Translate

Rabu, 11 November 2015

Menyambut Musim Hujan; Orang-Orang Membaca Buku dan Soal Ujian


oleh: Hidayat Raharja

Ai, musim hujan mulai mengintip, tapi di halaman hanya angin basah yang lewat dengan wajah langit yang rada redup. Matahari terik,dan udara jadi panas. Keringat  tumpah dari pori-pori membasahi pakaian yang lekat di badan. Minggu-minggu ini banyak orang menunggu hujan. Sebagian dari mereka mengunggah foto hujan di halaman di dinding facebook. Sejuk terasa,mata melihatnya.

Orang bersiap-siap menyambutnya.Mengenag kembali musim hujan di tahun lalu, dengan haraphujan segera datang. Tapi hujan tak datang. Hanya angin yang membawa butir-butir udaralembab yang gagal jadi hujan. Hanya di utara sana terlihat mendung hitam dan kemudian memutih pucat dipanadangdati teras. Hujan deras nun disana.

Di tenggara Umam bercerrita kalau hujan deras mengunjunghi halamannya.Bau tanah rekah menyhambut berkah dan aroamakembang tanah.Aroma yang membangkitkan biji-biji bercambah. Bunga-bunga merekah menadahi hujan pertama yang akan membuatnya bahagia. Akar-alar di ekdalaman menggeliat seperti menyusu menghisap sari hidup yang kembali murup. Aku bayangkan wajah tanah yang berdebu kembali segar sepertidiraupi wudhu.Wajah yang dipenuhi syukur tak terukur.

Di punggung luasnya aneka benih kembali bertunas, menyambut hari-hari bernas. Kuncup daun di ketiak dahan, pucuk pete yang hijau muda di ujung batang, dan serangga kecil berseliweran dengung berdendang. Hati-hati banyak serangga tanah dan reptil yang keluar dari liang karena suhu pengap di dalam. Maka selalu aku tutuppintu ruang tamu jika tak ada yang cengeramadi teras.

Untung ada pohon nagka dan mangga. Pohon nagka yang gembur dengan cabang dan rimbun daun berjibun menggesek angin siang yang menyegarkan. Angin yang menyeka keringat di permukaan tubuh. Buah terakhirnya telah tandas menandai musim kemarau yang akan lewat. Sedangkan pohon mangga yang memeluk rimbun daunnya, namun sangat jarang buahnya. Tahun lalu di bulan seperti ini puluhan buahnya bergelantung sampai menyentuh punggung sehingga perlu disangga dengan tiang bambu. Musim ini ia seperti enggan berbuah, namun lebih suka menunaskan pucuk baru yang pupus hijau menyegarkan di pandangan mata.  

Musim ini di ujung batas kemarau dan hujan aku seperti mendapatkan banyak teman. Akulihat setiap waktu dalam seminggu ini banyak bapak-bapak dan ibu –ibu tekun membaca,tekun berdiskusi,dan tekun menyampaikan hasil belajarnya. Mereka tengah menunaikan tugas yang dilupakannya, tugas membaca. Mereka seperti akan membayar hutang terhadap kebiasaan membaca yang harus dirawatnya. Diunduhnya soal-soal paedagogig dan profesional untuk melatih kemampuannya menjawab soal. Mereka mau mengikuti ujian kompetensi guru. Mereka tengah mengumpulkan bekal yang telah  lama tidak dipedulikan. Bekal mereka untuk mengajar. Mereka ketakutan seperti layak murid mau menghadapi Ujian Nasional, sehinga ada pula diantaranya yang mencari joki untuk membantu menjawab soal ujian.

Ai, musim hujan masih terus mengintai dan menampakkan wajah langit yang kusam. Namun matahari sesekali menyeringai dengan tikaman panas membuat keringat berlepasan. Ini kemarau telah lewat tapi hujan datangnya terlambat. Sapu tangan sejak tadi sudah basah mengusap keringat bagai bah. Rindu air yang akan menyejukkan udara,. Rindu air yang akan menidurkan musiam kering. Rindu air yang akan memadamkan api pengap. Rindu air yang akan menenangkan resah tanah dan rumah.

Jika hujan datang tangannya yang gemericik menabuh atap-atap rumah seperti bunyai perkusi yang kian merapat dan cepat. Kecepatan yang kadang membangunkan rasa takut. Kecepatanhya berbarengan dengan turunnya kabut yang membuat pandangan mata jadi tersaput. Tangan hujan yang dingin lalau saling berangkul berjatuhan dari pancuran kehalaman tubuhnya berdebam ke permukaan tanah. Kulit tanah terkelupas.Tubuhnya mengaliri halaman menjauh ke tempat renbdah ke ceruk sawah. Ceruk tempat katakmnerauh berudu. Katak yang menyanyikan malam memanggil pasangan, menyanyikan bulan dan bintang.

Gang-gang malam riuh oleh nyanyian Kung, dari katak jangkung. Memanggil purnama yang lembab di timur dan barat. Nyanyian malam yang tak lagi dihiraukan oleh telinga kita, karena di kamar suara televisi menyala. Suara tivi bernyanyi dan suara tivi tertawa, menertawakan hidup kita yang terlewat.

Ai hujan belum juga datang 320C di dalam ruangan. Keringat kembali terbit dari setiap pori membasahi dahi, membasahi punggung,membasahi tubuh.membsahi pikirnaku yang terus tumbuh. Sumenep, 12 November 2015.



Kamis, 23 Juli 2015

Tellasan


(pergi pulang omben maddis;
kisah buat Aida, Azmil,Tata,Azka dan Amira)
Foto: oleh M.A Ramadhan

Usai shalat jumat, 1 Syawal 1436 H. Rencana Ayah sekeluarga dengan mantu dan cucu-cucunya berkunjung ke keluarga yang ada di Maddis –Pamekasan.  Rencana berangkat usai jumatan sedikit tertunda karena ada tamu menemui Ayah dan kelihatannya sangat prnting. Namun kegelisahan kami untuk segera bertemu family di Maddis. Saya menyuruh ponakan yang paling keciluntuk menemui Mbahnya, danmengajak untuk segera berangkat.
Jam digital di telpon pintar menunjukkan angka 13,30. Kami bersiap dan berkemas. Adiksaya tengah menyiapkan kendaraannya untukmembawa kami semua melaju ke arah timur.Arah Pamekasan. Kami berangkat bersama keluarga besar  kecuali si bungsu yang ada di kota lain bersamakeluarganya. Mobil yang tak terlalu besar dijejali tubuh orangtua, dan cucu-cucu ayah yang balita, anak-anak dan remaja.

Terik. Matahari membakar, aspal jalanan yang hitam mendidih. Tapi keinginan untuk berkunjung dan keterbatasan waktu kami  tak menghiraukan panas yang menyengat. Mobil bergerak ke arah timur, Pamekasan.Acara keluarga rutin yang dilakukan setiap tahun. Hanya pada saat iedul fitri kami bertemu dengan sanak famili. Pertemuan kali ini adalah tahun keempat setelah nenekmeninggal dunia. Sebuah pertemuan yang singkat,karena ketika masih ada nenek kami bermalam di rumah nenek. Namun, pertemuan yang sngkat ini amat bermakna untukmerekatkan kembali hubungan keluarga.

Sebulan yang lalu di pertengahan juni, kami semua berkumpul karena ada saudara sepupu seusia dengan saya meninggal dunia. Susmiyati putri pertama Nyah Rihah. Artinya kami berkumpul dengan keluarga besar dari pihak ibu,ketika ; pertama ada sanak famili yang menikah atau berkeluarga.Kedua, ada anggota keluarga yang meningal dunia, dan yang ketiga saat hari raya iedul fitri. Kali ini kami akan menuju rumah Nyah Rihah di desa Maddis. Satu-satunya saudara Ibu yang masih ada,karena yang lain (Siti Aminah, Moh. Bahrah, Moh. Sahi, dan Moh.Ali Wafa) sudah meninggal dunia.

Jalanan ramai oleh kendaraan yang bising di telinga. Di bulan semacam ini orang-orang Madura yang ada di rantau pada pulang semua. Mereka membawa kendaraan roda empat dan roda dua membuat jalan makin sesak saja. Kendaraan yang menjadi tumpangan mereka,sekaligus penanda kehidupan mereka di tanah rantau. Desa omben semkain padat,sepanjang tepain jalan bangunan rumah dan pertokoan menyita perhatian.

“Desa Kapitalis” begitu saya menyebut. Saya masih ingat sepanjang jalanan ini dulunya masih sepi rumah-rumah berdiri di natara tegal dan kebun. Kini tak ada lagi. Bangunan bertebaran dan lahan semkain mahal dan tak ada ruang untuktumbuhan mencengekramkan akar dan menjuraikan reranting. Kampung yang panas. Sedari dulu kampung dan desa ini tak pernah sepi. Seperti saat ini, shalat ied baru usai beberapa jam yang lalu. Toko-toko sudah pada buka menyediakan jasa bagi para konsumen.

Silaturahmi berlangsung di masjid dan dengan tetangga sekitar, bersalam-salaman mengucapkan idul fitri dan memohon maaf lahir dan batin. Sederhana. Tak ada kunjung-mengunjung di rumah. Ini hanya dilakukan antar sanak famili. Maka, yang berjualan kembali membuka lapaknya. Mereka yang memiliki toko membuka lagi gerainya. Juga pasar Omben yang baru saya lewati ramai dengan jual beli.

“Ada yang butuh, maka kami layani,” begitulah yang muncul dalam benak. Saat ini apa yang mereka butuhkan tersedia juga.  Meski di hari raya, mereka siap melayani. Semua tersedia dengan harga yang setara.

Sepanjang jalanan, berpapasan dengan kendaraan bermotor dengan nomorpolisi yang menunjukkan domisili diluar Madura. Mereka pada “toron” merayakan idulfitri dan menyambung kembali tali silaturrahmi. Laju kendaraan perlahan meninggalkan halaman; Omben, Temoran, Meteng, Pangundung, Madulang, Badung,Pangbatok, Panagguwan, Jambiringin, Propppo, Samatan, Nylabuh, Bugih, Gadin, Gladak Anyar, Kolpajung, Nyalaran, Blumbungan, Maddis. Desa-desa yang dilintasi. Desa yang tertanam dalam benak dan selalu kami lewati setiap berkunjung ke rumah nenek. Jarak yang tak terlalu jauh, takkurang dari 30 kilometer bentangan.

Melewati pasar Madulang, orang-orang berpakaian baru, anak-anak,remaja,tua dan muda tumpah ruah ke jalanan. Bunyi petasan bersahut dengan gelak tawa anak-anak yang kegirangan telah mengagetkan beberapa perempuan disekitarnya. Pedagang bakso, rujak, soto ramai melayani pembeli. Ya tak ketinggalan muda-mudi tengah beraksi menunjukkan kekasih mereka. Tellasan yang selalu memberikan cerita berbeda di setiap tahunnya.
Tanah-tanah tumbuh bangunan rumah di sepanjang tepian jalan.Perubahan yang terus bertumbuh, menindih lahan pertanian. Bukit-bukit dikepras, dijualpasirnya.pohon-pohon ditebang dijualkayunya. Tanah-tanah dijual didirikan bangunan di atasnya. Desa-desa tumbuh menyusul kota yang angkuh.

Bukit-bukit teah kehilangan pohon. Seperti bukit di sebelah timur rumah nenek tak ada lagi pohon ‘Polai” tebing-tebingnya diruntuhkan dijual pasirnya.  Sumur yang dulunya menjadi sumber mata air keluarga di rumah nenek, telah lama mengering. Rumah-rumah tumbuh. Orang-orang tumbuh dengan berbagai aktivitasnya. Jalanan aspal diperlebar dan kian mulus memperlancar laju mobilitas antar daerah.  Gerak akseleratif yang ditopang dnegan kemajuan teknologi informasi dalam genggaman tangan.

Skitar pukul 14.05 kami tiba di rumah nyah Rihah.  Semua sedang berkumpuldi teras rumah sambil bercengekrama bersama putra-putrinya. Suasana yang selalu hadir dan membekas dalam ingatan saya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.  Rumah ini juga tumbuh ke arah barat dan ke arah timur dan di ujung barat halaman rumah berdiri kokoh “Kobhung” tempat shalat keluarga atau ketika melakukan hajat mengundang tetangga dan sanak famili. Rumah yang teduh di antara pepohonan dan selesir angin kemarau.

Tak ada yang berubah dari atmosfer rumah ini. Pohon-pohon dan perdu menjadi pagar batas halaman; nangka, kelapa, jambu air, jambu biji, kembang sepatu, mangga, kanitu dan banyak pohon semak yang tak kukenal namanya. Pohon-pohon yang merindangi rumah Nyah Rihah, membuat iklim di rumah ini menjadi sejuk dan nyaman.

Bahagia menyelimuti kami semua, meski sebulan yang lalu dirundung duka dengan meningalnya saudara Susmiyati. Tapi kami ikhlas dan selalu mengiriminya doa semoga diampuni segala dosa dan diterima segala amal baik yang akan menjadi temannya di alam baka. Dengan kunjungan semacam ini kami berupaya merajut persaudaraan dan pertalian kerabat semakin erat setelah moyang-moyang kami meninggalkan alam fana. Setidaknya kami masih berkeumpul ketika ada acara khaul kematian,  pernikahan anggota keluarga, dan hari raya.

Di kampung Maddis, masih terdengar bunyi petasan seperti bunyimeriam bersusulan. Mercon retengan yang dibuat sendiri. Untaian mercon dari ukuran kecil sampai ukuran terbesar jadi satu ikatan beruntai,sehingga ketika salah satu mercon yang kecildisulut,maka secara berantai dan meletuskan untaiaan mercon yang suaranya terdengar semakin memebsar dan bunyi terakhir sebagai penutup memiliki dentuman bagaimeriam. Tidakmustahiljika mereka mengeluarjan biaya jutaan rupiah untukpesat mercon rentengan semacam ini.  Tradisi ini masih hidup di kampung Maddis.

Tak lama, kami disuguhi soto ayam kampung. Soto buatan nyannyah yang sedap. Suguhan yang selalu kamitunggu setiapberkunjung ke rumah Nyannyah di hari raya. Meski sudah tua, nyannyah masih terlihat sehat dan cekatan. Beliau berpesan, kalau kami harus tetap rukun, menjalin tali siaturrahmi supaya hubungan kekeluargaan tetap terjalin.

Inilah soto ayam kampung kami, soto ayam Madura. Potongan ketupat, suhun, suwiran daging ayam kampung, gorengan bawang poutih, gorengan cambah, dan potongan telur ayamkampung menyeruak aroma gurih dan sedap. Aroma yang membukakembali memori berpuluh-puluh tahun yang lalu,ketikakami masihkanak, merasa senang dan nikmat menyantap soto ayam yang tidak setiap hari kami makan. Puluhan tahun lalu ketika jaman masih tidak enak,ketika perekonomian keluarga ayah masih kembang- kempis. Kenangan ketika memori rasa kami belum dikontaminasi soto Lamongan.

Usai menyantap soto, kami sholat ashar di kobung yang ada di ujung barat halaman. Tempat yang kembali mengingatkan masa kecil, ketika tempat itu juga berfungsi untuk menanmpung tidur anggota keluarga laki-laki yang sudah dewasa dan belum berkeluarga. Sehingga di bagian depanya dilengkapi dengan penutup yang bisa diangkat dan diturunkan untu menahan  angin kencang yang berseliwer di halaman.
Kami berpamitan untukmelanjutkan silaturrahmi ke keluarga yang lain,ke rumah Nom Wafa (alm).  Ke arah selatan tepat di bawah bukit dan tanjakan jalan yang menikung.  Ternyata, ke rumah Joko Rabsodi dan Didik terlebih dahulu. Saudara-saudara sepupu yang dulu masih sangat akrab dan saling bersilaturrahmi ketika paman-pamanku masih lengkap. 

