Suatu ketika
seorang kawan guru merasa jengkel, sangat jengkel, ketika menjadi pengawas
ujian nasional di salah satu sekolah swasta di daerah pinggiran kota. Sekolah
yang berada dalam sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang seharusnya bisa
memberikan kenyamanan bagi para tamu yang menjadi pengawas ujian nasional.
Peristiwa yang seharusnya tidak terjadi, ketika lembaga semacam itu mengkritik
terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tetapi yang disakiti adalah para pengawas
yang hanya sekedar melaksanakan tugas.
Wajar jika temanku yang
jadi pengawas Ujian Nasional di sekolah tersebut merasa jengkel, karena di
tengah asyik mengawasi peserta didik yang tengah ujian salah seorang panitia
(guru) di sekolah tersebut tanpa babibu
measuki ruangan dan di hadapan pengawas secara terbuka memberikan kunci jawaban
kepada peserta didiknya. Teman saya meradang dan memprotes pada panitia.
Besoknya temanku dipanggil kepala sekolah untuk tidak terlalu kaku dalam
mengawasi Ujian Nasional.
Di waktu yang lain,
ketika diundang salah satu Madrasah Aliyah untuk memperingati tahun hijriyah,
saya bertemu dengan seorang guru muda yang saya kenal pintar, dan kritis. Saya
merasa senang bertemu dengannya karena merupakan sosok representasi guru muda
yang idealis dan penuh magma semangat yang bergelora. Di saat ngobrol berbagai
hal sampai juga pembicaraan ke persoalan Ujian Nasional.
“ Kalau saya bertemu
dengan menteri, saya bernai berdenbat dan mengkritik Ujian Nasional yang tidak
adil. Bagaimana bisa terjadi fasilitasnya berbeda, cara pelaksanaan
pembelajarannya beragam ujiannya kok
sama. Dijadikan penentu kelulusan lagi?” Guru itu berapi-api di depan saya. Dan
saya hanya tersenyum mendengarnya. “Meski dalam berbagai argumentasinya dengan keras
menolak dan mengkritik Ujian Nasional, namun di lembaga yayasan pendidikan yang dikelola sang guru masih juga
mengikuti ujian nasional.
“ Kenapa pak guru tak
berani menolak. Seandainya guru seperti teman saya itu mau bersatu dan menolak
penyelenggaraan Ujian Nasional, tentu Kementerian Pendidikan akan berfikirlebih
arif lagi, sehinggakebiajakannya dirasakan berkeadilan. Saya menunggu jawaban
teman guru itu yang lebih berapi-api lagi. Namun jawaban yang saya temukan
paradoksnya.
“ Tidak mungkin itu
dilakukan, karena yayasan pendidikan seperti yang saya miliki lebih banyak
berorientasi untuk memperoleh peserta didik sebanyak-banyaknya, sehingga yang
dilakukan akhirnya adalah dengan berupaya bagaimana supaya muridnya banyak yang
lulus dalam menempuh ujian sehingga dipercaya oleh masyarakat untukmenitipkan
anaknya dilembaga pendidikan yang dikelolanya.” Ujarnya dengan intonasi
merendah,” Lagi,masyarakat sekarang juga membutuhkan ijazah.” JUga makin
banyakjumlahsiswanya bantuan danap pendidikan dari pemerintah pusat ataupun
dari pemerintah darah akan semakin banyak, sebab bantuan diperhitungkan dengan
menghitung jumlah kepala. Dari sini berbagai penyimpangan dilakukan, sehingga
kebijakan baru dikabupaten sumenep pendataan untuk mendapatkan bantuan dana
pendidikan dilakukan one name one address.
Beberapa tahun yang lampau, aku dipertemukan dengan sebuah lembaga
pendidikan swasta yang Ujian Nasionalnya (waktu itu Ebtanas) bergabung dengan
sekolah tempat aku mengajar. Saat itu hasil Ebtanas berpengaruh terhadap nilai
rapor di semester 5 dan semester 6 dengan selisih dua. Jika nilai ebatnas
biologi mendapat nilai 40,0 maka nilai rapor yang diakui semester 5 dan 6
adalah sebesar 6 yang akan dipehitungkan dalam penilaian pelulusan. Sehingga
yang terjadi banyak sekolah yang berspekulasi memberikan nilai rapor semester 5
dan 6 dengan kisaran nilai antara 80-100. Namun salah satu sekolah dari
pesantren yang bergabung dengan sekolahku tidak mau mengubah nilai, dengan
alasan memang kemampuan peserta didiknya sebegitu. Dan saat ujian
berlangsung di salah satu ruangan dalam
sekolahku diawasi oleh guru lain. Guru pendamping dari pesantren tersebut tidak
gelisah dan membiarkan anaknya bekerja dengan tenang. Aku kagum dengan
kejujuran kepala sekolah dari SMA Tahfidz itu, namanya Uztadz Naufal.
Saya yakin masih banyk
guru semacam uztadz Naufal yang mau mengajari jujur untuk peserta didiknya, bahkan
disuruh mengubah nilai peserta didiknya tidak mau, karena apa yang diberikannya
sudah sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Sebuah pembelajaran bagi kita
bahwa pertama, mengajari jujur
jauh lebih penting daripada memanipulasi
nilai atau angka-angka yang tidak akan banyak berfungsi dalam kehidupan siswa
kelak dikemudian hari. Kedua,
perlunya memberi kepercayaan kepada peserta didik untuk menguji perolehan hasil
belajarnya dalam menghadapi ujian nasional. Sebab pada kenyataannya setiap murid
memiliki caranya sendiri dalam belajar. Namun kadang kita meragukan kemampuan
peserta didik untuk menghadapi ujian, sehingga dalam ulangan harian sering
memberikan kesempatan untuk bekerjasama dan mengerjakannya dengan tidak jujur.
Masih ada kejujuran itu,
lentera yang menerangi kecemasan ….***(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar