Translate

Rabu, 11 April 2012

Keterbatasan dan Kreativitas


Fasilitas yang lengkap dan bagus tidak menjamin keberhasilan dalam pembelajaran jika guru sebagai pembelajar tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya keterbatasan fasilitas belajar belum tentuk menjadikan buruknya pembelajaran disuatu sekolah. Sebab,ada kalanya keterbatsan fasilitas memicu tumbuhnya kreativitas untuk menjadikan tantangan sebagai sumber inspirasi yang penuh inovasi.
Seorang teman guru sekolah menengah yang mengajar di sekolah yang berada di dekat hutan, menjadikan hutan sebagai laboratorium biologi yang terbuka. Hutan menjadi sumber belajar yang mengasyikkanya untuk memahami tentang pengkalisifikasian pada makhluk hidup dan belajar mengenai eksositem.
Semua hal yang ada di sekitar kita dapat menjadi sumber dan media belajar yang bermakna bagikehidupan peserta didik. Pembelajaran kontekstual dan bermakna. Sesuatu yangdipelajarinya menjadikonkret dan memberikan nilai manfaat bagi kehiduoannya kelak. Sehingga belajar menjadi hal yang berguna dan bermakna.
Keterbatasan dan kreatifitas, mengingatkan pada pengalaman belajar di masa lampau di sebuah  sekolah dasar yang ada di bawah bukit. Sekolah dasar yang muridnya ketika kelas1muridnya berjumlah sampai 80 orang tetapi makin tahun muridnya makin susut, hingga tinggal13 orang di saat kelas VI. Disamping karena keterbatsan ekonomi, mereka keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orangtuanya. Hallumrah di desa saya pada saat itu.
Sekolah yang sederhana dengan keterbatasan ekonomi orangtua siswa,sehingga anak-anak ke sekolah hanya menggunakan sandal jepit atau tanpa alaskaki. Sepatu dan seragam adalah barang mewah,sehingga kami memakai speatu hanya pada saat  mengikuti upacara 17-an di halaman kantor kecamatan. Atau kami memakainya saat ikut orangtua bepergian ke kota kabupaten. Tetapi jalinan persaudaraan di anatara kami satu kelas dengan guru-guru kami adalah sebuah ikatan keluarga yang terpaut oleh ikatan hati. Guru-guru kami yang tulus membimbing kami yang tak pintar tetapi semangat untuk belajar.
Aku tidak akan melupakan guru kami Moh. Yahya yang terkenal displin dan tegas sebagai guru yang mengajar bahasa Indonesia dan sejarah. Kami tak memiliki buku paket. Kami hanya memiliki buku catatan yang kami bawa ke sekolah untuk mencatat hal penting dalam pembelajaran. Tetapi guru kami tak pernah menyerah dengan semangatnya guru sejarah kami menjelaskanperistiwa sejarah dengan cara yang amat atraktif, kadang terasa teatrikal di depan kelas membuat kami terkesima dan memahami isi pelajaran yang disampaikan pada hari itu. Di waktu tertentu pak guru memberikan tamabahan pendalaman materi pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial bagi anak-anak yang akan mengikuti ujian atau ketika akan mengikuti kompetisi di kecataman dan di kota kabupaten.
Pun juga ketika pelajaran bahasa Indonesia tiba, kami praktik beajar berhasa Indonesia, karena saat itu bahasa pengantar pembelajaran yang dipergunakan adalah bahsa daerah. Atau lokal. Diajarinya kami membaca puisi secara deklamasi,sehingga kami menyajikan tontonan dalam kelas yang hanya 13 orang.
Setiap hari kami ingin ke sekolah, karena di sekolah kami mendapatkan hal baru. Sekali waktu guru kami membuka pelajaran dengan cerita petualangan Tom Sawyer atau cerita Sinbad Si Pelaut. Cerita yang selalu dikisahkan oleh guru kami Abdul Gaffar Gatot. Guru yang paling egaliter, karena dia diberi tugas utama untuk mengajar kesenian; pilihannya kalau bukan mendongeng, bernyanyi, atau melukis.  Jika pilihan teman-teman adalah pelajaran menggambar, maka kami diajakanya keluar kelas ke arah bukit yang ada di sebelah selatan gedung sekolah.Kami menggambar sesuka hati kami;orang mencuci di sebuah sumur umum, perladangan, atau pepohonan yang rimbun di bukit. Boleh pilih. Setelah selesai kami kembali ke dalam kelas dan diminta untuk menjelaskan dia hadapan teman yang lain. Tak ada gambar yang jelek semuanya bagus, dan semua bertanggungjawab dengan pilihannya dan menceritakannya hasil gambarnya di depan kelas.
Dalam pelajaran prakarya kami memiliki Bapak Juwairi guru Inpres yang asli Bantul guru yang amat pintar mebuat prakarya, dari kertas bekas ruang sekolah kami dibuatkan burung garuda, karena selama kamisekolah kami tidakpunya setakan relief burung garuda. Kami ditantang untuk memenfaatkan tanah lempung yang berserkan di halaman sekolah kami untuk menjadi karya yang menarik. Terciptalah asbak,mobil-mobilan, patung hewan melata dan lainnya.
Meski demikian kami tidak tertinggal dengan sekolah yang ada di kota, karena ada guru kami bapk Sudarmono – dari bantul yang siap sedia setiap saat untuk memberikan tambahan pelajaran (gratis) setiap malam jumat. Sebab, setiap malam jumat jadwal mengaji malam hari sedang kosong. Guru yang murah senyum dan tenang tetapi banyak berjasa mengembangkan intelektual kami.
Pengalaman yang selalu mengambang dalam ingatanku. Sampai aku menjadi guru kenangan itu selalu mengambang dan menemukannya dalam bebrapa teori pembelajaran yang dinamakan dengan pembelajaran kontekstual, egaliter, sodiodrama, quantum teaching, sharing, dan semacamnya. Cara-cara mengajar yang hebat dengan keterbatasan yang ada. Guru-guru yang sebagian sudah kembali keharibaan Tuhan (semoga Tuhan memberikan tempat yang mulia di sisinya) dan sebagian lagi sudah memasuki masa tua dan masih aktif bergelut dengan perkembanagn kemajuan pendidikan di desa kami, dan sebagian lagi memasukimasa pensiun.
Mereka banyak berjasa bagi kemajuan pendidikan di desa kami. Mereka yang meninggalkan masa lalu, memasuki masa kini dengan penuh kecemasan di saat pendidikan hanya menjadi ladang bisnis dan kehilangan humanismenya dan taklagi memanusiakan manusia. Pendidikan yang menjejali anak dengan pelbagai macam pelajaran dan belum tentu dibutuhkan dalam kehidupannya. Pendidikan yang  menguras biaya besar tapi tak banyak memberikan makna yang berarti bagi kehidupan.*****(Hidayat Raharja).

Tidak ada komentar: