Translate

Jumat, 06 April 2012

Menghargai Kejujuran Anak

Pada suatu siang anakku mengirim SMS mengabarkan kalau hasil ulangannya hanya mendapatkan nilai 70 lebih rendah dibandingkan dengan teman-temannya yang lain.Tapi percayalah, aku mengerjakan dengan jujur. Temanku kebih bagus dari aku, mereka berbuat curang nyontek dan bekerjasama dengan yang lain. Bapak percaya, kalau aku berkata jujur?
Begitulah kebiasaan curhat anakku sepulang sekolah. Apa dialaminya di sekolah saban hari diceritakannya kepadaku saat nonton TV atau saat jalan bersama di sore hari. Jika tak dapat bertemu langsung denganku dia akan mengirimkan pesannya lewat sms. Aku memahami kegelisahan anakku, karena kegiatan mencontek, bekerjasama pada saat ujian di sekolah seakan menjadi hal yang lumrah. Tidak banyak guru yang peduli dengan kejadian semacam ini.
Aku balas sms itu bahwa aku senang berapa pun nilai ujian yang diperoleh karena aku tahu anakku sudah belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan nilai paling bagus. Maka, berapapun nilai yang diperoleh aku sangat menghargainya. Aku memberinya reward ngajak makan bakso atau membeli buku fiksi terbaru. Aku ingin merawat kejujuran yang dilakukannya,meski kadang terasa pahit di hadapan teman-temannya yang lain. 
Untuk aku sendiri jika menemui kejadian curang di dalam kelas, bekerjasama, mencontek, dan semacamnya, maka wajib bagi siswa bersangkutan untuk mengikuti ujian remedial. Sehingga nilai yang diperolehnya hanya sebesar nilai ketuntasan minimal. Sebuah sangsi untuk menyadarkan bagi mereka bahwa mereka harus berproses dengan jujur. Mereka harus berusaha dengan jujur untuk mendapatkan atau menjadi yang terbaik.
Bekerjasama, mencontek di saat ujian atau ulangan harian adalah peristiwa yang kerap ditemukan dalam ruangan kelas. Sebuah upaya dari mereka untuk mendapatkan nilai baik, sehingga mendapatkan peringkat kelas yang baik,dan akan melancarkan dalam seleksi masuk ke Perguruan Tinggi melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan. Alasan lain yang mereka kemukakan karena kalau nilainya jelek dimarahi oleh orangtuanya. Namun, alasan kedua ini kurang fair. Ketika aku tanyakan apakah orang tuanya mengontrol aktivitas belajarnya? Jawabnya, tidak! Amat disayangkan memang, orangtua tak sempat mengontrol belajarnya dan berdialog dengan anaknya mengenai hala-hal yang ditemukan di sekolah mereka, namun menuntut hal terbaik dari anaknya.
Ada beberapa kasus, anak yang mendapatkan nilai mata pelajaran karena curang mendapatkan nilai rapor yang bagus dan diterima di perguruan tinggi yang bagus, tetapi setelah 2 -3 semester kemudian DO karena tidak dapat mengikuti jalannya perkuliahan. Mereka berhenti, karena kemampuan yang dimiliki tak sebagus nilai yang tertera dalam rapor mereka. 
Persoalan bekerjasama, mencontek dalam ujian persoalan kecil, tetapi eksesnya sangat besar terhadap kepribadian anak. Pertama, perbuatan semacam itu akan mengurangi rasa percaya diri si anak, sehingga dia akan selalu melakukan hal yang sama pada saat ujian. Mereka akan sellau merasa tidak mampu mengerjakan tanpa mencontek atau bertanya keopada teman yang lain. Kedua, bahwa belajar bagi mereka ukuran utamanya adalah nilai yang baik tanpa mau berproses dengan benar. Sikap yang akan menumbuhkan budaya instan dalam diri mereka yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Keempat, mereka tidak bisa menghargai jerih payah orang lain. Perbuatan curang dalam ujian akan merugikan mereka yang berbuat jujur.
Maka, tidak berlebihan jika kita memberikan penghargaan bagi anak atau peserta didiik yang berbuat jujur dalam mengerjakan tugas atau ujian. Reward yang akan menyadarkan dan menguatkan bagi mereka bahwa jujur juga ada harganya. Sikap jujur yang kelak akan mereka bawa dalamkehidupan nyata,sentah sebagai anggota masyarakat,pejabat pemerintah,atau sebagai anggota lembaga legislatif yang bisamembawa manah dari rakyat yang diwakilinya.
Jujru, memang sepertinya jadi barang langka dalam kehidupan kita. Namun bertapa berharganya jika barang langka itu kita rawat dalam kehidupan kita. Lebih-lebih kejujuran yang ditunjukkan anak-anak kita dan kelak akan menjadi penerus kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu, semua bermula dari diri kita sendiri. Sebab, jika guru kencing berdri, murid kencing berlari. Jangan sampai guru kencing berdiri,hanya nyaring bunyinya yang menandakan guru sudah sudah tak diikuti oleh anak dan peserta didiknya.*****


Tidak ada komentar: