Translate

Rabu, 26 Agustus 2009

Reportoar Acethak Batho - Dewan Kesenian Sumenep


(Sebuah Refleksi Kematian WS Rendra dan Gugatan atas Kematian Birokrasi Kesenian)

Oleh : Hidayat Raharja

Bertepatan dengan tujuh hari wafatnya WS Rendra, pengurus Dewan Kesenian Sumenep menyelenggarakan acara doa dan refleksi yang diikuti oleh komunitas teater di kota Sumenep dan beberapa seniman di kota ini. Acara doa ini menjadi menarik karena acara yang berlangsung selama 3 hari ( 14 -16 Agustus 2009) diadakan di parkir Taman Kota.
Tidak kurang dari tujuh komunitas teater, masyarakat umum dan komunitas musik indie menyemarakkan acara ini.

Di pintu timur Taman Kota berdiri tegak dua pilar sebagai gerbang dari arah timur. Disitulah kain hitam disandangkan sebagai penanda ada kegiatan di depan pintu. Tak ada tulisan dan hanya seperangkat sound sederhana di tata di kiri kanan pilar, drum dan beberapa tong kosong bertuliskan pertamina dijadikan property pangngung. Arena pementasa ini berbaur dengan para pedagang kaki lima serta mengambil parkir tamu undangan yang menghadiri pesta pernikahan di Gedung Nasional Indomesia berjarak 10 meter dari tempat acara. Di depannya jalan raya dengan lalulalang kendaraan dan manusia yang hilir mudik ke taman. Sebuah kondisi yang seakan menentang kegaduhan dan keterasingan. Semua mata memandang curiga, karena memang tidak ada penanda atas kegiatan yang dilakukan. Aku sendiri tahu ada kegiatan, karena diundang oleh teman-teman DKS untuk ikut diskusi dalam acara bertajuk “Acethak Batho “ (Berkepala Batu, red) sekaligus untuk memperingati tujuh hari wafatnya WS Rendra.

Acara dibuka dengan doa bersama untuk mengenang jasa almarhum WS Rendra, dilanjutkan pertunjukan musik perkusi dengan alat berupa drum kosong bertuliskan pertamina dan satu set drum di belakang panggung. Sebuah harmoni yang mencoba mengungkai kekosongan dalam sebuah tabuhan perkusi yang menimhulkan bunyi gegap dan kadang mencekam. Harmoni yang mencoba meneguhkan kembali keberadaan setiap bunyi yang terdapat dalam benda-benda sekitar yang tak lagi diperdulikan. Kegegapan kaum muda dalam mereaksi perubahan yang tengah berlangsung. Saat kesenian hanya dijadikan sebagai alat dan pemuas kepentingan penguasa. Terutama dalam otonomi daerah kekuatan dan kekuasaan birokrasi kesenian dalam sebuah lembaga bernama “ Dinas Budaya dan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga” (Disbudparpora), lebih menekankan kepada kepentingan-kepentingan turistik semata tanpa memandang keniscayaan terhadap dinamika bekesenian kaum muda. Suara gaduh drum yang kadang tertelan keramaian dan hiruk pikuk taman sesekali berdegum memekaki keramaian dan mencomot perhatian orang-orang sekitar taman untuk berkumpul dan menyaksikannya.

Sebuah harmoni yang mencoba menggugat keramaian taman dan lalu lalang orang-orang di seputar taman. Tak jauh dari lokasi gedung nasional Indonesia merupakan gedung persewaan untuk hajatan umum, biasanya digunakan untuk resepsi pengantin. Semakin mengesampingkan hiruk pikuk kesenian yang berkembang secara dinamis dan sporadis tanpa pernah memiliki wadah atau gedung untuk mengungkapkan ekspresi mereka. Celakanya kesenian hanya dipandang oleh mereka yang bernama kekuasaan sebagai aset yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi secara cepat. Maka, upaya-upaya eksplorasi untuk mereaksi dan merefkleksi perubahan-perubahan kebudayaan pasca berfungsinya jembatan Suramadu yang dilakukan kaum muda hanya dipandang sebelah mata. Aktivitas mereka tak pernah didukung secara finansial oleh dinas budaya dan pariwisata, sehingga mereka sepertinya menggugat kembali keberadaan kesenian di tengah masyarakatnya. Bahwa kesenian hadir dan muncul sebagai dinamika peradaban masyarakatnya. Tidak berlebihan jika kemudian mereka mengambil tempat di taman kota Sumenep untuk melakukan refleksi dan ekspresi berkesenian yang bebas, sebagaimana bebasnya manusia berlalu lalang di taman. Mereka yang mencoba menghirup udara segar, sekedar melepaskan kesumpekan dan atau mereka yang tengah merajut janji bertemu kekasihnya.

Musikalisasi Puisi oleh Fauzi and his gang cukup menarik, karena diiringi dengan tetabuhan drum kosong , memekak dan vokalnya kadang serak dan pecah seperti menyobek gendang telinga. Pembacaan yang sepertinya mau meretakpecahkan benda keras yang menghadang .Suara yang sepertinya menghantam dinding tebal kekuasaaan. Lengkingan suara yang melengkung memuntir pendengaran dan seakan menyamai keramaiaan lalulalang kendaraan bermotor di sekeliling taman. Suara yang berbaur dengan kereta kelinci yang tengah mengangkut anak-anak balita dan ibu muda mengelilingi taman bersilang segkarut dengan suara nyanyian kanak-kanak dari sound permainan odong-odong. Situasi yang meminta setiap penikmat dan pendengar di taman ini harus memiliki kekebalan bunyi, sehingga bisa bersaing dan merebut kebisingan bunyi yang saling bertabrakan di sekelilingnya.

Refleksi meninggalnya WS Rendra, menjadi sebuah momentum untuk menggali dan membangun spirit berkesenian yang selalu dipandang sebelah mata. Sebuah aktivitas yang dianggap tak memberikan ekses ekonomi dan bahkan dianggap mengganggu karena aktivitasnya kadang mengkritisi terhadap kebijakan pembangunan dan politik penguasa. Tak jauh berbeda dengan pertunjukan yang ditampilkan oleh komunitas teater Kates dan Pelangi dengan dramatisasi puisi yang mencekam. Acara malam pertama itu diakhiri dengan “Adhon Jandhon Budaya” sebuah diskusi kebudayaan dengan menggali dan mengmabil spirit yang telah dibangun Rendra dalam berkesenian di Indonesia. Pada acara tersebut dipandu oleh Fauzi dengan Pembicara Hidayat Raharja , Turmedzi Jaka (Ketua Umum Dewan Kesenian Sumenep), dan Syah Latief (Manajer Program DKS).

Menurut Hidayat Raharja dalam diskusi tersebut menuturkan bahwa, “terlalu banyak untuk menggali spirit yang telah ditinggalkan Rendra dalam membangun peradaban bangsa ini. Namun kita harus terus bergerak melakukan yang terbaik untuk bangsa ini. Menjadi diri kita yang berguna, dan yakin bahwa setiap jaman akan melahirkan anak jamannya yang memberikan kontribusi terhadap peradaban masyarakat dan bangsanya”. Sementara Syah Latief menuturkan bahwa yang bisa digali dari spirit yang dibangun Rendra bahwa untuk memajukan kesenian di kota ini diperlukan orang-orang maniak terhadap kesenian. Dibutuhkan mereka yang memiliki perhatian penuh baik secara ideologis maupun praksis dalam berkesenian. Sebuah maniak yang juga telah ditunjukkjan oleh Rendra bersetia dalam berkesenian. Militansi dari setiap pelaku kesenian amat dibutuhkan, karena hanya dengan kesungguhan yang sungguh-sungguh maka kesenian akan berkembang dan maju.

Namun dari sisi strtegi berkesenian Turmedzi Jaka lebih menekankan kepada keterlibatan dengan komunitas-komunitas yang ada di wilayah Sumenep. Kita tidak bisa bergantung kepada birokrasi karena pada kenyataannya birokrasi terlalu rumit dan rigid, sementara kesenian merupakan sebuah wilayah yang fleksibel dan senantiasa bergerak secara dinamis. “Tidak ada salahnya walau kita tak memiliki gedung kesenian taman kota ini menjadi alternatif pementasan, sekalian mendekat kepada pedagang kakilima dan para pejalan serta keramaian.”


***


Pada malam kedua, acara semakin menarik dengan pembacaan puisi yang dibacakan oleh mahendra. Puisi “Achetak Bato” sebuah ketahanan membaca yang menabrak kelaziman dan keramaian. Disini suara berbaur gerak tubuh dan lengkingan suara tong kosong yang ditabuh secara rancak dan kadang-kadang meliar tak terduga. Keliaran ini semakin mencekam dengan reportoar tari “ Kucing Dalam Sarung” oleh Susan Cs. Arena dibuka dengan dua orang lelaki yang membawa kursi plastik dicorongkan tepat di wajahnya. Mereka kemudian meletakkan kursi tepat di tengah arena dan duduk. Dua wanita dengan gerakan tubuh yang semula gemulai dan makin lama kian meliarkan musik yang dimainkan Mahendra dengan lengking terompet yang terasa tertindas berontak seiring dengan hentakan suara perkusi melamban dan suara gagu yang mengigau seperti ada ketertekanan. Perlawan yang beradu dengan kecekatan tubuh penari yang kian meliar. Gerakan-gerakan laksana kucing liar yang tengah mengaung, karena terhalangi hasrta seksualnya yang tengah menggila.

Cukup menarik pula karena dimalam kedua ini banyak anggota masyarakat yang terlibat ke dalam arena, mereka membacakan puisi, berrefleksi dan mengomentari acara berbaur dengan keramaian taman dan para pedagang kaki lima. Pertarungan malam itu makin sengit karena di seberang jalan Gedung GNI melaksanakan resepsi hajatan pengantin. 50 meter dari arena gedung Disbudparpora tengah dilaksnakan panggung pertunjukan yang megah dan mewah untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah kontras antara lembaga Dewan Kesenian Sumenep yang sekarat mencari dana pementasan dan Disbudparpora dengan panggung megah menyelenggrakan pentas musik dan hiburan.

Acara malam kedua ditutup dengan pertunjukan musik perkusi yang dipimpim Turmedzi Jaka dengan komposisi “Harmoni” secara ritmis mereka memainkan musik dengan menabuh tong minyak pelumas diringi tiupan terompet oleh Mahendra. Harmoni yang muncul dari suara-suara tong kosong tak berguna, sesekali suara menggelinding seakan menyeret persoalan kehidupan yang kian berderit, tong jatuh seperti mengisyaratkan bom yang siap meledak sesekali waktu di tempat tak tentu, dan lengkingan suara gagu Mahendra yang menegaskan kegaguan kita. Kegaguan kesenian yang kian jauh dan tercerabut dari persoalan-persoalan masyarakatnya
***
Di Hari ketiga acara dimulai sejak pagi dengan pertunjukan musik indie oleh anak-anak muda kota Sumenep dan di malam hari acara ditutup dengan pementasan musik Adz- Dzikir pimpinan Turmedi Jaka. Sebuah akhir pertunjukan yang menegaskan sebuah perjuangan dengan memakai cethak batho - kepala batu untuk tidak peduli terhadap keterbatasan baik tempat, alat, maupun finansial. Hal ini diperkuat hadirnya musik Adz- Dzikir, kelompok musik yang mulanya adalah sebuah keinginan dan kreativitas dengan peralatan seadanya dan selanjutnya berkembang ke dalam wilayah kreatif dan tetap menjaga jarak dengan industri sehingga mampu mengawal kebebasan kreativitas yang mereka bangun. Demikian pula hasrat dan keinginan para pengurus Dewan Kesenian Sumenep mencoba menyiasati keterbatasan-keterbatsan dalam sebuah wilayah kreatif dan mampu meledakkan ide-ide segar sembari memperingati tujuh hari kepulangan WS Rendra kerumah asala yang kekal; kematian.

Hidayat Raharja, penyair sumenep dan penikmat seni pertunjukan.

Rabu, 12 Agustus 2009

AGUSTUS: MEREKA YANG TELAH MEMERDEKAKAN AKU

oleh: Hidayat Raharja

Kalau bulan agustus tiba, aku selalu teringat masa-masa inidah menyongsong dan merayakan hari kemerdekaan. Pertama, aneka lomba yang diadakan di sekolah sejak awal agustus tiba; bola kasti, sepak bola, lari kelereng, lari bendera, memasukkan paku ke dalam botol, lomba bernyanyi, dan menggambar. Lomba antar sekolah; lari marathon 5 Km., lari estafet, bola volley, gerak jalan, dan yang paling mengasyikkan adalah KARNAVAL yang diselenggaraakan Panitia Kecamatan.

Karnaval; sebuah ikon pesta yang menguras seluruh energi penghuni sekolah, kepala sekolah, guru-guru,dan seluruh murid-muridnya. Di hari karnaval dilaksanakan , sepanjang jalan raya menuju ke lapangan di samping kantor kecamatan berdiri ribuan anak manusia laki dan perempuan, tua, muda, anak-anak dan remaja. Mereka berbaris di panas matahari untuk menyaksikan karnaval yang diadakan sekali dalam setahun.

Bila mengingat karnaval yang dilaksanakan waktu itu, maka aku takkan pernah melupakan guru-guruku yang kreatif, penuh dedikasi dengan pengabdiannya yang tulus. Benar, mereka amat tulus karena dari kantong mereka keluar duit untuk mensukseskan jalannya karnaval. Bapak JUwairi, Sudarmono, di rumah kontrakannya mengajak seluruh teman-temanku berdandan ala pejuang rakyat dengan tu8buh berlepotan langes, bertelanjang dada dengan bamboo runcing di genggaman. Simbol yang mengungkai kembali perjuangan para pendiri Republik tercinta untuk tegaknya negara dan kedaulatan bangsa Indoensia.

Bapak Abdullah Fagi, ke[ala sekolah yang pintar menggambar, seringkali mengisi dinding kelas yang kosong dengan gamabr aneka situs budaya dan sejarah dengan warna black and white, serta kemampuannya membuat lagu lelucon yang selalu membuat suasana kelas menjadi riang. Bapak Mohamad Yahya, selalu berapiapi menyemanagati kami dalam pelajaran sejarah. Beliau sangat fasih menceritakan perjuangan Soekarno tokoh yang dikaguminya. Beliau yang memberikan arahan kepaa anak-anak bagaimana semangatnya para pejuang untuk melawan penindasan kaum colonial. Ia amat lihai menirukan pidato Soekarno yang membakar semangat kebangsaan. Sementara Bapak Abdul gaffer Gatot (Alamarhum) tanpa aku sadari, ia telah mengajariku kebebasan kreatif dalam menggambar, karena ia tak pernah menyalahkan gambar yang diekerjakan anak didiknya. Ia selalu menerima setiap kekurangan murid, dan menghargai setiap karya untuk diceritakan kepada teman-temannya. Bila bercerita pak Gaffar begitu kami panggil amat fasih menceritakan “ Sinbad Si Pelaut.”

Di hari menjelang karnaval agustusan, ibuku (almarhummah) sangat sibuk menyiapkan pakaian terbaik bauat aku dan adik-adikku. Begitu bermaknanya agustusan bagi keluarga dan teman teman kami. Di bulan itu kegiatan sekolah banyak difokuskan kepada menyongsong pereayaan, sehingga setiap hari adalah hal yang menyenangkan. Ibuku akan menyiapkan baju yang paling rapid a n paling bersih. Pakaian itu akan dipakai untuk mengikuti upacara bendera 17 agustus di lapangan kecamatan. Waktu itu sekolahku belum meiliki seragam. Jadi pada upacara tujuh belasan diwajibkan mengenakan pakaian bersih, rapi, dan bagus dengan memakai sepatu kalau memilikinya, dan boleh pakai sandal japit bagi yang tak memiliki sepatu.

Di pagi ghari jam menunjukan pukul 06.30 kami telah siap berbaris di hlaman depan sekolah. Kamia menyiapkan diri sambil menunggu teman yang terlambat dating. Barisan disusun per kelas, mulai dari kelas empat sampai dengan kelas enam. Tiga bariusan akan berjalan kaki menempuh jarak 2 km untuk mengikuti upacara. Tak ada rasa lelah, semua semangat. Hari itu kami akan merayakan tujuhbbelas agustus. Kami berangkat dan berbaris rapi di sepanjang jalan, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Di saku baju dan celana telah disipakan uang pecahan untuk dibelikan makan dan minum setelah upacara usai. Kami seperti mendapat penghargaan sepanjang jalan orang-orang yang lewat berhenti sejenak menyaksikan kami yang berjalan menuju lapangan upacara, ada sapa, terbit senyum di wajah mereka seakan kepada kami mereka menitipkan masa depan bangsa. Sesekali terdengar dari mereka doa yang tulus mendoakan kami kelak menjadi orang sukses.

Saat upacara dilangsungkan, semua dalam keadaan hikmat mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Ada rasa bangga di dada. Hari itu kami melaksanakan upacara dengan inspektur upacara Bapak Camat dan Komandanya bapak Komandan Koramil dan Asistennya Bapak Kapolsek. Kami membayangkan ikut upacara di istana. Di hario itu semua menjadi satu meski pakaian yang dienakan beragam namun kami seragam dalam memahami kebangsaan. Indonesia.

Upacara selesai, kami berlarian mengusap keringat yang mengucur dari dahi dan menyerbu penjual makanan dan minuman. Kami habiskan seluruh lapar dan haus dengan uang pecahan yang telah kami siapkan dari rumah. Suara ramai dan gaduh karena seluruh perutusan siswa dari tiap sekolah sekecamatan berkumpul merayakan kemerdekaan.
*****
Betapa besar pengorbanan orangtua kami, membesakan kami dari kebodohan dan menyekolahkan kami untuk dibimbing belajar dan menitipkan kami di langgar untuk dibimbing mengaji. Doa tulus buat Ibu, ramanda tercinta (aku takkan pernah mampu membalas jasa dan pengorbanan ramah dan ibu) dan guru-guruku yang tulus memerdekakan kami untuk memilih dan mengembangkan pengetahuan. Doa tak putus buat mbah Hadiah, Mbah Fudloli, nom Zali ( semoga amal kebajikan dan ilmunya yang bermanfaat selalu meringankan bebannya) yang telah membimbingku mengaji. Kepada Bapak Hadrawi (Almarhum) dan Ibu Nyai Hasiyah dua orang yang menambah pengetahuanku mengenal tuhan. Mereka telah memerdekakan aku, tuk mengenal dan belajar hidup dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan rasa tawakkal.
Merdeka……!!!!!!! (Agustus 2009)

Rabu, 05 Agustus 2009

JAWARA TOUR (5):KAMI BERNYANYI DAN MENARI


PULANG dari taman Monas, rombongan melanjutkan kunjungan ke rumah Bapak Mh. Said Abdullah. Kunjungan ini merupakan rencana sejak mula, karena kedatangan kami ke Jakarta juga atas support Bapak Said Abdullah. Bahkan penginapan dan makan di asrama haji Pondok Gede adalah bantuannya. Malam itu dengan wajah kuyu karena sudah capai, dan baju penuh keringat terasa lengket di badan. Kalau kami harus kembali ke asrama dulu baru menuju ke rumah pak Said, pasti dihadang kemacetan. Maka, diputuskan dari monas tanpa bersih-bersih badan dan ganti pakaian langsung meluncur ke kediaman pak Said Abdullah.

Perjalanan yang mengasyikkan melewai jalan-jalan kapiler di kampung-kampung padat seperti merayap. Sesekali bus harus berhenti untuk berbelok karena jalan sempit. Bahkan kadang mundur untuk meluruskan haloan, dan terhindar dari kecelakaan. Dari jalanan yang berliku dan menanjak, menurun sampai pula kami ke kediaman Pak Said. Tanda-tanda sudah sampai memasuki jalan ke rumah Pak Said kami sduah ditunggu petugas kepolisian untuk dikawal sampai ke depan rumah.

Rumah yang tenag dengan halaman luas dan sejuk. Dua bus parkir di sisi rumah. Namun semua penumpang terkesima memasuki teras rumah yang luas dan besar. “Ini rumah apa hotel?” bisik salah seorang teman. Rumah! Jawab salah seorang teman. Kami disambut dengan penuh persaudaran, lampu kamera berkerjapan memotret kami yang memasuki rumah. Wooww ruangan yang luas di ruangan telah tertata kursi dengan rapi dan di hadapan tersedia organ dan tiga orang penyanyi cuantik-cuantik. Kami disambut dengan ucapan selamat datang dan suguhan lagu yang mampu mengusap kelelahan kami. Acara dilanjutkan dengan sambutan tuan rumah yang menyatakan gembira dan sebagai ungkapan cinta terhadap para guru dan alamamater SMA 1 Sumenep. Sambutan dilanjutkan oleh kepala SMAN 1 Sumenep, dengan ucapan terimakasih telah menerima kami dengan senang hati. Di sela acara ibu Nana Nazibah memberikan kado kenangan kopiah yang dianyamnya sendiri terbuat dari benang warna merah menyala. Rupanya bu Nana paham bahwa orang dibri kenangan adalah tokoh PDI Perjuangan.

Lagu-lagu kembali mengalaun, beberapa orang diajak joget oleh penaynyai-penyanyi yang cantik. Pak Win dengan gaya khas menemani sang penyanyai berjoget. Dan yang lebih gawat jogetnya pak Udin, asyiiiikkk buanget. Maklumlah orang muda, lagi panas-panasnya.

Capek nyanyi-nyanyi dan jogedan, kami dipersilahan untuk menyantap hidangan yang telahg disediakan tuan rumah. Banyak sekali macamnya. Namun aku hanya memilih yang aku suka.

Usai makan-makan acara dilanjytkan dengan nyanyi dan jogedan. Kali ini yang didaulat bernyanyi adalah pak Sani, kepala sekolah. Ternyata beliaunya bisa juga nyanyi lagu lawas... aku lupa judulnya tapi syairnya yang gini,..”kau yang berjanji kau yang mengingkari...” Nyanyi yang mengasyikkan karena di depannya ibu Elly diseret untuk joged bersama menemani pak Sani. Bu sani bisa joged, dan ternyata banyak ibu-ibu yang tak lagi muda menemaninya berjoged.

Namun waktu terus bergerak, sehingga kami harus segera balik ke penginapan karena esok hari sebagian peserta menuju ke SMA 8 Jakarta, dan yang lain menuju Kebun Raya – Bogor dan dilanjutkan ke Taman Safari Indonesia di Cisarua.

Kami pamitan dan menghaturkan banyak terimakasih kepada Pak Said. Tgank’s pak said, moga tuhan membalas segala kebaikan yang bapak berikan. Selamat bertugas kembali di Senayan – semoag mampu menjalankan amanah yang diemban. Merdeka !!!

JAWARA TOUR (4):DI ATAS KERETA GANTUNG KE MONUMEN NASIONAL


Bising jalanan dan hiruk pikuk orang berbelanja membuat jakarta semakin sesak, dan membuatku merasa gerah dan harus segera berpindah dari kawasan ini. Pukul 13.30 setelah memeriksa semua penumpang, dan telah lengkap perjalanan merambat (karena memang busnya tua dan batuk-batuk segala) menuju tempat Wisata Taman Mini Indonesia Indah. Dari Tour Leader kami mendapat informasi bahwa rombongan akan diajak untuk melihat teater “Keong Emas”. Sebuah bioskop tiga dimensi. Namun di jam-jam siang seperti ini adalah jam-jam sibuk jalanan Jakarta; Macet dimana-mana! Sampai di pintu gerbang TMII sekitar pukul 14.30 antrian mobil memnajang meliuk-liuk bagai naga kalah tarung, lamban. Bahkan untuk mencario tempat parkir di sisi jalan sudah tak ada tempat. Kami semua sadar kalau hari ini adalah lburan umum akhir tahun pelajaran, semua ingin bervakanasi.

Dengan bersusah payah, akhirnya tour leader memutuskan untuk berhenti di tempat parkir dekat dengan loket kereta gantung. Semua penumpangtururn. Lega rasanya seperti terlepas dari tekanan berat dan menyesakkan. Namun tetap saja kami berada dalam kerumunan manusia yang bergerak ke berbgai arah. Sebagian rombongan berpencar dan ada yang emnuju ke teater keong emas. Lebih banyak lagi yang tak mau susah payah berjalan menuju ke loket terdekat; kereta gantung.

Empat tiket untuk aku, istri dan dua anakku. Aku pernah neik kereta gantung dulu tahun 1999, ketika aku menjadi pemenang lomba penulisan naskah kebudayaan daerah yang diselenggrakan Dirjen Kebuayaan RI – Depdiknas. Aku naik kereta gantung bersama dengan pak Anton guru bahasa indoensia SMA Santo Yosef Malang yangtengah mengantar siswanya di lomba diskusi pergaulan sosisal mewakili jawa timur.

Ternyata amat banyak yang berminat menaiki kereta gantung. Antrian mengular dan berbeleuk, ada empak kelokan antrian. Dengan sabar aku mengikuti antrian yang bergerak amat lamban. Hawa terasa semakin panas dan keringat mengucur dari dahiku. Anak-anak kecil mulai banyak yang menangis di tengah antrian, gerah. Di lantai dasar ada empat antrian dan untuk menaiki kereta, aku harus menaiki tangga. Aku bayangkan, setelah menaiki tangga langsung naik kereta.
Setelah menaiki tangga, ternyata antrian masih mengular, empat deret berbanjar antri untuk menuju pintu kereta, total hampir 2 jam aku berdiri untuk bisa menaiki kereta gantung.

