Translate

Selasa, 14 Juni 2011

TRADISI PERTANIAN DI TENGAH KEPUNGAN BUDAYA INDUSTRI

TRADISI PERTANIAN DI TENGAH KEPUNGAN INDUSTRI

Oleh: Hidayat Raharja*

Di saat musim padi berkembang persawahan yang hijau di pucuk rumpun padi malai bebijian bergelatungan diterak angin. Suara gemnerisik yang merespon hembusan angin kencang sepanjang musim yang ekstrim. Dari arah langit segerombolan burung emprit menyerbu lahan persawahan, bergelatungan di batang rumpun padi mematuk biji-biji yang tengah terbit dari pucuk. Keiruhan burung tersebut disambut dengan teriakan pak tanai, dan tangannya menggerakkan tali dan orang-orangan di beberapa sudut persawahan seperti menari, beregrak hebat laksana mengusir kerumunan burung ayng tengah berpesta di lahan persawahan.

Sebuah pertunjukan dari lahan pertanian, dan sampai kini masih terus bertahan dengan berbagai variannya, menunjukkan dinamika pertunjukan dari lahan pertanian yang dikepung keberingasan industrialisasi. Masih lekat dalam memori kita, beberapa orang-orangan di sawah yang dibuat pak tani, berbahan kayu, jerami, pakaian bekar dan topi yang digelantungkan pada ebatang kayu kemudian diikat menggunakan tali dijadikan satu ikatan dan dikendalikan pak tani dari dangau. Selain orang-orangan pak Tani juga membuat bebunyian (musik) dari bilahan potongan bambu, semacam kentongan kecil dan ada juga dari bilahan bambu yang diikat dan salah satu bilahannya ditarik-ulur dengan tali, sehingga menimbulkan bunyi yang ritmik.

Tradisi ini amat menarik untuk ditelaah, karena ternyata mengalami dinamika seiring d engan perkembanagn peradaban yang mengepungnya. Suatu kreativitas murni, karena pembuatan “karya” memiliki makna sederhana sebagai pengusir burung di saat rerumpun padu tengah berkembang dan menguning. Pak tani melakukan penciptaan lebih menekankan kepada kegunaan = Kagunan. Petani sebagai tangan pertama (kreator) belum terkontaminasi kepentingan di luar kepentingan dirinya sendiri sebagai petani yang tengah menghadapi serbuan burung yang menyerang lahan persawahan. Karena tidak dibekali aneka teori mengenai anatomi dan pencptaan, maka karya yang dihasilkan lebih menekankan pada fungsi bukan kepada bentuk.

Dalam 10 tahun terakhir ada perubahan atau dinamika penciptaan yang bertumbuh terutama berkaitan dengan penggunaan bahan untuk membuat bahan pertunjukan di lahan persawahan. Pada awalnya bahan yang dipergunakan untuk membuat orang-orangan mempergunakan bahan jerami dan daun kelapa kering serta, daun dan pelepah pisang. Kondisi ini memiliki relevansi dengan sistem pertanian yang masih mempergunakan bahan-bahan organik dalam pengelolaan pertanian. Suatu keadaan yang menunjukkan keserasian dengan alam, sehingga menunjukkan hubungannya secara sirkuler. Saat ini bahan tersebut lebih banyak memperguankan bahan plastik dan bentuk atau modelnya lebih variatif.

Pertama, untuk membuat orang-orangan mereka memadukan dengan bahan untaian plastik panjang yang dibuat bergelantungan di atas lahan persawahan sehingga ketika diterpa angin akan menimbulkan suara kemeresak. Gerakan ritmis untaian plastik tersebut seperti gerakan tangan yang mengusir gerombolan burung yang menyerbu persawahan. Pemandangan semacam ini sangat kentara ketika jelang panen padi tiba. Kedua, Suara musikal menjadi menarik ketika petani melakukan eksplorasi dengan memanfaatkan kaleng bekas biskuit yang diisi dengan kerikil dan digelantungakn di sebatang kayu, dan dikendalikan dari dangau. Apabila tali ditarik maka, terlihatlah aksi orang-orangan yang bergoyang-goyang berpadu dengan suara plastik ditiup angin, dan kemerongsang kerikil yang terguncang dalam kaleng.

Sebuah pertunjukan masyarakat petani yang alami, dan sebagai keseharian mereka tanpa dibebani tendensi poliitis. Mereka membuatnya sebagai kebutuhan untuk mengusir burung, dan tanpa disadarinya telah membentuk tradisi rupa dan musikal yang akan terus rumbuh seiring dengan peradaban manusia dan teknologinya. Sebuah kontras ketika banyak produk atau karya seni yang menghabiskan dana puluhan juta namun secara praksis, belum ada efek langsung yang dirasakan oleh lingkungan.

Pertunjukan dari dunia agraris yang pernah mengilhami Moelyono dalam “Seni Rupa Kagunan” bersama komunitas masyarakat desa Brumbun Tulungagung. Dalam pertunjukan tersebut media agraris dijadikan sebagai media ungkap untuk mengangkat persoalan petani. Pertunjukan yang kemudian mendapat respon positif dari penguasa setempat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani. Suatu aktivitas rural yang kemudian diusung ke dalam ruang pamer. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Sanggar Anak Bangsa – di Bojonegoro untuk mengangkat realitas persoalan mereka dengan memakai media bermain yang biasa mereka lakukan di sekitar hutan.

Dinamika tersebut semakin menguatkan bahwa, di lingkungan sekitar banyak terdapat bahan mentah budaya tradisi yang bias kita aktualisasikan kembali di era globalisasi. Aktualisasi untuk mengedepankan seni pertunjukan masyarakat petani di lahan perswahan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Atau untuk merevitalisasi kembali produk-produk seni pertanian bergadapan dan berdampingan dengan arus globalisasi, karena senyatanya globalisasi adalah juga peluang untuk mengedepankan lokalitas sebagai identitas, personal maun komunal.

*penulis adalah guru SMA Negeri 1 Sumenep, dan pengelola Rumah Tulis dan Baca “Na’ Bangsa”

Senin, 13 Juni 2011

MEMBONGKAR SKANDAL DALAM TRADISI

(Pembacaan atas novel : Tarian di Ranjang Kyai)1

Oleh: HIdayat Raharja2

Selama ini Sampang dianggap kota atau daerah yang paling lamban kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan daerah Madura lainnya. Namun, sifat keterbukaannya merupakan salah satu sifat yang menjadi karakteristik masyarakatnya. Ketika mereka tidak menyukai terhadap sesuatu, mereka mengatakannya tidak suka. Pun, sebaliknya.
Peran Kyai sebagai Pimpinan informal memiliki peran penting dan strategis. Bahkan, tidak dapat diingkari kalau setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat, kyai memiliki posisi vital dalam menyelesaikan persengketaan atau permasalahan yang muncul di dalamnya. Ketergantungan terhadap Kyai menempatkannya sebagai sosok tokoh, dan panutan yang harus dipatuhi. Bahkan dalam batas tertentu fatwa yang disampikan Kyai dianggap sebagai titah yang tak boleh dibantah. Tak adanya kontrol dan keberanian mengkritik Kyai, kerapkali prilaku-prilaku yang tidak patut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan mudah untuk dimaafkan.

Sosok lain yang tak kalah perannya dalam masyarakat adalah golongan Blater, mereka yang mampu memasuki berbagai lapisan formal dan non formal, sehingga juga memiliki peran-peran strategis dalam menyelsaikan persoalan-persoalan di tengah masyarakat. Perilaku-perilaku dalam masyarakat yang sempat ,menjadi penelitian intensif Elly Town Bousma di tahun 70-an mengenai kekarasan di Masyarakat Madura. Kemudian penelitian mengenai Pimpinan informal di masyarakat Madura oleh Zaki yang menempatkan peran Blater dan Kyai dan perebutan kekuasaan di Madura.

Disamping kekerasan yang selama ini dikenal oleh masyarakat luas, betapa banyak kearifan di masyarakat Madura yang butuh aktualisasi, maka tidak dapat diingkari peran para intelektual dan para penulis di madura amat vital dan urgen untuk kembali merevitalisasi kearifan lokal.

Tarian di Ranjang Kyai” karya Yan Zavin Aundjand merupakan sebuah karya yang sangat menarik. Semenarik dinamika peradaban masyarakat Sampang dalam kekinian. Hal yang patut diapresiasi dalam novel ini antara lain: pertama, berupaya membongkar skandal dalam tradisi masyarakat Madura (Camplong) khususnya peran Kyai yang selama ini dianggap sebagai sumber barokah, dan tak terbantahkan. Dalam novel ini secara gamblang Zavin membongkar bungkus persoalan yang sekian lama tersembunyi. Sebuah pemberontakan terhadap strata sosial yang selama ini dianggap mapan, namun ternyata di dalamnya penuh intrik dan kebobrokan

Kedua, persoalan perkawinan dini di tengah masyarakat yang disebabkan rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang membelit kehidupan mereka, sehingga menikahkan anak di usia dini akan meringankan beban orangtua, dan menjadi beban tanggungjawab suaminya. Sebuah tradisi yang menjadi sangat biasa karena pada saat anak mendaptkan menstruasi pertama, akan dipersiapakan untuk memasuki kehidupan dewasa dengan membantu dan belajar kehidupan berumah tangga. Pendidikan hanya sebatas belajar mengaji di langgar atau musholla, dan setelahnya dia mencari sendiri “guru” untuk membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga dan kehidupannya. Di sini muncul tradisi “ Aguru” “Nyabis” sebagai bentuk jalinan hubungan antara murid dengan Kyai (guru).

Ada bentuk lain tradisi kawin di Madura yang dinamakan “Kabin Toro’” sebuah tradisi perempuan dan laki-laki mencari pasangan (jodoh) saat hari pasaran. Pada hari itu ketika menemukan wanita yang cocok, maka si laki-laki berkenalan di pasar dan kemudian mengikutinya pulang ke rumah si perempuan. Sampai di rumah si perempuan laki-laki tersebut menyatakan maksudnya kepada orangtua si perempuan. Pertemuan yang kemudian akan disusul dengan lamaran dan pernikahan.
Ketiga, persoalan kemiskinan. Tanah Madura yang tandus dan kurang subur kurang menguntungkan secara ekonomis, sehingga pada umumnya lelaki Madura adalah perantau. Mereka pada tahun lima puluhan banyak merantau ke pulau jawa dan bahkan sampai ke adaerah pulau kalimantan yang kemudian disebutnya dengan “Jhaba Dhaja” karena letrak pulaunya di sebelah utara pulau jawa. Sebentuk usaha keras untuk memperbaiki kualitas kehidupan secara ekonomis. Pergi merantau bagi masyarakat Madura menyebutnya “Onggha” dan apabila pulang ke kampung halaman mereka menyeb utnya “Toron”. Madura perantau memiliki sikap gigih, pantang menyerah dan enggan pulang sebelum mencapai sukses. Hal inilah yang dilakukan Misnadi karena di rantau tidak beruntung, maka dia menghilang dari teman sekampung di perantauan sampai kemudian dikabarkan mati. Kabar kematian yang kemduian memunculkan persoalan karena Nisa istrinya menikah lagi dengan Lora Iqbal.

Keempat, persoalan kekerasan Carok seringkali muncul berkenaan dengan permasalahan wanita, harta dan persoalan martabat dan harga diri. Juga ketika Suci anak misnadi hasil pernikahannhya dengan Nisa dinodai oleh Kyai Slamet. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus membunuh Kyai Slamet yang telah menginjak-injak harga diri dan martabatnya.
Kelima, persoalan tradisi yang saat ini mungkin sudah banyak tak dikenal; Terrep (derreb), ngare’, ngaji, Terbhangan Mantan dan selama yang saya kenal ada dua macam; (a) terbhangan saat mengantar pengantan pria ke rumah mempelai wanita,(b) hiburan gambus pada saat resepsi mantenan,, langghar, gerinching (gerinjhing), tegghal, kotheka.
*****

Dari sinilah peroalan-persoalan berkelabat dalam Novel “Tarian di Ranjang Kyai”. Sebuah cerita yang berangkat dari kisah nyata memiliki konsekuensi yang tidak ringan untuk memasukkan fakta-fakta ke dalam cerita secara riel dan mengesankan. Saya sangat tertarik saat membaca Dwilogi “Cinta di Dalam Gelas” karya Andrea Hirata yang diawali riset selama tiga thun untuk mendalami sosok Maryamah Karpov ( Ennong) sebagai perempuan pertama penambang timah di Belitong. Hal ini lah barangkali yang tidak dilakukan Zavin dalam menggarap novel ‘Tarian di Ranjang Kyai”. Ada beberapa kejanggal;an yang memnbuat terganggu pencerita untuk emlihat hal ini sebuah fakta yang disodorkan ke dalam fiksi. Setting ceriota di antara tahun 1969 – 1975. Jarak antara Camplong ke Kalianget secara rtile sekitar 75 Km tetapi dalam teks tertulis 60 Km.

Kedua, penulisan bahasa lokal tanpa mengindahkan kaidah penulisan bahasa yang benar, pada hal secara implisit penulisan bahasa lokal yang benar dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Misalnya Embu’ (ibu), Embuk (kakak perempuan, atau panggilan terhadap perempuan yang lebih tua). Panggilan kang, tak dieknal dalam masyarakat Madura, tetapi lebih banyak memanggil kakak.

Ketiga, adegan mesum antara kyai Slamet dengan Nisa’ terasa kaku, kurang terolah secara menarik. “Kyai Slamet mengecup keningnya, lalu turun sedikit ke bibirnya.... tangannya terus berjalan di bagian belakang, di bagian-bagian dekat pantatnya. Nisa juga membiartkan tangannya memupuk bagian-bagian yang dianggap penting itu.” (Halaman 72).

sangat berbeda misalnya ketika adegan persetubuhan dituliskan oleh Djenar dan Sardono W Kusumo; Suara ting tong ting tang, mirip gamelan tiba-tiba hilang. Seiring dengan tubuhnya yang makin tinggi melayang. Tubuh yang semula diam mulai menari di udara semacam bayangan yang bergoyang. Terkadang bayangan itu melesat ke depan dan dengan seketika berpindah ke belakang. Kadang ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku pun berubah menjadi panggung. Panggung yang menunggu ia mengisi tiap ruang. Panggung yang bergetar tiap kali tubuhnya menciptakan gerakan (Ramaraib dalam 1 Perempuan 14 Laki-laki, hal.25)
keempat, Nisa melahirkan bayi pada saat di liang lahat. Sesuatu yang msuykil dari sisi medis. Apabila seorang wanita hamil meninggal dunia, maka otomatis janin yang ada dalam kandungannya ikut meinggal dunia.
*****

Barangkali ketekunan melakukan research amat penting untuk melakukan sebuah pengisahan yang berdasarkan kepada fakta. Sehingga ketika disusupkan ke dalam sebuah fiksi akan menjadi fakta baru yang menarik .
Meski demikian, Novel ini dapat menajdi sebuah pembuka bagi hadirnya novel pemberontakan terhadap tradisi masyarakat yang semula dianggap agung, ternyata di dalamnya mengandung banyak kelicikan bahkan kebobrokan.
Bumi Sumekar Asri, 28 Mei 2011
1. disajikan pada acara bedah novel dan pelatihan penulisan cerpen se Madura oleh UKMF Teater Suneidesis – Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi – Keluarga Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura pada tanggal 29 Mei 2011 di gedung Student Center Unoversitas Trunojoyo Madura.
2.Penulis adalah guru dan penyair kelahiran sampang dan tinggal di Sumenep

Selasa, 07 Juni 2011

BUWUN; Pulau Risau dalam Puisi Mardi Luhung

Oleh: Hidayat Raharja*
Buwun, konon adalah sebuah nama untuk pulau Bawean. Pulau yang ada di dekat Gresik. Banyak yang menyebut sebagai pulau perempuan, karena banyak para suamai merantau ke negeri seberang sebagai TKI di Malysia dan Singapura. Pulau yang unik, seperti pulau-pulau lainnya banyak ditinggal kaum lelaki, namun di dalamnya memendam keindahan dan kekayaan yang kerap luput dari perhatian Pemerintah setempat. Di tengah keluputan perhatiannya dalam mengangkat dan memberdayakan Bawean, justru penyair Mardi Luhung dipikatnya, sehingga melahirkan puisi yang terkumpul dalam buku puisi “Buwun”.

Bawean pulau yang ada dan dekat dengan kota Gresik, dan ditempuih dengan perjalanan laut sekitar 1-2 jam. Pulau yang banyak ditinggalkan lelakinya untuk bekerja ke tanah rantau. Oprang Bawean merantau ke Singapura dan Malysia dan di sana orang Bawean menyebut dirinya sebagai orang Boyan dengan Bahasa Boyan.

Buku puisi setebal 67 halaman ini yang edisi keduanya diterbitkan “Buku Bianglala” menuai Khatulistiwa Literary Award 2010 yang lalu, sangat unik dan menarik. Unik karena pengucapan Mardi Luhung yang sangat berbeda bahkan tak perduli sehingga dia bisa memasukkan apa saja ke dalamnya, setiap yang datang kepadanya. Keunikan karena begitu personal pengucapannya dengan idiom-idiom keseharian. Idiom cakapan yang kemudian masuk ke dalam tulisan. Puisi yang berdatangan ke hadapan Mardi Luhung setelah beberapa waktu mengunjungi Bawean selama dua hari.

Maka tak ayal jika dalam pusi-puisi yang terkumpul dalam buku ini akan banyak ditemukan pernak-pernik yang ada di pulau ini: Jhukung, Kuburan Panjang, Kelotok, Rusa, Pulau Menangis, Nasi Pandan, Kastoba, Komalsa, Gili, durung, Moko, dan sebagainya. Cerita dan legenda yang hidup di tengah masyarakjat dan hadir dalam puisi Mardi Luhung. Namun ketika hadir dalam puisi-puisinya Cerita dan Mitos serta bagian-bagian pulau itu tidak diam ,tetapi bergerak blingsatan dan menjadi gumpalan-gumpalan pecahan pulau-pulau lainnya yang ada di Indonesia. Pulau yang gelisah. Pulau yang resah. Kewgelisahan yang membuat penghuninya merasa memiliki tapi tak kuasa untuk menikmatinya.

.../memang pulau/ kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka/ banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang/ akan menukarnya dengan puisi atau kembang/ (Pulau, halaman 17). Pulau-pulau kita nan cantik adalah kekayaan yang tak pernah kita sadari. Bukan hanya bawean, tapi pulau-pulau yang kita miliki. Tidak sedikit pulau kita yang dikuasai atau diincar orang asing. Dari pemberitaan yang tersebar, dikabarkan sedikitnya 12 pulau terluar (terdepan) Indonesia di perbatasan sangat rentan dikusai atau diambil alih pihak asing. Jika tidak dilakukan antisipasi, maka tak tertutup kemungkinan 12 pulau tersebut akan lepas kepemilikannya dari tangan Pemerintah Indonesia. Kerentanan karena kurang diperhatikan pemerintah daerah setempat atau pun pemerintah pusat. Keindahan dan sumber kekayaannya adalah faktor pemikat untuk memilki dan menguasainya. Pada larik lainnya diutarakan:

Memang pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang/ ada baiknya membuka seluruh daya peluklekuk. Dan/ memahami, jika esok ketengelaman itu tiba sudah,/ tak ada yang menyebut pulau itu sembarangan/(halaman 17). Suatu ajakan untuk membuka daya peluklekuk. Sutau pemberdayaan yang selama ini pulau dan orang-orangnya hanya sebagai obyek, sehingga mereka aseringkali memposisikan diri sebagai korban bukan subyek. Meski, katakan saja banyak dari poenduduknya yang bekerja sebagai tenaga kerja di berbagai negara. Tenaga kerja yang banyak emnyumbangkan devisa. Kondisi yang memicu pulau-pulau dalam kesatuan wilayah Indonesia untuk melpaskan diri dari NKRI. Kekhawaitran akan tenggelamnya nasib pulau dan orang-orangnya sehinga ia memiliki tetpai tak mampu menikmatinya.
Pulau yang telah menberinya tempat singgah, dan terbuka bagi setiap yang datang, yang Jawa, Madura, Melayu, China, dan aneka lainnya. Sebagaimana dalam kisah-kisah dan legenda dalam pulau Ini, akulturasi sebagai warisan dari masa silam yang terus berinteraksi menjadi sesuatu yang baru dalam keragaman negeri ini. Kisah yang mebangun dan mebentuk sejarah pelayaran, perniagaan, dan trasportasi di tanah air.

...Katanya:”dulu si naga sipit telah. Menitipkan jalur kapalnyadi situ.Tapi, sayang, malah tersesat./Menabrak karang.Menangis, jadi pulau! Ya,ya, Pulau Menangis/ dengan mata semakin sipit (Pecinan , 24)
Kampung China, ada hampir di setiap kota di negeri ini, sama halnya dengan keberadaan kampung Arab. Bahkan di pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Sumenep pun ada keturunan China yang telah berakulturasi dengan masyarakat setempat. Sama halnya dengan keberadaan orang-orang keturunan China di Bawean, China yang berassimilasi dengan berbagai pendatang yang Melayu, yang Bugis, yang Jawa, Yang Arab, denga kehadirtan beberapa tokoh agama yang menyebarluaskan ajaran islam di pulau tersebut. Termasuk akulturasi bahasa. Yang kedengarannya seperti Madura bisa dimengertoi dan emngerti bahasa madura tetapi telah menjadi bahasa Boyan, bahas pembauran dengan berbagai masyarkat yang telkah menjadi masyarakat Bawean. Assimilasi yang ekmudian melahirkan kesetiaan, kesetiaan terhedap “pulau” yang mereka miliki, meski sering ditinggal lelakinya, namun atetap punya rindu untuk kembali. Untuk hilirmudik dan bersetia. Sebagaimana kesetian si suami kepada perempuannya atau sebaliknya. Maka:
Bapakmu berujar:”Ternyata, semalaman bundamu/ begitu luar biasa. Begitu telah membawa semaket/ kapal yang punya pintu tak terhitung. Yang/kamar-kamarnya begitu benderang. (Ketam, halaman 22)

Kesetioaan yang tetap membawa kegundahan, bisik-busuk, dan kecemasan, .. dan memang pantai masih tak bergeming. Tetapi rapat pada/keklabuan/ (Kuduk-Kuduk, halaman 20) Kekelabuan yang meresahkan, akan tersianya pulau –pulau ini yang terlupakan untuk diberdayakan. Datangnya kecemburuan atau keinginan untuk mekmisahkan diri , sesuatu ancaman yang sangat mensicaya, apabila d\tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Maka dengan tegas si aku lirik melihat jauh ke depan beratus tahun ke depan dlam “Buwun”:
Dan sekian ratus tahun ke depan. Lewat sebuah piknik yang/ sederhana. Ada si remaja menemukan telinga si tukang jukung itu di/ sebuah hutan. Dan ketika telinga itu dipasangkan ke telinganya, si remaja pun mendengar jeritan yang begitu lirih..../ dana da sebuah perkelahian yang tak pernah dimenangkan.(halaman 24)
Bukan sekarang tapi beratus tahun ke depan, di waktu yang akan datang. Kegelisahan yang memunculkan kelebatan-kelebatan pertarungan, perebutan yang tak pernah dimenangkan. Kegelisah atas keberadaan pulau-pulau kecil. Kegelisahan “Buwun” atau Bawean yang mewujudkan kegelisahjan pulau-pulau lain yang smaapi sekarang dibiarkan. Sebuah cerita baru yang akan melenyapkan kisah dan legenda masa lalu. Benarkah?!