Translate

Senin, 31 Oktober 2011

Praktikum: Bermain-main dengan Persoalan Biologi

oleh: Hidayat Raharja
Kegiatan praktikum adalah sebuah pengalaman konkret untuk menguatkan konsep sehingga bersifat menetap dalam diri siswa. Melalui praktikum siswa merencanakan, melakukan atau mempraktikkan konsep sebagai pengalaman empiris yang akan melekat dalam ingatannya sepanjang hayat. Dr. Avernon Amagnensen (De Porter, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar; 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Kegiatan praktikum menurut Amagnensen merupakan penguatan dalam belajar yang persentasenya 90 %. Suatu temuan yang menekankan betapa pentingnya kegiatan praktikum untuk meberikan pengalaman bagi anak. Penguatan konsep yang akan mengurangi verbalitas dalam pelajaran biologi.
Praktikum biologi merupakan suatu hal yang menarik, karena biologi senantiasa berhubungan dengan makhluk hidup dan kehidupannya. Praktik yang akan memberikan berbagai kemungkinan bagi siswa untuk melakukan eksplorasi, sebagaimana dinamika yang dialami makhluk hidup yang dijadikan sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Kegiatan membuat rancangan praktikum adalah sebuah upaya yang mengesplorasi berbagai kemampuan siswa, kognitif dan psikomotorik, serta kreativitas. Siswa diminta untuk memanfaatkan ketersediaan yang ada dalam lingkungan sekitar sebagai potensi yang dapat menguatkan pengalaman belajar mereka. Aktivitas yang akan memancing seluruh aspek kecerdasan siswa dalam merancang, memilih alat dan bahan sesuai dengan ketersediaan yang ada serta bekerjasama dalam kelompok untuk mengembang tanggungjawab yang diberikan.
Perkembangan industri dan teknologi informasi telah meberikan produk dan poengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber persoalan-persoalan baru yang menarik dan menjadi sumber eksplorasi dalam arti “Permainan / main-main” untuk mengungkap keingintahuan siswa terhadap produk baru (instant) terhadap makhluk hidup. Aneka jenis minuman kemasan dan minuman energi yang ditawarkan oleh berbagai produsen atau industri menjadi sumber persoalan dalam praktikum pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tanaman. Persoalan yang dikaitkan dengan kandungan bahan yang tertera dalam kemasan, di antaranya kandungan ion yang dapat menggantikan ion tubuh. Dapatkah menggantikan kebutuhan mineral tumbuhan selama masa pertumbuhannya. Ide persoalan yang muncul dari pengalaman siswa di lingkungannya yang dikaitkan dengan pengalaman belajar (biologi) yang ditempuhnya.
Aneka jenis cairan yang ada dalam kehidupan kita; air zamzam, air sumur, air garam, air laut, air kapur, cuka, bahan larutan yang dijadikan alat uji pengaruh terhadap pertumbuhan biji kacang hijau. Sebuah keberanian yang untk mengembangkan lebih luas pengaruh air terhadap pertumbuhan. Pemanfaatan kandungan asam-basa dan garam bagi pertumbuhan tumbuhan.
Juga ketika air yang dianggap sebagai media pengantar informasi dan telah dibuktikan oleh Masaru Emoto, ternyata juga dapat menyampaikan pesan “baik” terhadap petumbuhan. Bacaan doa yang disampaikan dalam tetesan air, berpengaruh terhadap pertumbuhan biji kacang hijau.
Ada kemungkinan - kemungkinan yang meniscaya, ketika kebebasan berpikir kreatif diterapkan dalam kegiatan praktikum ini. Sebuah temuan-temuan yang menguatkan pada pengalaman belajar sebelumnya. Ketika kertas, sterofom, kain, pasir, tanah, lempung, kerikil, kompos, dan serabut dijadikan sebagai media tanam, mereka menemukan pertumbuhan akar menembus sterofom dan selalu bergerak menuju ke sumber air.
Sebuah pengalaman berharga bagi pengampu mata pelajaran biologi untuk memberikan kesempatan bagi siswa melakukan eksplorasi terhadap pengetahuannya untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru secara konseptual dan secara empiris. Siswa bisa belajar dari kesalahan-kesalahannya untuk emenemukan kebenaran baru, dan menguatkan rasa keingintahuannya dengan pengalaman atau temuan baru yang didapatkannya. Penugasan semacam ini dilandasi oleh pemikiran bahwa ada potensi kreatif dari siswa yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu, mencoba tantangan baru, dan mencoba sesuatu yang kadang dianggap sebagai tabu.

Maka, tidak berlebihan jika kumpulan rancangan dan laporan parktikum biologi mengenai :
“ Pengaruh Faktor Luar Terhadap Pertumbuhan” yang dilakukan siswa kelas XII IIA 1 sampai dengan IIA 4 RSMA BI Negeri 1 Sumenep sebagai bentuk apresiasi terhadap pengalaman dan kreativitas iswa yang kadang tak terduga. Pengalaman yang kadang terasa melompat dan menjadikan guru sebagai pembimbing dan siswa sebagai pembelajar sebagai sosok manusia yang unik, berbeda, dan bisa saling melengkapi.
Sumenep, Agustus 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

Riwayat Tuan Hai

oleh:Hidayat Raharja


Seorang guru,
adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya
yang banyak mencari tahu


Tuan Hai bekerja sebagai seorang guru. Guru di sekolah menengah di kota kecil. Pekerjaan guru yang dilakukannya semenjak dua puluh tahun yang lalu. Guru yang mengandung banyak cita-cita dan harapan. Cita –cita untuk menjadikan murid-muridnya berprestasi. Tak ada pikiran lain dari Tuan Hai saat berdiri di depan kelas atau berhadapan dengan murid-muridnya, kecuali memberikan kemudahan supaya murid-muridnya mudah menerima materi pelajaran yang disampaikan. Setiap kali menganalisis hasil ulangan murid-muridnya untuk pelajaran yang dampukannya, dia tidak selalu memvonis muridnya tidak bisa. Bodoh. Malas, dan semacamnya. Tetapi yang dilakukan Tuan Hai adalah mencari tahu sebab, muridnya tidak mencapai ketuntasan belajar.
“Anak-anakku belajar Biologi itu jangan dihafal, tetapi dipahami. Kalau kau menghafal takkan pernah mampu menghafal. Betapa luas kehidupan ini. Kehidupan yang luas takkan mampu kau hafalkan,” terang Tuan Hai di depan kelas di suatu waktu.
“Biologi itu banyak bahasa latinnya, Pak?!”
“Ya, tetapi tidak untuk dihafal. Tetapi dipahami. kalau kehidupan kita di bumi terdapat hamparan bumi yang luas, bukit-bukit, dan ngarai, sungai dan lautan. Demikian juga tubuh kita. Sebuah jazirah yang merangkum jagad raya. “
“Pak Guru, aku tidak suka pelajaran biologi. Kalau diistilahkan salah makan, aku telah slah makan sejak awal. Guru biologiku waktu itu mengharuskan aku menghafal aneka konsep dan bahasa latin. Aku jenuh dan tidak melihat biologi ada manfaatnya bagi kehidupan!” potong Sarwa sengit saat Tuan Hai memberikan motivasi di depan kelas.
“Sarwa, manfaat itu akan kita peroleh jika kita memanfaatkannya. Jika kau mempelajarinya dengan rasa dongkol. Kau hanya akan memperoleh kecapaian. Takkan ada yang bisa kau sesap dalam dirimu. Ilmu bisa diperoleh jika dipelajari dengan perasaan cinta dan tulus. Seperti kau mencintai kekasihmu, dan seperti kau mencintai diri kamu sendiri.”
“Dari mana aku harus mulai mencintai, sementara dalam sisi hati kami, yang sering aku rekam adalah ganjaran hukuman berdiri di depan kelas, karena aku tak mengerjakan tugas. Telingaku dijewer karena aku salah menjawab pertanyaan.”
“Kalau aku, dulu waktu di SMP, nilaiku akan bagus jika aku mengikuti les / pelajaran tambahan pada ibu guru. Tentu dengan iuran sejumlah tertentu, haahaa...!!!” celoteh Mardan di sudut selatan ruangan kelas.
Tuan Hai hanya tersenyum. Dia belajar memahami apa yang dialami dan dirasakan anak-anaknya. Sebuah dunia baru yang harus dia masuki, dengan persoalan yang bervariasi. Setiap anak dengan keunikannya sendiri. Latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda. Namun, di sinilah sebenarnya Tuan Hai merasakan nikmatnya mengajar dan menekuni dunia pendidikan. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kelapangan dada, keterbukaan hati, untuk menenun kembali pengalaman kusut yang ada dalam bentangan pikiran murid-muridnya.
“Apakah bapak mencintai Biologi?! Celetuk Habsiyah yang duduk di depan meja guru.
Tuan Hai tersenyum. Dipandanginya seluruh ruangan kelas. Wajah-wajah yang menanti jawaban jujur dari Bapak Guru. “Semula aku tak mencintainya. Karena aku mendapatkan pengalaman yang kurang bahagia. Aku mendapatkan pengalaman belajar yang lebih buruk dari kau di sekolah sebelumnya. Aku mnendapatkan pengalaman tidak seperti yang aku inginkan. Saat pelajaran Biologi, ketika aku masih seusia kau dan ada di bangku SMA. Guruku sibuk ngajar di beberapa sekolah, karena dia sebagai guru honorer di sekolahku. Saat pelajaran biologi aku disuruh mecatat selama dua jam pelajaran dengan metode CBSA (C atat Buku Sampai Abis)...” belum tuntas penjelasan Tuan Hai tawa murid-murid dalam ruangan jadi meledak.
“Sama pak dengan guru saya di SMP”
“Aku juga...!! Aku Juga...!!! Aku juga” mereka bersahutan bersetuju dengan pengalaman buruk Tuan Hai.
“Maka, ketika aku menjadi guru biologi, aku takkan mengulangi kesalahan yang sama. Kalau aku mengajar sama dengan guruku berarti aku tak menemukan kebaruan. Berarti aku dalam kerugian. Aku ingin menjadi Tuan Hai yang berbeda dengan gruu-gurunya di masa silam.”
Ada harapan yang menggembirakan dari pancaran muka seluruh penghuni kelas. Mereka menunggu apa yang dikatakan Tuan Hai berbeda dengan guru-gurunya di masa lampau. Hari ini tak ada pelajaran biologi. Dua jam tatap muka digunakan Tuan Hai untuk mengenali anak-anaknya dan memberikan motivasi belajar.
Sesampai di rumah perasaan Tuan Hai kian galau. Betapa menyesal Dia menjadi guru di saat sekarang. Di saat yang menurut dirinya tidak tepat. Saat guru dijadikan sebuah profesi hanya sebagai transfer pengetahuan dan jual beli pengetahuan. Untuk menambah pengetahuannya pada guru yang dianggapnya sebagai pengganti orangtua di rumah, siswa harus memabayar uang tambahan pelajaran. Apa yang salah dalam dirinya, ketika dianggap asing karena tidak memungut tambahan biaya untuk tambahan jam pelajaran. Aku hanya mencintai anak-nakku. Anak yang kelak akan meneruskan peradaban bangsa ini. Kelak, yang akan meneruskan perkembangan pengetahuan. Kadang dirinya merasa risih saat berada dalam ruang guru. Risih, karena pembicaraan di ruang itu lebih banyak mengarah pada pembicaraan materi. Beli motor baru. Ganti beli mobil, rehap rumah, dan menawarkan aneka model pakaian wanita. Sungguh menyesal perasaan Tuan Hai, kenapa tidak ditakdirkan menjadi guru yang kaya. Saat galau sepagi itu, dia kan terulang kembali pada pesan ayahnya. Pesan yang mengingatkannya untuk senantiasa menjadi guru. Guru yang baik. Guru yang mengusai keilmuannya. Guru yang mengerti perasaan anak-didiknya. Guru yang mampu membangkitkan semangat anak didiknya. Guru yang mampu membuat anak didiknya berprestasi, menemukan dirinya dan bangga dengan negeri dan bangsanya.
Ataukah ayahku yang tidak waras. Tetapi galauan itu justru tergiring ke masa lampau. Masa, di saat dirinya menjadi murid Sekolah Dasar. Sekolah yang kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri. Sekolah yang ada di bawah bukit. Terbayang dalam batok kepala Tuan Hai ayahnya seorang guru sekolah dasar, bersusah payah membangun kepercayaan masyarakat utnuk menyekolahkan anak-anaknya. Perjuangan untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan. Supaya anak-anak di susun itu mengenyam pendidikan, sehingga hidupnya lebih maju. Hanya dengan pendidikan seorang bisa lebih mulia. Tuan Hai ingat betul, bagaimana ayahnya bersusah payah bersama-dengan guru-guru inpres untuk membina anak-anak berbakat supaya potensinya menjadi prestasi. Tidak dipungkiri kalau kemudian siswa-siswa di sekolah itu berprestasi mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi. Sekolah yang ada di bawah bukit itu, akhirnya disegani sekolah-sekolah di kota. Setiap lulkusan Sekolah Dasar itu, selalu dianggap anak pintar.
“ Situasi dan kondisinya, berbeda!” batin Tuan Hai sambil memeriksa kiriman tugas dari siswa siswinya yang dikirim lewat email.
“Meski berbeda, semangat dan niatnya tidak boleh berkurang’ bisik hati kanannya yang berdetakan tak menentu. Sambil membaca tugas yang dikirimkan murid-muridnya. Tiba-tiba matanya tertikam oleh sebuah tulisan pembuka dari salah seorang muridnya. Kalimat yang pendek, namun merupakan suara hatinya yang galau. Dia tidak akan melupakan sikap kritis yang telah disampaikan anak-anaknya. Keinginan murid-muridnya untuk belajar biologi yang menyenangkan, yang meudah utnuk diterima dan disimpan, pembelajaran yang berdasar kepada pengalaman. Ya, permintaan yang dituliskan anak-anaknya, ketika ditawarkan pelajaran biologi macam apa yang diinginkan.
***
“Kalau tubuh kita umpama negara, maka seldarah putih kita laksana tentara!” pagi itu Tuan hai membuka pelajaran di kelas XI IPA,” tak jauh bedan antara tubuh kita dengan negara. Maka setiap penyusun tubuh tak ubahnya adalah bagian-bagian yang menyusun negara.” Kelas pun gaduh, karena anak-anak di kelas itu baru mengenal perumpamaan-perumpamaan biologi yang dikaitkan dengan tubuh manusia. Tubuh yang diusung oleh anak-anak dalam ruangan itu.
“Nah, pagi ini kita akan mempelajari mengenai sel penyusun tubuh makhluk hidup, termasuk tubuh manusia. Hal yang sangat menarik, karena sel tubuh ini tak ubahnya adalah bagian yang menyusun dalam negara kita. Kalau dalam negeri kita ada sebuah kota, maka sel sangat tepat untuk diumpamakan sebagai kota kecil yang kesibukannya bersalngsung selama dua puluh empat jam. Di dalam sel itu ada lalulintas transportasi yang mengangkut bahan makanan ke baaain-bagian sel laksana transportasi kota yang sibuk mengantarkan berbagai kebutuhan ke berbagai tempat.” Anak-anak kembali gaduh mereka mulai mengungkit kembali pengalaman-pengalamannya untuk dihubungkan dengan sel.
“Anakku, kalian bisa membayangkan apa saja berdasarkan pengalaman kamu yang mirip dengan struktur dan fungsi sebuah sel.”
“Lidia, apa bayangan yang muncul dalam benakmu?” tanya Tuan Hai pada Lidia yang duduk di deret tiga paling depan.
“Pak, aku membayangkan selapuy sel seperti lumpia.”
“Lumpia?!” Tuan Hai kaget memicingkan matanya,”Oke, jelaskan anakku.”
“Lumpia kalau digigit secara melintang akan tampak bagian kulitnya yang kecoklatan, sebagai lapisan protein pada sebuah sel dan bagian tengahnya yang berisi mihun adalah lapisan lemak.”
“Bagus, kenanglah selalu Lumpia sebagai struktur membran sel dalam ingatanmu. Sepanjang kamu masih ingat kenikmatan mengkonsumsi Lumpia, sepanjang itu pula kau akan memahami struktur sel.”sela Tuan Hai sambil mengangkat dua jempolnya, memuji perumpamaan yang disampaikan Lidia.
‘Iphe!”
“Aku bayangkan sel itu seumpama Mie Kuah Spesial.”
Suara kelas gaduh, karena semua tahu Iphe adalah penggemar Mie Kuah Spesial, semangkuk mie kuah dengan pentolan bakso besar mengeram di tengahnya. Mie spesial yang biasa dijual di kantin sekolah dengan kocokan saus tomat yang merah dan seperti genangan darah.
“Coba uraikan anakku,” pinta Tuan Hai
“Kuah yang kemerahan aku umpamakan cairan sel, cairan sitoplasma yang didalamnya banyak organel-organel sel yang membangun kehidupan. Pentol bakso yang besar ada dalam mangkuk, adalah inti sel. Bibir mangkuk adalah membran sel yang menjadi wadah atau batas sel. Aku bayangkan pentol kecil yang bertabur adalah organel-organel sel yang menyusun kehidupan.”
Tepuk tangan gaduh memenuhi ruangan. Tanpa diminata beberapa anak mengacungkan jari telunjuk minta diberi waktu untuk menjelaskan perumpamaan sel yang telah dibangunnya. Kelas menjadi hidup dan riuh. Tuan Hai tersenyum menemani anak-anaknya bercerita mengenai sel. Satu persatu mereka memngungkapkan pengalamannya. Tak ada rasa takut dan rasa salah dari mereka, karena mereka mengungkapkan pengalamannya sendiri. Betapa banyak pengalaman yang terungkap. Jupi mengungkapkan sebuah perumpamaan sel seperti sekolah Harry Potter, karena kebetulan dia keranjingan cerita Harry Potter. Samson mengumpamakan sel seperti gedung pernikahan karena dia menjadi anggota juru saji pada saat ada resepsi. Haris, mengutarakan sel seperti lapangan bola, dengan panjang lebar dijelaskannya, garis lingkaran di tengah –tengah lapangan merupakan inti selnya, pemain yang bertebar di tengah lapangan sebagai organel yang membangun sel.
Senyum mengembang di wajah Tuan Hai. Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan kelas. Dia puas dengan pertemuannya pagi itu. Anak-anaknya puas usai mengemukakan pemahamannya. Sebelum menutup pelajaran, seorang anak mengacungkan tangan, “Terimakasih, anakku. Pertemuan berikutnya kita ketemu di ruang laboratorium. Bawalah epidermis bawang merah dan gabus.” Tuan Hai menutup pelajaran dan meninggalkan ruangan.

Sumenep, April 2011