Translate

Senin, 11 April 2011

Puisi di Tengah Keramaian Pesta Pernikahan

Oleh: Hidayat Raharja *
Siapa pembaca puisi Indonesia? Tidak lain adalah para penyair dan para remaja yang berminat ingin menulis puisi. Temnan-teman penyair dan sedikit lagi kalangan akademisi yang tengah mengerjakan tugas akhir dengan tema yang berhubungan dengan puisi dan sastra Indonesia. Kondisi yang juga tidak jauh berbeda ketika dilangsungkan bedah huku sastra (termasuk puisi), maka pada umumnya yang datang adalah karib dan kerabat si penyair atau para siswa dan mahasiswa yang menjadi binaan si penyair atau sastrawan. Kondisi yang menyatakan bahwa puisi Indoensia sehat-sehat saja, meski kerap kali diwarnaio dengan polemik dan kadang saling hujat untuk menunjukkan siapa yang paling hebat. 

Begitu istimewanya puisi dalam kancah sastra Indonesia. Sebab, puisi masih banyak ditulis dan dibacakan entah dalam acara seremonial mau pun dalam acara resmi kenegaraan sebagai pelengkap bahwa kita mampu mengapresiasi karya sastra dan membuktikan bahwa kita berbudaya. Sehingga setiap hari pusi masih ditulis. Entah sebagai ucapan sayang pada klekasihnya yang tengah ulang tahun, atau menyimpan patahan hati karena cintanya tak bersambut tangan. Cinta, putus asa, mabuk cinta, dan ditimpa marabahaya bermetamorfos menjadi hamparan puisi yang terus berlahiran dan menyodok mata kita yang takl mau tahu atau pun yang sudah pingsan dengan kilang-kilang puisi yang kian bertumpahan.
Aku disentakkan dengan kehadiran puisi yang bermetamorfosa dalam sebuah pesta pernikahan. Suatu pusaran kecil di tengah kota kecil yang di dalamnya banyak gumpalan-gumpalan puisi berpecahan.
Malam masih belum beranjak pukul 20.00 ketika para undangan mulai bersesakan dalam ruang gedung Korpri – Sumenep. Saat sambutan dari rumah bergema di atas panggung, beberapa teman dari komunitas Lentera membagi-bagikan dua buku puisi dalam satu paket : “Tak ada luka yang Sederhana” karya M. Fauzi dan “Benazir Nafilah, Memberi dan Hutan” karya Benazir Nafilah. Dan sekelompok undangan dari berbagai komunitas sastra dan teater dari ujung barat sampai timur Madura hadir di situ; Timur Budi Raja (Bangkalan), Umar Fauzi, Aslek Subairi (Sampang), M. Faizi, Mahendra, Syah A. Latief, Arya Mustafa Sappan Mukri, Iwan Youngkinata, En Hidayat, Humaidi gaduh mengomentari buku puisi yang diluncurkan di tengah pesat pernikahan. Karena kebetulan mereka bernaung dalam satu tenda di sisi kiri gedung resepsi pernikahan . Karuan saja, keriuhan itu mengundang tanya undangan lainnya. Baru mereka menyadari kalau yang tengah riuh adalah teman si mempelai yang juga aktivis di Sanggar Lentera –Sumenep.
Ada yang aneh? Sebuah metamorfosa dalam kehidupan masyarakat di kota kecil yang mampu menyerap dan menyesap dinamika peradaban perkotaan. Di saat panggung pesta diramaikan dengan dentuman musik gambus atau pop sebagai penghibur penonton, suatu tawaran ganjil dengan meluncurkan buku di tengah keramaian pesta pernikahan. Tawaran baru M.Fauzi dan Benazir Nafilah, menjadikan momen bahagia tersebut untuk meluncurkan anak-anak puisi yang mereka lahirkan. Buku-buku sebagai penanda.
Buku dan Pernikahan
Barangkali disengaja atau tidak, ketika membuka lembar-lembar buku tersebut sepertinya dipersiapkan untuk menandai pernikahan mereka. Meski bukan sebagai “mahar” namun muatan yang ada di dalamnya adalah merajut perjalanan dalam percintaan mereka. Persembahan Fauzi kepada Benazir, atau sebaliknya. Dalam “Benazir Nafilah, Memberi dan Hutan”, Pernikahan yang menjadi tujuan dalam awal perjalanan yang lain bagi mereka. Pernikahan yang diumpamakan hutan belukar yang akan mereka buka:
Zi, ini Fila/ ceritakan bagaimana dalam hutanku ada nelayan/ ada jaring-jaring dan sebuah perahu/ dan kita berkendara hujan ke hutanku... Zi ini aku/ ajari aku merawat hutanku// (Ceritakan Bagaimana Hutanku, halaman 47) Sebuah titik ungkap yang membangun hasrat Benazir untuk memberikan sesutu kepada kekasihnya, tau dlam lanskap yang lebih luas dia sebagai wanita yang sering disurbordinasi di dalam perkawiann sebagai yang menerima. Tidak bagi Benazir, dia adalah wanita yang juga memberi kepada suaminya. Sebagai perempuan Dia tidak meneyrahkan diri sebagai ladang yang akan digarap pemilik (penguasa) ladang, tetapi dia mengajaknya “Berkebun Bersama”: ...aku beri hujan/ kau rapatkan badan/ hingga kebanjiran//aku beri kehangatan/ kau buka baju/ dan kita mulai berkebun/ (halaman 56). Hasrat berkebun, dan dia selau memberi bukan meminta. Barangkali di sinilah letak metamorfosis itu.
Tak jauh berbeda apa yang termaktub dalam buku “Tak Ada Luka yang Sangat Sederhana” karya M. Fauzi. Sebagai lelaki Dia mampu menerima dan mengiumbangi besaran cinta yang dilontarkan Benazir. ...(zIr)peta itu(zIr)hijir ismail yang dijerang kemarau(zIr)sampai/ siti hajardan Ibrahim(zIr)batuubatu tumbuh didadaku(zIr)/ (halaman64). Cinta sebesar Ismail kepada siti hajar yang kekal dilampaui musim dan usia.Seperti batu-batu itu yang membuatnya abadi. Batu yang menjadi jejak bagio mereka yang meiliki akal. Perjanan cinta yang tak mulus, penuh coba dan duga, namun kesetian dan ketulusan cinta mengabadiukan cinta ismail dan siti Hajar.
Meski ladang-ladang itu berbatu, tetapi dengan gerusan cinta akan melapukkan batu-batu. Hamparan batu yang menjadi ladang-ladang terbuka dalams ebuah suksesi kehidupan yang berjalan seiring dengan musim dan pancaroba. Harapn yang juga dikukuhkan oleh Fauzi dalam larik.. di ladangmu/ aku tanam kupukupu/ tumbuh anak bebatu..../kau – aku dan reritus rindu/ adalah gegar waktu di bawah kaki ibu// (Aku Tanam KupuKupu, halaman 39). Betapa indahnya harapan cita mereka. Awal yang hangat memasuki musim kawin akan menetaskan impian-impian mereka menjadi sungai yang akan mengairi ladang yang mereka kerjakan. Akan mengairi hutan yang mereka masuki. Hutan belukar yang penuh aneka kelimpahan dan juga ancaman. Namun, si pemburu tak takut akan rupa-rupa dan hantu, karena sudah kadung berangkat dan bersetuju, tinggal mengatur desing peluru.
Seperti juga keberanian mereka, meluncurkan dua bukunya dalam pesta pernikahan yang mereka rayakan. Menandai akan kelahiran anak-anak puisi mereka di waktu yang akan datang. Aku hanya bisa menyampaikan selamat datang, di rimbunrimba dan batu karang. Selamat menyebrang!