Translate

Senin, 30 September 2013

Pinhole Camera; Menemukan Estetika pada Benda Mainan

Tiga Sepeda Motor
Memotret dengan kamera lubang jarum(pinhole camera) memiliki keasyikan tersendiri dengan keterbatasan fasilitas yang dimilikinya. Suatu keasyikan yang menuntut para penggunanya untuk melatih kepekaan terhadap cahaya dan posisi ombyek untuk mendapatkan hasil jepretan yang menarik. Kuat lemahnya cahaya, obyek yang dijadikan target,mau pun waktu pengambilan gambar –berkenaan dengan intensitas cahaya adalah faktor-faktor yang tak dapat diabaikan.

Kali ini saya mencoba bermain dengan barang mainan anak-anak, baik benda miniatur mau pun hasil rakitan dari barang bekas. Ada miniatur sepedamotor dan beberapa sepeda motor mainan yang dirakita sendiri anak saya. Obyek tersebut menjadi sasaran yang sangat menarik minat saya untuk diabadikannya, saya berkeyakinan kalau pegambilan secara close up akan menghasilkan gambar seperti foto ukuran obyek yang sebenarnya.

Beberapa waktu  sebelumnya saya pernah mengambil obyek berlawanan dengan arah datangnya sinar matahari. Ternyata hasilnya kurang bagus,karena obyek yang diambil warna putih metalik. Hasil yang membuat saya penasaran untuk kembali melakukan pengambilan gambar.

Pada pengambilan gambar berikutnya dilakukanpada siang haripukul 10.3 WIB,dan matahari cukup terik. Obyek ditaruh di tempat terbuka dan terpapar langsung sinar matahari, sehingga menimbulkan bayangan obyek di salah satu sisi. Bayangan obyek bisa berpengaruh terhadap nilai artistik, sehingga perlu diperhitungkan agar jatuhnya bayangan bisa menambah nilai estetika.

Siang itu posisi obyek dengan kamera berjaraksekitar 10 cm dengan tujuan obyek bisa di close up dengan harapan gambar yang diproleh bisa mirip dengan ukuran obyek sebenarnya.Tantangan yang sangat menarik karena saat bekerja dengan pinhole camera, kita tidak bisa melihat  langsung obyek yang tertangkap dalam kamera sehingga gambar yang diambil kadang tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Motor Gede
Namun, kadang ada faktor-faktor  di luar perhitungan menjadikan keberuntungan yang menambah unsur artistik tanpa pernah kita rencanakan. Sehingga tidak semua hasil sesuai dengan kita rencanakan, tetapi tidak usah khawatir karena kekurangan-kekurangan ini justru menjadi sisi menarik dari pengambilan obyek dengan mempergunakan pinhole camera.(Hidayat Raharja).
    
Tiga Sepeda Motor



 
     
Di Depan Pagar

Senin, 23 September 2013

Guru Pendamping

Sebelum masuk kelas saya menyiapkan lembar kerja siswa yang akan dipergunakan untuk pembelajaran, Namun pada saat mau ngeprint, mesin printernya dipergunakan kawan guru matematika yang tengah menyiapkan materi “logaritme” yang akan dipergunakan pagi itu. Sambil menunggu hasil print kami bercakap mengenai pengalaman di dalam kelas sehubungan dengan pelaksanaan kurikulum 2013.  Kami bercerita mengenai tantangan yang ditemukan dalam kelas. Dia bercerita kalau butuh kesipan dan ketelatenan untuk mengajak anak berproses. Bahkan,  perlu banyak memberikan pujian sehingga anak termotivasi dan tetap fokus dalam belajar.

Salah satu tantangan yang sangat menarik adalah saat siswa mengkomunikasikan hasil belajarnya. suasana kelas menjadi hidup, selain karena ingin menyampaikan hasil diskusi, ada sebagian lagi memperolokkan teman yang menyampaikan hasil diskusi. Ya, mereka menertawakan temannya karena bisa menjawab permasalahan dan menyampaikannya dengan baik di depan kelas. Cibiran ini muncul, karena biasanya si anak tidak pernah bisa menjawab dengan baik, dan mendapatkan pujian dari guru.

“Ya, pasti saja bagus dan benar jawaban yang disampaikan, kan sudah baca buku?” celoteh di antara mereka yang kadang membuat kurang enak bagi teman yang lain.
Kondisi semacam ini kadang ditingkahi dengan tawa berderai oleh seisi kelas, sehingga anak yang baru menyampaikan pendapat menjadi malu di depan kelas.

Situasi semacam ini muncul, karena umumnya tertanam dalamdiri anak,bahwa kalau sesorang itu tidak bisa menjawab atau menyelesaikan masalah biologi, maka selama belajar seseorang itu tidak bisa mengusai pelajaran biologi. Asumsi semacam ini banyak tertanam dalam diri anak, sehingga perlu untuk selalu diingatkan dimotivasi sehingga bisa menerima keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Di lain waktu, kadang diskusi kelas kurang hidup, banyak peserta pasif dan bahkan kurang bergairah, sebab sebelumnya mereka terbiasa dengan menerima konsep tanpa melalui proses penyampaian materi melalui pendekatan Scientific. Kondisi semacam  ini ternyata juga banyak dikeluhkan kawan guru yang lain.

Inilah sebenarnya tantangan yang amat menarik,  ketika buku pegangan yang dijanjikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak kunjung ada dan tidak diperkenankan untuk menggunakan buku yang beredar di pasar karena tidak sesuai dengan kurikulum 2013. Tantangan bagi guru untuk  menyiapkan materi dan mengajak peserta didik untuk menggali data dan  informasi sehingga bisa menemukan konsep yang tengah dipelajarinya. Tantangan semacam ini membutuhkan persiapan yang matang dan kesungguhan, sehubungan juga dengan kebiasaan belajar siswa di tingkatan sebelumnya.

Bagi guru apa yang dilakukannya merupakan sebuah upaya untuk memenuhi tuntutan yang diinginkan dalam perubahan kurikulum, sekaligus berupaya untuk mengubah mindset memasuki era baru pembelajaran yang lebih terbuka, dinamis, dan demokratis. Upaya ini akan lebih efektif  jika guru di dalam kelas didampingi oleh guru pendamping untuk membantu mengatasi kekurangan-kekurangan yang ditemukan guru di dalam pembelajaran. Guru pendamping sebagai patner guru dalam pembelajaran, bukan mengawasi guru mengajar sehingga dengan posisi sebagai patner pendamping bisa membantu guru meningkatkan kualitas dan efektivitas pembelajaran.

Guru pendamping yang dibutuhkan adalah guru pendamping dari mata pelajaran sejenis, sehingga pendampingan dan pembimbingan bisa bersifat komprehensif baikmenyangkut teknis dalam pembelajaran mau pun terhadap penguasaan dan pengembangan materi yang diajarkan. JIka ini yang terjadi akan sangat menarik, guru akan selalu terpacu untuk mengembangkan diri dan pendamping akan banyak memberikan masukan serta motivasi bagi guru pengajar baik  dalam hal dedaktik-metodik mau pun dalam hal penguasaan dan pengembangan materi.

Namun impian ini takkan bisa terealisasi dalam  jangka pendek, sebab ketergesaan dan keterpaksaan penerapan kurikulum 2013 tidak disertai dengan penyiapan seperangkat kebutuhan dan sumber daya manusia, sehingga “sementara” yang dijadikan pendamping di daerah adalah Pengawas Sekolah bukan pengawas bidang studi, sebab di daerah kabupaten tidak ada pengawas yang memiliki sertifikat pengawas bidang studi. JIka pun ada rationya tidak sebanding dengan jumlah guru mata pelajaran yang ada di daerah.

Kalau pengawas berlatar pendidikan fisika melakukan pendampingan terhadap guru biologi bisa saja dilakukan kalau hanya menyangkut kepada teknis pembelajaran di dalam kelas, tetapi menjadi kurang tepat jika menyangkut pada kedalaman dan pengembangan materi. Tentu keadan ini akan berpengaruh pula terhadap persoalan teknis sehubungan keunikan dan kekhasan dari setiap konsep yang disajikan dalam materi biologi. Apalagi satu orang guru pendamping akan mendampingi guru tiga mata pelajaran yang telah mendapatkan workshop dan diklat mengenai kurikulum 2013.

Jangan-jangan nasib kurikulum 2013, sama dengan nasib kurikulum-kurikulum sebelumnya tanpa dievaluasi secara konkret dengan kenyataan di lapangan tiba-tiba dilenyapkan karena proyeknya sudah berakhir.

Penjarahan Ruang Publik

Ruang publik merupakan hak masyarakat untuk bisa mendapatkan kenyamanan, ruang terbuka yang sehat, dan pandangan yang mengenakkan. Ruang publik sebagai bagian dari tata ruang hunian atau perkotaan harus mempertimbangkan kenyamanan warganya. Ruang publik menjadi salah satu penyeimbang kesesakan ruang oleh laju pembangunan kota, keribetan, dan hilangnya pekarangan rumah. Karenanya, di beberapa daerah dikeluarkan Peraturan Daerah (perda) mengenai penempatan (peletakan) iklan dan berbagai alat peraga visual dalam bentuk banner, baliho atau pun spanduk di ruang terbuka. Perda bukan hanya mengatur peletakan tetapi juga perijinan serta biaya perijian yang harus dibayar.

Perkembangan kota dengan berbagai aktivitas warganya telah menjadikan ruang publik sebagai ruang untuk publikasi ekonomi dan ruang pencitraan bagi komunitas politik. Pada kepentingan yang pertama, sebagai ruang publikasi ekonomi telah mengubah ruang publik sebagai lahan promosi berbagai produk barang konsumtif. Penjarahan ruang yang menyebabkan para penghuni tertekan oleh gambar yang sedemikianbesar menonjok mata para pejalan yang berlalu-lalang. Rambahan ruang bukan hanya merampas open space (ruang terbuka) dalam perkembangannya serbuan iklan berbagai produk konsumtif memenuhi dinding bangunan pemukiman dan perkantoran yang ada di pertigaan atau perempatan jalan. Iklan semacam ini jarang yang mempertimbangkan kenyamanan publik sebab yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana penempatan baliho menyita perhatian publik, sehingga terkesan memaksa dan mengeram dalam memori.

Tak banyak publikasi tentang hubungan publikasi di ruang terbuka dengan berbagai baliho ukuran raksasa. Tetapi dari produsen selalu mengganti gambar dan topik yang ada dalam layar untuk mempengaruhi konsumen (publik). Setiap waktu persaingan antar produsen sejenis semakin sengit dan kian menyesakkan ruang publik. Indikasi yang kian menguatkan pengaruh pemasangan baliho di ruang publik terhadap penjualan barang atau produk.

Hadirnya berbagai gambar iklan di ruang publik jarang dipersoalkan, atau kalau pun dijadikan sebagai persoalan adalah ketika produsen yang meletakkan baliho tersebut belum membayar dana perijinan bagi pemerintah daerah.

Namun persoalan ruang publik tidak hanya disesaki oleh berbagai iklan produk konsumtif yang menikam penglihatan publik, tetapi akhir-akhir ini baik menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) atau pun pemilu legislatif (Pileg) berbagai ruang publik diserbu dengan berbagai baliho, banner, yang memajang foto orang tertentu dengan memasang senyum yang diatur sedemikian rupa untuk memikat publik. Gambar atau foto-foto sebagai alat peraga kampanye para calon legislatif  untuk memperkanlakan wajahnya yang nantinya akan dipajang di surat suara.

Seberapa efektifkah pemasangan gambar-gambar yang menyesaki ruang publik dengan perolehan suara? Barangkali yang penting bagi mereka telah menyodorkan muka untuk dikenal dan dipilih.  Persoalan gambar-gambar tersebut benar-benar telah meresahkan ruang publik, sebab banyak dari mereka yang tidak mempertimbangkan unsur estetika, sehingga kadang terkesan lucu bahkan kadang menjengkelkan. Persoalannya, adalah: pertama, hampir semua gambar atau foto yang diperagakan monoton; sedikit tersenyum dengan berpakaian jas dan dasi, beberapadi antaranya bersisian dengan fototokoh masyarakat. Tak ada visi dan misi yang ditawarkan yang ada hanya nama lengkap dengan gelarnya dan daerah pemilihan (Dapil) dalam Pileg yang akan datang. Kerja visual yang tanpa mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai dan pertimbangan keunikan gambar sehingga dikenang oleh yang melihatnya. Jika demikian tidak berlebihan jika kemudian foto dan gambar-gambar mereka disebut sebagai sampah visual yang mengotori ruang publik.

Kedua, tidak ada tawaran atau bukti yang ditawarkan kepada ruang publik apa yang bisa mereka berikan atau abdikan kepada masyarakat.  Realitas yang menandaskan tak ada apa-apa yang akan mereka lakukan kepada masyarakat ketika kelak mendapatkan kedudukan yang mewakili rakyat yang telah memilihnya. Sebuah pencitraan, dan hanya mencitrakan diri dengan mematut wajah yang diolah dalam photoshop sehingga terkesan ramah dan bersahabat. Konon, biaya untuk membuat gambar-gambar semacam itu dan dipasang di berbagai tempat strategis salah satu parpol mengharuskan calegnya menyediakan dana tiga ratus juta rupiah untuk tingkat kabupaten dan lima milyar untuk tingkat nasional (Surabaya Post, 27/2/2013).

Sayang, memang kalau mereka hanya mengotori ruang publik dengan dana yang cukup besar, dan memang perlu diatur mengenai pemasangan alat peraga kampanye ini. Namun tulisan ini tidak akan membahas mengenai aturan tersebut, tetapi lebih menekankan kepada pilihan cerdas dan kreatif dalam memanfaatkan ruang publik sehingga mencerdaskan pula bagi yang melihatnya. Pertama, mengapa mereka tidak menyodorkan visualisasi apa yang bisa mereka lakukan untuk memberikan perubahan bagi masyarakatnya sebagai wujud dari visi dan misi mereka. Kedua, mengapa mereka tidak mempertimbangkan aspek ekologis dan visual dimana gambar dan baliho dipajang sehingga bisa mempercantik lingkungan, membuat nyaman bagi yang memandang.

Pertimbangan semacam ini telah dilakukan oleh berbagai produk konsumtif, dengan mempertimbangkan budaya lokal  tempat iklan akan dipajang juga mengubah tema secara berkala. Serta terlibat langsung dengan berbagai kegiatan masyarakat sehingga memang berdekat-dekat dan semakin dekat sehingga masyarakat terpikat. JIka tidak mereka hanya akan menjadi penjarah ruang publik dan menjarahi hak masyarakat untuk mendapatkan ruang nyaman dan bersahabat.

Minggu, 08 September 2013

Kurikulum 2013, Proyek Politik ?




















Oleh: Hidayat Raharja|Pendidik, Pelaku Kebudayaan

Sudah berjalan dua bulan pelaksanaan kurikulum 2013 di berbagai sekolah. Berbagai hal menarik menjadi pengalaman guru pengampu mata pelajaran, khususnya di luar mata pelajaran Sejarah, Matematika dan Bahasa Indonesia di bangku SMA. Selain ke tiga mata pelajaran tersebut belum ada buku pegangan guru dan buku pegangan siswa, juga tidak ada guru pendamping saat pembelajaran di dalam kelas sebagaimana yang dijanjikan. Tidak adanya buku pegangan guru yang dijanjikan oleh Kementerian, dan juga guru pendamping, memiliki pengaruh yang amat besar terhadap keberhasilan penerapan kurikulum 2013. 

Hampir semua guru yang sudah mendapatkan pembekalan kurikulum di provinsi Jawa Timur masih mengalami kebingungan untuk menerapkan kurikulum 2013.  Mereka masih gagap untuk melaksanakan pembelajaran proses sebagaimana yang dituntut dalam pelaksanaan kurikulum.  Mereka merasa belum cukup mendapatkan bekal dalam upaya merubah pola pembelajaran dari yang telah mereka lakukan. Sementara guru pendamping yang diharap bisa membimbing mereka sampai saat ini belum melakukan pendampingan.

Menurut informasi pengawas sekolah yang telah mendapatkan pelatihan di provinsi Jawa Timur, mereka akan dijadikan pendamping guru mata pelajaran khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah dan Matematika. Dengan demikian dapat dipastikan pengawas sekolah yang menjadi guru pendamping tidak semuanya sesuai dengan mata pelajaran guru yang didampingi.  Persoalan yang sangat menarik untuk ditelaah ? Juga terhadap guru mata pelajaran selain matematika, sejarah dan Bahasa Indonesia masih belum ada buku pegangan guru dan pegangan siswa sebagai buku pokok dalam pembelajaran. Apakah  dengan kondisi di lapangan semacam ini,  kurikulum 2013 akan berhasil dilaksanakan?

Keberadaan guru pendamping, mutlak diperlukan bagi semua mata pelajaran yang diampukan dalam kurikulum 2013. Pendampingan terhadap guru pengajar mutlak diperlukan karena akan menjadi partner dalam pembelajaran sehingga bisa membantu guru pengajar keluar dari mindset lama, kebiasaan guru mendominasi pembelajaran ke bentuk  pembelajaran yang berpusat kepada siswa.

Upaya guru pengajar untuk belajar mengubah mindset dengan membuang kebiasaan lama bukan merupakan hal mudah. Rasa nyaman dengan cara-cara lama telah menjadikan kebiasaan bagi guru bahwa apa yang telah dilakukan bisa membantu siswa belajar. Keluar dari zona nyaman tidak semua guru bisa melakukan sehingga bantuan dan dorongan dari guru pendamping sangat dibutuhkan. Betapa galaunya guru ketika akan masukkelas, karena khwatir apakah yang dilakukan telah memenuhi kegiatan proses belajar yang berorientasi kepada siswa dan sudah mengimplementasikan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan.

Kebiasaan murid dicekoki informasi adalah persoalan lain yang akan membuat pembelajaran proses menjadi sesuatu yang menarik. Sebab,sangat terbuka kemungkinan apa yang direncakan guru dengan sebaik-baiknya terhambat saat memasuki ruangan kelas, karena murid yang belum terbiasa dengan pola seperti yang direncanakan.

Persoalan ini menjadi tanda tanya bagi sebagian guru sebab adanya tambahan  Kompetensi Inti 1; ”Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya dan Kompetensi 2: berhubungan dengan sikap menghayati dan mengamalkan dalam perilaku adalah hal baru. Kedua hal tersebut secara eksplisit tercantum dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dan secara implisit harus diaplikasikan dalam pembelajaran. Tuntutan kompetensi ini mengharuskan guru sebagai fasilitator juga sebagai pengelola pembelajaran di dalam kelas bisa megamalkan dan menunjukkan sikap sebagai mana yang harus ditumbuhkan di dalam diri siswa.
Pada masa penyelenggaraan kurikulum 1984 dan 1994 upaya untuk menghayati ajaran agamamelalui bidan studi, ada sebuah program dan pelatihan imtak terhadap guru bidang studi. Diterbitkan silabus yang memaparkan hubungan antara Imtak (Keimanan dan Ketaqwaan) dengan Iptek  (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Setiap tahun ada kompetisi pembelajaran Imtak dan Iptek yang diselenggarakan oleh kantor Menteri Pendidikan untuk seluruh mata pelajarannon Agama untukseluruh guru di wilayah Republik Indonesia. Namun sayang, program ini hilang tanpa pernah ada hasil evaluasi yang dipublikasikan.

Berkenaan dengan tuntutan dalam kompetensi yang harus dikuasai siswa dan juga perubahan mindset dalam pembelajaran sudah seharusnya keberadaan guru pendamping bisa memberikan bimbingan dan pendampingan terhadap guru mata pelajaran. Dengan demikian lebih tepat jika guru pendamping juga berasal dari guru atau pengawas yang mengampu mata pelajaran sejenis. Namun hal ini sangat tidak memungkinkan dengan keterbatasan jumlah pengawas dan belum adanya pengawas bidang studi di setiap kabupaten. Pengawas bidang studi mendampingi guru bidang studi akan terasa  lebih pas, sebab lebih memahami karakter bidang studi dan muatan materi serta kebutuhan strategi dan metode dalam penyampaiannya.

Namun, jika tidak juga dilakukan atau hanya dilakukan sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan tanpa mempertimbangkan keberhasilan dan produktifitasnya, maka tidak berlebihan jika apa yang digelisahkan oleh para pemerhati pendidikan bahwa kurikulum 2013 hanyalah sebuah proyek politik yang mengorbankan guru, peserta didik, dan dunia pendidikan di Indonesia.