Saat menaiki kereta gantung, debar jantung kian kencang membayangkan kalau kawat penggantungnya putus, namun lambat laun perasaan itu menghilang, karena dari atas ketinggian aku bisa menyapu pandangan ke seluruh sisi taman mini yang begitu luas. Keramaian di water boom, miniatur kepulauan indonesia di tengah kolam yang luas dengan sepeda bebek yang dikayuh untuk mengitari miniatur pulau. Betapa luas negeriku. Pulau-pulau yang tersebar dan berpencaran, disatukan oleh lautan yang menjadi penguhubung di antaranya.

Sekitar 10 menit menaiki kereta gantung, aku kembali smapai di stasiun pemberangakatan, tanda perjalanan sudah berakhir. Antrian penumpang masih berderet panjang. Hari libur yang menyenangkan.
Aku dan keluargaku mencari tempat sholat, dan kemudian mencari pangkalan bus yang akan membawa kami ke taman Monas.
******
DETAK jam tangan menunjukkan angka 17.00 wib. Setelah seluruh penumpang lengkap di tempat duduk yang telah ditetapkan, bus melaju lamban menuju area Pekan Raya Jakarta (PRJ). Tourleader juga menginformasikan bahwa kami akan dibawa menuju Pekan Raya untuk menyaksikan aneka produk dari berbgai wilayah Indonesia pameran besar yang setahun sekali adanya. Namun sayang ketika sampai di lokasi bekas bandara ini, janan sesak padat, sehingga tak ada sela bagi bus yang kami tumpangi untuk parkir. Sebagian penumpang meminta untuk tidak menuju arena PRJ, tetapi perjalanan dialihkan menuju Monumen Nasional. Semua sepakat menuju ke Monas. Hari mulai gelap, dan jakarta semakin berkilau oleh lampu-lampu jalanan yang berwarna-warna. Disini aku takkan pernah melihat bintang karena terhalang oleh gumpalan awan hitam. Jakarta penuh polusi udara. Asap ekndaraan bermotor dan bsingnya bunyi laksana iringan musik yang menghentak dan memekakkan gendang telinga. Jakarta, ibu kota yang ramai, dan tak pernah sepi. Semua orang bergegas seperti tak mau ketinggalan. Pantas, kalau peredaran uang negeri ini 80% nya beredar di Jakara, sedangkan sia 20% beredrak ke seluruh wilayah republik tercinta.

Dari kejauhan puncak Monas terlihat menyala, seperti api di mulut obor. Indah namun merana. Ya, monas merana karena banyak dihimpit oleh bangunan gedung bertingkat yang tinggi mencakar langit. Namun inilah salah satu kebanggaan negeri ini, dengan puncak yang dilapisi emas. Sekitar pukul 19.00 wib kami tiba di Monas bus diparkir dan kami diminta berjalan berkelompok-kelompok untuk menjaga keamanan bersama. Rawan! Begitu bisik pimpian tour. Di malam itu monas sangat ramaai. Ada serombongan siswa dengan guru mereka tengah menikmati keindhan malam di taman Monas. Mereka berpakaian seragam kaos olahraga yangmenunjuukkan asal sekolah dan kota metreka. Konon cara ini paling aman untuk menghindari keterpisahan dengan kelompok. Dan yang sangat menarik bagiku adalah para penjual mainan dan minuman yang kucing-kucingan dengan petugas tramtib. Sebagian dari mereka menyembunyikan di lubang tersembunyi yang mereka buat untuk mengelabui jika ada petugas yang akan mengobrak mereka. Aku dengar percakapan di antara mereka. Bahasa komunikasi yang amat aku kenal. Bahasaku. Dialeknya sama dengan asalku.

Saudaraku!!!! Ya mereka saudara sekampung yang terdampar mencari hidup di Jakarta. Kutanyakan mereka dengan bahasa daerah. Ternyata mereka tetangga desa. Mereka masih muda dengan bekal pendidikan yang terbatas, mengadu nasib dengan berjualan kopi, susu dan minuman energi dengan pelbagai mainan anak yang ditawarkan kepada pengunjung dari berbagai penjuru arah.
Aku dan keluarga sempat foto-foto di depan Monas. Aku telah sampai di Monumen yang dibuat oleh Bung Karno, proklamator yang aku dan ayah kagumi.