Memasuki halaman rumah Joko dan Didik, semua memori masa lampau kembali bergerak, memutar waktu. Ketika kakek dan nenek, Anom dan Nyannyah masih lengkap. Rumah yang riuh dan selalu menebarkan kisa saat bertemu sepertilebaran saat ini. Ingatan yang kembali menghadirkan kakek yang mantan opas (polisi) dengan kedisiplinan dan ketegasannya.  Serta Nenek yang penyabar dengan cucunya yang nakal dan yatim serta piatu. Ya, beliau yang mengasuh sepupu-sepupu yang ditinggal oleh Ibu dan Ayahnya karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Semoga Allah  mengasihi dan memberikan tempat yang indah di sisiNya.
Kenangan ketika halaman ini dirindangi oleh mangga golek dan pohon jeruk sedangkan di tebing timur halaman rumah pohon “Pao Tabar” yang kecildan manis. Pasti,setiapmusim berbuah tiba,kami akan dibekali oleh-oleh satu glangsing buah mangga,hasilpanen di halaman rumah dan di tegal milik  nenek.  Mandi bersama di sumber mata air yang ada di seberang jalan . Kini sduah kering kehilangan sumber mata air.

Di rumah Joko, kami dihidangi rengginang, jagung goreng, es godir,dan es manis dibungkus  plastik. Kami tak lama bermaaf-maafan,sedikit berbagi kabar dan pindah ke rumah di seberang jalan rumah Nom Wafa (alm). Kami bertemu dengan anak-anak Nom Wafa dan si bungsu Iqbal, kini menjadi siswa baru di SMP  Negeri 2 Pamekasan. Sementara Ana, baru memasuki bangku Perguruan Tinggi.

Kalau di rumah Nom Wafa, pastinya Lek Nur akan menyediakan makan besar; nasi, semur daging dan ayam.  Yang terasa khas dilidah bumbunya yang terasa manis dan gurih . Kami tak bisa makan banyak karena lambung sudah terisi soto ayam. Kami harus menghargai sajian yang ada untukmencicipi karena kalau tidak mencicipi akan mengecewakan tuan rumah.

Tak terasa sinar matahari mulai redup,gerakmatahari condong ke arah barat seakan mulai mengintip pintu sore.  Jam digital menunjukkan angka  16.45 w.i.b. Kami bersiap pulang ke Omben. Kami berpamitan, dan melanjutkan  perjalanan  pulang.  Jalan ke arah Pamekasan,ramai terutama oleh kendaraan roda dua. Mereka yang baru pulang dari bersilaturrahmi dan berkreasi di berbagai tempat wisata. Dari arah Pamekasan belok kanan menuju pusat kota ke munomen Arek Lancor depan masjid Syuhada belok kiri lurus menuju arah Omben.

Perjalanan agak terganggu memasuki wilayah Panagguwan  sampai pangbatok. Di kanan kiri jalan muda-mudi,dan orang dewasa berbaur dengan pakaian anyar yang menarik. Mereka merayakan idul fitri dengan beremai-ramai  berkumpul, Ada yang berbagi cerita ada yang tengah memesan makanan Bakso dan Rujak. Sedangkan sebagian lagi anak-anakkecilmembeli balon pada penjual mainan yang ada di lokasi. Suara petasan menjadi jeda di antara percakapan dan gurauan mereka. Saat ini  kami dapat melihat aneka model gaun dan celana serta model rambut yang paling mutakhir. 

Desa-desa yang kami lewati dengan para penghuniya telah berubah secara perlahan dan pasti. Perubahan gaya hidup yang merekaperoleh dari mobilitas mereka keluar daerah dari kampung halaman atau diperoleh dari telpon pintar yang ada dalam genggaman tangan mereka.  Mereka tengah menunjukkan perubahan identitas mereka  yang terus bergerakmendekatai kota lewat akses infrastruktur jalan yang makin mulus, dan alat transportasi  (sepeda motor dan mobil) yang semakin mudah diperoleh.

Lima kilometer menjelang rumah. Keramaian mulai terlihat lagi hala yang sama dengan keramaian sebelumnya. Berkumpulnya massa di  pasar Madulang dengan aneka aksesoris tubuh . Sepeda motor dengan aksesorisnya dan nomorpolisi yang menunjukkan mereka adalah para perantau yang pulang kampung. Mereka yang sebelas bulan mengerahkan  tenaga danpikirannya menyambut kerja untuk mengumpulkan materi dan saat ini mereka menikmatinya, berbagi dengan teman. Mereka pendistribui perekonomian perkotaan ke kampung halaman.Hasilkerja keras mereka tumpah kembali saat “toron”,pulang kembali ke kampung halaman.

Dua puluh meter dari pasar ada konvoi sepeda motor.Makin dekat raung suaranya kian keras memekakan telinga.  Tak salah, ada sekitar seratus motor yang dipimpin oleh tiga orang pemuda  menuntun sepeda motornya dengan suara gas yang ditarik ulur meninggalkan suara geronggong gaduh menabuh gendang telinga. Di belekangnya dengan warna kaos serta tulias yang sama. Tulisan yang menyudut ke kiri atas warna merah di dasar kaos yang berarna putih. Nama yang menunjukkan  kemlompok mereka.

Mereka meminta perhatian sejenak bagi warga sekitar dan orang-orang  yang berpapasan dengannya. Raung suara yang menimbulkan ketakutan bagi yang berpapasan.Namun seutas senyum dan gelak tawa terlepas di antara mereka. Senyum ynng menyapa bagi pengedara yang berpapasan dengannya.

Saya  tidak tahu, apakah mereka bekerja di jalan yang benar. Apakah mereka yang menjadi penggagu pengendara di jalanan di tempat mereka merantau. Atau mereka mengusik ketengana warga di suatu kampung. Mereka adalah saudara-saudara saya. Anak bangsa yang meminta perhatian dari sekitarnya termasuk juga negara. Pmerintah tidak pernah menanyakan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.  Persoalan apa yang mereka temukan di tanah rantau.
Saya menyebut mereka adalah petarung yang ingin mempertahankan diri dari perubahan-perubahan yang terus mendesak dan menyeretnya. Ada dari mereka yang terseret menjadikan dirinya  motor yang taklagi menggunakan hati nurani. Mereka menggerakkan hidupnya hanya untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah ini kegagalan dunia pendidikan membangun karakter anak didiknya? Entahlah karena karakater paling dasar di bangun di dalam rumah. Apakah kegagalan rumah tangga dalam mendidik putra-putrinya? Tak tahulah. Ini cerminan anak-anak muda yang ada di kampung-kampung saat ini.

Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah. Pikiran saya buyar dan mendapati matahari telah tertelan ufuk barat. Memerah beriring suara sholawat mualik di langgar sebelah.(Hidayat Raharja).
                                                Jumat, 17 Juli 2015. Lebaran hari pertama

Rabu, 08 Juli 2015

Kisah Cinta Marlena,Seorang Perempuan Melayu


Judul Buku          : Ayah


Pengarang          : Andrea Hirata

Penerbit              : Bentang - Yogyakarta

Tahun cetak       : Mei – 2015

Ukuran buku      : 13X 20,5

Jumlah halaman: xx + 412 hlm

ISBN                      : 978-602-291-102-9

Peresensi            : Hidayat Raharja| Guru biologi, penikmat Fiksi

=======================================

Hubungan antara ayah dengan anak merupakan pertalian yang amat menegangkan, karena kerapkali ayah digambarkan kurang dekat dibandingkan dengan hubungan ibu dan anak.Namun tidak berarti ayah kehilangan peran dalam pengasuhan anak. Ayah ditempatkan sebagai tulang punggung keluarga  yang kerap berada di luar rumah, sehingga ibu lebih dominan dalam hubungannya dengan anak.

