangat tidak bijak, ketika peserta didik yang dijadikan sebagai tumpuan persoalan jika ketuntasan belajar tidak tercapai.  Apabila ada kegagalan maka seharusnya guru menelusuri penyebabnya, apakah soal yang kurang valid? Metode atau media pembelajaran yang kurang tepat, atau soal yang diujikan tidak sama dengan materi yang telah dijelaskan?
Susah memang menjadi peserta didik, sellau dijadikan sasaran kesalahan. Pada hal kita tahu bahwa belajar di sekolah dengan jumlah mata pelajaran 12-17 Mata pelajaran adalah beban yang sangat berat. Sebab, dapat dipastikan tidak semua mata pelajaran itu dibutuhkan peserta didik. Tidak semua mata pelajaran bermanfaat bagi kehidupan peserta didik. Apakah mereka harus pintar semua mata pelajaran? Sementara kalau kita lihat pilihan pekerjaan menjadi guru atau ketika memasuki fakultas pendidikan adalah bukan pilihan utama. Artinya kualitas guru juga perlu terus menerus dipertanyakan setiap saaat, sehingga termotivasi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan diri

Realitas yang sering ditemukan di lapangan betapa sulitnya mengubah kebiasaan guru dalam mengajar yang telah dianggapnya mapan. Sementara perkembangan sains dan teknologi senantiasa berkembang dan menuntut adanya perubahan. Sebuah tuntutan perubahan yang wajar mengingat perhatian pemerintah terhadap guru sedemikian besar dengan terbitnya UU No.14 Tentang Guru dan Dosen. Adanya tunjangan Profesi Pendidik bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik adalah sebuah upaya penghargaan dan peningkatan kesejahteraan guru.  Amat disayangkan jika kemudian pemberian fasilitas Tunjangan Profesi Pendidik dipergunakan secara konsumtif, tanpa ada upaya untuk mengembangkan wawasan.

Peserta didik adalah anak manusia yang hebat, sebab di satu sisi peserta didik memiliki  penguasaan dan keakraban terhadap media teknologi dan informasi. Sebuah modalitas yang harus dipahami dan dioptimalkan untuk mengembangkan potensinya. Tidak berlebihan jika mengalami kegagalan,  sumber kesalahan ditelusuri dari kerja guru. Sesuatu yang sulit, tetapi hal yang menarik ketika mencoba membalik sudut pandang memposisikan peserta didik sebagai subyek yang setara dengan guru.

Guru sebagai agen perubahan sudah pasti dituntut untuk selalu memperbaharui pengetahuan sehingga bisa mendampingi perkembangan peserta didikseirama dengan perkembangan teknologi. Persoalan yang sederhana tetapi sulit direaliasikan di lapangan. Sebab, profesi guru masih dipandang sebagai proses transfer ilmu yang mengedepankan aspek kognitif dengan nilai angka-angka yang tertera di buku rapor.

Tidak sedikit ditemukan di daerah guru-guru sibuk mengadakan les privat dan sayangnya les itu hanya diberlakukan untuk peserta didiknya sendiri. Logikanya jika siswa banyak yang tidak mencapai ketuntasan belajar sumber kesalahannya adalah guru. Sehingga perlu dilakukan program remedial. Bukan dengan les privat yang lebih menekankan pada pemberian nilai bukan pada proses peningkatan kemampuan dan pemahaman peserta didik.
Artinya ada guru yang memanfaatkan ketidak tuntasan belajar peserta didik untuk dimasukkan pada les privat yang diselenggarakan. Sebentuk penyimpangan profesi dan profesionalisme guru karena kehilangan sikap obyektivitas dalam penilaian. Di sinilah sebenarnya profesionalitas guru diuji untuk memproses belajar peserta didik yang kemampuannya biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Tugas guru bukan selalu menyudutkan kemampuan siswa karena tidak mampu mengikuti kemauan guru.*****(HR)

Tidak ada komentar: