Translate

Minggu, 27 Mei 2012

Mengintip Obyek dengan Kamera Lubang Jarum


Kamera Lubang Jarum, merupakan kamera sederhana yang dibuat dari kaleng atau kardus bekas yang dilubangi dengan jarum untuk menangkap cahaya / gambar. Kamera yang bisa dibuat oleh siapa saja dengan mudah,dan biaya murah. Namun, jangan remehkan hasilnya, sebab disitu terdapat nilai-nilai artistik dan unik.
Sejak kecil aku sudah kenal akrab dengan pembuatan foto hitam putih, karena dulu ayahku seorang tukang foto amatir di daerah kecamatan, daerah kelahiranku. Membuat foto dengan kamera dan 
 Foto.1. Sepeda - karya Nur Aida Maulidia.
mempergunakan film black and white adalah pengalamanku dimasa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ketika ayah diundang untuk memotret acara resepsi pengantin ke pelosok desa. Di rumah aku membantu ayah menjaga weker untuk menjaga lama waktu saat mencuci film. Kemudian dicetak dengan mempergunakan alat cetak di dalam ruang gelap.
Maka, ketika membaca dan mencari berbagai refrensi mengenai Kamera Lubang Jarum terutama ketika menikmati hasil karya RayBachtiar – Pendiri Komunitas Lubang Jarum Indonesia aku tertarik untuk mencobanya. Kuajak anakku untuk mengumpulkan kaleng bekas dengan meminta kepada saudara-saudara sepupunya yang perokok.Maka,terkumpulah sepuluh kaleng bekas wadah rook filter. Kaleng-kaleng itu kemudian dicat dengan warna gelap dan diberi lubang sebesar lubang jarum. Obat pencetak foto superbroom dan acifix seharga Rp. 30.000 dankertas foto hitamputih agfa diperoleh dari adikku yang sampai saat ini masih menekuni dan melanutkan usaha ayahku dalam bidang fotografi. Cuma sekarang,dia sudah beralih ke cetak digital sehingga kertas itu sudah tak digunakan lagi dan diberikannya kepadaku.
Semula anakku yang duduk di bangku SMA mencoba mempergunakan Kamera Lubang Jarum yang telah dibuat. Dia mengambil enam obyek, hasilnya empat gambar gosong dan dua gambar pucat. Baru tadi siang aku bisa menemaninya menggunakan Kamera Lubang Jarum dengan mengambil enam obyek ,hasilnya 2 gosong dan tujuh lainnya jadi meski belum bagus benar. Aku kian penasaran, sebab lubang yang ada pada kamera kurang kecil, sehingga gambar atau obyek kurang tajam. Tapi lumayan, sudah bisa menggunakannya. 
Sebuah rencana yang tertunda memberikesempatan kepadaku untuk mencoba terlebih dahulu. Sebab,sabtu kemarin aku janji membuat kamera lubang jarum dengan siswa X IPA 7 SMA Negeri 1 Sumenep. Namun karena ada tugas dariDinas Pendidikan rencananya tertunda. Kamera Lubang Jarum sebagai pengembangan lifeskill padamateri alat indera. Insya Allah sabtu kulakukan dengan siswa kelas X IPA 7.*****(HR)

Sabtu, 26 Mei 2012

Bertemu Dengan Penulis Buku#1

(Mengenang Pertemuan dengan D Zawawi Imron)
Bertemu dengan penulis buku merupakan suatu yang mengasyikkan,sebab darinya kita akan banyak menimba pegalaman baik mengenai persoalan dunia tulis-menulis ataupun mengenai kehidupan secara luas. Ketika membaca sebuah buku yang selalu terbayang dalam pikiranku mengenai penulisnya yang hebat, bisa mengungkapkan ide dan pengalamannya sehingga menjadi bacaan yang sangat menarik. Ketika aku menulis, juga terbayang keinginan untuk menulis sebuah buku, sebagai penanda keberadaan seorang penulis dengan karyanya yang bisa menjadi bahan bacaan sewaktu-waktu bagi orang lain.

Pertemuanku pertama adalah dengan D Zawawi Imron, seorang sastrawan dan budayawan yang karyanya telah banyak dibukukan dan bahkan beberapa bukunya mendapatkan pengahargaan baik di tingkat nasional dan di dunia internasional. Terakhir bukunga “Kelenjar Laut” mendapatkan penghargaan dari Kerajaan Thailand. Sastrawan yang ramah dan selalu dengan tangan terbuka menerima siapa pun yang ingin belajar kepadanya.
Saat itu bersama teman-teman mengikuti diskusi sastra di kota Pamekasan, dan beliau adalah salah satu pembicara dalam dialog. Aku terpesona dengan kecerdasannya, dan kearifannya dalam menyikapi persoalan. Secara kebetulan saat usai acara kami satu kendaraan di angkutan umum menuju ke kota Sumenep.  Di perjalanan dia banyak bercerita dan membacakan puisinya sembari becerita proses kreatifnya. Awal perkenalan yang berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya sehingga menjadi persaudaraan yang akhirnya mengenalkanku ke keluarganya.
Seorang penulis yang sabar penuh dedikasi terhadap dunia yang ditekuninya, sehingga ia meminta pensiun dini daripegawai negeri sipil dan total menenukni dunia penulisan (khususnya Puisi). Beberapa catatannya yang muncul dimediacetak kemduian dikumpulkan dan dibukukannya. Sebuah catatan yang merupakan perenungan terhadap kehiduapn dan kesehariannya. Renungan terhadap hal-hal kecil di lngkungan yang kemudian diolah sehingga memiliki makna bagi kehidupan bersama.
Suatu ketika aku diminta untuk datang ke rumahnya berbicara mengenai kehidupan yang begitu luas. Dia bercerita mengenai proses kreatifnya, tantangan-tantangannya, upaya untuk menemukan inspirasi. Ya, inspirasi,ilham menurutnya tak harus ditunggu kedatangannya, melainkan harus diciptakan.  JIka dalam keadan jenuh, biasanya Pak Zawawi mendatangi tempat-tempat sunyi , berdiskusi, atau juga sesekali dituangkannya sketsa ke atas kertas. Ia menciptakan suasana untuk mendpatkan inspirasi.
“Pernahkan kau dengar suara nafas  istri yang kelelahan,tidur pulas di atas dipan?” Ujarnya. Sebuah renungan untuk mendengar suara nafas, berdialog dengan sunyitubuh yang tengah istirahat untuk mengembalikan energi tubuh yang hilang.  Belajarlah dari kesunyian, disitu kita akan mendapatkan banyak pelajaran, dan menenun kesabaran.
“Pernahkah kau dengarkan suara hujan berjatuhan di atap rumah?”Lanjutnya. suara rintik yang ritmis bagai suara musikal yang berderai mengisi sunyi. Belajar mendengarkan suara-suara itu akan melatih kepekaan kita terhadap lingkugan alam.
Jangan menulis untuk mencari populartitas, sebab itu akan hancur. Populartitaskadang membuat kita terlena, sehingga lupa. Tetapi menulislah dengan niat yang baik,. menulis untuk  memberikan kebaikan dan manfaat bagi orang lain. Suara seruling yang merdu bukan karena serulingnya, tetapi karena perasan hati peniupnya. Tulisan yang bagus karena saat menulis disertai dengan perasaan nyaman dan tulus dari penulisnya. Pak Zawawi, engkaulah yang mengajariku membaca dari kesunyian*****(HR)

Minggu, 20 Mei 2012

“Jabir Award” Pelopor Lomba Matematika Integrasi di Tanah Madura


Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional SMA Negeri 1 Sumenep bekerjasama dengan Bakir Global Finance Institute (BGF Institute)- Jakarta, mengadakan lomba matematika integrasi”Jabir Award” (Minggu,20/mei/ 2012). Lomba ini diselenggarakan di SMA Negeri 1 Sumenep diikuti oleh siswa SMA/MA/SMKse Madura. Babak penyisihan dilaksanakan di pagi hari pukul 08.00 -10.00. Lomba tersebut memperebutkan hadiah medali emas, perak, dan  perunggu serta hadiah Blackberry, Handphone Samsung serta beasiswa pendidikan.
Jabir Award” merupakan sebuah apresiasi terhadap pakar matematika Al-Jabru yang sampai saat ini teorinya masih dipergunakan dan kita kenal dengan matematika aljabar. Lomba tersebut merupakan lomba matematika integrasi pertama kali diadakan di wilayah Madura. Menurut ketua pelaksana, Drs.Kadarisman, lomba ini merupakan  upaya untuk mengenalkan matematika sebagai bagian integral dari kehidupan. Sehingga dalam soal-soal yang diberikan mengarah ke hal tersebut.”Matematika adalah bagian tak terpisah dari kehidupan kita,sehingga perludiingatkan  bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sebenarnya sangat menarik” ujarnya.
Seleksi tahap pertama tidak kurang diikuti sekitar 120 siswa SMA/MA/SMK utusan dari wilayah Madura berkompetisi untuk berebut tiket ke babak final. Babak Final dilaksanakan pada pukul 14.00 sampai pukul16.00 WIB. Peserta mengerjakan 40butir soal obyektif dalam waktu 120 menit Panitia akan memilih 20 peserta dengan urutan nilai  yang diperoleh dari hasi ltes untuk berkompeteisi di babakfinal. Di babak final, peserta akan berkompetisi mengerjakan 20 butir soal uraian dalam waktu paling lama120 menit. Dari nilai yang diperoleh akan diperingkat dan akan ditentukan 3 pemenang untuk Juara I, 3 Pemenang untuk juara II,  dan 3 Pemenang untuk juaran III.
Pada babak final terpilih 25 siswa untuk berkompetisi mengerjakan soal uraian sebanyak 20 butir soal dan waktu yang disediakan 120 menit. Dari hasilseleksi babak final ditentukan 9 orang pemenang. Pemenang pertama diraih Alyssa Diva Mustika (SMA Negeri 1 Pamekasan),Moh. Taufik Hakiki SMA Negeri 1 Sumenep), Moh. Ali Anshori (SMA Negeri 2 Pamekasan).Berhak mendapat Medali emas, Blackberry, beasiswa pendidikan sebesar Rp. 1.200.000. Pemenang II diraih  Eka Putra Sanbari (SMAN 1 Sumenep), AkhmadFadjri Yudiharto (SMA Negeri 1 Sumenep), Amir Fahrizal Yakin (SMA Negeri 1 Pamekasan).Berhak mendapatkan Medali Perak, Handphone Samsung dan Beasiswa pendidikan sebesar Rp.600.000. Juara III diraih Ubaid El-Ahyar A (SMAN 1 Pamekasan), Nur Bandarullah (SMA Negeri 1 Sumenep)Rozah Fitria Primardhika (SMA Negeri 1 Sumenep). Berhak mendapatkan medali perunggu dan uang pembinaan sebesar Rp.1000.000.
.
Penyerahan hadiah dilakukan oleh Kepala SMA Negeri 1 Sumenep pada acara penutupan yang dilakukan di aula SMAN 1 Sumenep diiringi dengan Band GUmsa Sumenep. (HR).


Kamis, 17 Mei 2012

“Talken Koneng”; Simbiosis dan Persilangan Mantra [1]

Oleh: Hidayat Raharja[2]
Buku sehimpunan puisi seorang kawan penyair  Alfaizin Sanasren dengan judul “Talken Koneng”. Buku dengan tebal 50+xiv halaman ini dipenuhi dengan puisi-puisi mantra yang diangkat dan berangkat dari perjumpaanya dengan naskah-naskah mantra (Madura) pemberian leluhurnya.
Mantra adalah bahasa pertama yang muncul dalam tradisi masyarakat sebagai bahasa komunikasi paling sublim untuk berbagai kebutuhan komunikasi. Dalam masyarakat Madura masa silam, Mantra banyak diperguakan untuk berbagai keperluan; penyembuhan, kekebalan, sihir,kejantanan, perdagangan, pekasihan atau percintaan dan juga dalam hubungan kelamin.  Suatu fungsi praktis dalam kehidupan sesuai dengan kebutuhannya.
Bagi masyarakat Riau mantra di antaranya diyakini sebagai penakluk buaya. Sebuah tradisi yang menjadi muasal tradisi yang kemudian diangkat kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri  ke dalam puisi mantra. Bahasa mantra yang kemudian melompat ke dalam bahasa puisi. Bahasa yang kemudian menjadi bangunan kata-kata yang mebawa dirinya, sehingga menjadi sebuah tafsir yang lain. Tafsir yang berada diluar makna kata-kata asal. Sebuah lompatan dalam puisi-puisi Sutardji CB, dan tiba-tiba menjadi musikal, menggeram, syahdu, sakit,atau berontak keluar dari makna yang disandangnya. Kekuatan mantra yang kemudian bergerak dan mengeram dalam puisi-puisi sutardji.
Kata pertama adalah mantra, demikian ujar Sutardji Calzoum Bachri.  Sebuah ungkapan yang mencoba melapaskan kata-kata dari beban makna. Kata-kata yang dibiarkan bebas menari jumpalitan dalam teks puisi yang dibangunnya untuk kembali sebagai kata dan membiarkan pembaca untuk membacakan tafsirnya. Sebuah pembebasan yang memerdekakan pembaca untuk memaknai, atau membuangnya karena tidak membutuhkannya.
Dalam hidup kekinian mantra terus menyihir ruang publik dalam berbagai bentuk aktualisasinya. Mantra iklan telah menjejali pikiran para konsumen untuk membeli barang yang tak dibutuhkannya. Iklan makanan menipu rasa kerumunan massa untuk memilih makanan bukan pengisi lapar tetapi sebagai bagian dari gaya hidup urban yang mesti makan di Kentucky Fried Chicken (KFC) atau di Mc.Donald (Mc.D).
Sehimpun puisi yang berjudul “Talken Koneng” adalah sebentuk reaktualisasi mantra Madura yang bermetamorfosis dan memberikan bentuk dan pengaruh lain dari muasalnya. Perkembangan makna dan fungsi yang luput dari perhatian kita ditengah serbuan mekanisasi industri yang melupakan kita pada esensi. Kata-kata adalah kekuatan dalam sebuah mantra seperti halnya beberapa kata yang menjadi penguat dalam puisi-puisi Alfaizin,antara lain: Huuummma, hum, hu’, siur, buh, sir, asapdupa, jerengkong, dhammong gurjem, kaf ha ya ain shot, lam, duh reduh, sah sih sah sih, kullu nafs, manhar,injangganjing, leng  alengleng, kun, bis, sin jin, semar pulang, ling keiling, lam alif.
Di dalam pemanfataannya kata-kata mantra bisa sampai pada tujuan dengan mempergunakan beberapa media sesuai dengan maksud mantra ditujukan; Kafan, paku, boneka, asapdupa, rerempahan pekuburan, sirih, kembang tujuh rupa, janur kuning, gambir, sirihkuning, air mawar, daun dadap, Media yang menjadi penyampai sekaligus maksud. Untuk pengasihan, pelarisan, balas dendam atau menyakiti orang lain, atau mendamaikan orang berselisih adalah mantra-mantra dalam masyarakat Madura yang mungkin sudah tak dikenal lagi ketika teknologi dan alat komunikasi menjadi media penyampai yang cepat dan akurat, sebab bisa sampai ada tujuan. Bahkan dengan aneka bentuk produk layanan yang diberikan oleh jasa telekomunikasi kita bisa berhubungan dengan orang yang tak dikenal yang kemudian menjadi teman dan bahkan kekasih.
Sekumpulan puisi dalam “Talken Koneng” adalah puisi-puisi Alfaizin yang semula dipublikasikan dalam catatan facebook dan direkomendasikan untuk beberapa temannya. Sebenarnya merupakan sebuah bentuk aktualisasi mantra yang semula merupakan komunikasi batin jarak jauh menjadi komunikasi terbuka yang tak lagi dibatasi atau disekati oleh jarak dan waktu. Inilah yang saya katakan sebagai reaktualisasi bahasa ‘mantra” dalam perkembangan teknologi komunikasi. Suatu idiom mantra yang kemudian beralih ke dalam bentuk puisi sebagai komunikasi dengan orang diluar dirinya. Komunikasi yang kemudian direspon dengan komentar, mengulang kembali kata atau bahasa yang menarik, dan atau menambahkan dengan kalimat  baru.
Dalam kumpulan puisi  Talken Koneng” beberapa mantra telah diprotoli dan dipelintir menjadi sesuatu dengan makna yang lain. “Unik”nya pada beberapa puisi, kata-kata mantra tersebut tetap dalam bentuknya yang kemudian bersimbiosis dan bersilangan dengan kata-kata baru yang datang dalam diri penyair. Bersimbiosis, karena kata mantra tersebut mampu membangun komunikasi yang baru, sehingga keluar dari makna dan tujuan awal. Namun kadang gagal dalampersilangan karena tak mampu menghasilkan hibrida yang fertil selain sebuah keturunan yang bernasib mandul dan tak berdaya. Simbiosis dan persilangan yang kadang membayangkan  pada keberhasilan Darmanto Jatman dalam menyilangkan bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris dalam bangunan rumah puisinya yang terasa lapang dan terbuka untuk menerima segala.
Talken berkenaan dengan kematian manusia awalnya adalah sebentuk sihir untuk memanggil kematian seseorang dengan aneka laku dan ritual yang dilakukan oleh penujum dengan puasa dan membuat boneka kain yang diikat dengan kain kafan dan ditusuk dengan paku, jarum,  pada bagian tubuh tertentu yang diinginkan. Paku-paku yang dihujamkan ke organ-organ vital dalam tubuh yang dipetakan pada sebuah boneka kain. Si penyihir akan memanggil-mangil nama korban sembari menghunjamkan paku membacakan mantra kematian. Sesuatu  yang kadang membangkitkan wingit, cemas, takut, menjadi sesuatu “wirid” yang menenangkan. Dari kematian jazad berubah menjadi kematian nafsu.
Kengerian mantra kematian berbalik arah di tangan Alfaizin menjadi sebuah ritual musikal yang ritmik dan mengubah panggilan kematian jiwa pada kematian nafsu: hum, hum, huuuuumma,/datang, datang, datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas kekuningkangn tembaga/ tiga puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradang-radang/legamsaga barabara/berkelokan/ memungut letup garammulutku berkutub/ huuummma,/ datanglah kepadaku/ aku tuntaskan wujudmu/ maut tubuhmu/maut nafsumu// (Talken Koneng, halaman 1)
Mengapa membunuh nafsu? Ya manusia lahan subur nafsu, birahi, serakah, ambisi jabatan, kekuasaan, dengan berbagai jalan dan cara dikerjakan. Nafsu serakah dengan berbagai siasat yang terus berkelit sebagaimana para pemimpin rakus yang penuh nafsu dan ambisi mempergunakan kesempatan yang ada. Video porno para anggota dewan adalah nafsu birahi khewani yang memang pantas untuk dimatikan. Nafsu kelelakian dan kehilangan harga diri kaum perempuan yang tak mampu menjaga harkat dan martabatnya.
Nafsu lelaki adalah kitab kelelakian yang selalu terbaca dan selalu terulang dalam kehidupan. Dalam sejarah tardisi hadrilah mantra pekasihan untuk  menaklukkan  cinta perempuan. Pekasihan yang memunculkan memoripanjang sehingga menangis bagai “semar tangis” atau meronta bagai “jaran Goyang”. Tuah mantra yang mendebarkan dan menakutkan karena siapa pun akan bertekuk lutut dan menyerahkan seluruh kepasrahan. Namun dalam “Kitab Kelelakian” ada ingatan baru yang ditumbuhkan tidak hendak meletakkan kebirahian itu dalam sebuah dialog baru;/  telah aku kunci sembilan lubang di tubuhmu/ lubang dzubur/lubang kelamin/lubang pusar/lubang hidung/ lubang mulut/ libang telinga/ juga matamu//lubanglubang tanpa rasa/tanpa detak/ tanpa sukma/ (halaman 3)
Kaum perempuan sebagai kaum pemuja tubuh. Sebuah mantra semacam ”letrek”, “Susuk” yang menyungsang pandang para lelaki. JIka susuk itu ditaruh di pelupuk mata, maka siapa yang dipandang atau menatapnya akan jatuh cinta. Pun juga ketika kartu letrek itu dimainkan tak  ada lelaki yang bisa kembali pulang ke rumah atau keluarga. Dia akan tersesat dalam rumah tubuh perempuan yang menaklukkannya./ gurjem,pandang tubuhku/matamu silau kemilau/mengigau bila tak berucap/ diam kalangkabutan/ (ayat-ayat pemuja tubuh, halaman 15)
Dari bebrapa puisi daamkumpulan ini dapat ditarik dalam dua ranah, pertama mantra yang mampu bersimbiosis dengan kata-kata baru dan bisa keluar dari makna awal,makna yang memberikan aneka tafsir bagi para pembaca dari berbagai sudut dan pengalaman ritual.
Kedua, mantra hanya merupakan persilangan dengan kata-kata dan tak bisa melepaskan diri dari beban yang disandang sebelumnya. Persilangan kata yang tidak bisa menghasilkan hibrid yang fertil (kaya makna), tetapi hibrid yang mandultakberdaya menyandnag beban maknamanteran yang takmampu dilepaskannya. Dalam kasus ini kata-kata mantra berndingan dengan kata-kata yang lain tanpa bisa bersimbiosis dan melebur untuk menemu makna baru. Ini terlihat pada puisi “Sihir”(halaman 24) narasi yang menegaskan tentang waktu dan bagaimana sihir dijalankan.Ini yang saya katakan takbisakeluar ke makna yang baru.
Hal ini memang amat berbeda dengan Pola yang dibangun Sutardji CB yang juga berangkat dari sebuah mantra. Keberbedaan yang sebenarnya dapat menjadimodal Alfaizin untuk berjelajah lebih jauh dalam pengembaraan kreativitas.
Bila Alfaizin masih terishir dengan kata mantra, sementara Sutradji CB lebih menukik kepada ruh mantra yang kemudian dijadikan nyawa untuk menggerakkan kata menemukan dirinya sendiri, untuk melepaskan beban makna yang disandangnya, sehingga memberikan ruang yang lebih luas bagi para pembaca untuk memberikan tafsir. Mantra yang liar, brutal, sadis,dan kadang menggiris menjadi ruh dalam menggerakkan pola dan bentuk puisi-puisi Sutardji seperti dalam “O Amuk Kapak” yang kadang asimetris,berhamburan,atau sesekali seperti barisan yang rapi menuju suatu tujuan.
Sesungguhnya diantara sekian banyak mantra yang hidup dalam kumpulan “Talken Koneng” adalah keberanian bermain-main dengan percintaan secara meluas. Kadang terasa komikal dan musikal dengan adanya repetisi mau pun dengan permainan bunyi yang mirip kadang terasa liris dan menghentak.
Percintaan dan kematian dua sisi mata uang yang saling melapisi. Jika percintaan itu dilakukan dengan dilandasi nafsu dalam sebuah perselingkuhan maka lambat dan pasti akan membawanya pada “kematian”. JIka politisi akan mematikan karier politiknya.Jika pejabat akan jatuh dari singasana,mati jabatan yang diagungkannya. Jika tokoh masyarakat akan diasingkan dari tengah khalayaknya, “mati” wibawanya.
Apabila cinta itu dilakukan dengan tulus dalam sebuah pernikahan, akan mematikan nafsu badani dan syahwat ke dalam sebuah cinta yang tentram. “Talken Koneng” tidak lagi untuk takluk-menaklukan, melainkan berselagu dalam sebuah  nyanyian mantra kehidupan; cinta, lelaki, perempuan, pernikahan, nafsu, kematian dan keabadian.  Membaca buku ini seperti membaca kelebatan masa silam yang menakutkan dan mendebarkan dalam sebuah lompatan ke masa kini yang penuh tegangan, canda, dan kenakalan-kenakalan dalam bahasa yang kadang sulit dimengerti atau tak ditemukan dalam kamus. Tersebab, karena bahasa puisi lebih dekat ke dalam hati.*****(HR)


[1] Disajikan pada acara bedah buku “Talken Koneng” di kampus STKIP PGRI Sumenep pada hari Kamis,17 Mei 2012
[2] Penulis adalah guru, esais,dan penikmat puisi beralamat di hidayatraharja.blogspot.com dan http://kompasiana.com/hidayatraharja.