Pada suatu siang anakku
mengirim SMS mengabarkan kalau hasil
ulangannya hanya mendapatkan nilai 70 lebih rendah dibandingkan dengan
teman-temannya yang lain.Tapi percayalah, aku mengerjakan dengan jujur. Temanku
kebih bagus dari aku, mereka berbuat curang nyontek
dan bekerjasama dengan yang lain. Bapak
percaya, kalau aku berkata jujur?
Begitulah kebiasaan curhat anakku sepulang sekolah.
Apa dialaminya di sekolah saban hari diceritakannya kepadaku saat nonton TV
atau saat jalan bersama di sore hari. Jika tak dapat bertemu langsung denganku
dia akan mengirimkan pesannya lewat sms. Aku memahami kegelisahan anakku,
karena kegiatan mencontek, bekerjasama pada saat ujian di sekolah seakan
menjadi hal yang lumrah. Tidak banyak guru yang peduli dengan kejadian semacam
ini.
Aku balas sms itu bahwa aku senang berapa pun nilai
ujian yang diperoleh karena aku tahu anakku sudah belajar sungguh-sungguh untuk
mendapatkan nilai paling bagus. Maka, berapapun nilai yang diperoleh aku sangat
menghargainya. Aku memberinya reward ngajak makan bakso atau membeli buku fiksi
terbaru. Aku ingin merawat kejujuran yang dilakukannya,meski kadang terasa
pahit di hadapan teman-temannya yang lain.
Untuk aku sendiri jika menemui kejadian curang di
dalam kelas, bekerjasama, mencontek, dan semacamnya, maka wajib bagi siswa
bersangkutan untuk mengikuti ujian remedial. Sehingga nilai yang diperolehnya
hanya sebesar nilai ketuntasan minimal. Sebuah sangsi untuk menyadarkan bagi
mereka bahwa mereka harus berproses dengan jujur. Mereka harus berusaha dengan
jujur untuk mendapatkan atau menjadi yang terbaik.
Bekerjasama, mencontek di saat ujian atau ulangan
harian adalah peristiwa yang kerap ditemukan dalam ruangan kelas. Sebuah upaya
dari mereka untuk mendapatkan nilai baik, sehingga mendapatkan peringkat kelas
yang baik,dan akan melancarkan dalam seleksi masuk ke Perguruan Tinggi melalui
jalur penelusuran minat dan kemampuan. Alasan lain yang mereka kemukakan karena
kalau nilainya jelek dimarahi oleh orangtuanya. Namun, alasan kedua ini kurang
fair. Ketika aku tanyakan apakah orang tuanya mengontrol aktivitas belajarnya?
Jawabnya, tidak! Amat disayangkan memang, orangtua tak sempat mengontrol
belajarnya dan berdialog dengan anaknya mengenai hala-hal yang ditemukan di sekolah
mereka, namun menuntut hal terbaik dari anaknya.
Ada beberapa kasus, anak yang mendapatkan nilai mata
pelajaran karena curang mendapatkan nilai rapor yang bagus dan diterima di
perguruan tinggi yang bagus, tetapi setelah 2 -3 semester kemudian DO karena
tidak dapat mengikuti jalannya perkuliahan. Mereka berhenti, karena kemampuan
yang dimiliki tak sebagus nilai yang tertera dalam rapor mereka.
Persoalan bekerjasama, mencontek dalam ujian persoalan
kecil, tetapi eksesnya sangat besar terhadap kepribadian anak. Pertama, perbuatan semacam itu akan
mengurangi rasa percaya diri si anak, sehingga dia akan selalu melakukan hal
yang sama pada saat ujian. Mereka akan sellau merasa tidak mampu mengerjakan
tanpa mencontek atau bertanya keopada teman yang lain. Kedua, bahwa belajar bagi mereka ukuran utamanya adalah nilai yang
baik tanpa mau berproses dengan benar. Sikap yang akan menumbuhkan budaya
instan dalam diri mereka yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
apa yang diinginkan. Keempat, mereka
tidak bisa menghargai jerih payah orang lain. Perbuatan curang dalam ujian akan
merugikan mereka yang berbuat jujur.
Maka, tidak berlebihan jika kita memberikan
penghargaan bagi anak atau peserta didiik yang berbuat jujur dalam mengerjakan
tugas atau ujian. Reward yang akan menyadarkan dan menguatkan bagi mereka bahwa
jujur juga ada harganya. Sikap jujur
yang kelak akan mereka bawa dalamkehidupan nyata,sentah sebagai anggota
masyarakat,pejabat pemerintah,atau sebagai anggota lembaga legislatif yang
bisamembawa manah dari rakyat yang diwakilinya.
Jujru, memang sepertinya jadi barang langka dalam
kehidupan kita. Namun bertapa berharganya jika barang langka itu kita rawat
dalam kehidupan kita. Lebih-lebih kejujuran yang ditunjukkan anak-anak kita dan
kelak akan menjadi penerus kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu, semua
bermula dari diri kita sendiri. Sebab, jika guru
kencing berdri, murid kencing berlari. Jangan sampai guru kencing berdiri,hanya nyaring bunyinya yang menandakan guru
sudah sudah tak diikuti oleh anak dan peserta didiknya.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar