Fasilitas yang lengkap dan bagus tidak menjamin keberhasilan dalam pembelajaran
jika guru sebagai pembelajar tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya
keterbatasan fasilitas belajar belum tentuk menjadikan buruknya pembelajaran
disuatu sekolah. Sebab,ada kalanya keterbatsan fasilitas memicu tumbuhnya
kreativitas untuk menjadikan tantangan sebagai sumber inspirasi yang penuh
inovasi.
Seorang teman guru
sekolah menengah yang mengajar di sekolah yang berada di dekat hutan, menjadikan
hutan sebagai laboratorium biologi yang terbuka. Hutan menjadi sumber belajar
yang mengasyikkanya untuk memahami tentang pengkalisifikasian pada makhluk hidup
dan belajar mengenai eksositem.
Semua hal yang ada di
sekitar kita dapat menjadi sumber dan media belajar yang bermakna bagikehidupan
peserta didik. Pembelajaran kontekstual dan bermakna. Sesuatu yangdipelajarinya
menjadikonkret dan memberikan nilai manfaat bagi kehiduoannya kelak. Sehingga
belajar menjadi hal yang berguna dan bermakna.
Keterbatasan dan
kreatifitas, mengingatkan pada pengalaman belajar di masa lampau di sebuah sekolah dasar yang ada di bawah bukit.
Sekolah dasar yang muridnya ketika kelas1muridnya berjumlah sampai 80 orang
tetapi makin tahun muridnya makin susut, hingga tinggal13 orang di saat kelas
VI. Disamping karena keterbatsan ekonomi, mereka keluar dari sekolah karena
dinikahkan oleh orangtuanya. Hallumrah di desa saya pada saat itu.
Sekolah yang sederhana
dengan keterbatasan ekonomi orangtua siswa,sehingga anak-anak ke sekolah hanya
menggunakan sandal jepit atau tanpa alaskaki. Sepatu dan seragam adalah barang
mewah,sehingga kami memakai speatu hanya pada saat mengikuti upacara 17-an di halaman kantor
kecamatan. Atau kami memakainya saat ikut orangtua bepergian ke kota kabupaten.
Tetapi jalinan persaudaraan di anatara kami satu kelas dengan guru-guru kami
adalah sebuah ikatan keluarga yang terpaut oleh ikatan hati. Guru-guru kami
yang tulus membimbing kami yang tak pintar tetapi semangat untuk belajar.
Aku tidak akan melupakan
guru kami Moh. Yahya yang terkenal displin dan tegas sebagai guru yang mengajar
bahasa Indonesia dan sejarah. Kami tak memiliki buku paket. Kami hanya memiliki
buku catatan yang kami bawa ke sekolah untuk mencatat hal penting dalam
pembelajaran. Tetapi guru kami tak pernah menyerah dengan semangatnya guru
sejarah kami menjelaskanperistiwa sejarah dengan cara yang amat atraktif, kadang
terasa teatrikal di depan kelas membuat kami terkesima dan memahami isi
pelajaran yang disampaikan pada hari itu. Di waktu tertentu pak guru memberikan
tamabahan pendalaman materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial bagi anak-anak
yang akan mengikuti ujian atau ketika akan mengikuti kompetisi di kecataman dan
di kota kabupaten.
Pun juga ketika pelajaran
bahasa Indonesia tiba, kami praktik beajar berhasa Indonesia, karena saat itu
bahasa pengantar pembelajaran yang dipergunakan adalah bahsa daerah. Atau lokal.
Diajarinya kami membaca puisi secara deklamasi,sehingga kami menyajikan
tontonan dalam kelas yang hanya 13 orang.
Setiap hari kami ingin
ke sekolah, karena di sekolah kami mendapatkan hal baru. Sekali waktu guru kami
membuka pelajaran dengan cerita petualangan Tom Sawyer atau cerita Sinbad Si
Pelaut. Cerita yang selalu dikisahkan oleh guru kami Abdul Gaffar Gatot. Guru
yang paling egaliter, karena dia diberi tugas utama untuk mengajar kesenian;
pilihannya kalau bukan mendongeng, bernyanyi, atau melukis. Jika pilihan teman-teman adalah pelajaran
menggambar, maka kami diajakanya keluar kelas ke arah bukit yang ada di sebelah
selatan gedung sekolah.Kami menggambar sesuka hati kami;orang mencuci di sebuah
sumur umum, perladangan, atau pepohonan yang rimbun di bukit. Boleh pilih.
Setelah selesai kami kembali ke dalam kelas dan diminta untuk menjelaskan dia
hadapan teman yang lain. Tak ada gambar yang jelek semuanya bagus, dan semua
bertanggungjawab dengan pilihannya dan menceritakannya hasil gambarnya di depan
kelas.
Dalam pelajaran prakarya
kami memiliki Bapak Juwairi guru Inpres yang asli Bantul guru yang amat pintar
mebuat prakarya, dari kertas bekas ruang sekolah kami dibuatkan burung garuda,
karena selama kamisekolah kami tidakpunya setakan relief burung garuda. Kami
ditantang untuk memenfaatkan tanah lempung yang berserkan di halaman sekolah
kami untuk menjadi karya yang menarik. Terciptalah asbak,mobil-mobilan, patung
hewan melata dan lainnya.
Meski demikian kami
tidak tertinggal dengan sekolah yang ada di kota, karena ada guru kami bapk
Sudarmono – dari bantul yang siap sedia setiap saat untuk memberikan tambahan
pelajaran (gratis) setiap malam jumat. Sebab, setiap malam jumat jadwal mengaji
malam hari sedang kosong. Guru yang murah senyum dan tenang tetapi banyak
berjasa mengembangkan intelektual kami.
Pengalaman yang selalu
mengambang dalam ingatanku. Sampai aku menjadi guru kenangan itu selalu
mengambang dan menemukannya dalam bebrapa teori pembelajaran yang dinamakan
dengan pembelajaran kontekstual, egaliter, sodiodrama, quantum teaching,
sharing, dan semacamnya. Cara-cara mengajar yang hebat dengan keterbatasan yang
ada. Guru-guru yang sebagian sudah kembali keharibaan Tuhan (semoga Tuhan
memberikan tempat yang mulia di sisinya) dan sebagian lagi sudah memasuki masa
tua dan masih aktif bergelut dengan perkembanagn kemajuan pendidikan di desa
kami, dan sebagian lagi memasukimasa pensiun.
Mereka banyak berjasa
bagi kemajuan pendidikan di desa kami. Mereka yang meninggalkan masa lalu,
memasuki masa kini dengan penuh kecemasan di saat pendidikan hanya menjadi
ladang bisnis dan kehilangan humanismenya dan taklagi memanusiakan manusia. Pendidikan
yang menjejali anak dengan pelbagai macam pelajaran dan belum tentu dibutuhkan
dalam kehidupannya. Pendidikan yang menguras
biaya besar tapi tak banyak memberikan makna yang berarti bagi kehidupan.*****(Hidayat
Raharja).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar