Translate

Sabtu, 22 Desember 2012

Dari Pengeroposan Bahasa, Surmadu dan Masa Depan Kebudayaan Madura


 
Kongres Kebudayaan Madura II kembali digelar setelah lima tahun kongres I. Kongers yang semula akan dibuka olehPresiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri urung dilakukan karena sesuatu danlain hal.Akhirnya kongres tersebut dibuka oleh Dewan Pembina Said Abdullah Institute – MH.Said Abdullah dengan membacakan sambutan (pidato kebudayaan) Mengawati. Pembukaan yang dihadiri sekitar 2000 undangan yang datang dari utusan 4 kabupaten di Madura serta beberapa undangan dari luar Madura.
Acara berlangsung sangat meriah dibuka dengan tari “Rokat Polay’ Koreografi Agus Gepeng dan penata musik Iyan Perawas, kemudian dilanjutkan panduan suara – Ghai’ Bintang Voices menyanyikan lagu “OlleOllang” dan “Ke’ rangke’” yang dinyanyikan oleh band Plat-M. Acara tersebut disiarkan secara life di TV-One dihadiri sekitar 2000 undangan yang datang dari berbagai kota dan dari luar daerah Madura.
Kongres akan berlangsung mulai tanggal 21-23 Desember 2012 di Gedung Zansibar dan Hotel Utami Sumekar dengan narasumber: Prof.Dr.Mien.A Rifai, Dr. A. Latief Wiyata,Prof.A.Syukur Ghazali, M,Pd.,Wiwik Afifah,dan D. Zawawi Imron. Acara seminardilkan dilangsungkan di hari jumat pukul 19.00-22.00 diaula hotel Utami Sumenep dan pagi harinya sabtu (22/12) dilakukan sidang komisi sampaidengan siang hari,meliputi Komisi: Bahasa dan sastra, Budaya dan Pariwisata Madura, Komisi Perempuan, Suramadu dan Kebijakan Publik. Sidang pleno dilakukan pada pukul15.00-17.00 WIB.
Seminar di malam hari berlangsung hangat dan penuh keakraban dipandu oleh Abrari Alzael (Pemimpin Redaksi – Koran Madura) diawali oleh Pemaparan Syukur Ghazali yang membeberkan pengeroposan bahasa Madura yang antara lain disebabkan oleh serbuan bahasa prokem dan bahasa Inggris yang telah diajarkan semenjak di bangku sekolah dasar,sedangkan bahasa Madura diajarkan di SD dan SMP dengan segala keterbatasannya (sarana dan prasarana).
            Keterpengaruhan ini disebabkan bahasa Madura sendiri banyak yang mengadosi dari bahasa Jawa,  Melayu, Cina, Arab dan Belanda,serta dalam perkembangannya takmampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan sains dan teknologi. Kendala lainnya adalah dengan memanfaatkan bahasa Madura dengan sebaik-baiknya,sebab saat ini lembaga pendidikan di Madura belum sepenuhnya memanfaatkan kearifan lokal.
            Salah satu alternatif untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Madura dibutuhkan keberanian para penentu kebijakan di masing-masing kabupaten di daerah Madura untuk mewajibkan Bahasa Madura sebagai salah satu mata pelajaran yang diampukan di sekolah,mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas.
            Berbeda dengan penyampaian Mien A Rifai mengenai keberadaan Bahasa Madura yang kian berjarak dengan masyarakatnya, karena bahasa Madura dengan unggah-ungguhnya bersifat feodalistik. Konon, menurutnya kondisi ini menyebabkan anak muda Madura enggan mempergunakan bahasa Madura, karena takut disalahkan oleh orangtua karena tidak sesuai dengan tatanan penggunaan bahasa Madura yang benar.
            Alternatif yang ditawarkan Mien A Rifai adalah dengan memasyarakatkan bahasa Madura “Bagongan”yaitu bahasa Madura yang tidak memakai unggah-ungguh,atau bahasa kasaran yang banyak dignakan oleh masyarakat. Hal ini lebih sesaui dengan kondisi kaum muda saat ini di tengah perkembangan demokratisasi.
