Translate

Selasa, 10 April 2012

Adakah UN yang Jujur?

Suatu ketika seorang kawan guru merasa jengkel, sangat jengkel, ketika menjadi pengawas ujian nasional di salah satu sekolah swasta di daerah pinggiran kota. Sekolah yang berada dalam sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang seharusnya bisa memberikan kenyamanan bagi para tamu yang menjadi pengawas ujian nasional. Peristiwa yang seharusnya tidak terjadi, ketika lembaga semacam itu mengkritik terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tetapi yang disakiti adalah para pengawas yang hanya sekedar melaksanakan tugas.
Wajar jika temanku yang jadi pengawas Ujian Nasional di sekolah tersebut merasa jengkel, karena di tengah asyik mengawasi peserta didik yang tengah ujian salah seorang panitia (guru) di sekolah tersebut tanpa babibu measuki ruangan dan di hadapan pengawas secara terbuka memberikan kunci jawaban kepada peserta didiknya. Teman saya meradang dan memprotes pada panitia. Besoknya temanku dipanggil kepala sekolah untuk tidak terlalu kaku dalam mengawasi Ujian Nasional.
Di waktu yang lain, ketika diundang salah satu Madrasah Aliyah untuk memperingati tahun hijriyah, saya bertemu dengan seorang guru muda yang saya kenal pintar, dan kritis. Saya merasa senang bertemu dengannya karena merupakan sosok representasi guru muda yang idealis dan penuh magma semangat yang bergelora. Di saat ngobrol berbagai hal sampai juga pembicaraan ke persoalan Ujian Nasional.
“ Kalau saya bertemu dengan menteri, saya bernai berdenbat dan mengkritik Ujian Nasional yang tidak adil. Bagaimana bisa terjadi fasilitasnya berbeda, cara pelaksanaan pembelajarannya  beragam ujiannya kok sama. Dijadikan penentu kelulusan lagi?” Guru itu berapi-api di depan saya. Dan saya hanya tersenyum mendengarnya. “Meski dalam berbagai argumentasinya dengan keras menolak dan mengkritik Ujian Nasional, namun di lembaga yayasan  pendidikan yang dikelola sang guru masih juga mengikuti ujian nasional.
“ Kenapa pak guru tak berani menolak. Seandainya guru seperti teman saya itu mau bersatu dan menolak penyelenggaraan Ujian Nasional, tentu Kementerian Pendidikan akan berfikirlebih arif lagi, sehinggakebiajakannya dirasakan berkeadilan. Saya menunggu jawaban teman guru itu yang lebih berapi-api lagi. Namun jawaban yang saya temukan paradoksnya.
“ Tidak mungkin itu dilakukan, karena yayasan pendidikan seperti yang saya miliki lebih banyak berorientasi untuk memperoleh peserta didik sebanyak-banyaknya, sehingga yang dilakukan akhirnya adalah dengan berupaya bagaimana supaya muridnya banyak yang lulus dalam menempuh ujian sehingga dipercaya oleh masyarakat untukmenitipkan anaknya dilembaga pendidikan yang dikelolanya.” Ujarnya dengan intonasi merendah,” Lagi,masyarakat sekarang juga membutuhkan ijazah.” JUga makin banyakjumlahsiswanya bantuan danap pendidikan dari pemerintah pusat ataupun dari pemerintah darah akan semakin banyak, sebab bantuan diperhitungkan dengan menghitung jumlah kepala. Dari sini berbagai penyimpangan dilakukan, sehingga kebijakan baru dikabupaten sumenep pendataan untuk mendapatkan bantuan dana pendidikan dilakukan one name one address.
Beberapa  tahun yang lampau,  aku dipertemukan dengan sebuah lembaga pendidikan swasta yang Ujian Nasionalnya (waktu itu Ebtanas) bergabung dengan sekolah tempat aku mengajar. Saat itu hasil Ebtanas berpengaruh terhadap nilai rapor di semester 5 dan semester 6 dengan selisih dua. Jika nilai ebatnas biologi mendapat nilai 40,0 maka nilai rapor yang diakui semester 5 dan 6 adalah sebesar 6 yang akan dipehitungkan dalam penilaian pelulusan. Sehingga yang terjadi banyak sekolah yang berspekulasi memberikan nilai rapor semester 5 dan 6 dengan kisaran nilai antara 80-100. Namun salah satu sekolah dari pesantren yang bergabung dengan sekolahku tidak mau mengubah nilai, dengan alasan memang kemampuan peserta didiknya sebegitu. Dan saat ujian berlangsung  di salah satu ruangan dalam sekolahku diawasi oleh guru lain. Guru pendamping dari pesantren tersebut tidak gelisah dan membiarkan anaknya bekerja dengan tenang. Aku kagum dengan kejujuran kepala sekolah dari SMA Tahfidz itu, namanya Uztadz Naufal.
Saya yakin masih banyk guru semacam uztadz Naufal yang mau mengajari jujur untuk peserta didiknya, bahkan disuruh mengubah nilai peserta didiknya tidak mau, karena apa yang diberikannya sudah sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Sebuah pembelajaran bagi kita bahwa pertama, mengajari jujur jauh  lebih penting daripada memanipulasi nilai atau angka-angka yang tidak akan banyak berfungsi dalam kehidupan siswa kelak dikemudian hari. Kedua, perlunya memberi kepercayaan kepada peserta didik untuk menguji perolehan hasil belajarnya dalam menghadapi ujian nasional. Sebab pada kenyataannya setiap murid memiliki caranya sendiri dalam belajar. Namun kadang kita meragukan kemampuan peserta didik untuk menghadapi ujian, sehingga dalam ulangan harian sering memberikan kesempatan untuk bekerjasama dan mengerjakannya dengan tidak jujur.
Masih ada kejujuran itu, lentera yang menerangi kecemasan ….***(HR)

Tidak ada komentar: