Translate

Senin, 18 Februari 2013

JANGAN BERHENTI MENULIS


:Surat untuk Tyas

Ada dua orang siswi yang bernama Tyas dan dua-duanya piawai menulis. Ryanti Setyoningtyas dan Pitaloka Ayu Artiningtyas,dua siswi yang cukup berkesan bagi saya sebab keduanya telah memiliki kesungguhan dalam hal menulis. Tyas yang pertama saat itu siswi yang ada di kelas unggulan di SMA tempat saya mengajar. Dia belajar menulis semenjak kelas 5 SD. Orangtuanya menitipkan kepada saya untuk dibimbing menulis. Karena tidak punya tempat belajar yang memadai, kami belajar di teras rumah, bercerita, berdiskusi dan menulis. Sesekali mengikuti kompetisi untuk menjajal kemampuannya.
Sewaktu duduk di bangku SMP dia berhasil memenangkan kompetisi menulis antar pelajar se kabupaten Sumenep. Dia bisa menuliskan sesuatu dengan detail, dan tata bahasa yang tertib, dan selalu ingin menghasilkan yang terbaik. Jika presentasi, dia selalu menginginkan untukmendapat undian pertama untuk melakukan presentasi. Alasannya,supaya tidak terpengaruh oelh peserta yang lain. Kebiasan tersebut berlanjut sampai dia memasuki bangsu SMA, dia memenangkan kompetisi menulis antarsiswa SMA se kabupaten Sumenep. Namun ketika mengikuti lomba olimpiade penelitian di tingkat nasional, dia kurang beruntung. Namun saya tidak pernah melupakan kesungguhannya dalam menulis. Kini dia sudah ada di bangku kuliah di Universitas Brawijaya. Entah, apakah dia masih tetap menulis. Hanya suatu ketika dia menyampaikan pesan ke mamanya kalau saat belajar menulis bersama saya banyak manfaat yang bermanfaat saat di bangku kuliah.
Saya  hanya berharap mudah-mudahan dia terus menulis. Jika kelak jadi akademisi dia akan menjadi akademisi yang cermat dan mampu menulis dengan bagus. Pamdai mengabadikan peristiwa dalam tulisan yang akan memberikan tammbahan wawasan dan penglaman bagi pembacanya.
Tyas yang kedua (Pitaloka Ayu Artiningtyas) saya mengenalnya sejak dia duduk di bangku SMA. Anaknya kecil, dan kritis. Kebetulan saat itu saya mendapatkan jam mengajar “menulis kreatif” di kelas X. Satu minggu satu jam pelajaran. Hal yang sulit karena tidak semua siswa tertarik untuk menulis, tetapi  ini sebuah tantangan yang amat menarik. Saya mencoba menjadikan menulis sebagai ruang refresh bagi mereka. Ruang untuk mengungkapkan gagasan, pemikiran, pengalaman, kesenangan, dan bahkan untuk mengungkapkan kejengkelan mereka. Sesekali mereka saya ajak ke ruang multimedia untuk menyaksikan film pendek dan kemudian memberinya komentar dalam bentuk tulisan. Mereka menemukan ruang ekspresi  seberapa pun banyaknya kata yang berhasil mereka susun tetap saya hargai.Mereka telah berusaha untuk mengungkapkan gagasannya dalam tulisan. Sebuah yang membuat saya bangga,karena sejatinya mereka juga ingin bisa menulis dengan baik. Mereka bebas berekspresi dalam tulisan, Mereka tidak lagi takut menulis,mereka menuliskan apa yang dialami dan apa yang diinginkannya.
Usai menulis di minggu berikutnya lima tulisan terbaik dibacakan di depan kelas dan si penulis akan menceritakan latar belakang ide yang ditulisaknnya. Ada beberapa siswa yang tidak percaya kalau tulisannya dinilai bagus. Dia tidak percaya karena selama ini dicap oleh sebagian guru sebagai murid yang nakal dan kurang pintar dalam hal pelajaran. Tetapi dalam kegiatan menulis dia seperti menemukan ruang pembebasan untuk mengutarakan gagasannya.
Pitaloka Ayu Artiningtyas, salah seorang siswi yang tulisannya cukup menarik, sebab dia bisa menulis dan bercerita lebih banyak daripada teman-temannya yang lain. Bahkan pernah terpilih sebagai finalis lomba  karya tulis ilmiah populer yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di kota Sumenep. Dia kalah bukan karena tulisannya tidak bagus, tetapi sistem peniliaan yang tidak fair. Pemenang dalam kompetisi itu ditentukan oleh audiens, dengan memberikan voting pada setiapsajian.Maka,peserta yang membanyak audiens akan banyakmendapatkan hasilvoting penilaian.Jadi bukan karena naskahnya bagus tetapi karena teman satu sekolahnya yang melakukan presentasi. Dewan juri hanya menentukan mereka yang masuk finalis. Maka, yang jadi pemenang dalam kompetisi semacam ini adalah yang paling banyak membawa supporter. Tapi Tyas tak pernah kecewa, seskali dia menunjukkan tulisannya yang berkenaan dengan kearifan lokal yang ada di Sumenep. Dia berbakat menulis.
Saya berharap kelak dia menjadi penulis yang handal. Jika menjadi akademisi dia akan menjadi kademisi yang bisa menulis dengan bagus. Dalam penerimaan mahasiswa baru tahun kemarin, Pitaloka Ayuningtyas diterima di Fakultas Kedokteran di Mataram. Saya optimis kelak dia akan menajdi dokter yang bisa menulis dengan baik.
Kemarin siang,saat berada di tempat parkir di sekolah teras terdengar suara Tyas memanggil mendekat ke arah saya. Bersalaman dan cerita kalau dia sering mengunjungi blogku. Saya senang sudah enam bulan tidak bertemu dengannya. Dia semakin berisi dan senyumnya bahgia,apa yang diidamkannya teraih juga untuk bisa kuliah di fakultas kedokteran. “Pak,saya sering mengunjungi blog yang bapak kelola.Tapi saya tak menulis lagi. Saya ingin menulis pak!”.Saya tanyakan jadwal kuliahnya ternyata paling lama sampai sore hari. Saya eman mendengarnya dia tidak lagi menulis. “Tyas, kamu bisa mnulis, teruskan kebiasaan itu.Tulislah apa yang kamu alami, pengalaman itu akan banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Menulislah. Sebab engkau akan berbeda. Jika kelak kamu menjadi seorang dokter. Kamu dokter yang menulis…Menulislah nak. Jangan berhenti menulis, dengan menulis kau bisa berbagi dengan orang lain, dengan menulis kau bisa mengabadikan peristiwa dan kenangan yang pernah singgah dalam hidup kamu, dan dengan menulis kau akan panjang umur. Sebab ketika kamu tiada tulisanmu masih akan dibaca orang lain. Gagasan dan pemikiranmu akan terus hidup menjadi bagian dari sejarah kehidupan yang pernah kau tuliskan….

