Translate

Selasa, 28 Oktober 2008

NARASI PENDIDIKAN, MORAL DAN MASA DEPAN PELAJAR

oleh: Hidayat Raharja *

1.Generasi MTV
Sebuah tayangan mengalir deras dari dunia audiovisual, keriangan dunia remaja (baca: pelajar) , macho, molek dan memamerkan potensi tubuh yang seksi. Arus peradaban yang menggelontor dalam kehidupan anak muda (pelajar), yang kemudian menyeret kaum muda untuk memasuki sebuah zona hiburan, planet mimpi dan khayalan tanpa ada persoalan.
Suatu zona bagi kaum muda yang tidak lagi dibatasi oleh sekat geografis ataupun territorial. Semua saling berdesak, merebut perhatian, dan mencari pengikut. Dunia pendidikan menjadi wilayah eksklusif yang dipenuhi kerumitan dan teralineasi dari kultur masyarakatnya. Dunia pendidikan tidak mampu memenuhi harapan kaum muda untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Maka, dunia mimpi, memberikan ruang ekspresi segala kesumpekan dan kehidupan yang getir untuk segera dilupakan (Sartono:2004).
Sepanjang 24 jam, televisi mengajak kita tertawa, bernyanyi atau meraih impian yang tak terjangkau. Saksikanlah, bagaimana dunia televisi mengajarkan seorang pelajar SMP diajarai caranya berpacaran. Suatu pembelajaran hidup yang ditawarkan oleh sebuah dunia sinema elektronik, yang hadir di tengah-tengah ruang keluarga.
Sejauh mana pengaruh tayangan tersebut terhadap kehidupan pelajar? Sejauh yang ditemukan dalam realitas kehidupan anak muda mulai dari jantung metropolis sampai ke kantong-kantong di pedesaaan. Suatu proses pendidikan yang dahsyat, dan aksesnya demikian hebat mengalir dari nadi kehidupan anak muda.

2. Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan merupakan suatu wilayah proses yang menyeluruh, menyangkut aspek pengembangan koginitif, afektif (emosional) dan psikomotorik. Pengembangan seluruh aspek kepribadian, sehingga menjadi manusia yang seutuhnya, Ikhsan ( Nurcholish Madjis, 2001:ix)
Ada riga pilar yang berperan dalam proses pendidikan, antara lain:.
A. Keluarga
Berada dimanakah keluarga kita? Yang mengasuh atau mndidik anak semenjak
daribuaian sampai menjadi besar. Masa depan pelajar amat ditentukan oleh dasar
pendidikan yang diberikan keluarga. Bahwa, sampai usia 12 tahun anak amat ditentukan
oleh keluarganya. Tetapi melebihi usia 12 tahun anak ajkan menjadi milik
lingkungannya.
Lingkungan sangat berperan dalam kepribadian anak.
Keluraga memainkan peran penting untuk memberikan dasar , fondasi nilai-nilai yang akan membentuk kepribadian anak. Dukungan orangtua (material moral, spiritual) merupakan komponen penting untuk bisa mennetukan dirinya sendiri. Rumi pernah mengatkan bahwa,: “anak adalah mata panah, sementara orangtua adalah busur yang akan melesatkan mata penah menuju ke sasarannya”

B Masyarakat
Masyarakat merupakan wilayah yang lebih luas daripada keluarga. Suatu habitat, tempat keluarga tumbuh dan berinteraksi dan bekembang. Didalamnya tersedia dan terserap nilai-nilai yang kemudian menjadi milik anak. Kemampuan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat akan menjadi mata rantai kehidupan pelajar atau anak muda.Kelak, kKe dalam masyarakat anak muda atau pelajar akan kembali. Masyarakat yang baik, ramah, peduli akan berpengaruh terhadap diri dan masa depan pelajar.

C. Sekolah
Schoola, memiliki sejarah buram dalam masa kehidupan kolonial. Sekolah hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan bangsa Eropa. Sementara kaum inlander (boemipoetra) hanya boleh sekolah rendahan dan nantinya boleh menjadi pegawai rendahan. Sekolah didirikan di jaman itu untuk menciptakan ambtenar (pegawai negeri)

Hubungan antara sekolah dengan pegawai kantoran merupakan warisan feodal yang sampai kini mencekam dalam persepsi masyarakat kita. Sekolah terseret kepada lembaga pemberi sertifikat dan aneka gelar daripada sebagai lembaga pendidikan yang memberikan pilihan bagi pelajar untuk mampu menentukan dan mengembangkan diri. Sekolah terperangkap ke dalam dunia pengjaran, sehingga perlu meredefinisikan kembali sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh aspek kepribadian pelajar.. Suatu lem,baga yang mampu memantapkan dirinya sebagai institusi pendidikan yang berwajah kemanusiaan.
Lalu, bagaimana hubungan antara pendidikan, moral dan masa depan pelajar ? Wouww, fantastis!!!
Bila yang dimaksudkan pendidikan secara meluas (hakikat), maka ketiga pilar penopang pendidikan harus ditegakkan; keluarga. Masyarakat, dan dunia persekolahan. Ketiganya harus bersinergi untuk memanusiakan manusia. Memandang manusia sebagai makhluk yang unik dan spesifik.
Azzumardi Azra (2004) menjelaskan dalam dunia pendidikan (persekolahan), guru dalam masyarakat modern telah bergeser sebagai penjual jasa keilmuan yang digaji oleh negara, sehingga memrak yang secara moral belum dapat dijadikan panutan tetapi memiliki kecakaopan keilmuan dapat menjalani profesi keguruan. Sementara dalam masyarakat tradisional guru lebih menekankan kepada nilai-nilai anutan, yang digugu dan ditiru, lebih dominan daripada aspek keilmuan.

3. Moral
Pelajar, remaja, khilangan figur anutan moral. Sebab, persoalan moral menyangkut aspek perilaku. Di saat pelajar merindukan tokoh anutan, idola yang harus dijadikan tauladan, dunia entertaint menawarkan tayangan tokoh yang atraktif dan memikat, namun miskin nilai-nilai moral.
Dlam perdaban masyarakat globalmondeal,nilai-nilai moral menjadi tuntutan kebutuhan yang harus terintegrasi dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai moral akan memberikan kekuatan bagi anak untuk menentukan nilai-nilai yang mengitari bahkan menyerbunya. Suatu nilai yang akan membrikan sikap bagi pelajar untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Perilaku mana yang harus tiinggalkan dan mana yang harus dikerjakan.
Pelajar sebagai generasi pemegang masa depan bangsa, harus dibekalai dengan nilai-nilai moral untuk dapat menentukan identitas dirinya, sebagai anggota keluarga, bagian masyarakat, dan penentu masa depan bangsa.
Masa Depan Pelajar
Yesterday is gone
Today is starting the future
Masa depan pelajar, perlu dipersipakan dari saat ini, melakukan retrospeksi untuk memantapkan langkah, dengan memperbaiki sistem pendidikan , nilai-nilai kehidupan yang akan memantapkan kepribadian pelajar dan akan berpengaruh terhadap masa depannya.

Rabu, 22 Oktober 2008

AIR, MANUSIA , DAN PERADABAN

Oleh: Hidayat Raharja
(1)
PENDAHULUAN

AIR MANUSIA DAN PERADABAN

Air merupakan kebutuhan vital untuk berlangsungnya berbagai proses kehidupan. Tubuh makhluk hidup tersusun atas air, berperan dalam proses metabolisme. Kehidupan tak dapat dilepaskan dari kebutuhan air sebagai kebutuhan pokok setelah oksigen.

Sumber daya air ketersediaan dan kelestariannya kait-berkait dengan komponen kehidupan lainnya; manusia, hutan, tanah, dan lainnya. Manusia memiliki peran yang amat bermakna terhadap ketersediaan dan kelestarian sumber daya air. Manusia sebagai subyek dengan pelbagai aktivitas dalam kehidupannya kerapkali memberikan dampak terhadap kerusakan sumber daya alam (juga air).

Berbagai kebutuhan hidup manusia tidak sedikit yang didapatklan dari memanfaatkan sumber daya air. Pemenuhan kebutuhan protein hewani banyak memanfaatkan dari kekayaan hayati laut yang berlimpah.

Meningkatnya jumlah penduduk dunia (Brown,1999:107 dan 204) membawa implikasi terhadap penggunaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup; air bersih., untuk mencuci, mandi, sistem pengairan sebagai konsekuensi tak terelakkan. Meningkatnya kebutuhan papan dan pangan mengakibatkan terjadinya eskalasi penebangan hutan untuk perluasan lahan pertanian dan pemukiman memberikan pengaruh besar terhadap daur hidrologi sebagai siklus perputaran air di atmosfer bumi. Realitas konkret yang memberikan andil terhadap penyerapan air sebagai penampung air hujan dan pendistribusian air di musim kemarau.

Soemarwoto (Wuryadi,1998:47) menyebutkan krisis sumber daya air semula dibutuhkan untuk rumahtangga kemudian berkembang untuk pertanian dan industri. Ketresediaan air di lingkungan ditentukan oleh air hujan yang tersimpan ( air tanah, sungai, danau,dll).

Sementara prediksi Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1990) menjelaskan perbandingan kebutuhan dan ketersediaan air di Indonesia tahun 2000 sebagai berikut: di Jawa 154 % ( telah terjadi krisis), Bali 73 % dan NTB 58 % (mendekati krisis).

Krisis air untuk rumahtangga walaupun kebutuhannya relatif kecil 48 % dari kebutuhan total, pertanian 64,87% , untuk listrik 30,7 % dan industri 0,53 %. Krisis air untuk kebutuhan rumah tangga disebabkan kebutuhan kian meningkat, sementara persediaan kian tercemar.

Krisis sumber daya air tidak lagi menjadi persoalan lokal, rejional,tetapi menjadi persoalan global karena ketrsediaan air merupakan persoalan multidimensional yang menyangkut aspek politik, ekonomi dan kultural yang saling melapisi dalam globalisasi kehidupan.

Makin berkurangnya hutan hujan tropik di Indonesia memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim, cuaca yang tidak menentu mengakibatkan terjadinya pemanasan global , pasangnya air laut, dan bencana banjir di musim hujan dan kekurangan air (kekeringan) di musim kemarau. Menandakan terganggunya daur (siklus) air.

Peradaban ilmu dan teknologi bagaikan dua sisi mata uang yang saling mendamping antara manfaat dan dampak yang diberikan terhadap kehidupan manusia. Pengembangan Ilmu dan teknologi yang berorientasi terhadap peningkatan kesejahteraan hidup manusia melampaui batas sampai kepada tingkatan ekses pencemaran sumber daya alam, justru menimbulkan problem tersendiri dalam kehidupan manusia.

Teknologi menjadi alat eksploitasi terhadap sumber daya alam, sehingga tanpa disadari memberikan andil dalam merusak tatanan sumber daya alam yang melebihi batas kemampuan untuk melakukan regenerasi.

Di berbagai tempat, kawasan perairan dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah dari rumah tangga dan industri meningkatkan pembusukan dan meracuni kehidupan organisme di dalam air. Tercemarnya teluk Minamata menjadi catatan sejarah perairan dunia yang tercemar sebagai akibat dari kemajuan industri yang tanpa (lalai) mempertimbangkan keselarasan dengan lingkungan.

Pencemaran perairan bukan saja berimplikasi terhadap keracunan atau penyakit yang diderita manusia, tetapi secara ekonomis memberikan pengaruh yang amat signifikan. Sumber daya air (lautan) sebagai sumber perekonomian bagi suatu bangsa dan Negara. Selain sebagai lalulintas transportasi kekayaan hayati dan non hayati di dalam laut menjadi pemenuhan sumber kebutuhan hidup.

Kerusakan / pencemaran ekosistem perariran akibat pemukiman penduduk yang berdomisili di sepanjang bantaran sungai dan pembuangan sampah telah mengakibatkan terjadinya banjir secara periodik terjadi saat musim hujan tiba . Bencana kemanusiaan yang tidak hanya merugikan aspek ekonomis tetapi juga bersebarnya penyakit pasca banjir.

Dari uraian tersebut ada tiga persoalan besar dalam kehidupan terhadai ketersediaan dan kelestarian sumber daya air:

1. Eskalasi jumlah penduduk dunia, merupakan persoalan kependudukan berimplikasi terhadap peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih, sistem pengairan, dan pangan.

Bagaimana mengatasi peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk ?

2. Berkaitan dengan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatn sumber daya air belum dilakukan secara optimal. Pemenuhan sumber air bersih masih banyak bergantung kepada tersedianya pengolahan air tawar dan pemanfaatan kekayaan hayati yang berlangsung secara esksploitatif. Pemakaian bahan peledak untuk menangkap ikan di lautan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kerusakan terumbu karang di Indonesia dan berpengaruh terhadap kelestarian kekayaan hayati di dalam laut.

Bagaimana kaitan peradaban Iptek dalam upaya penyelamatan Sumber daya Air?

3. Rusaknya hutan hujan tropis di Indonesia merupakan bencana global yang memberikan andil terhadap perubahan iklim dan tersediannya air serta pengendalian banjir di waktu musim hujan. Selanjutnya problem tersebut berangkaii kepada persoalan sistem pengairan dan penyediaan pangan.

Bagaimana mengatasi rusaknya hutan hujan tropis untuk tetap menjaga daur hidrologi dan mengatasi bencana banjir?

******

BAB II

AIR DAN PERADABAN MANUSIA

2.1 A I R

Air (H2O) merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan. Bagi manusia air merupakan pembangun tubuh, berperan dalam sistem peredaran (transportasi), pengokoh tubuh, menjaga agar suhu tubuh tetap stabil, dan sebagai zat pelumas dalam gerakan otot ( Nasoetion, 1995:116-117)

Manusia sedikitnya membutuhkan 6 sampai 8 gelas air untuk keperluan metabolisme tubuh’

Pemenuhan kebutuhan air didapatkan manusia dari bahan makanan,buaha-buahan dan sayur-mayur yang dikonsumsi. Air sebagai minuman harus memenuhi persyaratan layak minum antara lain; bebas dari kuman, dan tidak mengandung zat-zat beracun. Secara alamiah air yang tercemar bahan organik dapat memurnikan dirinya selama tidak melampaui batas kemampuannya, karena bahan organik dapat diuraikan jazad renik.

Kebutuhan air semakin meningkat seiiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk khususnya di perkotaan. Dengan makin meningkatnya jumlah urbanisasi kebutuhan air kian meningkat.

Permalasalahan urbanisasi tidak hanya menimbulkan kirisis air bersih. Tetapi, juga menimbulkan pemukiman kumuh yang berdiri di bantaran sungai, bahkan berdiri di atas aliran air sungai. Menumpuknya sampah di perairan (sungai) di perkotan merupakan aspek lain yang berpengaruh terhadap kualitas air sungai menjadi tercemar dan mengakibatkan gangguan banjir serta penyakit ( Soemarwoto,1999:225)

Kepadatan penduduk dan kebutuhan air merupakan persoalan yang banyak terjadi di Negara berkembang. Meningkatnya urbanisasi di perkotaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan yang layak, karena minimnya bekal keterampilan (rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia) yang dimiliki menimbulkan persolan yang banyak memberikan kontribusi terhadap kerusakan sumber daya air (pencemaran air). Kultur pedesaan yang berbeda dengan kota mengakibatkan sungai berubah menjadi jamban,sekaligus tempat mandi dan untuk mencuci memberikan pengaruh buruk terhadap sanitasi, dan persediaan air bersih ( Soemarwoto,1999:223).

2.2 SIKLUS AIR ( DAUR HIDROLOGI)

Dalam daur hidrologi, air jatuh dari atmosfer ke bumi sebagai hujan atau bentuk lain; sebagian masuk ke dalam tanah; diseraptanaman, dan dikembalikan lagi ke atmosfer karena penguapan dari bagian luar tanaman (Foster,1998:36)

Hutan dan bentuk vegetasi lain memiliki peran penting di dalam daur hidrologi . Hutan mampu menyerap dan menahan air, sebagian dari seresah banyak menyerap air di permukaan tanah atau di atas lantai tanah.

Air yang terserap di dalam tanah akan keluar lagi sebagai mata air di tempat lain. Air yang terserap dalam serasah perlahan – lahan akan lepas, selama seresah itu mengandung air di atas titik jenuh. Air tanah dan air yang terserap dalam seresah merupakan simpanan air yang tersedia lama setelah hutan jatuh.

Pelestarian hutan merupakan suatu upaya untuk melestarikan daur hidrologi, berarti lesatarinya hutan merupakan upaya menjaga tetap tersedianya sumber daya air(Soemarwoto, 1999: 171-172)

Untuk tetap terjaganya daur hidrologi, maka upaya pelestarian dan penyelamatan hutan harus dilakukan. Setiap pelanggaran terhadap pelaku pengrusakan hutan harus diganjar sangsi yang tegas. Sebab, knyataannya parahnya kerusakan hutan di Indonesia banyak dilakukan oleh pengusaha hutan yang mengabaikan terhadap upaya pelestariannya.

Pelaku pencemaran terhadap perairan yang banyak disebabkan oleh limbah industri di perkotaan belum mendapatkan sangsi yang setimpal, sebab dari berbagai kasus pencemaran perairan banyak yang tidak tuntas disidang di pengadilan. Fenomena buruk yang makin mencemaskan terhadap krisis air yang disebabkan pencemaran.

2.3 HISTORIS

Sulit membayangkan bahwa peradaban manusia tertua muncul di daerah aliran sungai Tigris dan Eufrat yang dikenal dengan Mesopotamia . Enam – tujuh ribu tahun silam daerah yang dikenal dengan nama Iraq (sekarang) merupakan daerah pertanian yang subur dengan memanfaatkan aliran sungai Tigris untuk sistem irigasi pertanian. Aliran sungai yang membawa kemakmuran di bidang pertanian membawa kepada terbentuknya tatanan hidup yang tertata rapi. Dari situ muncul kelas-kelas masyarakat, seperti: pendeta, ahli pertanian, piñata administrasi, pedagang, perwira angkatan perang, seniman, pekerja professional atau tenaga ahli (Zen,1982:47)

Sejarah peradaban yang maju mampu memanfaatkan sumber daya air untuk sistem irigasi pertanian, kawasan hijau dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Kenyataan yang saat ini berubah total, Iraq berubah menjadi kawasan tandus , kering dan gersang karena masalah tatalingkung.

Tidak jauh berbeda dengan negeri ini (Indonesia) dalam catatan sejarah masa silam negeri nusantara merupakan kawasan yang hijau, subur, makmur, “Gemah Ripah loh Jinawe , Tata Tentrem Karta Raharja “.

Sumber daya air telah mencatatkan peradaban maju di masa lampau, berbagai pulau negeri ini dikelilingi perairan bukan menjadi penghalang tetapi berfungsi sebagai penghubung antar pulau atau daerah. Perairan menjadi inspirator terciptanya perahu tradisional “Pinishi” yang tangguh sebagai alat transportasi dan teruji menghadapi hantaman badai dan gelombang. Sumber daya air (laut) telah lama menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir, mereka sangat menghargai terhadap perairan yang menjadi sumber kehidupannya. Mereka begitu akrab sehiongga menimbulkan pelbagai tradisi di berbagai daerah untuk mensyukuri nikmat yang diperolehnya dari laut. Upacara petik laut, Larung merupakan bentuk-bentuk penghargaan, kearifan tradisional yang mencerminkan keselarasan dan keserasian hidup dengan lingkungan perairan. Pengambilan hasil laut sebatas kebutuhan dan hayati laut diberi kesempatan untuk berkembang biak, untuk menyediakan diri bagi manusia di waktu berikutnya. Tidak berlebihan apabila muncul pujian “ Nenek Moyangku Orang Pelaut”, “Abantal Omba’ Asapo’ Angin” bagi orang Madura Penanda yang menyimbolkan keakraban dengan dunia bahari merupakan peradaban negeri ini.

Di masa silam terdapat penghargaan yang sangat tinggi dari masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya air dalam kehidupan. Sistem irigasi pertanian telah membangun sistem kehidupan sosial, untuk membagi sistem pengairan secara bergantian dan saling membantu di antara sesamanya.

Perairan (sungai dan Laut) menjadi jalur lalulintas antar daerah dan pulau sehingga pusat kota banyak dibangun di daerah pesisir. Kejayaan masa silam yang kini akan segera menjadi kenangan. Sungai sudah banyak tercemar. Batavia yang dulu dikenal sebagai kota seribu sungai telah kehilangan perairan; sungai dan rawa bayak diurug untuk mendirikan pemukiman, reklamasi pantai untuk pemukiman telah mengakibatkan hilangan daerah limpahan air, sehingga di musim hujan banyak air tak tertampung membanjiri kota dan pemukiman penduduk.

Hutan-hutan sebagai penjaga daur hidrologi di pulau Jawa, sumatera dan Kalimantan semakin tahun makin susut karena dibabat oleh kerakusan indsutri perkayuan, tidak hanya merusak daur hiodrologi. Kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman turut lenyap bersmanya. Rusaknya hutan menimbulklan erosi permukaan tanah demikian parah, sehingga setiuap turun hujan sungai dan laut berubah menjadi warna coklat.

Krisis air menjadi musibah sepanjang waktu. Setiap musim hujan tiba hamper setiap daereah dilanda musibah banjir; Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, kota yang senantiasa disibukkan oleh bencana banjir setiap musim penghujan tiba. Keadaan yang diperparah karena hilangnya hutan kota sebagai tempat serapan air, merupakan persoalan yang saling merantai dengan pelbagai persoalan ekonomi, sosiokultural, dan politik.

Krisis yang amat dilematis, ketika musim hujan air meluap menjadi bencana banjir, sementara di musim kemarau beberapa daerah mengalami kekeringan ,kekurangan air.

2.4. PERADABAN TEKNOLOGI

Teknologi dapat merubah segalanya, hal sulit menjadi mudah, pekerjaan yang berat menjadi ringan. Suatu kenyaman yang diberikan teknologi sebagai hasil penerapan atau aplikasi dari ilmu pengetahuan. Secara filosfis kehadiran teknologi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun di tangan manusia pula, teknologi bisa berubah menjadi sumber bencana karena manusia kurang beradab dan kurang arif dalam memanfaatkannya.

Teknologi Industri dapat dirasakan manfaatnya untuk menyediakan berbagai kebutuhan hidup manusia, namun di sisi lain “dubur” industri pabrik memuntahkan limbahnya ke perairan, sehingga terjadi pencemaran air. Kehadiran pupuk sintetis, insktisida dan pestisida telah banyak membantu petani utnuk meningkatkan produk pertaniannya. Tetapi penggunaan pupuk telah pula memberikan kontribusi terhadap eutrofikasi .

Industri kehutanan telah memporak-porandakan penjaga daur hidrologi, iklim yang tidak menentu. Data yang terungkap rusaknya hutan di Kalimatan dan Sumatera akibat ulah dari pengusaha tanaman indsutri yang membuka hutan dengan cara membakar hutan. Tindakan yang menjadi rahasia umum bahwa pelakunya sulit diberi sangsi hukum dan akibatnya berpengaruh terhadap kehiduapmn secara meluas.

Penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan telah menghilangkan kearifan tradisional (lokal) untuk tetap menjaga lautan, akibatnya terjadi kerusakan terumbu karang sebagai sarang berkembangbiak ikan, dan terjadinya pencemaran air.

Terdapat perbedaan yang amat signifikan antara masyarakat negara berkembang dan Negara maju dalam memanfaatkan teknologi. Negara berteknologi maju seperti Negara Eropa memiliki kesadaran tinggi akan dampak buruk teknologi, oleh karena itu gejal pencemaran air, udara, dan sebagainya cepat diketahuyi dan cepat pula dijadikan masalah yang harus segera diselesaikan (Zen,1982: 48-49).

Permaslahan yang sering muncul di Negara berkembang seperti di Indonesia, teknologi dijadikan sebagai alt eksploitasi utnuk memanfaatkan sumber daya air tanpa mempertimbangkan dampaknya untuk segera dipermasalahkan dan dicarikan penyelesiannya. Pertimbangan ekonomi kerapkali menjadi titik tolak pemanfaatan teknologi untuk eksploitasi tanpa mempertimbangkan kondisi sosiokultural yang melingkupinya. Teknologi telah beralih fungsi dari fungsional ke sebuah gaya hidup untuk mencerminkan sebuah kemajuan dan lambang kemakmuran.

2.5 SUMBER DAYA AIR UNTUK MANUSIA?

DIA lah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternak “ (QS.16: 10

“Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah. Supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun-kebun yang luas? (QS.78: 14,15,16)

Air untuk manusia dan makhluk hidup lainnya. Amanah yang diwahyukan kitab suci Al-Quran. Air untuk Manusia tanpa memandang ras dan kebangsaan , usia, dan status sosialnya. Pemahaman ilahiah yang menekankan kepada peran manusia sebagai khalifah untuk memberdayakan sumber daya air bagi seluruh kehidupan; tumbuhan, hutan, tanah dan hewan.

Wahyu yang menunjukkan hubungan sirkuler antara manusia, tumbuhan, hewan, air, dan alam lingkunganya. Hubungan saling mempengaruhi dalam kelangsungan hidup untuk saling menjaga sehingga tercapai keselarasan dan langgam hidup yang tenteram dan damai.Manusia memiliki peran vital dalam upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air, karena diberi peran untuk mengelola bagi kepentingan hidupnya. Wahyu ilahiah yang patut diapresiasi secara komprehensif oleh penganutnya.

Kerusakan hutan sebagai penjaga daur hidrologi merupakan perbuatan manusia yang melampaui batas tanpa memikirkan kepentingan makhkluk dan lingkungannya. Pemanfaatan hanya menekankan atas kepentingan manusia. Selanjutnya memberikan dampak bagi kehidupan manusia dengan aneka bencana alam yang menimpanya.

Teks Ilahiah menekankan pada hubungan manusia, tumbuhan, hewan, langit (atmosfer), kebun luas (hutan, tanah, flora dan fauna), merupakan kompleksitas hubungan interaktif antara manusia dengan lingkungannya. Apresiasi terhadap teks ilahiah merupakan suatu kewajiban sebagai pedoman dalam menjalankan peribadatan secara vertikal dan horizontal, secara transenden dan sosial merupakan apresiasi terhadap wahyu secara komprehensif.

Kegagalan menjaga dan melestarikan sumber daya air merupakan suatu realitas konkrit dari kegagalan apresiasi wahyu secara aplikatif. Selanjutnya membawa pada perengggangan dan dikotomi antara kepentingan transenden dan sosial. Peregangan – peragangan yang dihantui oleh kepentingan-kepentingan ekonomi (duniawi) dengan melupakan hak-hak yang harus didapatkan oleh komponen di luar manusia. Fenomena kehancuran sumber daya air ketika pesan-pesan wahyu disterilkan dari realitas kehidupan secara kongkrit. Wahyu digelandang ke dalam wilayah ritual sebagai satu-satunya bentuk pemujaan terhadap Tuhan dan dipisahkan dari sosialitasnya yang lebih bermakna.

Kekhalifahan manusia tidak bisa steril dari tanggungjawab sosial kepada segenap makhluk. Pemanfaatan sumber daya air tidak sampai merusaknya dan memberikan hak bagi setiap makhluk yang berinteraksi dalam sirkulasinya. Kekhalifahan yang memikul beban tanggungjawab humanitas, sosialitas, dan keilahian.

******

BAB III

REAKTUALISASI KEARIFAN LOKAL

MENGATASI PROBLEM SUMBER DAYA AIR

Krisis sumber daya air sebagai kebutuhan vital memerlukan penanganan secara serius dan intensif untuk tetap menjaga ketersediannya. Penanganan berkait dengan pelbagai aspek kehidupan manusia di tingkat lokal, rejional, dan global.

Manusia sebagai subyek benyak berperan dalam memberdayakan sumber daya air sekaligus menciptakan krisis. Karenanya, upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air perlu dilakukan reaktualisasi kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di tiap tempat tanmpa mengabaikan kepentingan global.

3.1 KOORDINASI WILAYAH EKOLOGIS

Ekosistem sebagai kesatuan tidak dapat dibatasi oleh administratif geografis pemerintahan daerah (otonomi daerah). Wilayah ekologis bisa membentang antar daerah yang secara administratif berbeda wilayahnya.Misalnya: Krisis air di kota Jakarta (Banjir) erat kaitannya dengan rusaknya ekosistem hutan atau gersangnya perbukitan yang ada di daerah bogor. Wilayah daerah yang berbeda secara administrative tetapi merupakan kesatuan ekologis.

Untuk menanganai krisis sumber daya air, semisal banjir perlu adanya koordinasi antar wilayah daerah mengatur penanggulangan bencana banjir. Pencemaran terhadap air bersih di perkotaan banyak disebabkan karena pemukiman kumuh di bantaran sungai yang diakibatkan miningkatnya arus urbanisasi salah satunya dapat diupayakan dengan meongoptimalkan fungsi pedesaan dengan menggalakkan Gerakan Kembali ke Desa (GKD) pernah dicanangkan di Jawa Timur saat kepemimpinan Gubernur Basofi Sudirman. Alternatif mengendalikan laju urbanisasi dengan menggarap potensi Home Industry , amat disayangkan program ini hanya berlangsung sesaat karena kebijakan politik yang tidak mendukungnya.

Perlu tindakan tegas dari aparat pemerintahan terhadap pemukiman liar semenjak awal, karena apabila menanti sampai pemukiman menjadi padat akan sulit untuk memindahkannya.

3.2 REDEFINISI TERHADAP PEMANFAATAN TEKNOLOGI

Pemanfaatan teknologi untuk memberdayakan poptensi sumber daya air merupakan suatu kebutuhan untuk mengimbangi permintaan yang semakin meningkat. Namun perlu dipertimbangkan ekses buruk pemanfaatan teknologi yang kurang ramah dan tidak relevan dengan kondisi lingkungan sosiokultural . Teknologi telah dimanipulasi untuk mengeksplorasi terhadap sumber daya air dan lalai untuk mempertimbangkan regenerasinya karena tekanan kebutuhan ekonomis. Serta Pemanfaatan sumber daya air dengan mempergunakan teknologi masih sebatas pemenuhan kebutuhan hayati dan mineral, sementara pemanfaatan air laut sebagai sumber air tawar merupakan tantangan masa depan untuk bisa dimanifestasikan sebagai produk teknologi pengolahan air. Tantangan teknologi untuk mengatasi tuntutan kebutuhan air tawar di masa depan, merupakan pilihan ketika sumber air tanah, hutan sebagai penjaga daur hidrologi banyak mengalami kerusakan.

Perkembangan industri air minum kemasan merupakan fenomena produk teknologi yang kian bertumbuh dan mampu menyuplai kebutuhan .

Namun bila industri air yang memanfaatkan sumber air di pegunungan ini lalai untuk dikendalikan, akan melengkapi kerusakan sumber daya air bersih yang tak mampu lagi melakukan regenrasi akibat kegiatan eksploratif dari industri perairan.

Appropiate Technology (Relevant Technology) tidak akan pernah tercapaisebelum Negara berkembang membangun masyarakat ilmiahnya (Zen,1982: 42). Betapa pentingnya membangun kualitas sumber daya manusia yang akan menentukan kualitas masyarakat dan bangsa. Pembentukan karakter manusia yang bukan hanya mapan secara teknoekonomis tetapi juga memiliki kearifan secara menyeluruh terhadap lingkungan sosiokulturalnya.

Untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya manusia dapat dicapai dari pembenahan sistem pendidikan di sekolah khususnya yang tidak hanya menekankan kepada aspek kognitif, tetapi pembangunan pembentukan karakter manusia yang bisa berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosiokulturalnya.

Tujuan ini dapat dicapai melalui integrasi pendidikan lingkungan dalam setiap mata pelajaran sehingga menjadi suatu bentuk pendidikan yang kondusif Pola pembelajaran yang arif dan kondusif terhadap iklim sosiokultural dan lingkungan alam merupakan kebutuhan mutlak di saat reformasi dunia pendidikan berkeinginan mereaktualisasikan potensi lokal dan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.

3.3. MENJAGA DAUR HIDROLOGI

Untuk menyelamatkan hutan sebagai penjaga daur hidrologi perlu dilakukan tindakan tegas terhadap pelangganya. Negara sangat lemah untuk menegakkan perundangan lingkungan karena berbagai tekanan ekonomi dan politik tertentu, mengakibatkanb krusakan hutan semakin tahun kian meningkat. Ribuan hektar hutan Kalimantan dan Sumatera rusak terbakar (dibakar) oleh pengusaha hutan, tanpa ada tindakan kongkrit.Perundangan tentang perlinduingan alam masih bersifat sektoral, artinya hanya dipahami oleh instansi yang berhubungan dengan kehutanan. Sementara pengrusakan terhadap hutan merupakan suatu realitas yang mengiringi laju industrialisasi.

Beberapa pengusaha penyebab pencemaran perairan oleh limbah kimia, tidak jelas sangsi hukumnya karena dari beberapa kasus yang disidangkan di pengadilan hilang di tengah jalan. Upaya penyelamatan hutan sebagai penjaga daur hidrologi masih didominasi oleh kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap lingkungan.

Suatu hal yang patut dikembangkan adalah upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan sisa lahan di hutan dan sekaligus diberi beban tanggungjawab untuk melakukan penghutanan kembali dengan tetap menjaga kelanggengan hutan yang tersisa. Peran simbiosis mutualistis antara lembaga hutan dengan masyarakat sekitaer untuk saling memberdayakan dilakukan di daerah jember untuk menyelamatkan dan melestarikan siswa hutan sebagai penjaga daur hidrologi.

Sungguh menyakitkan ketika ditengarai akibat kerusakan hutan banyak disebabkan oleh pengusaha hutan yang lebih banyak mempertimbangan kepentingan ekonomi capital. Tragisnya mereka pula yang lolos dari jerat hokum yang ada.

Memikirkan masa depan air harus memikirkan kearifan-kearifan lokal yang lebih bijaksana dalam memanfaatkan alam. Penegakan kembali hokum adapt, melibatkan penguasa adat untuk turut menjaga dan melestarikan hutan sebagai penajaga daur hidrologi mutlak harus dilakukan.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan global dapat dimulai dan dipengaruhi dari tingkat lokal

Zimmerman (Hunker,1964) menjelaskan “kearifan dan akal budi manusia itulah, yang pada akhirnya dapat bmenjadi daya utama, yakni sumber daya yang membuka rahasia dan himah alam semesta”.

*****

BAB IV

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Krisis sumber daya air merupakan krisis peradaban yang bertumpu kepada manusia sebagai makhluk yang mampu melakukan perubahan-peruabahan terhadap lingkungannya. Sejarah peradaban Mesopotamia merupakan catatan peradaban yang dibangun manusia dari pemanfaatan aliran air yang mengalir di sungai Tigris. Air yang membawa kemakmuran dan terbentuknya tatanan hidup yang tertata rapi. Namun imperium tersebut kemudian hancur karena kesalahan pengolahan tata lingkung.

Krisis air yang terjadi pada periode terakhir juga diakibatkan rusaknya tata lingkung, eskalasi pertambahan penduduk dan laju urbanisasi. Kondisi yang mengakibatkan maraknya penebangan hutan untuk pemukiman dan pertanian yang berakibat rusaknya daur hidrologi. Kerusakan-kerusakan ekologis yang mengakibatkan perubahan-perubahan degradatif kehidupan manusia dan semakin teralineasi dari lingklungan alam dan sosiokulturalnya.

Persoalan kuantitatif kependudukan sebagai penyebab meningkatnya terhadap kebutuhan air dan terjadinya pencemaran, selain dilakukan tekanan terhadap laju pertumbuhan ,tidak kalah pentingnya untuk mengimbangi dengan peningkatan kualitas masnusianya. Upaya pembentukan karakter manusia yang mampu bersikap arif dan memiliki cara pandang holistik terhadap berbagai persoalan yang dikedepankan.

Penguasaan teknologi maju tidak cukup, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan kepribadian untuk menggunakan akal budi secara arif dalam menyikapi krisis sumber daya alam (air).

Penguasaan teknologi merupakan tuntutan masa depan untuk dapat mengelola sumber daya air secara optimal Karena meningkatnya kebutuhan air seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tak akan dapat dipenuhi secara alamiah. Peran teknologi berwajah kemanusiaan merupakan tuntutan kebutuhan untuk bisa mengelola sumber air laut sebagai sumber daya pemenuhan kebutuhan air tawar di masa depan.

Dibutuhkan manusia teknokrat sekaligus manusia yang bisa berinteraksi dengan alam lingkungan dan sosiokulturalnya. Manusia yang menyadari kemanusiaannya dan eksistensinya ditengah alam raya yang memikul beban tanggungjawab secara horizontal dan secara vertikal.

4.2 SARAN

1.Untuk menumbuhkan sikap arif terhadap sumber daya air tidak dapat dihindari untuk menindak tegas para perusak lingkungan peraiuran sesuai dengan perundangan yang berlaku. Upaya menegakkan kembali hukum adat yang ada di beberapa tempat dan mendukung terhadap upaya penyelamatan sumber daya air harus mendapat dukungan dari pemerintahan di daerah.

2.Dilakukannya penelitian secara intensif untuk mengoptimalkan sumber daya laut dengan berbagai kekayaan hayati yang masih belum tergali untuk mengantisipasi kebutuhan pangan manusia di waktu yang akan datang

3.Upaya penyadaran terhadap peran sumber daya air di masa depan dapat dilakukan melalui pemberdayaan terhadap guru mata pelajaran. Upaya ini memiliki relevansi dengan akan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi yang menghendaki keanekaan pembelajaran yang konkrit dan kondusif serta dapat terbentuknya produk pendidikan (lulusan) yang mampu berinteaksi dengan alam lingkungan dan sisiokulturalnya.

****

BAB IV

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Krisis sumber daya air merupakan krisis peradaban yang bertumpu kepada manusia sebagai makhluk yang mampu melakukan perubahan-peruabahan terhadap lingkungannya. Sejarah peradaban Mesopotamia merupakan catatan peradaban yang dibangun manusia dari pemanfaatan aliran air yang mengalir di sungai Tigris. Air yang membawa kemakmuran dan terbentuknya tatanan hidup yang tertata rapi. Namun imperium tersebut kemudian hancur karena kesalahan pengolahan tata lingkung.

Krisis air yang terjadi pada periode terakhir juga diakibatkan rusaknya tata lingkung, eskalasi pertambahan penduduk dan laju urbanisasi. Kondisi yang mengakibatkan maraknya penebangan hutan untuk pemukiman dan pertanian yang berakibat rusaknya daur hidrologi. Kerusakan-kerusakan ekologis yang mengakibatkan perubahan-perubahan degradatif kehidupan manusia dan semakin teralineasi dari lingklungan alam dan sosiokulturalnya.

Persoalan kuantitatif kependudukan sebagai penyebab meningkatnya terhadap kebutuhan air dan terjadinya pencemaran, selain dilakukan tekanan terhadap laju pertumbuhan ,tidak kalah pentingnya untuk mengimbangi dengan peningkatan kualitas masnusianya. Upaya pembentukan karakter manusia yang mampu bersikap arif dan memiliki cara pandang holistik terhadap berbagai persoalan yang dikedepankan.

Penguasaan teknologi maju tidak cukup, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan kepribadian untuk menggunakan akal budi secara arif dalam menyikapi krisis sumber daya alam (air).

Penguasaan teknologi merupakan tuntutan masa depan untuk dapat mengelola sumber daya air secara optimal Karena meningkatnya kebutuhan air seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tak akan dapat dipenuhi secara alamiah. Peran teknologi berwajah kemanusiaan merupakan tuntutan kebutuhan untuk bisa mengelola sumber air laut sebagai sumber daya pemenuhan kebutuhan air tawar di masa depan.

Dibutuhkan manusia teknokrat sekaligus manusia yang bisa berinteraksi dengan alam lingkungan dan sosiokulturalnya. Manusia yang menyadari kemanusiaannya dan eksistensinya ditengah alam raya yang memikul beban tanggungjawab secara horizontal dan secara vertikal.

4.2 SARAN

1.Untuk menumbuhkan sikap arif terhadap sumber daya air tidak dapat dihindari untuk menindak tegas para perusak lingkungan peraiuran sesuai dengan perundangan yang berlaku. Upaya menegakkan kembali hukum adat yang ada di beberapa tempat dan mendukung terhadap upaya penyelamatan sumber daya air harus mendapat dukungan dari pemerintahan di daerah.

2.Dilakukannya penelitian secara intensif untuk mengoptimalkan sumber daya laut dengan berbagai kekayaan hayati yang masih belum tergali untuk mengantisipasi kebutuhan pangan manusia di waktu yang akan datang

3.Upaya penyadaran terhadap peran sumber daya air di masa depan dapat dilakukan melalui pemberdayaan terhadap guru mata pelajaran. Upaya ini memiliki relevansi dengan akan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi yang menghendaki keanekaan pembelajaran yang konkrit dan kondusif serta dapat terbentuknya produk pendidikan (lulusan) yang mampu berinteaksi dengan alam lingkungan dan sisiokulturalnya.

****




Senin, 20 Oktober 2008

CATATAN KECIL DARI RESITAL 3 TAHUN 2008

CATATAN KECIL DARI RESITAL 3 TAHUN 2008

DARI PERSOALAN KESEHARIAN SAMPAI PERSOALAN DI LUAR JANGKAUAN

Tujuh flim pendek telah ditayangkan dalam acara resital 3 smansa tahun 2008. Film-film yang banyak berbicara mengenai kaum muda dengan kesehariannya. Persoalan-persoaln yang paling dekat samppai pada persoalan-persoalan di luar akal sehat. Cukup menarik ide-ide yang ditawarkan, namun kadang ide baik tersebut terbelenggu oleh waktu yang disediakan demikian pendek, sehingga umumnya banyak muncul gambar minim dialog, laksana sebuah film musikal cerita dituntun oleh lagu musik yang melatari. Secara kreatif, mereka sudah mampu menyiasati keterbatsan fasilitas, walau kadang cerita yang dipaparkan amat datar, dan penuh guyonan menertawakan diri sendiri atau orang lain.

Dari apa yang saya saksikan selama sepekan resital smansa, ada beberapa catatan yang cukup menarik untuk diutarakan;
Pertama, penggalian nilai-nilai budaya lokal amat bagus, karena dapat menjadi jalan sebuah revitalisasi ditengah gempuran budaya global. Dalam mengangkat budaya lokal diperlukan sikap kritis sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan. Artinya tidak semua budaya lokal harus dipertahankan, karena sudah tak memberikan lagi pada kontribusi pada hidup kekinian, tidak ada salahnya meninggalkan tradisi lokal, sebagai dinamika peradaban yang lebih kondusif.
Kedua, parodi dunia pendidikan, beberapa tayangan mengambil latar belakang yang sama, suasana kelas dan guru sebagai obyek lelucon, dan bahkan dengan keterlaluan ada adegan guru yang dielus-elus, pundaknya karena guru tertidur di kelas pada saat ulangan membuat sussana kelas jadi gaduh. Atau guru yang ditinggalkan muridnya di dalam kelas dan dijadikan bahan olok-olok murid-muridnya tanpa rasa bersalah.
Ketiga, mengangkat budaya lokal dlam aneka persoalannya tidak bisa sekedar membayangkan dan menurut persepsi pribadi tetapi perlu dilatari olehs ebuah riset yang memadai sehingga apa yang kita buat bisa memberikan nilai positif bagi perkembangan kebudayaan.
Keempat, persilangan budaya lokal dengan budaya asing seperti penggunaan bahasa lokal dalam dialog dan judul film mempergunakan bahasa Inggris. Sebuah penanda bahwa anak-anak muda smansa tak canggung lagi untuk mempergunakan bahasa asing dan meleburnya dengan bahasa lokal. Menegaskan bahwa globalisasi telah mampu menjebol batas-batas wilayah, negara, ras, agama, dan kebangsaaan.

Namun begitu saya merasa bangga dengan keberanian anak-anak muda smansa untuk berbuat dan membuat sebuah cerita dalam film, sebuah fiksi yang sebenarnya juga tidak steril terhadap realitas. Artinya bagi kita semua sebuah film dapat merupakan gambaran dari dunia nyata yang diolah ke dalam fiksi. Sehingga sepedas apa pun kritik yang disodorkan, adalah sebuah keinginan untuk melakukan perubahan. Namun, yang perlu juga diperhatikan pada saat kita menyalahkan orang lain, maka sebenarnya diri kita harus lebih hati-hati untuk tidak melakukan kesalahan. Pada saat kita mengolok-olok orang lain lebih bijaksana kalau kita mengolok-olok diri kita sendiri. Karena diri kita dapat menjadi cerminan orang lain. Juga orang lain yang kita olok-olok bisa-bisa itu mengenai diri kita sendiri. (Hidayat Raharja)

BUKU BACAAN UNTUK GURUKU

Oleh: Hidayat Raharja*

Setahun terakhir ini ada dua buku novel yang tak jemu aku baca berulangkali. Dua buku yang banyak mengoncang emosi, memberikan inspirasi dalam pekerjaanku. Dua buku itu antara lain: “Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” karya Tetsuko Kuroyanagi terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama - Jakarta, dan “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata terbitan PT Bentang Pustaka – Jogjakarta.
Dua buku ini sangat menarik untuk dijadikan bacaan wajib bagi para guru yang melakoni profesi sebagai pendidik, karena dua buku ini berkisah tentang dunia pendidikan yang terbuka, inovatif, kreatif, dan demokratis. Sebuah penceritaan yang mengisahkan pengalaman belajar siswa yang membuatnya berhasil dalam kehidupannya. Sukses dalam hidup karena peran guru yang sangat arif dan bijak dalam menangani tingkah-polah siswanya yang beragam. Ceritanya mengisahkan lembaga sekolah bukan hanya lembaga yang mencetak anak seperti yang diinginkan guru, tetapi mampu berperan sebagai “minisocity” sehingga siswa bisa mengembangkan diri, belajar bermasyarakat sebelum terjun ke masyarakat yang sesungguhnya.
Sekolah sebagai lembaga yang memfasilitasi dan mengembangkan potensi anak sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dapat dinikmati dalam kedua buku ini, yang dipersembahkan pengarang untuk guru tercintanya. Sebuah cerita yang mengungkapkan memori mereka dalam mengeyam pendidikan di sekolah, dan bagaimana guru memperlakukan dirinya sehingga bisa sukses dalam menempuh kehidupan.
****
“Totto-chan Gadis Cilik di Jendela” di antaranya digambarkan betapa sedihnya mama Totto-chan ketika anaknya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal, tidak bisa diam, dan selalu mengundang kegaduhan. Tetsuku Kuroyanagi (nama asli Totto-chan ) menceritakan pengalamannya dikeluarkan dari suatu sekolah, karena guru kelasnya menganggap Totto-chan sulit diatur. Pada hal Totto-chan memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa. Betapa emosionalnya wali kelas menceritakan kenakalan Totto-chan kepada mamanya. “ Kalau dia tidak membuat kegaduhan dengan mejanya, dia berdiri. Selama pelajaran!” Bahkan Totto-chan berdiri di depan jendela menunggu rombongan pengamen lewat untuk memainkan musik dan memanggil teman-temannya untuk menonton, sehingga suasana kelas menjadi gaduh, bahkan sanpai mengganggu ke kelas di sebelahnya. Guru Totto-chan tidak mampu lagi menanganinya, sehingga dikembalikan lagi kepada mamanya.
Memiliki anak yang dianggap nakal dan bermasalah merupakan beban berat orangtua. Begitu pun mama Totto-chan. Akhirnya menemukan sekolah baru di Tomoe Gakuen. Sekolah yang sangat menarik, karena kelasnya mempergunakan gerbongh kereta api bekas. Wajah mama dan Totto-chan berubah menjadi gembira, ketika bisa diterima di Tomoe Gakuen. Saat menemui kepala sekolah untuk mendaftarkan diri, Totto-chan disuruh menceritakan pengalamannya. Sosaku Kobayashi – kepala sekolah di Tomoe Gakuen dengan sabar dan ceria mendengarkan cerita Totto-chan selama hampir empat jam. “kau diterima di sekolah ini!” saat Totto-chan mengakhiri ceritanya. Betapa senang dan gembiranya Totto-chan diterima di sekolah yang ruang kelasnya berupa gerbong kereta.
Hari-hari di sekolah Tomoe Gakuen sangat menyenangkan. Mr.Kobayashi sebagai kepala sekolah dengan sabar dan telaten memantau perkembangan anak sesuai dengan bakat dan potensinya, menemani berkemah di aula, makan siang bersama dan memasak bersama. Satu hal lagi di sekolah ini Totto-chan menemukan keasyikan belajar . Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahas terlebih dahulu. Pilihan sesuka hati mereka. Karena keunikannya maka Totto-chan kerasan di Tomoe Gakuen.
Ternyata tanpa disadari di Tomoe Gakuen siswa bukan hanya belajar fisika, berhitung, musik, dan lain-lainnya. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga mengenai persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain yang berbeda, menyayangi temannya yang menderita, mengunjungi temannya yang kesusahan serta kebebasan menjadi diri-sendiri.
***
“Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata tidak jauh berbeda dari “Totto–chan Gadis Cilik di Jendela” tidak jauh berbeda. Namun “Laskar Pelangi” sangat menarik karena kisah yang dibangun Andrea berangkat dari pengalaman belajarnya di sebuah daerah tambang yang kaya, namun anak-anak kampung asli di Belitong yang miskin penuh semangat dan antusiasme untuk mnemperbaiki hidup dengan menempuh pendidikan formal. Ia bukan hanya menceritakan bagaimana anak-anak para buruh kopra, buruh tambang, dan anak-anak nelayan membangun mimpi untuk memperbaiki nasib hidupnya.
Bahkan heroisme mereka para Laskar Pelangi memperjuangkan harkat dan martabat sekolahnya sehingga mampu bersaing dengan sekolah PN milik Perusahaan Pertambangan Timah. Betapa menegangkan usaha mereka untuk bisa mengangkat martbat sekolah dalam sebuah karnaval di bulan Aagustus, dan di arena lomba cerdas-cermat untuk mengukur ketangkasan dan kepandaian dalam menjawab soal-soal yang dikompetisikan. Jerih payah para tokoh dalam Laskar Pelangi, tidak lepas dari peran Bu Mus (Muslimah Hafsari) sebagai guru kelas mereka di SD Muhammadiyah dan Pak Harfan Effendy Noor- Kepala Sekolah yang dengan penuh kearifan,sabar, terbuka, dan bersikap demokratis membimbing siswa-siswanya untuk maju dan menggapai cita-cita yang diimpikan.
Bu Mus, guru yang sabar, telaten, tabah, dan tekun hanya dengan penuh keikhlasan membimbing siswa-siswanya di kelas sebanyak 10 orang hanya dengan bayaran beras 15 kg setiap bulan, beliau dengan tulus nan ikhlas membimbing dan mengembangkan potensi murid-muridnya sesuai dengan bakatnya. Bel;iau guru memiliki pandangan jauh ke depan untuk keberhasilan siswa-siswanya. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada murid-muridnya pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum , keadilan, dan hak-hak asasi jauh sebelum orang-orang meributkan paham materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan.
Mahar yang baik kreatifitas seninya, Lintang yang jagoan matematika, Kucai tidak pintar tetapi pandai bersilat lidah, pintar melobi akhirnya sukses sebagai anggota parlemen. Si ikal anak buruh tambang yang pintar akhirnya bisa menempuh pendidikan sampai ke benua jauh. Mereka berhasil membuktikan bahwa anak-anak orang miskin bisa merealisasikan impiannya menjadi nyata.
***
Dua buku novel ini amat pantas kalau dijadikan bacaan wajib bagi para guru, karena kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh tokoh dalam buku ini amat relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Bagaimana mereka membangun kemungkinan-kemungkina terbaik pembelajaran dalam fasilitas yang terbatas. Tuntutan untuk melakukan pembelajaran kontekstual dan konstruktif diceritakan dengan keterbukaan Mr. Kobayashi (Sosaku Kobayashi) untuk mengundang petani sayur di sekitar sekolahnya untuk mengajarkan bertani bagi musrid-muridnya di Tomoe Gakuen. Membangun keakraban dengan murid-muridnya dan membangun kepercayaan diri bagi murid-muridnya untuk bisa sukses, merupakan resep utama yang ditanamkan Mr. Kobayashi, sehingga murid-muridnya merasa nyaman dan senang sekolah di Tomoe Gakuen.
Bu Mus (Muslimah Hafsari) merupakan guru yang tetap menemukan aktualitasnya dalam perkembangan pendidikan Indonesia saat ini. Beliau tidak hanya memandang pendidikan sekolah hanya sekedar transfer pengetahuan namun juga memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan anak didik sesuai dengan bakat dan potensinya. Sejak dini anak-anak telah diperkenalkan pada budi baik untuk berbuat amar makruf nahi munkar. Beliau tidak mengajarkan budi pekerti sebagai teori belaka, namun dengan perilaku yang dijadikan tauladan bagi anak didiknya. Menyikapi perbedaan pendapat dengan dan antar muridnya dengan penuh kearifan. Pak Harfan Effendy Noor sebagai kepala sekolah selalu merealisasikan keinginan siswanya dalam keterbatasan yang ada.
Kedua buku ini merupakan sindiran bagi dunia pendidikan kita saat ini untuk bisa mendidik anak yang bukan hanya pintar tetapi juga berbudi dan berakhlak, serta beradab dan mampu menghargai dan menghormati gurunya. Penghormatan terhadap guru yang ditunjukkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dan Andrea Hirata dengan mempersembahkan karya besar ini untuk guru-guru yang dicintainya.

NARASI MELAWAN KEMATIAN

Oleh: Hidayat Raharja*

(1)
Puisi adalah alibi kata-kata...
Puisi adalah dalih, kilah untuk dunia. Agar ada alasan untuk hidup di bumi ini dengan makna[1]

Bahasa puisi adalah dunia kata-kata yang memberikan aneka kemungkinan untuk menafsirkannya. Ada makna langsung (denotatif) yang dapat dicecap pembaca, dan makna terselubung (konotatif) yang harus ditelusuri kedalamannya. Terselubungnya makna puisi menurut Riffaterce dalam Pradopo menyebutkan disebabkan 3 hal, yaitu: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).[2]
Bahasa tidak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, melainkan juga bisa bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan yang begitu kuat memukau, hingga tak penting lagi apakah hal itu masuk akal atau tidak.[3] Maka, karya sastra atau puisi hanyalah sebuah citraan yang membayangkan kenyataan baru di dalam teks yang terinspirasi dari realitas fakta dalam kehidupan penyair sebagai kreator. Dalam realitas imajinasi puisi bisa menjadi sebuah bandingan ideal dari dunia nyata. Menurut Sutardji imajinasi hanya mungkin bila bertaut dengan realitas.[4] Lalu, puisi sebagai dunia imajinasi tersendiri bisa menjadi bahan bandingan terhadap realitas.[5]
Citraan dalam puisi adalah sebagai penanda bagi setiap penyair yang mengidentifikasi bahasa personal sebagai bahasa penyair bersangkutan. Setiap penyair dituntut untuk memiliki bahasanya sendiri dan berbeda dengan orang lain. Bahkan kehadiran sebuah puisi bukan hanya sekedar bermain-main dalam ruang imajinasi, namun lebih jauh bisa menjadi penanda pembaruan dan pemberontakan secara intratekstual dan intertekstual, zaman, lingkungan alam dan masyarakat manusia. Kesungguhan dalam bermain-main dengan sajak diutarakan Sutardji kalau engkau penyair niatmulah yang segala-galanya . Jangan serahkan niatmu pada kata-kata apalagi pada pembaca.[6]
Menurut Sutardji menyair adalah pekerjaan serius. Namun penyair tidak harus menyaire sampai mati.[7] Pekerjan serius yang membutuhkan kesungguhan sehingga mampu menemukan bahasa yang menjadi identitas kepenyairannya. Tawaran Tardji semacam ini tidak berlebihan, karena kemapanan seorang penyair kerapkali memberikan pengaruh bagi generasi berikutnya sehingga kerapkali menghambat proses kreatif dunia kepenyairan. Kredo tersebut hadir bukan tanpa alasan.Kemapanan Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan imaji-imaji pada puisi Sapardi Djoko Damono, lirisisme Goenawan Mohamad, serta prosaisnya Rendra, sebuah kekuatan mapan dalam perkembangan sastra (puisi) Indonesia. Kondisi stagnan yang kemudian memicu pemberontakan Sutardji untuk menciptakan kemapanan baru ditengah kebekuan pembaruan.
Telaah mengenai puisi merupakan telaah yang sangat menarik ,karena bisa bergerak dan berseliweran di antara realitas dan imajinasi. Sinyalemen ini terdedahkan pada perkembangan historis puisi Indonesia. Periode tahun 20-an dipenuhi dengan teks-teks puisi yang menumbuhkan kobaran semangat nasionalisme –sampai hadirnya teks puisi monomental “Sumpah Pemuda” yang amat puitis. Teks sumpah pemuda bisa dipandang sebagai teks puisi yang ditulis dalam bahasa prosa yang sarat dengan unsur puisi.[8]
Angkatan 45 yang populer dengan angkatan penyair revolusioner , karya-karyanya meradang dan menerjang memberikan spirit untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suatu masa dimana sosok kepenyairan saat itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Chairil Anwar yang jalang dan nyalang. Chairil indentik dengan pembangkang bukan hanya pada ranah geografis namun juga sampai pada wilayah estetis dan kreatif , keluar dari pengaruh tradisi pantun dalam penulisan sajak-sajaknya. Secara heroik chairil menegaskan proses kreatifnya dalam dunia kepenyairan dengan larik yang sangat puitis,”aku ingin hidup seribu tahun lagi”[9]
****


(2)
Membaca O Amuk Kapak
Membaca kumpulan puisi O Amuk Kapak, tiga kumpukan puisi Sutardji Calzoum Bachri seperti membuka kitab kehidupan. Sulit bagi penyair untuk melepaskan realitas dahsyat sehari-hari yang melampaui “imajinasi”. Namun penanya hampir tak berkutik berhadapan dengan peristiwa-peristiwa semacam ini.[10] Penanda bahwa bahasa dalam puisi harus beda dengan bahasa informasi secara formal karena kalau penyampaian informasi secara denotatif takkan mampu mengalahkan dahsyatnya peristiwa dalam kehidupan yang jauh lebih imajinatif. Tidak akan pernah ditemukan kata-kata untuk mengungkapkan kedahsyatan bencana tsunami yang meluluhlantakkan Nangroe Aceh Darussalam.
Sebuah proses kreatif dalam pencarian makna kehidupan pergulatan dengan kata sebagai bahasa ungkap penyair dalam menyampaikan gagasan dan pemikirannya. Susunan dan kombinasi kata yang tidak lazim bertebaran dalam bangunan puisi yang dikonstrusi. Dalam suasana semacam itu realitas sajak Sutardji seperti menikam kesadaran kita, bahwa bahasa Indonesia terbukti memiliki banyak kemungkinan dengan yang diduga selama ini.[11] Bisakah kelak orang mengatakan bahwa sastra Indoensia secara plural yakni sastra Indonesia bukan hanya sastra yang ditulis dalam bahasa nasional saja. Namun juga karya yang berbahasa daerah termasuk problem kedaerahan yang ada di dalamnya.[12] Sebuah gagasan otentik Sutardji untuk memandang sastra daerah sebagai sastra Indonesia yang juga memiliki peran dan kontribusi dalam perkembangan sastra nasional. Dan bahkan dalam hubungan antar bangsa.
O bagian pertama dalam kumpulan ini berisikan sajak-sajak bertahun 1966-1973 dan dibuka dengan kredo puisi ; “Amuk” berisikan sajak-sajak bertahun 1973-1976 diawali dengan sebuah foto sutardji yang tengah membacakan sajak di atas podium dengan sangat ekspresif. Tak ada pegantar pada bagian kumpulan ini, namun yang sangat mencekam perhatian pembaca sajak Amuk membentang sepanjang 24 halaman. Di Bagian ketiga “Kapak” berisikan sajak-sajak bertahun penciptaan 1976-1979. Di bagian awal yang ketiga dibuka dengan “Pengantar Kapak” yang memberikan celah apresiasi bagi pembaca untuk membedakan dengan sajak-sajak yang dibuat di bagian sebelumnya. Bagian sajak yang lebih terpesona kepada maut: “tidakseperti sajak-sajak terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih memesona saya”[13]
***
Salah satu kelebihan puisi-puisi Sutardji dalam buku ini adalah bahasanya yang unik, pada setiap sajaknya kata-kata dibiarkan menari-nari, mengerang, menikam dan telanjang. Hal ini disebabkan selalu ingin menampilkan kelainan dan keunikan kata-kata.[14] Pertama, keberaniannya mempergunakan kata dasar sebagai kata itu sendiri dan bersambut dengan kata lain yang kadang sangat tidak familiar, bangunan puisi kerap menusuk pandangan visual, inkovensional dan anarkhis.
O
daun
burung
sungai
kelepak
mausampai langit
siapa tahu
buah rumput selimut
dada biru
langit dadu
mari!
rumput pisau batu kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau
(petikan O halaman 21)
Rumput dan selimut, dada dan dadu, dan sebutan kau yang ganjil dan ditengahnya muncul KAU (kapital) bertebar semburat, mengacaukan pandangan yang selama ini menghadapi bahasa yang tertib dan rapi dalam bangunan puisi yang dikenal sebelumnya. Puisi semacam ini juga ditemukan pada sajak: Ah, mana Jalanmu, Mari, Q,Jadi, Pot, Biarkan.
Kedua, penyimpangan dari bentuk puisi yang lazim, suatu pembangkangan kreatif yang akhirnya menemukan jalan lain (meski bukan baru) pemotongan kata yang beridiri-sendiri juga ditemukan pada sajak-sajak Chairil Anwar. Namun pada sajak yang ditulis Sutardji penempatan dan penampakan visual seperti menjadi sebuah pertimbangan untuk menyimpang dari pendahulunya. Bahkan upaya untuk mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.[15] Sekuat tenaga Sutardji bergulat untuk memenuhi kredo yang dilontarkan sehingga kata bebas untuk menentukan dan menempatkan diri sebebas-bebasnya dan memungkinkan membuka peluang memberikan tafsir makna yang lain di hadirat pembaca.

POT
pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapapotitu potkaukah potaku?
POT
(Pot, halaman 18)
Saat membaca judul puisi “POT” yang terbayang dalam benak dan imajinasi pembaca adalah wadah yang terbuat dari tembikar atau semen dan di dalamnya berisi tanah untuk tempat menanam tanaman. Sebuah jebakan pengertian yang mengerangkeng pemahaman pembaca terhadap penafsiran makna.Keganjilan muncrat dalam pikiran pembaca saat memperhatikan bangun tubuh puisi, rekaman makna tercabik-cabik dan tergantikan tayangan visual puisi, bentangan kata, pengulangan kata yang sama berulang-ulang dengan frekuensi yang cepat memukul indera visual dan auditif. Judul dan penutup dengan huruf yang sama. Munculnya rekaman auditif dari pengulangan kata yang cepat dan mampat, berdesak, tanpa jeda diakhiri dengan cabikan gramatika yang inkonvensional.
Pemotongan kata menjadi suku kata yang terputus-putus seperti hendak memisahkan pemahaman komunikasi kata selama ini. Sebuah upaya menunjukkan kebebasan kata untuk menetukan dirinya sendiri.
siapa dapat kembalikan sia
pada
mula
sia
pa
sia
tinggal?
(petikan sajak” Dapatkau?” ,halaman 10)

Ketiga, keeganjilan Sutradji bukan hanya ditunjukkan dengan konstruksi bangunan puisinya, namun secara ekspresif ditunjukkan saat membacakan puisi-puisinya di waktu itu. Di atas podium dengan garang ia bacakan puisinya sambil menenggak beer, ia seperti mengigau dan maracau, laksana kucing yang mengamuk karena kehilangan buah hati dan diusik saat ingin menyalurkan hasrat seksualnya
Pada “Pameran Puisi Konkrit” dalam pertemuan puisi ASEAN 1978 bersama sejumlah penyair lainnya. Sutardji memamerkan sebuah kanvas putih yang digantungi daging segar berlelehan darah, lalu dituliskan komposisi secara grafis “LUKA” haha. Semacam suatu usaha mengkombinasikan antara puisi dan seni rupa , dan di waktu selanjutgnya dikenal dengan seni instalasi. Suatu usaha sadar Sutardji untuk membangkitkan puisi sehinga terasa lebih ekspresif, menjebol batas-batas konvensional antara puisi (sastra) dengan seni rupa. Belakangan konjugasi antara puisi dan seni rupa dikenal dengan puisi rupa dikerjakan oleh perupa Gendut Riyanto dengan puisi rupa yang tragis memvisualisasikan kematian kata yang ditikam dengan garpu dari arah vertikal[16]. Penegasan kan kematian kata-kata yang telah kehilangan makna.
Penolakan dengan tawaran yang ganjil. Tawaran yang menyungsang pikiran pembaca Dalam puisi “Q” Sutardji sepertinya ingin menegaskan kembali melepaskan kata dari beban makna yang disandangkan sehingga dengan leluasa memotong kata menjadi suku kata pada kata aliflamim yang di dalam tafsir Quran juga tidak pernah dijabarkan. Eksperimentasi yang kemudian mengundang rasa simpati dan antipati. Menerima dan menolak. Ada yang mampu memahami, namun ada juga yang menolak untuk menyebutnya sebuah puisi. Eksperimentasi yang kemudian memunculkan komentar Goenawan Mohamad, bahwa puisi Sutardji merupakan puisi main-main. Juga tak terpahami oleh Teeuw, bahwa ia tak mengerti puisi-puisi Sutardji.[17]



Q
! !
! ! !
! ! ! ! ! !
!
! a
lif ! !
!
l
l a
l a m
! !
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(puisi Q, halaman26)
Sajak yang dipenuhi dengan tanda seru yang semburat dengan beberapa huruf m yang mampat, sebuah permainan, bermain-main dengan kata yang dipenggal dalam suku kata dan suku kata dikembalikan lagi ke dalam huruf vokal dan konsonan yang membangunnya. “Aliflamimm” sepatah kata yang menyerahkan makna kepada pembaca. Namun akan melupakan makna visualisasi sajak kembali berkelebat dalam sebuah gambar visual yang menapisi semburan kata seru dan kematian konsonan m dan vokal i saling merapat, dan berdesak dan macet.. Sekelebat akan tampak visualisasi yang membangun citraan orang tengah menghadap . lalu rukuk dan barisan orang tengah bersujud. Desakan visual yang berkelebat menapis teks yang macet dan serakan potongan kata dan kosnan yang sekarat menunggu kematian atau hilangnya makna. Bayangan visual dari sebuah teks yang menawarkan alibi lain dari konsonan dan penggalan kata yang mengalami limbung makna. Sisi yang saling bersebalikan antara teks dengan rupa
Sungsang kata dan kemudian dipotong menjadi suku kata, desakan tipografi yang tidak lazim menampilkan visualisasi yang menampar penglihatan pembaca.
TRASEDI WAINKA DAN SIHKHA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

Permainan yang menimbulkan tragedi yang tak tersangka, tak terduga. Kawin dan kasih disungsang sepertinya menantang dan menyungsang pikiran pembaca. Betapa bahagianya perkawinan dalam bingkaian kasih terekam memori pembaca. Namun di balik kebahagiaan sebuah perjalanan perkawinan dipenuhi liku-liku, zigzag hidup mengintai menuntut waspada. Sebuah visulisasi yang kemudian mencongkel kornea mata untuk menatap dan mebongkar gambar mental dunia perkawinan yang selama ini digenggam.
Kelima, penghancuran makna kata dan pembentukan makna baru.Sebuah eksperimentasi yang menjebol tembok pemahaman pembaca terhadap sajak yang senantiasa dibingkai oleh baris atau larik yang teratur dengan makna yang tersandang di dalamnya. Sebuah tafsir visual yang muncul manakala kata sudah tak menemukan makna sebagai kata . Kondisi yang menurut Seno Gumira Ajidarma karena, di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengarnya . Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.[18]
Kata dalam puisi Sutardji laksana virus yang memiliki virulensi untuk mengambil alih makna kata yang dimasukinya menjadi belahan semacam fragmentasi yang tidak terkendali
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepaisau duka sepisau diri
sepisau sepi sepaisau nyanyi

sepisaupa sepaisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepaisaupi
sepikul diri keranjang duri

Potongan sajak Sepisaupi merupakan konjugasi kata: sepi +pisau----sepisau; sepi+ pukau ------- sepukau; sepi+pisau + apa ------ sepisaupa. Pertautan kata yang kemudian menamparkan gambaran-gambaran makna yang unik. Pertautan kata atau konjugasi karena tidak diketahui jenis kelaminnya menghasilkan reproduksi kata yang tak terduga dan tak terkendali. Sebuah reproduksi yang mengingatkan kepada sifat virulensi virus yang mampu mengambil alih kode-kode pewarisan sifat (DNA) sel atau jaringan yang diserangnya. Aktivitas sel inang atau yang diserang tergantikan aktivitas virus. Semacam itulah pertautan kata berontak pada beberapa sajak Sutardji yang mengharuskan pembaca keluar dari frame pemaknaan konvensional. Luka bersanding dengan duri, dosa dengan sepi, duka dengan diri, sepi dengan nyanyi, diri dengan duri, pasangan-pasangan kata yang membuat pembaca harus merekonstrukssi ulang mengenai pemaknaan kata yang telah terekam dalam memori. Lebih jauh di sinilah kekuatan Sutardji untuk mengeluarkan kata dari beban makna yang disandang selama ini. Kata-kata melakukan reproduksinya memasuki kata berikutnya dilebur dan dihancurkannya, membiak bentukan kata dan makna yang lain.
Pergulatan dan pergumulan kata dengan dirinya penuh girang-riang, menari-nari, tak hirau, dan memukau. Namun di saat yang lain menjadi beringas, rakus dan terkam- menerkam dan menghancurkan beban makna yang ditanggung, menyisakan hurup-hurup mati yang tertekan
he kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilmu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papalko arukabazuku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh......!
nama-nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
(petikan sajak “Amuk” halaman 54)
Papaliko, arukabazuka, kodega, zuzukalibu, zukuzangga, zegezegeze. Kosa kata yang tidak akan pernah ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia. Susunana kata yang datang menampakkan diri, mewujud dan membiarkan diri sebagai kata yang tidak mau tahu akan makna apa yang akan disandang.
PUAKE
puan jadi celah
celah jadi sungai
sungai kadi muare
muare jadi perahu
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
mau jadi tanah
tanah jadi jemu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
pukau perahu
pukau seligi
pukaulah camar
pukau laut
pukaulah hiyu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
buaye biru
pukau rimau
pukaulah bakau
pukau camar
harimau biru
pukau tanah
pukaulah resah
pukau risau
pukau sembilu
pukau seligi
pukau waktu
pukaulah rindu
pukau aku!
kau jadi sia
sia jadi aku
aku jadi siape
siape jadi aku?
(halaman, 16-17)
Sebuah permainan yang membutuhkan pembaca sejenak mengernyitkan dahi pada perubahan-perubahan asosiasi yang berlangsung cepat tak tertebak untuk mencari hubungan antara puan dan celah, celah dan sungai, sungai dan muare, muare jadi perahu. Irasionalitas yang berbiak dengan gaya repetitif sepertinya menguatkan kehendak untuk tidak menebak tapi mendengarkannya dalam dunia batin.
Repetisi kata semacam ini juga ditemukan pada sajak-sajak; Batu, Colons Sans Fin, Jadi, Herman, Solitude, Apa kau Tahu, Sepisaupi, Tapi, Sejak, Tengah Malam Jam, dan Kukalung. Disini kata-kata berbiak, berulang, berderet, menari-nari dengan bebas. Namun meski tidak harus dicari dan ditemukan makna harfiahnya, menandakan sebuah alamat dari kematian kata dari beban makna kata yang berontak mengembalikan kata kepada asalnya. Kata pertama adalah mantra.[19]
Kembali kepada Mantra. Sebuah ungkapan kesadaran kosmik kepenyairan Sutardji ketika mainstream kepenyairan di tanah air saat itu sarat dengan konflik untuk menjadi bagian masyarakat dunia. Sastra Universal. Beberapa sastrawan dengan surat kepercayaan gelanggang menyatakan bagian masyarakat dunia. Saat sastra eropa dan barat demikian menguat pengaruhnya, sehingga menafikan sastra lokal yang menjadi karakteristik. Sutardji melakukan clone (memasukkan mantera ke dalam khazanah perpuisian mutakhir. Sebuah komplemen terhadap kepemberontakan Chairil yang keluar puisi-puisi tradisional dan inkonstitusional. Sutardji tidak hanya ingin menjadi bagian masyarakat dunia sebagaimana pernyataan beberapa sastrawan dalam surat gelanggang. Namun Sutardji ingin memberi kepada masyarakat dunia:
Dalam puisi rasanya sudah mulai datang waktu untuk memberi warisan pada dunia, dan bukan seperti generasi sastrawan Surat Kepercayaan Gelanggang yang meminta warisan dari kebudayaan dunia.
(petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998)

Sajak Sutardji merupakan suatu varian dari hasil clone mantra terhadap
Puisi modern. Merupakan kesadaran sejarah dalam proses kreatif pemikiran, sebagaimana pernah diucapkan TS Elliot dan Moh. Arkoun[20] Suatu varian yang tentu berbeda dengan mantra di asalnya (Riau). Mantra pada sajak-sajak Sutardji telah berubah menjadi pukau yang menjerat pembaca pada bangun teks yang tak lazim bahkan kadang terasa anarkhis, inkonvensional, serta hadirnya tayangan visual yang berkelebat di bayangan teks. Sulit dipahami maknanya. Namun sajak tidak harus dipaksa-paksa untuk dimaknakan. Meminjam ungkapan Frans Nadjira , puisi ... tak ada tempat penyederhanaan, simplifikasi. Karena dalam kehidupan nyata, segala ikhwal terhibur dalam suatu kompleksitas yang rumit namun menantang.[21]
Pencarian yang sangat menantang dan mendebarkan, sehingga menciptakan diskurus yang berkepanjangan untuk dapat disambut kehadirannya dalam sastra Indonesia. Pencarian sebagai pergulatan menghadapi rintangan, godaaan, ilusi sebelum meyakini kemantapan suaranya. Hanya mereka yang amat mujur sekaligus agak pongah yang sanggup berkata (dan bukan berdusta).[22]
Sajak-Sajak Sutardji bukan tidak memiliki muatan yang dapat dicecap oleh pembaca, karena beberapa di antaranya di dalamnya mengungkapkan pemikrian dan permasalahan sosial.[23] Meski demikian puisi-puisi Sutardji sebagaimana hakekat sastra tidak terjebak ke dalam sebuah agitasi atau pamfletis. Puisi tetap memiliki peran membangun citraan, membayangkan, dan mengkonstruksikan hubungan masyarakat dan negara lewat semacam strategi tekstual dan intelektual.[24] Citraan yang bisa mejadi bandingan ideal dari dunia nyata. Pada gilirannya pembaca akan mudah terpanggil untuk berada dalam nilai-nilai akrab dan segar dari kemanusiaan yang akan membawanya dan menukik dalam pencerahan kehidupan.[25] Ada baiknya sejenak bisa kita cecapkan rasa pada potongan larik sajak “ Satu” berikut:
jika ususmu belum bisa mencernkan ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke ddalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Sajak yang sarat dengan nilai sosial kemanusiaan. Upaya pemahaman manusia untuk bisa memahmi diri dan orang lain. Bahkan pemberontakan terjadi saat kata kelamin yang selama ini dibekap dalam sebuah kata yang tabu bagi masyarakat disini terciptakan makna yang lain, bukan makna mesum. Kelebat rasa sosial kemanusiaan ini dapat pula dirasakan dalam sajak ; Siapa, Berdarah, Belajar Membaca.


(3)

Amuk; Pemberontakan terhadap Kematian Tuhan dalam Diri Manusia

“Amuk” puisi sepanjang 24 halaman. Puisi terpanjang dalam kumpulan ini menempatkan kucing sebagai subyek dalam mengerangkan pencarian yang meradang. Pemberontakan yang mencabik-cabik tirai otoritas pemahaman puisi konvensional juga menerabas sekat-sekat keagamaan yang kadang dipandang sakral. Bebasnya kata-kata yang menari dan berlompatan dalam puisi sepanjang dua puluh empat halaman ini menjadi bahasan yang menarik mengingat beberapa baris dalam puisi ini sempat pula berlompatan dalam sajak “Kucing” seakan menegaskan petualangannya yang bebas menerkam ke berbagai penjuru pengertian.
Riris K Sarumpaet menyebutkan untuk memahami sajak-sajak Sutardji tidak cukup memahami bahasa kiasan , diksi, sarana retorika, dan keselarasan bunyi. Untuk memahami sajak Sutardji dibutuhkan ketahanan jasmani dan rohani,serta daya asosiasi yang tinggi.[26]
Awal bab pada bagian Amuk dipajang foto Sutardji yang tengah membacakan puisi di atraspodium dengan wajah yang menyeringai, dengan guratan wajah yang amat jelas dan sangat ekspresif. Mimik wajah geram dengan telunjuk menuding langit, mata nyalang dan sringai menyiratkan erang dan geram. Pose yang mengingatkan, sebuah citraan saya pada “kucing” dalam puisinya. Makhluk karnivora dengan ukuran tubuh mungil namun memiliki kecakapan dalam menangkap mangsa, serta kelenturan tubuh yang sangat elastis. Ketahanan dan kelenturan tubuh kucing, bisa melompat dari atap yang tinggi tanpa mengalami patah tulang kaki dan tubuh. Kucing yang jalannya gemulai lagak peraga busana yang tengah memeragakan busana di atas panggung (baca; cat walk). Keanggunan jalan kucing yang memberikan inspirasi bagi manusia untuk menirukannya.
Keliaran, kelenturan dan geram kucing membangun citraan dalam mental pembaca dan juga terpantul dari seringai wajah Sutardji yang dipampang di pembuka bagian “Amuk”. Isyarat yang mencitrakan kekuatan, kelenturan, ketahanan dan keindahan.
Ngiau, huss, puss!! Adalah sebuah onomatope yang menggambarkan keadaan sebuah kucing yang berada dalam keadaan gerak bisa dalam keadaan lapar, berkelahi, mengamuk, atau tengah susah mencari buah hatinya yang hilang, atau tengah diganggu saat akan menyalurkan berahi. ngiau! kucing dalam darah dia menderas/lewat dia mengalir ngilu ngiau dia/berbegas.Pembuka yang mencabik citraan pembaca saat kucing mengiau karena ngilu lalu menderas lewat darah karena menahan ngilu, menderas lewat aorta, pembuluh darah besar yang keluar dari jantung, kaya oksigen. Sebuah metafor yang menegaskan pencarian yang jernih dan suci. Pencarian terhadap kesucian. Pemberontakan untuk melepaskan diri dari sakit dan kesakitannya terhadap dunia yang tak pernah puas. Betapa penat kucing Sutardji berontak dengan amuknya, meraung dan mengerang-erang. Jangan beri daging ia tidak mau daging. Kehadiran kucing nasib yang tidak dimauinya (Tuhan menciptakan kucingku tanpa mauku) yang sekarang meraung mencari MU.
Pencarian yang tidak kenal lelah sehingga dipasangnya perangkap di afrika, amazon, di kota-kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena. Pencarian penuh berontak dan suatu ketika kerap terbentur dalam kebuntuan-kebuntuan.
Aku tak tuhan aku tak tuah aku tak setan
Aku tak wauwau aku tak jimat aku tak tamtam
taktaktaktaktaktaktaktak

Kebuntuan yang tak membuatnya jera, sehingga ia banyak menjelajah ke berbagai pengembaran spiritual dan rohani ia temui Socrates, Archimedes, Zeno, Sartre, laotze. Ia datangi mpu,Musa, Plato, Nuh, Adam, Habil, Kabil, Venus, dan Jesus, yang membuat banyak bijak belum menjangkau MU. Ia jelajahi Amazon, Babilon, Eropa, Riau, Afrika, Mesopotamioa, Ninivesch, Sphinx untuk menemukan kearifan.
Pertarungan yang terus-menerus berkecamuk dalam kehidupan penuh cakar dan amuk; benci perserteruan dari perkelahian dan bunuh-membunuh Habil dan Kabil, membuat semakin kehilangan jejak Nya. Kecamuk yang tiada pernah berhenti dan tuhan semakin terasing dalam diri tanpa bisa memberi pencerahan bagi orang lain. Dari banyak peristiwa, kerapkali kematian menjadi perjumpaan kesadaran bahwa setiap yang bernyawa kembali kepada Nya. Dalam kondisi berketuhanan semacam ini Sutardji secara parodis menyampaikan:
harimau mati tak meninggalkan kenyang
manusia mati tuhan hidup entah dimana
(Petikan “Amuk” halaman 49).
Latar kesadaran yang kemudian semakin menguatkan kemanusiaanya sebagai makhluk pada larik yang lain ia berucap;
aku telah menemukan jejak
aku telah mencapai jalan
tapi belum sampai tuhan
(Petikan “Amuk” halaman 52) Puncak kesadaran ini semakin menguat saat apa yang didapatkan tidak seperti apa yang diharapkan. Sebuah sekat antara aku sebagai hamba (makhluk) dan Tuhan sebagai pencipta (Khaliq).
kuharap isi Nya kudapat remah Nya
kuharap hari Nya kurasa resah Nya
kusangat ingin Nya kujumpa ogah Nya
kumau Dia nya kutemu jejak Nya

Pada puncak pencarian yang hanya sampai jejak, maka titik balik kesadaran (juga kelelahannya) menemukan titik pusat kesadaran ilahiah, dalam penyerahan sepenuhnya:
diamlah
makanlah
se
ada
mmmmMu
(halaman 65)
Dalam sajak “Kucing” penjelajahan estetik dan ruhaniah kembali berkecamuk, visualisasi yang berledakan tanpa ada jeda, koma dan titik. Kata saling berdesak dan menyembur semburat dalam, sebuah bingkai tipografi yang bersegi, pencarian dari berbagai sisi dan arah; dia hanya minta tuhan sejumpuit saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi ngiau (halaman71) Sebuah keinginan sederhana untuk mendapatkan ketenangan di dalam kehidupan yang sesaat, fana.
Pergulatan dalam pencarian tuhan, sebuah pencarian mendaki namum kembali menggelinding ke bawah, mendaki lagi sembari membawakan segala keinginan; bunga, darah, resah, mimpi, duka, mayat, dan arwah. Tapi dibilang masih, hanya, cemas, meski, tapi, lumpur, dan kalau. Ternyata ketakterdugaan datang manakala menghampiri dan mendekati tanpa tendensi dan membawa apa-apa.
tanpa apa ku daaing padamu
wah!
(petikan larik “Tapi” halaman 73)

Tumbuhnya keikhlasan dalam pencarian yang melelahkan. Titik puncak penemuannya dalam dunia kepenyairan yang berseberangan dengan pencariannya terhadap tuhan. Walau ia temukan kata hadir dan menari berserah diri, berjingkrak-jingkrak dalam puisi. Sutardji menegaskan kepenyairannya:

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
(petikan sajak “ Walau” halaman 107)


(4)
Pesona Maut
Di saat mengingat kematian, para pengikut paham vitalisme meyakini adanya élan vital yang menyebabkan sesuatu menjadi hidup. Sesuatu yang menyebabkan sesuatu itu memiliki daya hidup. Secara teologis merupakan sebuah paduan antara Jazad + Ruh = hidup, dan ketika hidup – ruh = jazad / tubuh mati. Pada batas-batas pengenalan terhadap diri merupakan jalan untuk mengenal tuhan dan siapa yang mengenal tuhan maka menyadari ada batas-batas antara yang dicipta dengan yang menciptakan. Perihal kematian ini dengan menggali diri Sutardji menggali makna hidup (kematian):

daging
coba bilang
bagaimana arwah masuk badan
….
daging
gingging
kugali gali kau
buat kubur
dari hari
ke hari
(petikan puisi “Daging”, halaman 105)
Sebuah Tanya yang menegangkan , dan terus-menerus menggaligali dalam diri. Penanda kematian yang begitu akrab, erat-lekat yang takkan pernah bisa terlepaskan. Disitu otoritas tuhan menjadi sesuatu yang mutlak untuk mengambil kembali makhluk yang diciptakannya. Otoritas mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.

kembalikan ke
abadian kata kudaku. kekasih telukmu dalam kapalku sampai
pelabuhan hilang
(petikan sajak “Siapa” halaman 106)

Kematian bagi masyarakat Jawa adalah wajib. Kepastian yang akan menghampiri setiap manusia, sebuah kepastian seperti halnya hidup itu sendiri. Dalam konsep teologis kematian merupakan sebuah ketentuan yang semakin mendekat ke dalam kehidupan manusia. Semakin bertambah usia seseorang, sebenarnya semakin dekat waktu untuk sampai kepada ajal. Makin bertambah usia seperti tabungan kematian yang kian menumpuk di dalam diri dan sampai penuh, tibanya waktu kematian.

HEMAT
dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan

dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan

maut mmenabung ku
segobang segobang

Pesona maut bagi Sutardji merupakan batas kendali pencarian dan arti hidup. Suatu kendali yang semakin menguatkan kesadaran manusia yang takkan sampai dan atau menyamai tuhan maha pencipta yang menciptakannya. Di saat di rasa panjang disitu pula maut mengeram karena kematian berserak di berbagai ruang dan waktu
di lapangan berlayar kubur-kubur
kau dengar denyarnya
membawa pelabuhan pergi.
(petikan sajak “Kubur” halaman 94)

Kematian akan mendatangi setiap yang bernyawa dan tidak bisa terhindar darinya. Sebuah kepastian, yang setiap waktu menggali lubangnya di dalam daging kehidupan.:
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan mebawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
(Petikan sajak” Perjalanan Kubur” halaman 96)
Maut tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau ditakutkan. Maut menjadi arah sebagai sungai menuju laut, sebagai laut menuju awan, dan awan menurunkan hujan. Sebuah sirkulasi hidup yang akan kembali kepangkal ke akar. Ke pohon ke bunga-bunga. Pesona yang indah, di saat bunga-bunga menebarkan semerbaknya. Bukankah setelah kematian seseorang maka akan terbaca kitab kehidupan baik dan buruknya. Usia yang terus mengalir bagai hujan melayarkan kubur-kubur:

lalu
di dalamnya
kulayarkan kubur-kubur
kayuh
demi
kayuhku
(petikan sajak “Hujan” halaman 98)
Aroma maut juga dapat ditemukan pada sajak-sajak: Hyang Tak Jadi, Lalat, Hujan, dan Bayangkan.
Betapa maut menebarkan pesona sebagai tapal batas perjalanan duniawi yang selalu mengucap-ucap, memanggil-manggil dalam diri Sutardji. Pergumulannya begitu intens dalam nyeri sekaligus pesona bahkan kadang terasa mengenaskan. Kematian yang akan datang dan mengakhiri riwayatnya, tetapi tidak sajak-sajaknya.
Kalau mati
Mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
Jiwa membumbung dalam baris sajak
(Petikan sajak “ Walau” halaman 107)


(5)
Penutup

Tak dapat dipungkiri kalau akhirnya sajak-sajak dalam O, Amuk, Kapak adalah puncak kepenyairan Sutardji, puncak yang lain dari sastrawan di masanya. Apa yang dikerjakan akhirnya menjadi penanda akan keberadaan dan pembaharuannya dalam khazanah sastra Indonesia. Melalui kredo “ membebaskan Kata dari beban Makna” Sutardji telah membebaskan kata dari beban makna, menghancurklan perangkap-perangkap pengertian yang selama ini memenjara kata dari kebebasan sebagai dirinya sendiri.
Sutardji telah berhasil melawan terhadap kematian bahasa atau bahasa yang telah kehilangan makna. Untuk mengembalikan kata pada awalnya. Mantra! Pengembalian kata pada asal, yang kemudian memberikan aneka kemungkinan, aneka tafsir secara tekstual, bahkan lebih jauh menghadirkan tafsir visual dan auditif.
Pergumulan melawan kematian bahasa dengan menghancurkan sekaligus menawarkan pemahaman yang lain (baru). Pergumulan melawan kematian bahasa sekaligus menghadapi kematian atau kehadiran tuhan dalam dirinya, diri manusia. Betapa nyeri dan pedih di antara liar dan garang Sutardji mencari dan memaknai tuhan. Sutardji sebagai aku yang bukan penyair sekedar,” tetapi/aku (penyair)/depan/depan yang memburu/membebaskan kata/ memanggil Mu. Pemberontakan yang merindukan kehadiran tuhan dalam dirinya, keinginan untuk menyatu dengan tuhan. Namun kesadaran akan keterbatasannya sebagai makhluk akhirnya memalingkan keinginnannya untuk menghadirkan tuhan dalam dirinya,: sekarang tak!
Perlawan-perlawanan yang terkadang terasa inkovensional, anarkhis, dan chaos telah memulangkan kata bebas untuk menentukan dirinya. Bebas dari penajara makna dan pengertian. Ternyata kemudian memenjara Sutardji yang tidak bisa keluar dari kredo yang memerangkapnya. Tiga puluh lima tahun sudah sejak kredo “membebaskan kata dari Beban Makna” diteriakkan. Telah 27 Tahun “O, Amuk, Kapak” dibukukan oleh penerbit Sinar Harapan, namun belum lahir buku puisi Sutardji berikutnya. Meski belum ada buku sajak yang diterbitkan, beberapa sajak Sutardji berlahrian yang terkumpul dalam antologi bersma atau diterbitkan di beberapa media cetak.
Di saat publik puisi merindukan kehadiran buku sajaknya yang baru justru Sutardji menerbitkan kumpulan cerpen, “Hujan Menulis Ayam” cerpen-cerpen yang pernah ditulisnya ketika mahasiswa dan menurut beberapa pengamat memiliki kualitas yang lumayan bagus, meski tidak sefenomenal kumpulan puisi “O,Amuk, Kapak”. Penungguan yang tak kunjung tiba, sebagai penantian Sutardji yang tak kunjung menemukan pijakan puncak yang lain.
tanah tanah tanah
beri aku puncak
untuk mulai lagi berpijak
(Potongan sajak “ Nuh” halaman 95)
Tidak ada lagi tanah puncak kreatifitas kepenyairan Sutardji setelah O, Amuk, Kapak. Apakah akhir dari puncak kepenyairan Sutardji di usianya yang kian mendaki? Wallahualam bisshawab.
Sumenep, Mei 2008

[1] Petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998 di Teater Besar - Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Juga dimuat dalam majalah sastra HOROSON XXXII/5/1998. Halaman 4-7
[2] L Tengsoe Tjahjono, 2005. Menembus Kabut Puisi, Malang : Penerbit Dioma hal 7-9.
[3] Hasif Amini. 2002. “Derau”-Bentara Kompas jumat, 4 april halalan 44.
[4] Baca Penyair dan Telurnya, esai Siutardji Calzoum Bachri dalam Bentara – KOMPAS- jumat, 2 noverber 2001 halaman 44.
[5] Lihat esai Sutardji dalam Bentara KOMPAS berjudul “Puisi Besar” 1 Juni 2001 halaman 40.
[6] Sutardji Calzoum Bachri. 2001. “ Khotbah di Bukit Sajak” Lembaran Bentara KOMPAS -2 Feburari – halaman 30.
[7] Petikan dari Pengantar Kapak dalam buku O Amuk Kapak, terbitanYayasan Indonesai dan Majalah Sastra Horison cetakan ke-2 tahun 2002 halaman 84.
[8] Sutardji Calzoum Bachri. 2001. “Rasa Hormat Terhadap Puisi” Catatan Kebudayaan Majalah Horison XXX/V/7/2001.
[9] Potongan baris sajak Chairil Anwar yang berjudul’ Aku”
[10] Lihat Sutardji Calzoum Bachri.2002. “ Tak Terperi” Lembar Bentara KOMPAS.- jumat, 5 April – halaman 32
[11] Agus R Sarjono, 2004. “Kucing di Tanah Air Mata Sutardji Calzoum Bachri” HORISON – Kakilangit 93 september.
[12] Sutardji Calzoum Bachri.2001. “Stateless”- di Lembar Bentara KOMPAS, jumat 7 September hal.44
[13] Petikan Pengantar Kapak halaman 82 dalam buku Puisi “O Amuk Kapak” . Jakarta: Yayasan Indonesia dan Majalah Horison
[14] Petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerhan Anugerah Sastra Chairil Anwar pada tanggal 20 Maret 1998 di Teater Besar Taman Ismail Marzuki – Jakarta.
[15] Petikan Kredo Puisi dalam O Amuk kapak halaman 5
[16] Gendut Riyanto, “Puisi Rupa, Habis Gelap Terbitlah Gelap” . Yogyakarta. 1992.
[17] Baca Curriculum Vitae Sutardji, tulisan Ikranegara dalam Majalah Horison XXXII/5/1998.
[18] Kutipan dari tulisan esai Afrizal Malna yang berjudul “ Narasi Baru dari Kematian Kata dan Pluralisme Media “ dalam majalah Horison XXXII/10/1997 halaman 7
[19] Petikan dari kredo puisi halaman 5
[20] Lihat Sumadji. 2004. :Hu! Aku Bukan Penyair Kelas Dua”, Kakilangit HORISON XXXIX/9/ halaman 23.
[21] Baca Arief B Prasetyo.2001. “Dalam Pusaran Takdir Sisyphus – Biografi Literer Sastrawan – Pelukis – Frans Nadjira. Majalah Horison XXXV/9/2001.
[22]Hasif Amini.2002. “Mencari”,, Lembaran Bentara KOMPAS, Senin 9 Desember – halaman 30.
[23] Slamet Sukirnanto .. “Sekitar Pemikiran dan Permasalahan Sosial dalam Puisi Indonesia Mutakhir”. Jakarta: Majalah Horison /XXIII/293-294 N0.9 Th.XIII September 1988.
[24] Jamal D Rahman, “Bahasa – Sastra dan Civil Society” dalam catatan Kebudayaaan Horison XXXV/5/2002.
[25] Lihat esai Sutardji Calzoum Bachri,” Nama Akrab Kata-kata” dalam lembaran Bentara – Kompas, Jumat 2 Maret 2001 halaman 32.
[26] Cuplikan dari Pidato Kebudayaan berjudul “ Sutardji Calzoum Bachri, Penyair Yang Terus MencarI” yang dibacakan pada acara penyerahan Hadiah Sastra Chairil Anwar di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 20 Maret 1998 dan dimuat dalam Majalah Horison XXXII/5/1998.