            Jembatan Suramadu,menjadi sorotan A,Latief Wiyata, sebab dia melihat kontras antara suramadu di daratan Madura dan Suramadu di dataran Jawa (Surabaya).Di dataran Surbaya secara ekonomis jauh lebih mapan.sedangkan di sisi pulau Madura, hanya didominasi dengan lapak penjual sovenir yang berderet dan jenisnya sama, sehingga terlihat sangat monoton dan seragam tak terlihat pengaruh dan perkembangan Suramadu.
            Tingkat pendidikan, dan kreativitas serta mentalitas masyarakat amat berpengaruh terhadapperubahan dan perkembangan Suramadu di kawasan Madura. Artinya perlu penanganan yang terencana dan serius sehingga bisa berkembang baik secara sosial mau pun secara ekonomi. Bila kita menelaah dan memaknai lagu “Olle Ollang” yang diciptakan di masa lampau dan sampai sekarang masih populer sebagailagu daerah Madura, dalam salah satu bait syairnya mengisyaratkan ‘Alajara ka Madura” berlayar ke Madura. Makna yang meniscayakan Madura sebagai tujuan – Madura yang didatangi bukan yang ditinggalkan.
            Pembicara terakhir D Zawawi Imron menyampaikan makalahnya yang taktercetak dalam kumpulan Makalah mengenai “Kebudayaan Menghadapi Tantangan Masa Depan”. Kebudayaan harus didialogkan untuk menghadapi masa depan. Jika tidak,maka kebudayaan akan mati.Melaluidialog maka komponen-komponen kebudayaan akan berinteraksi yang cocok akan tersu berkembang dan yang tidak cocok dengan sendirinya akan ditinggalkan.       
            Jika di negara barat ada culture exebition maka yang hadir adalah Teknologi. Pada awal perdebatan mengai tradisi dan modernisme Sutan Takdir Alisyahbana mengkontraskan antara tradisi dan modernitas. Baru pada tahun 1980-an WS Rendra megemukakan warisan tradisi perlu dipertimbangkan, dipilih yang baik untuk masa depan. Pun juga mengenai kebudayaan Madura perlu dipertimbangkan secara dialogis mana yang baik untuk masa depan dan mana yang harus ditingalkan sebab kebudayaan bersifat dinamis bukan statis. Untukitu dibutuhkan kerja nyata dan kerja keras untuk menggerakkan kebudayaan. Sebab,hanya dengan optimisme dan kerja keras akan diperoleh ahsil yang bermakna.
            Dibutuhkan kesadaran kebudayaan, kesadaran untuk melakukan perubahan atau mengubah nasib.Potensi manusia 100% dari Allah sehingga manusia ditempatkan sebagai khalifah di permukaan bumi. Manusia sebagai pengelola alam semesta. Disini dibutuhkan etos belajar dan etos bekerja dalam kosa kata Madura “Bajeng”. Pendidikan kedepan adalah pendidikan yang memberdayakan putra-putri di Madura agar bisa mengurus Sumber Daya Alam yang ada di Madura.
****
Kongres Kebudayaan Madura II kali ini bagi saya amat menarik, karena: pertama, para penggagasnya anak-anak muda dan pesertanya banyak kaum muda, namun disayangkan mereka tak diberi tempat di depan panggung. Pada hala mereka kelak yang akan melanjutkan dinamika kebudayaan Madura. Para pembicara sebagai narasumber usianya di atas 60 tahun hanya seorang pembicara dari Koalisi Perempuan Indoensia yang masih muda. Sangat menarik! Kedua, komisinya lebih jelas dibanding kongres I dan sepertinya mendapat respon positif dari Bupati Sumenep dan Wakil Bupati Sampang yang sebentar lagi akan dilantik jadi Bupati. Ketiga, Suasana seminar dan diskusi lebih nyaman dibanding tahun lalu dan lebih tertata,seperti moderator (Abrari) yang mampu mengatur jalannya diskusi menjadi lebih familiar.Keempat, disiarkan langsung (live) oleh TVOne meski kabarnya itu harus mengeluarkan dana yang cukup besar ratusan juta rupiah untuk tayangan seremonip  pembukaan yang taklebih dari 1 jam. Kelima, kongres ini didanai dengan dana yang cukup besar, harapannya semua rekomendasi dapat menjadi acuan kebijakan bagi pemerintah daerah setempat.(Hidayat Raharja)

Senin, 17 Desember 2012

BUKU, BUS ANTAR KOTA, DAN PEMBAJAKAN

Oleh: Hidayat Raharja.
Di suatu masyarakat yang dianggap tidak membaca, tentu ada hal-hal yang patut dicatat bahwa di antara yang tak dianggap masih ditemukan hal-hal yang ganjil yang mencoba menawarkan tradisi membaca di masyarakat yang katanya tak membaca.

Suatu hari ketika pulang dari diklat di hotel Utami Surabaya saya menunggu bus di terminal Bungurasih. Saya harus menunggu beberapa lama menunggu jadwal pemberangkatan bus ke Madura. Di antara waktu menunggu, pedagang asongan keluar masuk bus menawarkan aneka barang dagangannya.Makanan, minuman, aneka macam pisau dapur yang diekmas dengan harga 10 ribu rupiah , alat tulis pulpen dan pensil,dan juga pedagang buah-buahan dan koran.Satu halyang ditawarkan mereka dan mengusik pikiran saya untuk mencatat peristiwa ini adalah menawarkan buku bacaan dengan harga miring. Buku-buku yang dicetak dengan kertas dan cover yang tak terllau bagus.

Asongan buku ini menawarkan buku resep masakan, tuntunan shalat, kisah para nabi, perihalpijat refleksi, pengibatan herbal sampai buku motivasi Mario Teguh dan buku si Anak Singkong – Chairul Tanjung tentu dua buku terakhir ini bukan terbitan aslinya alias “Bajakan”.
Di tengah fenomena yang meramaikan minat baca masyarakat, kehadiran buku di dalam bis kota merupakan sebuah gejala yang menepis anggapan masyarakat yang tak membaca. Usaha gigih para pedagang asongan bukan tak ada yang membeli. Satu-dua penumpang bus ada yang tertarik dan berminat membeli. Sebuah realitas yang memberikan ruang baru bahwa bus antar kota dan bisa menjadi ruang persebaran buku.

Namun juga keadaan ini membuat tidak nyaman,sebab buku-buku yang ditawarkana dalah buku bajakan. Kenyataan yang menejlaskan bahwa para pembajak kian getol melakukan invasinya bukan hanya di toko buku, tetapi secara agresif memasuki ruang publik yang takpernah dipikirkan oleh penerbit buku. Dapat dibayangkan buku Mario Teguh yang aslinya seharga di atas 50ribu rupiah dalam bus hanya ditawarkan seharga 15 ribu.Buku Chairul Tanjung yang dibandrol 70.000 rupiah ditawarkan 40ribu rupiah.
Dapat dibayangkan berapa kerugian para penulis yang bukunya dibajak. Kondisi yang membaut penulis kian terpuruk karena hasil jerih payahnya dan keuntungannya dinikmati orang lain. Fakta yang menguatkan banyaknya pembajakan buku di negeri ini, tapi tak pernah dikenakan sangsi hukum yang tegas.

Di antara semangat menulis dan bercita-cita membuat buku, ternyata pembajak sudah mengintai di berbagai sudut dan siap mengambilalih buku-buku laris untuk dibajak dan mengambil keuntungan tanpa pernha memberikan royalti kepada penulisnya.(HR).