Aku Tidak Membencimu Anakku


Usai mengikuti kegiatan pemantapan mengenai perubahan penilaian jabatan dan angka kredit guru, saya kembali masuk kelas pada jam12.00.  Sudah lebih lima menit saya memasuki kelas XII IIA 5, namun baru empat orang yang hadir dalam ruangan. Mereka mengira saya masiah belum selesai mengikuti penataran. Selang beberapa menit mereka mulai berdatangan memasuki kelas. Apa kabar? tanyaku, “baik,pak!” jawab mereka serentak.
“Ayo, kita bahas tugas yang dikerjakan pada waktu yang lalu.”
“Tugas yang mana,Pak?”
“Tugas saat saya berhalangan hadir,karena  ada tugas dinas,penataran di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur,minggu yang lalu.”
Mereka semua terkesiap. Rupanya banyak dari mereka yang tidak mengerjakan tugas. Saya meminta mereka mengumpulkan tugas yang dikerjakan untuk mengecek hasil pekerjaannya. Mereka mulai gaduh dan saling tatap di antara mereka. Ketika diminta untuk mengacungkan tangan bagi yang tidak mengerjakan tugas,ternyata 34 orang tidak mengerjakan tugas.
Saya minta mereka untuk megerjakan tugas diluar kelas, dan hanya lima orang yang ada di dalam kelas. Merekakeberatan untukmeninggalkan kelas. Tetapi, saya memohon mereka untuk mengerjakan tugas terlebih dahulu diluar kelas. Baru pada pertemuan berikutnya mereka bisa mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya. Sebagian siswaperempuan memohon, dan mereka mulai menangis,merasa bersalah.Tapi,saya tetap meminta mereka mengerjakan tugas diluar kelas.
Saya mengajar di hadapan lima orang.Berdikusi dengan lima orang amat mudah, namun pikiran saya berkelebat kepada 34 orang siswa yang saya keluarkan. Apakah mereka meremehkan pelajaran yang saya berikan? Ada rasa jengkel bergelantung di ulu jantung.

Malam hari,ada seorang siswa datang ke rumah mewakili teman-temannya untuk meminta maaf. Kami ngobrol di  teras rumah. Dia menceritakan kalau pada waktu itu juga ada tugas mata pelajaran agama yang harus dikumpulkan hari itu juga. Atas nama teman-temannya dia memohon untuk mengikuti mata pelajaran biologi pada pertemuan berikutnya. Mereka saya ijinkan untuk mengikuti pelajaran biologi di waktu berikutnya salkan tugas yang telah diberikan diselesaikan terlebih dahulu.

Tak ada  niatan untuk membenci dengan mengeluarkan mereka dari dalam kelas, tetapi hanya untuk memberikan pelajaran kepada mereka mengenai disiplin dan tanggungjawab. Saya memahami kalau tugas siswa bertumpuk dan waktu mereka banyak tersita, tetapi itu semua untuk menjadikan mereka menjadilebih tangguh, disiplin dan bertanggungjawab.

Di pertemuan berikutnya mereka yang saya keluarkan menyerahkan tugas yang lalai dikerjakan.Semua berharap untuk bisa mengikuti pelajaran. Saya persilakan mereka untuk mengikuti palajaran dan saya minta maaf apabila tindakan dan hukuman yang saya berikan tidak berkenan. Saya jelaskan pada mereka,bahwa saya ingin memiliki anak didik yang penuh disiplin dan tanggungjawab. Anak didik yang selalu bekerja keras, pantang menyerah, dan selalu bisa menyiasati waktu.

Ada senyum binar di antara mereka dan mulai ceria kembali mengikuti pelajaran. Senyum yang megembangkan harapan akan masa depan mereka. Masa depan yang akan menggantikanku kelak. Jangan pernah menyerah…..

