Sore 26
April 2012 sekitar pukul 17.20 wib, saya menyaksikan acara
berita petang di TV One menayangkan sebuah berita seorang presiden yang berkolaorasi
dengan musisi blues menyampaikan orasi (pidato) mengenai biaya kuliah mahasiswa
yang harus murah, supaya terjangkau oleh rakyatnya. Sebuah kolaborasi yang amat
menarik. Presiden itu adalah Barrack Obama, berkolaborasi dengan musisi blues
Tariq. Sang
presiden meyampaikan orasi sembari diiringi sayup-sayup suara musik.Setelah
sang Presiden menyampaikan beberapa patah kata, maka sang musisi meresponnya
dan melagukannya. Sang penyiar pun mengapresiasinya sebagai aktivitas politis
yang dikemas secara entertaint. Sangat meanrik.
Bukan untuk
membandingkan. Selama ini Barrack Obama dikenal sebagai politisi bukan sebagai
penyanyi sementara presiden Susilo Bambang Yudhoyono selain sebagai kepala negara
juga dikenal sebagai pencipta lagu. Beberapa lagu yang diciptakannya telah direkam
dan dinyanyikan oleh penyanyi profesional. Bahkan beberapa lagunya dinyanyikan
pula pada upacara kenegaraan.Sebagian pihak memuji keahlian Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam menciptakan lagu, sebagian yang lain mencemooh.
Cukup menarik ketika
seorang politisi juga kepala negara menjadikan musik sebagai alat untuk
mencapai tujuan,musiksebagai media untuk mendekatkan pesan ke hadapan publik.
Di negeri ini sangat sering dilakukan terutama saat-saat mendekati pemilu. Beberapa
kelompok band atau penyanyi dikontrak untuk memancing massa saat berkampanye. Ada musisi yang secara langsung terlibat
dengan turut mengkampanyekan calon tetapi ada pula musisi yang memisahkan
sebagai alat politik, yaitu hanya menyanyikan lagu untuk memancing dan
mengumlulkan massa tanpa harus mengkampanyekan calon atau program partai.
Beda. Barrack Obama
mampu melakukan kolaborasi dengan musisi blues sehingga panggung menjadi satu
kesatuan, musisi dan politisi (Barrack Obama) saling mengisi dan saling
melengkapi sehingga menjadi pertunjukan panggung yang mnarik. Mungkin ini
adalah sebuah contoh kerja dari sebuah team yang mampu mengolah “Pesan Politik”
yang biasanya kaku, tegang, dan tidak komunikatif menjadi sebuah pertunjukan
yang manrik, menghibur dan mengesankan. Sebuah keberanian untuk meramu dua
kutub yang saling berseberangan menjadi bersebelahan, sehingga bisa saling
melengkapi.
Bila menengok kepada
kondisi perpolitikan dan kiprah para politis dalam menyampikan pesan politiknya
yang terkesan kaku, arogan dan sangat tidak menarik,karena bila adairingan
musikpun hanya sebatas tempelan yang melatari dan tak mampu menyatu dengan
pesan politik atau kebijakan yang disampaikan. Keadaan yang kian menguatkan
bahwa para politisi kita masih sampai pada tahap memperalat musik atau musisi
untuk kepentingan politiknya namun belum memanfaatkan interseksi antara musik
dan politik. Interseksi yang mampu mengendorkan ketegangan politik dan
meletakkan musisi sebagai penyampai yang mampu menghilangkan kekakuan tanpa haru
smenghilangkan kesan sebagai penghibur.
Tayangan sore itu
semakin menguak ruang imajinasi yang saya bangun, bahwa kreativitas mampu
meretas batas-batas wilayah dan kemungkinan, sehingga menjadikans sesuatu yang
tidak mungkin menjadi mungkin. Kreativitas yang menyadarkan bahwa kekayaan
musikalitas yang dimiliki bangsa ini seharusnya bisa menstimulasi produktivitas
kehidupan, sebab pada mulanya musik tumbuh dari tengah kehidupan.
Betapa indahnya seandainya
sang presiden yang juga seorang musisi mampu meleburkan jiwa musikalnya dalam
kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkannya sehingga seirama dengan
kehidupan. Kebijakan yang mampu memberi nyawa bagi semua kehidupan bukan pada
mahluk dan kelompok tertentu. Andai jiwa musikal tersebut teransemen saat
menyampaikan pidato politik di atas podium tentu akan merdu irama yang
terdengar di telinga. Ah, sayang saya hanya berandai-andai…*****(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar