Pagi
ini aku bersiap untuk berangkat ke
tempat mengajar, karena kebetulan hari ini aku tak ada jam mengajar sehinga
berangkat dari rumah pukul 07.30. Saat berkemas suara dering handphone berunyi, ada sms masuk. SMS
dari seorang kawan penyair yang tengah menjalani terapi penyembuhan dari
serangan stroke. Aku buka sms-nya. Ah, kiriman puisi yang cukup panjang. Barisan kata yang
mengingatkanku pada pengirimnya. Seorang penyair naratif yang sangat produktif
di tahun 70- sampai awal tahun 90-an. Karena terbenam dalam kesibukan kantor
dan menjadi humas pemkab dia kemudian lebih banyak jadi penikmat dan pembaca
yang baik.
Kenangan
yang terus merambat pada suatu waktu ketika mendapat kabar dari seorang kawan
yang lain bahwa sang penyair mengalami stroke dan di rawat di rumah sakit
daerah. Aku mengunjunginya, ada nada resah dan gamang. Bagaimana kejadiannya,
mas? Tanyaku. Dia bercerita panjang lebar riwayat sebelum kejaidan ketika dia
tidak mampu menjaga pola makan sehat.
“Mas,
usiamu tidak lagi muda, 55 tahun usia yang cukup matang kalau tak mau dikatakan
tua.” Jawabku.
“Tapi
bukan kartena makanan. Aku sakit karena beban pikiranku memberat!”
“Maksud,
Mas?!”
“Aku
bulan depan akan memasuki pensiun. Apa yang harus aku lakukan kalau aku tak
lagi ngantor. Semua akan berubah. Aku menajdi kesepian, sendiri, ditinggal
teman-teman,” keluhnya.
“Kalau
kau kesepian tulislah puisi untuk menumpahkan resahmu. Karena disitu duniamu.”
Beberapa
hari kemudian dia mengirimiku humor tentang KPK dan Melinda Dee, lelucun
mengenai masa pensiun atau seseakali mengirimiku beberapa informasi mengenai
penegtahuan populer. Aku senang karena dia bisa menghilangkan kesepiannya. Dia
bisa berceriota banyak tentang hidup dan kehidupan.
Pagi
ini ia mengirimiku sebungkus “Sarcophagus”
lewat SMS. Bungkusan puisi yang amat menyentuh dan aku bisa menikmatinya.
Terkenang akan kelihaiannya dalam memilih dan mengolah kata dan meraciknya
dengan sentuhan kepenyairannya yang tak diragukan lagi.
Sarcopagus : berapa lama aku disini/
keheningan membangun kesunyian yang abadi/tanpa gemuruh/ meski terasa nafas
semesta deras mengalir dalam deru denyut nadiku/ meski aku seperti petapa asing
dii lembah/angin setia mendesir jejak
berita leluhur/mereka mengabarkan kota dunia yang menjauh/ terbenam dalam kabut
peradaban/berapa lama aku disini/waktu tak terhitung/ hanya lolong serigala
menjertikan kematian demi kematian/ melapaskan roh meregang di jalan-jalan hotel-hotel/rumah-rumah/lewat jendela yang
terbuka/di halaman luas kanak-kanak tetap berlarian tanpa tahu orangtua pergi
ke utara/ melesat ke negeri pekat kelam/ tak pernah kembali// (Arya Mustafa ,
Sumenep 4 April 2012 pukul 07:20:42
Aku
tak meragukan kelihaian dalam mengolah kata yang menari-nari dalam imajinasinya.
Juga aku tak ragu dengan kegelisahan sepinya yang menerkam perlahan. Sebuah kegelisahan seseorang yang
akan pergi ke arah utara dan meninggalkan anak-anaknya yang bermain di halaman
tanpa pernah paham ketika orang yang dicintai pergi ke utara dan tak pernah
kembali. Dunia riuh yang menjauh dan sayatan lolongan serigala yang memanggil
kematian. Sunyi yang mencekam. Dan sunyi itu bisa datang di sembarang tempat di
jalan, rumah di hotel.
Puisi
yang mengingatkan hiruk pikuk dunia, sekaligus kesunyian yang mengintai di
baliknya. Betapa sepi dan gelisah temanku. Aku hanya sempat mengucapkan selamat
berkarya kembali. Aku yakin dengan
mengembalikan kebiasaan menulis yang pernah dilakukannya akan mampu mengurangi
beban berat yang bergelantung dalam pikirannya. ***
Sumenep,
4 April 2012 09:46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar