Translate

Senin, 10 Juni 2013

Kurikulum2013, Pengadaan Buku dan Perubahan Mindset Guru

Guru-guru di Sumenep saat mengikuti workshop

Oleh: Hidayat Raharja | Pendidik dan Pelaku Kebudayaan
Semula saya masih memberikan banyak harapan terhadap kurikulum 2013 untuk memperbaiki kualitas guru dan mutu pembelajaran di sekolah. Sebab guru sudah tidak direpotkan lagi untuk membuat silabus, dan buku pelajaran pegangan guru dan siswa telah disiapkan oleh pemerintah. Kemudahan yang mengisyaratkan kepada guru untuk menyiapkan kualitas pembelajaran yang bermutu dengan memusatkan pembelajaran kepada siswa, serta mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran.
Dalam polemik mengenai penyelenggaraan kurikulum 2013 yang sebagian ditunjuk untuk melaksanakannya, sementara sekolah yang tidak menjadi sekolah sasaran bisa menerapkan secara mandiri (Kompas,10 Juni 2013). Pelaksanaannya harus melalui koordinasi dinas pendidikan daerah. Sekolah yang melaksanakan kurikulum 2013 secara mandiri menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.Anggaran pengadaan buku siswa, buku pegangan guru, pelatihan guru dilakukan secara mandiri dengan berkoordinasi dengan dinas pendidikan di daerah.
Pengadaan buku pegangan guru dan siswa diserahkan kepada setiap pemerintah daerah, sebuah persoalan baru yang akan membelit dinas pendidikan di daerah. Sebab tak semudah yang dituliskan di atas kertas untuk bisa memenuhi anggaran penerbitan buku di daerah. Masih lekat dalam ingatan kita, saat penerbitan atau pencetakan buku paket mata pelajaran yang dulu diterbitkan oleh depdikbud diserahkan kepada pemerintah daerah bersamaan dengan otonomi daerah diharapkan akan mampu membangkitkan usaha penerbitan di daerah. Penerbitan di daerah mendapatkan order dan toko buku di daerah akan tumbuh dan berkembang.Nyatanya sampai 12 tahun otonomi daerah berjalan tidak juga membangkitkan dunia penerbitan di daerah,bahkan juga tidak merangsang guru untuk menulis buku pelajaran.
Justru peluang itu direbit oleh penerbit komersial dengan menerbitkan buku yang kemudian mendapatkan pengesahan dari BSNP dan kemudian disebarluaskan ke berbagai daerah. Hadirnya Buku Sekolah Elektronik (BSE) sebenarnya sangat berarti dalam upaya pemenuhan kebutuhan peserta didik dengan biaya murah. Namun tak banyak penerbit yang menerbitkannya, karena salah satu kemungkinannya harga eceran tertinggi telah ditetapkan oleh kementerian pendidikan.Jika demikian dapat dipastikan para penerbit kapitalis tersebut kurang banyak mendapatkan laba. Serta tidak banyak sekolah yang memanfaatkan buku sekolah elektronik.
Jika hal ini yang terjadi, maka pasti penyelenggaraan kurikulum 2013 akan kacau, salah satu di antaranya mengenai buku wajib yang dikendalikan oleh pusat pengadaannya atau penerbitannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Tidak semua pemerintah daerah merespon positif terhadap perubahan semacam ini. Lagi-lagi guru yang akan dijadikan korban,bahkan tidak tertutupkemungkinan beban pembiayaan untuk pelatihan guru yang berkaitan dengan penyelenggarakann kurikulum 2013 dibebankan kepada guru. Ini sangat dimungkinkan ketika dalam penilaian kinerja guru(PKG) dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan guru wajib mengikuti atau melakukan pengembangan diri sebagai bagian dari Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan (PKB). Pelatihan yang berkenaan dengan peningkatan kualitas pembelajaran termasuk kepada kegiatan pengembangan diri.
Betapa rumit sistem yang mengatur dan mengedalikan dunia pendidikan kita, tarik-ulur antara berbagai kepentingan yang sering kali mengutarakan demi kepentingan masa depan anak-anak bangsa. Namun semuanya kian terlihat tanpa kendali dan koordinasi dari pengurangan jumlah sekolah sasaran  dan target, serta penawaran penyelenggaraan secara mandiri yang akan memperpanjang jalur birokrasi.
Tahun ajaran baru di depan pintu namun sampai pertengahan juni yang dijanjikan untuk dilakukan pelatihan bagi guru sekolah sasaran juga masih belum jelas. Pun jika dilakukan di waktu liburan yang dua minggu. Apakah mungkin melakukan perubahan mindset pola pembelajaran pada guru dalam waktu sesingkat itu?

Rabu, 05 Juni 2013

Ladang Garam Girpapas dan Pusaran Ekonomi Kreatif

Oleh: Hidayat Raharja|Pendidik dan Pelaku Kebudayaan.
Kawasan ladang garam di Girpapas – Sumenep adalah kawasan yang banyak memproduksi garam di musim kemarau. Bertonton-garam menggunung di tempat penampungan (gudang) ada di sekitar tambak. Produksi garam rakyat yang memberikan sumber penghidupan bagi para pemilik dan pekerja ladang. Namun sayang perekonomian garam tidak pernah berpihak kepada para pekerja yang seumur hidupnya tetap akan menjadi kuli di ladang garam.
Kondisi perekonomian dari ladang garam kerap terganggu oleh cuaca dan juga besarnya impor garam dari luar negeri sehingga memperburuk kondisi harga garam rakyat. Produksi  sampai juli 2012 158.596 ton, garam rakyat masih dibeli Rp 450.000/ton, padahal  bila disesuaikan dengan keputusan pemerintah, harganya seharusnya Rp 750.000/ton. ( Minggu, 2 Desember 2012 SURYA Online).
Menjadi buruh ladang garam mendapatkan upah sebesar Rp 27.500 perhari dengan perhitungan Rp 825.000/30 hari. Sebuah peghasilan yang sangat minim untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup para pekerja. Kondisi yang rutin mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika saja mereka hidup dengan jumlah anggota keluarga empat orang maka setiap kepala hanya mendapatkan penghasilan tidak lebih tujuh ribu rupiah per hari.
Maka, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di ladang garam tidak bisa hanya bergantung kepada produksi garam. Menyikapi kondisi semacam ini harus ada pilihan lain yang bisa memberikan tambahan penghasilan bagi mereka. Jika ladang garam hanya dipandang sebagai lahan produksi garam, maka sepanjang waktu tidak akan ada pergeseran nasib para pekerja yang ada. Di sinilah peran ekonomi kreatif untuk memandang ladang garam sebagai wilayah lain yang bisa produktif selain sebagai penghasil garam.
Hamparan ladang yang membentang di sisi barat dan timur jalan, adalah sebuah hamparan jejak sejarah kejayaan di masa silam ketika garam rakyat mempu meberikan devisa bagi negara. Ketika daerah-daerah sekitar ladang dan pelabuhan menjadi pusat kesibukan dan keramaian ekonomi. Kini hanya meninggalkan bau lumpur dan amis yang menyebar di antara petak-petak yang menghitam.
Perkembangan teknologi dan informasi telah mengubah segalanya. Garam bukan lagi produksi yang mampu meningkatkan harkat dan martabat pekerjanya, ketika mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah.
Film “Semesta Mendukung” atau “Mestakung” yang dibintangi Rivalena S Temat, di antaranya melakukan pengambilan gambar di lokasi perladangan garam yang ada di sekitar PT. Garam Sumenep. Pengangkatan lokasi ladang garam dengan kincir angin untuk memindahkan air. Sebuah panorama yang amat menarik, semula diharapkan mampu memberikan ekses terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Efek ekonomi hanya berpengaruh pada saat pengambilan gambar dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai figuran dan menjadikan ladang sebagai salah satu setting pengambilan gambar. Film “Mestakung” tak mampu mengangkat  budaya lokal sebagaimana film “Laskar Pelangi”.
Dijadikannya ladang garam sebagai salah satu obyek pengambilan gambar dalam”Mestakung” adalah sebuah realitas yang mendedahkan kepada penentu kebijakan di daerah, untuk melihat obyek ladang garam dari berbagai sisi dan sudut yang bisa memberikan dampak ekonomi bagi masyarakatnya. Eksotisme, dan keunikan yang ada di dalamnya adalah sumber pengembangan ekonomi kreatif yang perlu ditelaah dan dikembangkan.
Ladang garam adalah hamparan kisah sejarah dan manusianya dengan berbagai dinamika kehidupan yang menarik. Hamparan ladang ekonomi kreatif  yang patut dipikirkan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam perkembangan teknologi dan informasi, dan mengggeliatnya pusaran ekonomi kreatif yang mampu menghasilakan uang untuk meninkatkan kesejahteraan warga sekitar dalam pengelolaan yang melibatkan amsyarakat setempat untuk mengambil peran dan mengaktualisasikan diri dalam percaturan ekonomi kreatif. Tentu,  pemerintah daerah Sumenep dapat bertindak sebagai fasilitator sehingga masyarakat kaum pekerja atau buruh ladang garam menjadi berdaya.
Beranikah pemerintah daerah memasarkan jejak sejarah, eksotika, dan pengetahuan yang menghampar di seluas ladang dan kehidupan masyarakat yang bergerak dinamis sebagai penghasil ekonomi yang mampu meningkakan harkat dan martabat masyarakat setempat?

Etika Teknologi

"hallo" lukisan Hidayat Raharja
(catatan kecil buat kawan guru)
Era teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan banyak lompatan dalam kehidupan manusia. Bentangan jarak yang jauh bisa diperpendek dengan hadirnya alat komunikasi,sehingga terasa dekat. Kesulitan dalam mendapatkan informasi dipermudah dengan mesin pencarian google, dalam hitungan detik ribuan informasi disodorkan ke hadapan kita. Ketergantungan terhadap teknologi menjadi sebuah kebutuhan manusia.
Perkembangan teknologi telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia  termasuk dunia pendidikan untuk membenahi diri, sehingga selalu berupaya mengikuti perkembangannya. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran telah banyak membantu guru dan siswa dalam mengakses informasi dan memahami perkembangan pengetahuan.
Jumlah penduduk yang sangat besar di negeri ini menjadi pasar potensial untuk pemasaran produk teknologi. Pengguna teknologi di Indonesia terkenal sangat royal untuk berbelaja produk terbaru, sebab produk teknologi bukan lagi sebagai alat tetapi menjadi sebuah ikon gaya hidup. Produk teknologi yang dipergunakan seseorang mempengaruhi status sosial dan komunitas seseorang. Sebuah realitas yang menunjukkan bahwa teknologi merupakan sebuah kebutuhan bahkan secara frontal teknologi telah memperdaya manusia untuk selalu mengikuti dan memilikinya.
Sayangnya tingginya penggunaan produk teknologi di masyarakat kita tidak disertai dengan etika penggunaanya,sehingga kerapkali kehadiran teknologi tersebut mengganggu kenyamanan orang lain. Hal kecil yang banyak kita jumpai,adalah ketika berada diarea SPBU yang tertera larangan untuk menyalakan handphone, ternyata masih ada saudara-saudara kita yang melanggar anjuran tersebut. Peristiwa sepele yang menandakan etika kita dalam pennggunaan produk teknologi.
Kejadian-kejadian remeh seperti ini ternyata bukan hanya di stasiun pengisian bahan bakar, namun  juga di ruang formal masih ada yang mengabaikan etika, bisa disebabkan karena tidak tahu atau juga karenamemang tidak peduli. Celakanya, bila ini dilakukan oleh seorang guru saat mengajar di dalam kelas apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita.
Pada suatu kesempatan seorang guru mengajar di dalam kelas, muridnya mengerjakan tugas dan sang guru asyik telpon-telponan dalam ruangan. Murid hanya tersenyum. Andai murid yang melakukan ini sang guru akan marah-marah. Barangkali dari dunia pendidikan penggunaan produk teknologi itu mulai dikenalkan etikanya, dibuat komitmen penggunaan handphone di dalam kelas pada saat pembelajaran berlangsung. Kesepakatan seperti ini amat perlu sehingga peserta didik memahami batasan-batasan penggunaan handphone sehingga tidak mengganggu kenyamaan atau suasana belajar. Tentu komitmen ini berlaku pula untuk guru.
Bahkan pada saat ada sebuah workshop Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang pesertanya guru-guru dan kepala Sekolah Dasar suasana ruangan menjadi gaduh oleh dering handphone dari para peserta yang siang itu menjadiorang sibuk semua. Seakan mereka adalah orang tak bisa lepas komunikasi dengan lawan bicaranya. Terlepas apakah mereka jenuh terhadap suasana kegiatan dalam ruangan,namun ini merupakan sebuah cerminan bahwa di kalangan pendidik masih banyak yang tidak memahami etika mempergunakan alat komunikasi. Maka perlu ada kesepakatan-kesepakatan ketika kita berhadapan dengan mereka dalam suasana formal.
Kesepakatan-kesepakatan penggunaan handphone dalam ruang belajar perlu dipikirkan,sebab bukan tidak ada guru yang merasa tidak bersalah mempergunakan handphone dalam ruang kelas saat mengajar untuk mengurus keperluannya tanpa menghiraukan kebutuhan murid yang terganggu.
Pilihannya adalah pertama, jika dalam ruangan kelas atau ruangan formal, maka handphone wajib dalam keadaan silent atau off. Kecuali jika handphone digunakan dalam pembelajaran untukmengakses informasi.
Kedua, jika akan menerima handphone harus di luar ruangan kelas supaya tidak mengganggu kepada suasana belajar di dalam kelas.
Ketiga, jika ketentuan yang telah disepakati dilanggar maka perlu diberikan sangsi yang bergradasi mulai dari peringatan sampai dengan memanggil orang tua sesuai dengan tingkat pelanggarannya.(Hidayat Raharja).
Sumenep, 5 Juni 2013