Translate

Selasa, 19 Juni 2012

Tafsir Genetika Dua Keadaan:Puisi Hibrid dan Mutasi Tradisi

(Pembacaan atas “Kembang Pitutur dan Opus 154)*

Oleh: Hidayat Raharja**
------------------
1
Selamat Datang
Membicarakan perkembangan kesusastraan khsususnya perpuisian di Madura, sesuatu yang sangat menarik.  Generasi kepenyairan yang terus berledakan di berbagai tempat, utamanya dari komunitas pesantren yang senantiasa beriak. Juga di luar pesantren yang  menyemburkan letupan semburat mewarnai khasanah kesastraan.  Dalam hal ini kehadiran  Alek Subairi dengan buku himpunan puisinya “Kembang Pitutur” dan R Timur Budi Raja dengan buku himpunan puisinya “Opus 154”. Keduanya merupakan representasi dunia kepenyairan di tanah Madura, yang selama ini selalu muncul dari wilayah timur, tetapi keduanya lahir dari tanah Sampang dan Bangkalan, wilayah Madura di bagian barat.
Madura, daerah yang terus menggerakkan kultur dan masyarakatnya menuju wilayah-wilayah baru. Wilayah yang memungkinkan terjadinya pembauran bahasa dan kebudayaan sehingga mengahasilkan kultur hibrid yang lokal dan global dikenal dikenal dengan Glokalisasi. Dua wilayah yang saling bertemu dan membentuk variannya. Sebagaimana kita lihat pada supporter Taretan Mania  - P.MU (Persepam- Madura United) dengan kaos loreng merah putih yang dipadukan dengan celana jeans,  bukan dengan gombor hitam yang menjadi ciri khas masyarakat Madura agraris. Pola dan bentuk semacam ini dapat ditemukan pada sajak-sajak dari tanah Madura mutakhir ini. 
2
Glokalisasi

Menurut Ohmae, Kinichi. (1995) dalam bukunya The End of The nation state: the Rise of Regionaleconomics, menjelaskan mengenai ciri dari Globalisasi yang dinamakannya sebagai borderless world yang ditandai dengan empat “I”. Pertama, investasi, yakni maraknya pasar modal yang melintasi batas negara. Kedua, informasi, yakni merebaknya jasa informasi dan industri dan membawa kita pada tatanan dunia global. ketiga, industri, yakni bangkitnya berbagai perusahaan multinasional yang global, menggantikan peran pemerintah. Keempat, yakni muculnya individu sebagai konsumen sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas tapi murah.
Dalam perkembangannya globalisasi bersilangsengkarut dengan budaya lokal yang menciptakan Glokalisasi yang ditandai dengan:
1.       Dunia sedang tumbuh menjadi pluralistik
2.      Individu-individu dan kelompok-kelompok lokal memiliki kekuasaan besar untuk menyesuaikan diri, memperbarui dan melakukan manuver dalam sebuah dunia glokal.
3.      Proses-proses sosial adalah berhubungan dan saling tergantung. Globalisasi memancing berbagai reaksi, dari kubu nasionalis sampai penerimaan kosmopolitan, yang hidup dari dan merubah grobalisasi yang menghasilkan glokalisasi.
4.      Komoditas-komoditas dan media, arena dan kekuatan kunci dalam perubahan budaya pada akhir abad 20 dan awal abad 21 tidak dilihat sebagai (secara total) yang koersif, namun lebih sebagai penyedia materi untuk dimanfaatkan dalam kreasi individual dan kelompok di seluruh wilayah dunia yang terglokalisasi.
3
Alek, Ruang Tafsir yang Bersudut dan Bersegi

Jika selama ini wilayah Madura Bagian Sampang dan Bangkalan dipetakan sebagai basis pergerakan yang terbuka dengan pelbagai tindakan yang selalu didekatkan pada tindakan kekerasan dan kriminal sebagaimana penelitian yang dilakukan Elly Towen Bousma yang mengambil sampel di daerah Sampang dengan  judul “Kekerasan Di Tengah Masyarakat Madura”. Sebuah simpulan yang mengidentikan orang Madura sama dengan mafia di Sisilia - Itali. Pun pada penelitian Rozaki “Menabur Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim. penelitian yang  mengamati  ranah kekuasaan antara kyai dengan kaum blater sebagai elit penguasa yang berpengaruh dalam masyarakat Madura. Namun di dalam diri kedua penyair ini, tanah Madura merupakan tanah kelahiran yang memberinya spirit untuk bergaul dengan masyarakat global secara terbuka. Pergaulan yang memungkinkan eksis, berbaurnya genetika lokal dengan getika lain tanpa harus kehilangan identitas atau menemukan identitas baru.
Alek Subairi dan R Timur Budi Raja, dua sosok yang amat menarik terutama jejak dalam puisinya dan keduanya muncul dengan tempuhan jalan yang berbeda. Membaca pusi-puisi Alek, memasuki sebuah dunia perpuisian yang berseliweran di antara detak genetika tradisi yang mulai bermetamorfosis dalam kegaduhan masyarakat urban. Sehingga di dalamnya kita tak akan menemukan terikan-terikan yang menghunjam kepada vulgaritas kekerasan sebagai mana yang muncul dalam simbol-simbol masyarakat agraris Madura. Namun kearifan itu terus menemukan ruang aktualisasinya yang baru. Sebuah ruang yang memungkinkan setiap pembaca untuk meberikan tafsir tanpa harus dikerangkeng dalam tafsir tunggal. Tidak adanya sebuah pengantar  atau pun epilog yang menjadi penuntun tafsir bagi pembaca dalam himpunan “Kembang Pitutur” adalah penanda bahwa ruang  tafsir disediakan secara terbuka, dari berbagai sudut pandang pembaca.
Aktualisasi genetika tradisi lokal ke dalam peradaban global sebagai identitas yang bergerak dinamis bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi . Bahasa sebagai komunikasi memiliki potensi-potensi yang memberikan berbagai tafsir dan bahkan imajinasi baru bagi pembaca. Bahasa iklan bukan hanya komunikasi tetapi juga sebuah kemasan yang mampu menjarah pemikiran konsumen sehingga merasa dekat dan (harus) memilikinya. Kugaduhan bahasa iklan dalam ruang publik adalah sebuah kegaduhan yang memaksa bahasa puisi untuk menghindarinya, sehingga tidak menjadi propaganda atau hanya sekedar jejalan kata yang kehilangan makna.
Upaya penyeleksian semacam ini dilakukan oleh Alek dalam puisinya untuk menjadikan bahasa puisi sebagai bahasa yang berbeda dengan iklan ataupun sebuah berita. Bahasa yang masuk dalam bangunan tubuh puisi menyalin diri dan bermetamorfosis untuk menemukan tafsir yang lain. Salah satu celah untuk mengintip dan membuka puisi-puisi Alek adalah pilihan katanya yang amat beragam antara identitas lokal dan beberapa idiom yang dibiarkan masuk ke dalam bangunan tubuh pusinya, sehingga menjadi sesuatu yang sembunyi menyimpan makna puisi itu sendiri.
Badendang, lengkung besi, imigran gelap,  kanda, dinda, sang hyang, kendi,  tikar, talam, labang, kidung, ning, toron, laut, adalah pilihan kata yang berbaur antara yang lokal dan yang urban. Kata yang kemudian membuka berbagai kemungkinan tafsir bagi pembaca,sebagaimana dapat kita nikmati pada puisiberikut:
Senjakala ialah lelaki yang pergi
dari rumah, dari kuntum dan gunjingan
(Mitos Senjakala 1 (surat pisah) halaman 48)

Merantau atau pergi dari rumah adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh orang Madura. Ada saatnya ketika seorang anak dirasa cukup dewasa untuk meninggalkan rumah, baik untuk menimba ilmu ataupun untuk menimba pengalaman hidup, sehinga akan mendewasakan diri. Maka tidak heran jika kebiasaan merantau ini akan banyak memberikan pengaruh kepada kehidupan orang Madura, termasuk juga dalam berkomunikasi atau bahasa. Biasanya mereka akan mebawa kultur baru ke tanah asal yang memancing orang di sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Merantau yang mebawa perubahan bagi mereka, baik perubahan di sektor ekonomi, gaya hidup, mau pun dalam komunikasi.

Bakti yang mengantarku padamu
dan aku tak tau mengapa tubuhku
tak menyesali hidup berpindah-pindah
(Kendi,halaman 4)

Jelaslah bahwa apa yang dilakukan penyair adalah sebuah kesadaran untuk tak menyesali keberpindahan dari yang lokal ke yang urban atau pun sebaliknya, sebab apa yang dilakukannya tidak lain adalah sebagai bakti, pengabdian tulus untuk membiarkan kata dan peradaban bergerak menemukan nasibnya. Pergerakan yang tak patut untuk dicemburui apalagi dicurigai, sebab sunyatanya disitulah ruang kreativitas bergerak dan peradaban bergulir menemukan sebuah dinamika yang mengisi ruang-ruang baru sebagai penanda di setiap jaman. Apa yang dikatakannya dalam potongan ”talam” perpindahan-perpindahan semacam itu tak akan mengurangi rasa senang dan tak akan menghalangi pandang.

Seperti sepi pada kendi menjelang pagi
sepikan namaku dari cemburu apabila
hidangan telah sampai pada doa.
….
Bila datang, kukenang yang mula-mula malam
sehingga kalau kelak berpapasan di kembang lain
senangku tak berkurang, pandangku tak terhalang
(Talam, halaman 6)

Tradisi bagi masyarakat Madura, sebenarnya bukan sesuatu yang harus dipertahankan secara rigid, sebab sejatinya budaya dan tradisi Madura bergerak secara fleksibel. Hal ini bila kita pahami secara arif,  tradisi menandai kelahiran bayi bagi masyarakat Madura, pada masa itu ditandai dengan membunyikan “ronjangan” sebanyak tujuh kali jika bayi laki-laki, dan bunyi genap jika perempuan. Di Sumenep ditandai dengan mengantarkan “cangkarok” yang terbuat dari ketandan kacang hijau yang ditaburi parutan kelapa bagi tetangga dan famili. Saat ini “cangkaro’  ” telah diganti dengan mie instan, “mulang are” tidak harus menunggu 40 hari kelahiran tetapi diberikan saat nyambangi ibu yang lahir semua bisa menerima.

Pun juga tradisi “toron” yang berbeda dengan tradisi mudik, sebab pada tradisi toron bukan hanya sekedar kembali pulang dari rantau berkumpul dengan keluarga,tetapi mempersatukan keluarga. Saat itu juga bersilaturrahmi dengan guru atau kyai. Biasanya tradisi toron dilakukan berkaitan dengan tiga hal, antara lain: hari raya idulfitri /idul adha -pada hari raya ini biasanya beberapa hari berikutnya disertai dengan banyaknya undangan pernikahan , kematian, dan perayaan maulid nabi. Hal ini dapat kita nikmati pada bagian awal dari puisi “Toron” berikut ini.

melihat ke utara, efni.
orang-orang mengikuti lorong
ke sebuah halaman yang
berbenah dari belah.
udara menabur keping warna
:janur pengantin

Dalam baitnya yang lain, Alek menegaskan bahwa persoalan harga diri, jika mainan atau kekasih diambiil lelaki lain merupakan sebuah hinaan martabat atau harga diri, kadang membuat seseorang mengalami gelap diri dan melakukan sesuatu yang menurutnya pantas untuk membalas hilangnya martabat atau harga diri. Sebagaimana  dapat kita simak pada potongan larik berikut: mainannya dicuri pejantan /dan kau yang gulita menghardik dengan / bahasa kumbang seakan mengiris /petang jadi siluet selendang. (“Toron”, halaman 42)

Namun sebaliknya, jika seseorang itu mampu mengambil hati maka ia akan menganggapnya sebagai saudara “Padana taretan”.  Dalam hubungan persaudaraan semacam ini, jalinan pertemanan akan saling menjaga dan melindungi. “lalu ia turun lalu ia turun ke halaman membagi salam./ salamnya orang gunung./ aduhai rintiknya mau pulang/ antarkan hingga ke belokan (Toron,42-43)

Mempertanyakan kebenaran (kitab) yang dimaksud dalam masyarakat Madura adalah refrensi yang menjadi rujukan hukum dalam mengatasi persoalan. Perubahan sosial politis yang berlangsung di berbagai wilayah melalui media teknologi dan komunikasi tanpa disadari telah memberikan perubahan-perubahan dan peroalan-persoalan baru dalam kehidupan masyarakat. Persoalan yang tak terhindarkan pula menyusup ke dalam puisi-puisi Alek. Persoalan-persoalan ini dapat disimak pada potongan larik berikut:

Kebaikan yang kau kenal dalam kitab
Kapan datang menenang air laut
Yang meninggi,menenang sampai ke dapur

Kau menangkap ikan-ikan lalu melepasnya,
Kerna kebajikan musti diberi halaman
Supaya yang tumbuh segera berkabar
Supaya kabar tak berebelok ke arah yang bimbang
(Telah Datang,45)

Perubahan sosial politik telah menempatkan kiai yang semula menjadi sumber kebenaran (panutan), kini dipertanyakan kembali ketika mereka banyak terlibat pada kegiatan politis. Bukan berontak, tetapi mempertanaykan peran  melalui puisinya. Ketika kebenaran semakin tenggelam oleh keculasan politik,  Alek mempertanyakan dan mengingatkan kebenaran untuk diberi halaman.  Ingatan untuk mengembalikan kebenaran sebagai bagian dari keseharian yang teralienasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang dimaksudkan dengan melakukan perbenturan-perbenturan tradisi dengan realitas kehidupan kekinian, saatkebiasan berbuat dan berkata “benar”hanya menjadi sebuah harapan, impian, dan langka.

 “Jangan lewat di jalan yang singkat
Dan tak berkeringat!” begitu bahasa ibunya.
Sehingga ia membaca dirinya sebagai
titah yang mencari tafsirnya.
(2 Tato) halaman 49).

Dalam bahasa yang lain budaya tradisi menemukan ruang aktuliasasi dalam berbagai sisi kehidupan. Di kala kehidupan dipenuhi dengan sesakan-sesakan jalan pintas, budaya tradisi dengan kearifan lokalnya masih berpeluang untuk melakukan representasinya dalam berbagai bentuknya.”Kerja Keras” salah satu budaya tradisi di Madura yang masih relevan untuk kembali hadir dan menguatkan kearifan masyarakat yang dibentur dengan pelbagai budaya instan yang meninggalakn proses. Dalam tradisi budaya Madura kerja keras diistilahkan dengan “apello koneng” – “jangan lewat di jalan yang singkat dan tak berkeringat!” Sebentuk aktulisasi kearifan lokal dengan bahasa keikinian yang dilakukan Alek.

Semangat kerja keras juga disingkap Alek dalam “Tanglok” sebuah pelabuhan kecil yang ada di selatan kota. Pelabuhan yang menyeberangkan penumpang dari dan ke Pulau Mandangin tetapi juga ada yang ke pelabuhan lain di sekitar Probolinggo atau Situbondo. Di mata Alek pelabuhan ini bukan sekedar menyeberangkan orang, dan barang tetapi di dalamnya berlangsung pergulatan hidup yang kompleks. Kehidupan nelayan, para penimba ilmu (santri) dan juga yang hanya sekedar menikmati pagi sebelum bekerja di pelabuhan dengan menyeruput kopi hangat di pangkalan. Pagi menyingkap betis adalah sebuah ungkapan yag memberikan banyak tafsir yang penuh dengan spirit untuk memulai sesuatu, sebagaimana dalam larik berikut  :

Disini, pagi menyingkap betis, mengantar
keranjang ikan, buah-buahan, dan seorang santri,
juga harum kopi di pangkalan.
Aku ingin menoleh ke kiri juga ke kanan
sebab siapa tau aku tidak sedang pergi

tetapi kembali kepada janji yang tak jadi kuucap
(Tanglok, halaman 10)

Sikap kerja keras yang juga ditandai dengan slogan-slogan yang muncul dalam kehidupan masyarakat rural-agraris; “abantal omba’ asapo’ angin” yang kemudian berkembang dalam ungkapan ‘abantal syahadat asapo’ iman” sebuah ungkapan yang bersandar pada semangat relijiusitas yang menjadi kebiasaan masyarakat di Madura. Dalam semangat relijius tersebut mereka meyakini tentang adanya hal baik dan buruk, gagal dan berhasil, meyakini adanya takdir yang mewarnai kehidupan manusia. Mari kita simak puisi berikut:

Selalu ada yang merpati
Pada rimbun yang gelap,mengusap
Sunyi, lalu melepasnya dalam kabut
…..
Ia jalanku sekarang, tanpa
riak dan undang-undang
:lurus tapi berlekuk

berlekuk tapi sabar.
(Kembang Pitutur, halaman 67)
Sebuah keyakinan adanya hal-hal yang damai di antara kelam kemelut,pencerahan di antara gulita kehidupan. Jalan hidup yang fluktuatif, lurus tapi berlekuk,berlekuk tapi sabar. Sebentuk kehidupan yang dipenuhi dinamika persoalan, dan harus dihadapi dengan sabar.

Di tengah laut, angin ialah pitutur yang bijak
dan di dalam pitutur, telinga tak boleh nakal
karna kabar setiap jengkal menggambar
dirimu.
(kembang Pitutur,halaman 74)

Dalam keadaan yang terombang-ambing ditengah luas laut kehidupan, maka angin sebagai penggerak perahu kehidupan menjadi penunutun kemana perahu akan berlabuh.”pitutur angin”yangmenjadi arah perahu untuk sampai ke dermaga tujuan. Hidup hanyalah sebuah perjalanan mencari bekal menuju yang kekal

Secara genetis, puisi-puisi Alek masih berbaur kental dengan tradisi lokal, sebuah bentuk hibrid yang menimbulkan varian-varian dalam bentuk dan pengucapan yang meberikan ruang tafsir yang lebih terbuka.
4
Timur yang Murung dan Sunyi

Mengenal Timur adalah hal yang sangat menarik;  enerjik, mobilitasnya tinggi dan tak pernah diam, sehingga ia adalah salah satu penyair di Madura yang kerap meningggalkan rumah. Penyair avonturir yang produktif dan tak pernah diam. Monilitas yang sering mempertemukannya dengan hal-hal baru, yang kemudian berupaya untuk memadukannya atau memilih di antara keduanya. Karena di sini Timur telah memposisikan diri sebagai orang asing yang merupakan persenyawaan antara pantai dan matahari.  Sebuah pengumpamaan yang mengantarkan saya untuk memasuki puisi-puisi Timur dalam kumpulan  “Opus 154”.

akulah itu, orang asing yang tubuhnya terdiri
dari persenyawaan pantai dan matahari
(kepada Laut,halaman 17)

Pertemuannya dengan persoalan-persoalan atau kultur baru,membuatnya semakin kaya ,sebab dalamkilau peradaban yang gelimang ia masih awas menyaksikan malamyang bersembunyi di bawah lautan. Sehingga kerap ia menyuarakan susra-suara lain yang jarang diusung oleh penyair.

ketika riak laut berkilatan ditindih malam,ia tahu,
ada yang memiliki mata kaca di atas sana
mengigau sendirian, menerka surat atau telepon
dari kekasihnya yang setiap sore menyelam terbenam

di bawah laut di bawah malam
(sumenep, halaman 18)

Karenanya pula maka tidak aneh jika dalam puisi-puisi Timur akan banyak kita temui kata-kata yang “asing” tetapi sangat akrab dalam telinga: opus, sine, ahimsa, impresia, beth, bukek, earth born, oni, theresia, koji, soliloqium, tutitonca ob waci, fragmentasi fort roterdam, pesta odissey, rhytm of the birds.  Kata-kata asing yang juga bertemu dengan lombang, tenger, sumenep, bangkalan, kampung karang, jumiang, wilangon, kamal, lidah wetan,

Perjalanan Timur melintasi berbagai kota tentunya dengan pelbagai imajinasi tentang berbagai perjalanan itu,merupakan faktor fisikal dan psikologis yang berpengaruh terhadap puisi puisi yang dilahirkannya. Pengalaman fisikal dan psikhis yang melahirkan banyak kisah baru, cerita yang telah berkisah dalam ruang kreativitas, dan pertarungan untuk lahir dalam sebuah puisi, sebagaimana pada larik berikut:

sesekali kau bercerita tentang sebuah negeri jingga
Penuh kupu-kupu, coklat dan gula-gula. Di sana, katamu,
ada peri yang menjaga kanak-kanak dan orang-orang
ternista dengan kasih sayang matahari dan bunga.
“jangan berhayal, itu buruk!” sergahku

kita pun kembali sunyi,menjadi lelaki pemberani.
turun dan meraba jalan, ketika malam dihidupkan.
(inilah kita, gus, halaman 50)

Pengalaman yang mengantar pada getir perjalanan yang dipenuhi kekerasan demi kekerasan yang terus beruntun menciptakan imajinasi yang lain, imajinasi yang meretakkan ruang khayal, sehingga menghadirkan realitas puisi yang sunyi, tertekan, dan harus menjadi pemberani untuk melawan peniadaan. Realitas kekinian yang banyak memperkaya nafas hidup dalam puisi Timur, sebab tradisi baginya hanya sebuah  lampau yang harus dijaga dan tak relevan lagi dengan kekinian. Dalam kondisi semacam ini,masa lalu adalah kenangan yang taklagi memberikan apa-apa dalam realitas hidup kekinian yang keras, menekan dan luka. Tak ada yang menarik baginya dari masa lalu, karena iahidup di masa kini dan dilepaskan darimasa lalunya.

Masa lampau, napas kunang yang berjaga.
:agar tak padam api di lubuknya,
agar tak robek kulit tubuhnya
kau pun tamasya ke hutan-hutan malam
penuh suara
(akar, halaman 115)

Kesedihan pada setiap perjalanan atau kekerasan dan tekanan yang berlangsung pada setiap tempat menjadikannya sebagai tamsya yang diabadikan dalam kisah-kisah yang terbingkai dalam puisinya, sehingga kesedihan, sunyi yang tak terengkuh oleh orang lain, dapat teraba dalam puisi-puisi timur. Semisal, sepudi yang selama ini dikenal sebagai pulau Sapi, justru ditemukannya sebagai sebuah pantai yang menagis. Pantai yang telah kehilangan bakau dan bebatuan karangnya, yang mungkin banyak dilupakan orang karena telah memberikan keuntungan secara ekonomi dengan mengorbankan lingkungan pantai yang berubah jadi pemukiman.

Liuk perahu,
tamasya kesedihan dari bibir dermagamu,
kubawa pantai yang menangis.

pantai yang melahirkanmu
pada tiap batas dan seringai ingatan
(sepudi, halaman 117)

Realitas ini semakin menjadi, ketika otonomi dijdiikan sebagai harapan baru dalam pemenuhan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Justru, otonomi telah menciptakan penguasa-pengusa baru yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di berbagai tempat. Eksploitasi penguasa mengakibatkan lahirnya wilayah-wilayah yang telah kehilangan keutuhan ekosistem sosial dan ekonominya. Di saat swalayan dan berbagai waralaba menyerbu sampai ke pelosok daerah. Indomaret, Alfamart, adalah dua bentuk pertokoan yang telah membunuh toko kelontong di kampung-kampung. Pembunuhan yang kemudian mematikan komunikasi sosial di antara penjual dan pembeli. Berganti hubungan ekonomis yang statis,tanpa ikatan hubungan emosional dan sosial.

Tegur sapa menjadi hampa,sunyi sebatas memenuhiinstruksi tanpa ada kontak nurani,sehingga tak meninggalkan kesan apa-apa selain pesan,suruhan,atau intimidasi. Dalam berondong kekerasan dna intimidasi komunikasi ini, semua menjadi sunyi sehingga ada sesutau yang tak keluar, sesuatu yang tak sampai kepada komunikasi yang sesungguhnya. Dalamkemurungan yang sunyi dan luka hanya mampu berteriak, ahimsa, ahimsa, ahimsa. Teriakan yang mungkin akan dikalahkan oleh laju perekonomian yang menekan ke dalam rumah tangga, bahkan kepada setiap manusiayang tanpa disadari untuk memborong barang-barang yang dibutuhkannya. Suruhan memaksanya untuk membelimakanan bukan untuk memenuhi rasa lapar,tetapi untuk memenuhi sebuah gaya hidup bahwa kita mampu dan ada dalam kehidupan saat ini. Sebagaimana juga puisi-puisi Timur yang tidak larut ke masa lalu.

diluar, gerimis masih giris, beranda ini ingin
menyaksikan mereka pulang dan bercakap lagi bercakap bersama.
Menyeka debu di sekujur kenangan, tembok,
meja bambu, sofa, vas bunga dan asbak kayu.
sungguh beranda ini ingin …

di luar di antara gerimis,
tiba-tiba gerimis seperti menemukan sesuatu
dan berteriak,
”ahimsa, ahimsa,dimana lelaki itu!”
(biografi dari beranda sine, halaman 41-42)

Kekerasan dan kepedihan yang memberi nafas dalam puisi-puisi Timur, kondisi yang mendorongnya meninggalkan masa lalu dan meyakini serta menekuni kekinian sebagai sesuatu yang pasti dan harus dihadapi.Sehingga kalau pun Timur menyebut Sumenep, Bukek, Bangkalan dalam puisinya bukanlah sebuah kenangan akan masalalu yang patut dikenang tetapi adalah kekinian yang luput dari perhatian. Bukan untukdikenang tetapi dilakukan perubahan.

“puisi diberi napas seratus ribu nama sedih,”
ucapmu menyalakan kembali seluruh lampion
di setapak panjang masa lalu yang murung. 
(mengingat gerimis,halaman 85)


Barangkali pula,karenanya Timur tidak mau mengagungkan masa lalu karena realitas porakporanda yang ditemuinya, dia hanya yakin dengan cinta semuanya akan berubah. Cinta yang akan memberinya makna tentang hidup yang sesungguhnya.

mencintaimu,
sungguh berarti membuat perhitungan dengan waktu.
di bibirmu yang tak sepi itu, orang-orang membuka
riwayat tentang garis nasib yang keras.

dari jejak panjang  tapak-tapak kaki yang coklat.
disebab karang dan bau tajam di jalan,demikianlah
kami pahami tentang hidup 

{kamal, halaman 46}

Memasuki puisi-puisi Timur secara genetis merupakan puisi-puisi yang memisahkan diri dari masa lalu (tradisi) sepetinya menemukan sebuah mutasi dari sebuah tradisi. Perubahan akan tradisi yang semula dianggap agung menjadi sesuatu yang tak berdaya menghadapi persoalan-persoalan kekinian yang keras, menekan, dan tak memberinya ruang untuk bergerak selain dengan perlawanan.
5
Selamat Jalan
Maka, membaca dua buku himpunan puisi ‘Kembang Pitutur” dan “Opus 154”  kita akan menemukan genetika dua penyair yang berbeda. “Kembang Pitutur”sebagai puisi yang menghibrid budaya tradisi dalam penafsiran yang lebih terbukadalam pertemuannya dengan lingkungan diluarnya. Sedangkan dalam “Opus 154” merupakan sebuah mutasigenetis yang meninggalkan tardisi memasuki wilayah baru,permasalahan keninian yang kongkret, dan menekan. Perbedaan wilayah pijakan dan pengucapan menjadikannya sebagai dua sisi mata uang yang bisa saling melengkapi dan mewarnai khazanah pembacaan yang kita lakukan khususnya mengenai perkembangan peprpuisian di tanah Madura. Lebih spesifik adalah tipikal puisi dan kepenyairan yang berasal dari wilayah Sampang dan Bangkalan melengakapi pertumbuhan puisi yang selama ini selalu bermuara dari ujung timur pulau Madura.
--------------------------------------------------------------
*Disampaikan pada acara “Bedah Antologi Dua Penyair” Pekan Seni Budaya Madura IV 2012 di Graha Kemahasiswaan STKIP PGRI Sumenep-  Rabu, 20 Juni 2012.

** Penulis adalah guru biologi kelahiran desa omben- Sampang. Saat ini menekuni dunia menulis dan tertarik menjelajahi Kamera Lubang Jarum.
*****