Rabu, 13 Februari 2013

Perlawanan – dari Duniake-3; Pon-Minimalis diluar Kuasa Media

Perlawanan -1994- Karya Hidayat Raharja
Beberapa waktu yang lalu saya didatangi dua orang teman (Mahendra dan Amin Bashiri) membawa tiga eksemplar buku yang ternyata; 2 eksemplar Jurnal Pon-Minimalis,sebuah jurnal yang bermuatan silang budaya urban culture, globalisasi, dunia ke-3, gender, dan kampung-kampung hibrid. Satu eksemplar Kehadiran jurnal tersebut sangat menarik, karena keduanya lahir ditengah kuasa media kapital yang memborbardir informasi dan kebudayaan atas kepentingan ekonomi kapital.
Pon-Minimalis yang diterbitkan oleh Language Theatre mengambil jalan sebagairuang bagi budaya dan kampung hibrid,dunia ketiga, dan kultur urban. Sebuah pilihan yang amat menarik dengan jalur yang tak tersentuh ruang media massa komersial. Sebuah ruang kreatif dan kritis yang mewadahi hal-hal yang takmungkin ditemukan dalam surat kabar. Sebuah kelahiran yang tanpa takut menghadapi kenyataan onformasi dan ruang budaya yang tumpang tindih dan saling bertubrukan diantara persilangan yang selalu memposisikan pihakmenag dan kalah. Pilihan yang diambil Po-Minimalis adalah sebuah keberanian untuk melawan arus informasi yang sedemikian tertib (bahasa) dan topik dalam sebuah ruang yang longgar dengan bahasa hibrid dan topik urban yang selalu tersisihkan.
Ruang yang memberikan pembebasan dan alternatif untuk menandai detak-gelegak yang tak teralirkan dalam koran atau media massa komersial. Kesungguhan atas pilihan ini diawali dengan menghadirkan penulis-penulis dari luar daerah Madura, yang menadakan jurnal Pon-Minimalis melintasi wilayah geografis dan lokalitas. Edisi pertama tahun 2012 menghadirkan penulis tamu Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Mario F Lawi (Kupang), Dewi K Hidayat (Sidoarjo), Tony Lesmana (Jawa Barat). Pada edisi kedua (desember 2012); Irmansyah (Padang), Galah Denawa (Jawa Barat), Alek Subairi (Surabaya) dan Y Thendra BP. Sedangkan dari Sumenep; Amin Bashiri, Mahendra, Salamet, S(lam)et Wahedi, Muhammad Affan.
Gelegak itu tumpah dalam : Tor-ator (dari redaksi),esai,puisi,dan cerpen. Meski tampak benar apa yang dimaui oleh kehendak redaksi jurnal telah menunjukkan sebagai ruang “Urban Culture” dengan bahasa hibrid (madura-inggris-indonesia) yang bersejajar sebagai ejawantah keurbanan yang demikian longgar dan tanpa beban,sebagai ruang bisik-bisik sampai ruang serius untuk membedah atau menelaah. Adalah hal yang sangat menarik untuk menjadi bacaan pilihan yang mengkayakan pemahaman dunia ketiga, kampung urban,dan budaya urban. Dari sebuah perlawanan untuk menandai setiap peristiwa yang tak terungkap di ruang baca umum, ke dalam ruang baca yang ebih privat.
Kesungguhan ini ditandai dengan pilihan tulisan (esai khususnya) yang takmungkin ditemukan diruang media massa,sehingga menarik. Perlawaanan ini sendiri adalah sebuah kesungguhan yang serius dikerjakan oleh Pon-Minimalis dengan membenahi kemasan dan lay-out di terbitan yang ke-2. Keseriusan ini otomatis akan berhadapan dengan ruang-ruang media massa yang mengatur alur informasi. Juga jejaring sosial dengan aneka bentuknya yang demikian narsis dan masif.
Maka, pilihan berbeda ini menjadi ruang alternatif yang menyimpan kepalan-kepalan kemungkinan yang akan terlempar ke hadapan publik.Kepalan kebudayaan yang takterjamah oleh koran atau pun media massa komersial. Nilai inilah yang bisa menjadi bargaining bagi pembaca untuk menjadikan pilihan sehingga bisa melengkapi informasi yang meruah di media massa. Informasi yang tidak menjadi sampah di antara sampah infromasi yang berjatuhan dari ruang publik yang bersesakan dan saling bertubrukan.
Tawaran itu bisa berangkat dari kemasan yang mendakan dunia ketiga, dunia urban – tempat berbaurnya segala kemungkinan dan peradaban sehingga menjadi sebuah hibrid yang adaptif bisa bertumbuh di segala ruang dan cuaca. Di tangan orang-orang muda segala kemungkinan bisa menjadi mungkin. Kemustahilan bisa menjadi mungkin. Karena begitu banyak dari remahan dunia ketiga, kampung hibrid, budaya urban, gender, globalisasi, yang tak terjamah dan kemungkinan kita telah tergilas di dalamnya dalam sebuah rupa yang tanpadisadari telah terseret oleh geretan waktu yang berderit di engsel tubuh memutar jam biologis di antara tikaman peradaban yang berdarah dan bernanah. Waktu!
Sumenep, 2@13