                “Ayah” novel terbaru Andrea Hirata (Mei, 2015) menguraikan hubungan komunikasi dan kasih sayang antara ayah dengan anak. Sebuah hubungan kasih yang kadang terasa haru namun juga heroik untuk memberikan seluruh perhatian bagi anaknya. Hubungan yang dipenuhi dengan intrik dalam rumah tangga, mengakibatkan si ayah terpisah dengan anak dan menimbulkan rindu berkepanjangan. Ada dua pola hubungan antara ayah dengan anak yang sangat menarik di dalam buku ini. Pertama, hubungan antara Markoni dengan anak bungsunya Marlena yang selalu kontroversial sehingga hari-harinya dipenuhi dengan pertengkaran. Persetruan yang mengakibatkan Marlena jadi pembangkang, sehingga pada suatu waktu mengalami hamil di luar pernikahan. Bagi berbagai masyarakat sukubangsa di Indonesia termasuk suku Melayu, peristiwa tersebut merupakan aib. Sehingga harus dicarikan jalan keluar bukan menggugurkan kandungan tetapi dengan mencari lelaki lain yang mau menikahi si gadis hamil.

                Kedua, Hubungan antara Sabari dengan Amiru yang dipanggilnya Zorro. Sabari sebagai ayah sekaligus berperan sebagai ibu bagi Zorro, karena Marlena istrinya meninggalkan dan menggugagatnya cerai. Konflik yang diperparah dengan diambilnya paksa Zorro oleh Marlena di sebuah taman kota pada saat Zorro berumur dua tahun. Peran ganda dilakoni oleh Sabari . Dalam perannya ini hubungan sabari dengan Amiru (Zorro) menjadi sangat lekat dan sulit dipisahkan. Dalam bahasa psikologis sebelummampu berkmomunikasi dengan kata-kata Amiru (Zorro) telah mampu berkomunikasi secara batindengan ayahnya (Sabari). Aroma tubuh Sabari amat dikenalnya sehingga kerap kali Zorro yang gelisah merasa tenang saat dalam rangkulan dan menghirup aroma tubuh Sabari. Hingga pada suatu hari ketika Zorro berada dalam pelarian Marlena, ketika Zorro rewel dan sulit tidur,maka Marlena menyelimutkan baju Sabari yang terbawa dalam tas Zorro saat diambilnya paksa di taman kota. Dab, Zorro bisa tenang dan terlelap.

                Konflik inilah yang membawa kisah dalam novel “Ayah” membangun narasi sosial-budaya melayu. Sebuah pengisahan yang amat menarik, karena dengan gayanya yang khas Andrea bukan hanya menjelaskan perlawanan seorang perempuan untuk menentukan dirinya sendiri (Marlena) yang berimplikasi terhadap kehidupan tardisi sosial budaya yang berkembang ditengah masyarakatnya. Juga, dengan jenaka diungkapkan pula sistem pendidikan yang amat minim atau terbatas dan perkembangan teknologi informasi yang senantiasa menemukan aktualisasinya.

                Pemberontakan Marlena untuk mandiri, menjadi dirinya sendiri merupakan hal yang sangat menarik, fenomena perempuan yang berlangsung di berbagai wilayah. Bagaimana seorang wnaita yang senantiasa dijadikan obyek dalam perkawinan dijungkirbalikkan Marlena dengan empat kali pernikahan yang dialaminya. Marlena bukan diceraikan oleh tiga suami sebelumnya tetapi menceraikannya karena merasa dikhianati. Pertama dia menolak dinikahkan paksa dengan Sabari karena tidak mencintainya. Pada hal Sabari sudah berkorban banyak untuk bisa dicintai Marlena. Lalu menikah dengan Manikam dan kemudian diceraikannya karena merasa hidup berkeluarga dengan Manikam amat monoton. Dapat diduga dan dipastikan, sehingga tidak menarik dan tak ada variasi. Lalu menikah dengan JonPirelli seorang musisi terkenal di Medan dan banyak penggemarnya. Bersama JonPirelli, Marlena merasa menemukan cinta pertama yang didambakannya,namun kemudian dikandaskannya karena JonPirelli kepergok berselingkuh dengan perempuan lain.

                Bukan hanya sebagai seorang pemberontak, Marlena juga seorang petualang dengan kesendiriannya bersamaseorang anaknya yang masih kecil dijelajahinya kota demi kota di Sumatera.  Ditinggalkannya kampung halaman yang membuatnya luka dan diarunginya laut mendatangi kota Bengkulu, Medan, sampai ke Dabo. Perjalanan seorang perempuan tangguh dan tak mengenal menyerah. Perjalanan yang membuat Amiru tumbuh sebagai anak yang lkebih dewasa dari usianya. Dengan kecerdasannya dan kemahirannya membikin puisi,maka berlahiran puisi-puisi kota yang disinggahinya.

                Marlena merupakan sosok perempuan melayu yang mandiri. Untuk membekali dirinya sebagai perepuan yang tak bergantung kepada lelaki (suami) dia menambah keterampilan mengoperasikan komputer sehingga bisa bekerja kantoran. Namun juga tidak menolak untuk menjadi tukang cuci pakaian demi mempertahankan hidup. Ia wanita yang ulet dan tangguh. Namun,di balik ketangguhannya Marlena merupakan perempuan yang sangat rapuh,karena pada akhirnya ia mengakui ketulusan cinta Sabari yang tak pernah dicintainya.

Marlena terakhir menikah dengan Amirza dan tinggal di Dabo, hingga tutup usia di tahun 2014. namun di akhir hayatnya ia minta dimakamkan di Belantik di samping makam Sabari. sehingga di akhir hayatnya ia meminta Amiru untuk menyemayamkan tubuhnya di samping makam Sabari dan kalau tak mungkin di dekatnya, serta meminta untuk menuliskan “Purnama Dua Belas” di batu nisannya. Kata-kata yang selalu diucapkan Sabari untuk dirinya (halaman 395-396).

Dialog antara Toharun dengan Bu Norma merupakan potongan dialog yang sangat naif seklaigus jenaka, bagaimana seorang siswa SMA tidak bisa menjawab seratus berapa persennya dari empat ratus? Dengan gagap Toharun menjawab empat pluh lima persen. Lebih naif lagiketika Bu Norma guru matematikanya memberikan jawaban yang benar adalah tiga puluh persen (halaman 71). Betapa sistem pendidikan kita masih diwarnai kesenjangan baik kuaitas murid  mau pun kompetensi guru. Realitas fisksi yang dibangun Andrea adalah gambaran dari sebuah fakta yang ditemukan di lingkungannya. Cermin kesenjangan pendidikan antara yang di daerah daratan dan kepulauan.

Marlena dengan hobi korespondensi melambangkan status sosial dan kondisi peradaban yang berkembang saat itu. Simbol peradaban yang masih mengandalkan surat menyurat dengan bantuan pos untuk menguhubungan antar sesama. Ketika teknologi komunikasi masih mempergunakan telpon rumah yang dikelola telkom sebagai satu-satunya alat komunikasi paling populer untuk mendekatkan jarak antar wilayah. Kini telah memudar. Teknologi informasi dan komunikasi kini telah bergerak dalam genggaman tangan dengan koneksi antar jaringan komputer lewat jejaring internet. Dalam waktu yang bersamaan kita bisa mengakses berbagai informasi dalam ruang yang sangat pribadi.

Membaca Ayah, adalah membaca kecerdasan Andrea untuk tetap menawarkan kearifan lokal ranah Sumatera juga Belitong dan kali ini desa Belantik sebagai kawasan yang sangat menarik untuk ditelusuri, dikaji,dipelajari, dan dikunjungi. Sekaligus menegaskan bahwa kita memiliki kekayaan yang berlimpah dari hubungan keluarga dan kerabat yang sangat unik dan beragam, juga kekayaan alam dan bahasa yang tak terduga. Selamat memabaca.

*penulis adalah guru biologi dan penikmat fiksi.