Translate

Minggu, 31 Mei 2009

RAHEMAN

Pagi itu pak Juwairi masuk dengan senyum dan binar bola matanya memancar. Tiga belas anak asuhnya di kelas enam menunggu dengan suara ramai tak bisa diam. Tak peduli. Senyum terbit dari wajah yang berbinar dengan sorot mata bercahaya, dan kemudian duduk di pojok depan sebelah selatan mulai membuka pelajaran. Hari itu jadwal di dinding yang kusam tertulis mata pelajaran IPA.

“Sekarang kita ulangan!” ingat pak Juwairi pada teman-teman sekelasku.
“Belum belajar, Pak!” jawab si Raheman yang memang tidak pernah belajar dan hanya mendengarkan materi pelajaran dalam kelas. Sekolah baginya bertemu teman sekelas, berbagi cerita dan pulang saat bel jam terakhir bendentang. Tak tinggi cita yang digantungkan. Ia hanya mengimpikan Tamat SD merantau ke Surabaya, mblater, atau jadi buruh pabrik.

Semua teman mengambil kertas ulangan. Mencatat soal yang didektekan dari depan kelas. Kami mengerjakan soal selama 60 menit dengan perasaan ringan tanpa beban. Kami tidak pernah menginginkan mendapatkan nilai terbaik dengan cara curang. Kami hanya ingin mencoba menjawab dengan jujur apa yang kami kerjakan. Kejujuran menjadi segala-galanya.

Tidak ada suara gaduh. Semua tenang mengerjakan soal-soal yang telah didiktekan. Waktu enampuluh menit berjalan begitu cepat dan kami semua menyerahkan jawaban yang telah selesai dikerjakan. Lembar demi lembar kertas jawaban dibaca pak Juwairi. Teman-temanku Nanto, Safi, Zinal, Jappar, dan Hasan membicarakan jawaban yang telah diruliskan. Mereka pada mengira-ngira perolehan nilai yang akan didapat.

Semua menduga pasti si Jappar akaan memiliki nilai paling baik. Karena dia lah bintang kelas kami. Orangnya pendiam, rapi, bersih, dan buku catatannya paling lengkap dan paling rapi. Dia jagoan mata pelajaran di eklas kami, berhitung, ipa, ips dan bahasa Indoensia, sellau mendapatkan nilai tinggi.

“Ini jawabannya Rehman,” tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara pak Juwairi dari depan kelas.
“Kenapa, pak?” tanya temnaku yang lain.
“Dari sepuluh soal hanya menuliskan satu jawaban.”
“Nomor berapa, Pak?!”
‘Tidak ada nomernya.”
“Apa jawabannya, Pak?”
“Maaf pak saya tadi malam tidak belajar.” Itu saja jawabannya Raheman. Pak Juwairi tersenyum.
“anak-anakku daripada kamu berbuat curang untuk mendapatkan nilai bagus, lebih baik kamu jujur seperti si Raheman. Saya sangat menghargai kejujurannya.”
Teman-teman sekelas tertawa sambil mengoilok-olok memanggil nama bapaknya ,” Pan Rakek...Pan Rakek...Pan Rakek”

Kami memahami kalau Raheman tidak sempat belajar setiap malam; pertama, karena kalau berangkat ke sekolah dia membawa jualan nasi dan gorengan punya budeku. Dari hasil penjualan dia mendapatkan upah sekadarnya. Kedua, jika siang hari sesampai di rumah dia menyipkan seperangkat barang ke dalam kotak untuk dibawa ke pasar membantu ayahnya berjualan batu korek api, minyak sulin untuk korek api, dan peralatan untuk memperbaiki lampu senter.
Ketiga, jika malam hari tiba di kampungnya tak ada penerangan selain cahya bintang dan rembulan. Semua maklum di jaman seperti itu kemiskinan melilit saudara-saudara kami yang ada di perkampungan,seperti juga kampung di mana Raheman tinggal; Temoran. Untuk membeli minyak tanah mereka lebih mendahulukan untuk membeli bahan makanan pokok untuk mengisi perut. Sesuatu yang lumrah ketika selesai shalat isya mereka semua menutup pintu sampai waktu subuh tiba.

Raheman, teman yang selalu meredakan ketegangan di dalam kelas. Dari wajahnya yang lancip, tulang pelipisnya mencuat dengan pandangan mata sayu. Semua yang melihat akan merasa iba. Namun dia adalah anak yang bisa bersahabat dengan siapa saja. Rendah hati dan suka memnolong sesama. Jika musim panen jagung tiba kami diajak ke rumahnya untuk membakar jagung segar yang baru dipetik dari pohonnya. Kami bakar jagung di tungku dapu yang menyatu dengan kandang sapi. Ya, dapur penduduk di kampung kami menjadi satu dengan kandang sapi. Posisi dapur selalu berada di depan rumah menghadap ke utara. Penyatuan kadang sapi dengan dapur untuk menjaga sapi dari gangguan pencuri.

Lain lagi kalau musim srikaya tiba aku diundang untuk bermain ke rumahnya dan di halaman belakang rumahnya yang berbatu-batu banyak ditumbuhi pohon srikaya yang rasanya sangat manis. Aku diperbolehkan untuk mencari memetik sendiri buah yang matang di atas pohonnya. Waktu-waktu yang menyenangkan.

Suatu ketika aku pergi ke pasar di waktu sore, karena sore itu hari pasaran hewan. Mendatangi pasar adalah salah satu acara di desa bagi anak-anak seusiaku untuk mencari hiburan. Ya, mencari hiburan menyaksikan ppenjual obat menawarkan dagangannya dengan permainan sulap yang sangat menakjubkan bagiku. Aku kagum dengan boneka yang bisa menabuh genderang dengan digerakkan batu baterei. Aku terkesima dengan mobil-mibilan yang berjalan sendiri setelah peer pendorongnya diputar. Sesuatu yang baru bagi kami, dan mungkin bagi anak-anak di kota permainan itu hal yang biasa.

Sore itu, setelah menyaksikan atraksi penjual obat dan dalam masyarakat kami dikenal sebagai “Tokang Jual Jamo”, aku mampi ke lapak tempat berjualan orangtua Raheman. Aku menghampirinya karena pas lewat di depan lapak yang menjaga Raheman. Aku diajak untuk menemaninya. Raheman sangat mahir untuk mengganti batu korek api, dengan membuka mur di bagian bawah korek, dilepaskannya per yang diujungnya tempat menempel batu korek api. Dia juga mahir memperbaiki kerusakan pada lampu senter. Jika ada orang datang meminta bantuan untuk memperbaiki senternya yang mati, dikeluarkannya batu baterai yang ada di dalam, diambilnya obeng dan dibukalah bagian tombol untuk menyalakan lampu yang menghubungkan kutub positip dan negatip sehingga lampu menyala. Kalau bagian lempengan yang menghubungkan kedua kutub yang berlawanan berkarat dibersihaknnya dengan amplas sampai hilang karatnya. Dari pekerjaan seperti itu dia mendapatkan imbalan jasa dari orang-orang membutuhkan pertolongan. Tidak terlalu besar jasa yang diperoleh, namun tarnsaski itu berlangsung dengan penuh keakraban dan ketulusan. Tidak ada patoan harga, namun pemberian yang tulus sebagai rasa terimakasih menajdi pengikat persaudaraan, karena esok hari jika mendapatkan masalaha dengan korek api dan lampu sneter akaan datnag kembali ke tempat Raheman membuka dagangan.

Setamat dari sekolah dasar aku dengar raheman merantau ke surabaya menjadi buruh pabrik. Lima belas tahun dari perpisahan itu aku bertemu di pelabuhan Kamal ketika aku mau pulang dari kuliah untuk berhari raya di kampung. Raheman bersama istri dan dua anaknya membawa beberapa kardus barang mau pulang kampung, toron. Kami berada dalam satu kendaraan. Dia bercerita kalau saat itu bekerja di pabrik sepatu. Dia banyak bercerita tentang kesulitan ekonomi yang membebabni hidupnya. Namun ia menggantungkan harapan kelak anak-anaknya bisa sekolah tinggi mendapatkan pekerjaan yang layak dan tidak mengalami nasib seperti dirinya.

Terakhir aku dengar Raheman kembali ke kampung halamannya membuka tambal ban kendaraan bermotor di tepi jalan belakang rumahnya.

Jumat, 29 Mei 2009

AKU INGIN

Aku inginkan
Setiap siswa memagang satu laptop
Di depan ada layar lebar
Ruangan ber AC
Dan full music

Siang itu musim kemarau suasana ruangan kelas amat gerah, karena ventilasinya buruk dan tempatnya gersang dikepung oleh gedung-gedung yang pengap melengkapi kegerahan dalam ruangan kelas. Aku sendiri bingung mau beraktivitas apa dalam ruangan jika suasana dalam kelas tidak memungkinkan. Lebih menyedihkan lagi aku diminta untuk memberikan materi menulis kreatif sebagai tambahan pelajaran bagi siswa kelas X.

Oke, bagaimana kalau siang ini kita mencoba menuliskan impian kita mengenai apa yang kita impi dengan sekolah yang kita cintai ini?Ajakku pada mereka.

Waktu empat puluh lima menit terasa berjalan lamban. Ada yang menerawang jauh ke dalam impian menembus langit-langit ruangan. Aku berkeliling mengamati pekerjaan mereka. Cukup menarik dari judul yang mereka tuliskan impian mereka sangat beragam. Ada yang menuliskan citacita; puisi pedas mengkritik seragam abu-abu; cinta mereka.

Meski begitu ada satu yang menarik yaitu potongan tulisan yang aku jadikan pembuka tulisan ini. Sebuah impian tetang SMAN 1 yang nyaman, modern, lengkap dan menyenangkan dalam pembelajaran. Aku terkesima mebaca impian anak yang saya lupa namanya, namun aku ingat impiannya mengenai sekolah ini. Begitulah seharusnya SMAN 1 ke depan. Tidak ada pilihan lain, sekolah ini harus banyak berbenah dengan lingkungan yang bersih, fasilitas sekolah yang yang harus terus-menerus berbenah.

Impian ini bukan isapan jempol, karena saat ini di sekolah telah memeliki laboratorium komputer, laboratorium multimedia, laboratorium fisika, kimia, biologi dan laboratorium bahasa. Serta memiliki tiga infocus dengan berbagai perangkat pembelajaran audivisual. Laboratorium Multimedia merupakan fasilitas baru bantuan dari pemerintah pusat bernilai seratus lima puluh juta rupiah dan dana sharing dari Komite Sekolah. Fasilitas yang memungkinkan untuk dapat memenuhi impian yang dikutipkan di pembuka tulisan.

Persoalannya adalah ketika impian itu menjadi harapan anak-anak kita, maka sudah seharusnya bapak dan ibu guru menyiapkan diri untuk bisa memanfaatkan aneka fasilitas yang ada. Sebab fasilitas teknologi tersebut sangat membantu kerja bapak ibu guru untuk bisa menemani dan mendampingi putra-putrinya belajar. Sekaligus kenyamanan ini dilengkapi dengan keterbukaan manjemen sehingga semua stakeholder bisa mengakses informasi yang diperlukan. Semua merasa nyaman dan memiliki, sehingga oimpian itu kemudian menjadi milik bersama untuk dapat menghasilakn produk unggul yang dibutuhkan oleh lingkungan. Produk yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di masa depan. Pemimpin yang berkhlak mulia (Hidayat Raharja).

Minggu, 03 Mei 2009

SEKOLAH KAPER; 35 Tahun Yang Lalu

Oleh : Hidayat Raharja

: Terimakasih tak terhingga buat kedua orangtuaku – pendidik sejatiku
Mbah Fudhali, mbah Hadiyah, Nom Safi, Nom Zali (guru ngajiku)
Bapak Abdullah Fagi, Bapak Juwairi, Bapak Sudarmono, dan Bapak H. Abd. Gaffar Gatot (Almarhum).

Tak ada yang dapat aku kadokan buat guru-guruku tercinta yang telah membuatku bahagia di hari ini. Belualah yang telah memberikan bekal hidupku sehingga aku memahami peran dan tanggungjawabku sebagai manusia. Mereka para pendidik yang telah banyak berkorban untuk kemajuan belajar anak didiknya. Mereka tiada henti memberikan pencerahan bagi anak-anak desa seperti aku dan teman-teman di desa saat itu. Tak ada listrik – tak punya sepatu, buku terbatas dan masih dikucilkan oleh orang-orang karena sekolah kami bukan sekolah agama. Masih lekat dalam ingatanku sekolahku di SD negeri dicemooh sebagai Sekolah Kaper (Kafir).

Aku tak bisa melupakan jasa para guruku di SD karena mereka dengan pengabdian tulus dan ikhlas membuat kami menjadi mengerti dan memahami pendidikan. Pemahaman ini semakin dalam ketika aku sendiri menjadi guru di sebuah SMA yang berada di tengah kota dengan fasilitas belajar yang sangat lengkap dibandingkan dengan sekolah lain di kota ini.

Aku tak bisa membayangkan perjuangan para guru yang kusebut di awal tulisan dengan segala keterbatasan sarana dan fasilitas pantang menyerah untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat anak didiknya.
Pertama; aku ingat pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia yang diajarkan Bapak Moh. Yahya yang terkenal disiplin dalam mendidik bahkan cenderung dikatakan keras jika dibandingkan dengan kondisi kekinian. Namun aku takkan pernah lupa cara beliau menyampaikan materi dengan segala keterbatasan sekolah yang kami tempati. Beliau sangat kreatif, dengan hanya satu buku paket sejarah yang dipergunakan dalam satu kelas, beliau tidak menyuruh anak mencatat, tetapi beliau mengajatrkannya dengan mimik, ekspresi, dan suara lantang penuh tekanan tertentu serta dengan gerakan tubuh yang menguasai “panggung” kelas menjelaskan sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di jawa Timur, Perebutan Kekuasaan, dan menjelaskan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekjarno Hatta dengan penuh oratoris. Pengalaman yang takkan pernah aku lupakan bagaiman beliau berusaha untuk memudahkan anak didiknya mengerti apa yang diajarkannya.

Beliau begitu berapi-api ketika membacakan sajak-sajak Chairil anwar “AKU” saat mengajarkan deklamasi di depan kelas. Semangat yang bergelora, api semangat yang berapi-api di depan anak- didiknya yang tidak lebih dari tiga belas orang. Belasan orang murid yang dicarinya dengan susah payah blusukan ke pelosok-pelosok kampung supaya sekolah negeri ini ada muridnya. Perjuangan pantang menyerah yang beliau lakukan bersma0sama dengan bapak Asdullah Fagi memajukan sekolah negeri di desa ku.

Guru berhitung dan kesenian di kelas rendah, kelas 1 sampai dengan kelas 3. Oangnya sabar, murah senyum suka bergurau dan ada saja hal menarik yang dilakukannya; Bapak Abdullah Fagi. Kami dikenalkannya kepada teka – teki silang saat guru kelas kami absen karena ada sesuatu halangan. Dengan cekatan beliau menggambar ayam tanpa bulu (gundul) dengan leher pendek dan kakinya hanya sebelah, karena sebelahnya buntung. Gambar yang lucu, lalu kami diajaknya bernyanyai “ Ajam Tokkong” (Ayam Buntung) sebagai berikut:
Ajam tokkong
Le’er kene’
Sokona settong
Mon ajalan takadik co-loncoan
Tak tokkong tokkong
Tak tokkong tokkong

Terjemahan Bebasnya sebagai berikut:

(Ayam buntung
Leher pendek
Kakinya buntung
Kalau berjalan meloncat-loncat
Buntung buntung
Tak buntung buntung)

Tembang nyanyian yang akan selalu aku ingat saat kelas kosong atau ketika tengah jenuh belajar kami diajaknya bernyanyi “Ajam Tokkong”. Suatu metode yang sekarang cukup populer dengan Quantum Teaching ,35-an tahun yang lalu pak Fagi telah mengenalkannya kepaada kami.

Bapak H. Abd. Gafar Gatot (almarhum) semoga segala amal baiknya diterima di sisi Allah dan segala dosanya diampuniNya. Amin.
Guru yang sabar dan sangat demokratis, karena setiap memulai pelajaran selalu menanyakan murid-muridnya apa yang akan dipelajarinya. Setiap pilihan murid selalu dituruti dans etiap permintaan selalu dipenuhinya. Di alah yang mengenalkan kami pada Sinbad Si Pelaut. Bila tiba mata pelajaran keseniannya diajaknya siswa ke luar kelas ke bukit yang ada di sebelah selatan sekolah untuk menggambar sesuatu yang menarik untuk digambar oleh teman-temanku sekelas. Kami bebas menggambar dengan menggunakan pensil yang juga kami pergunakan untuk mencatat. Kami belum kenal pensil warna karena keterbatasan kami semua. Satu buku kadang diperguankan untuk catatan 3 mata pelajaran, minimal untuk dua mata pelajaran. Hal yang emnyenangkan ketika pelajaran menggambar tiba, sebab kami bebas ke atas bukit ke rumah penduduk sekitar yang kadang dikasih makanan atau sekedar buah-buahan. Kami sangat akrab dengan warga sekitar sekoalh di atas bukit yang ada di selatan sekolah kami.

Selesai menggambar kami diajak kembali ke dalam kelas dan disuruh utnuk menceritakan pengalaman yang ada dalam gambar yang kami buat. Semua tertawa. Semua bercerita.

Tahun 1974 ada droping guru besar-besaran ke berbagai wilayah Indoensia termasuk di dalamnya ke tanah Madura . Guru-guru yang kemudian dikenal dengan nama guru Inpres. Sekolah kami juga kebagian guru Inpres. Mereka datang dari daerah Bantul – Yogyakarta. Bapak Juwairi, Sudarmono dua orang guru yang mengajar di sekolahku. Mereka berdua banyak memberikan warna baru dalam sekolah kami. Kedatangan mereka disambut dengan terbuka oleh masyarakat desaku, mereka menjadi terkenal karena jauh-jauh dari Yogyakarta mau datang dan mengabdi desa kecil dengan gaji yang tak seberapa besar.

Pak Juwairi dengan kecakapannya mengajarkan aneka keterampilan dan seni, merubah suasana sekolahku, karena kemudian banyak produksi karya seni yang dihasilkannya bersama anak didiknya. Dari beliau kami kenal lampion kertas untuk hiasan; kami kenal gambar bergerak seperti dalam televisi dengan media kertas minyak dan lampu minyak tanah yang kemudian memutar gamar-gambar di kertas minyak karena pengaruh tekanan udara yang memuai akibat panas. Kami menyebutnya mainan “Televisi”. Diajarinya pula kami membuat patung kertas, kolase dan aneka bentuk prakarya dengan mempergunakan tanah lempung yang banyak melimpah di lingkungan sekolah.

Puncak karya beliau dengan anak-anak didiknya adalah sekolah kami memenangkan karnaval tujuh belas agustusan mengalahkankan Madrasah Ibtidaiyah di desa kami yang banyak siswanya dan memiliki pasukan musik drumband. “Perang Diponegoro” itulah tema karnaval yang beliau angkat. Tidak berlebihan kalau tema ini diangkat karena beliau berasal dari jawa tengah dan kami bisa menerimanya karena heroiknya Pangeran Diponegoro melawan kolonialisme.

Chalik yang dikenal dengan nama Cabang anak seorang kusir delman didaulat untuk menjadi Pangeran Diponegoro. Ia mengendarai kuda yang biasa dipergunakan menarik kusir ayahnya. Dengan pakaian jubah putih , keris di tangan dengan lantang diteriakkannya takbir menumbuhkan semangat perlawanan. Teriakan yang kemudian disambut oleh teman satu sekolah lainnya yang bercelana pendek bertelanjang dada dengan wajah dihiasi dengan langes – coreng-moreng. Tarian kolosal dan spektakuler memberikan sajian yang segar bagi masyarakat desa, bapak camat dan segenap muspika. Sampai sekarang tempik sorak penonton masih terekam dalam memori otakku. Bagaimana iringan drumband dari madrasah ibtidaiyah tenggelam ditelan hiruk pikuk perang diponegoro. Sehingga layaklah sekolah kami SD OMBEN dinobatkan menjadi juara I.

Bapak Sudarmono menjadi guru kami di kelas VI. Jarang tersenyum tetapi sangat rajin dan telaten membimbing kami belajar. Di waktu malam sehabis mengaji di langgar, kami diajaknya belajar bersam di rumah kontrakannya yang tak begitu besar. Tak ada listrik, sehingga ketika anak belajar bersama di rumahnya ia nyalakan lampu petromak dan dengan telaten menemani dan membimbing sampai pukul 21.00 wib. Kami tak membayar, tetapi pak darmono dan pak juwairi mengajarnya dengan rasa senang. Ketulusan dan niat ikhlas mereka selalu menggema dalam dada.

Kehadiran mereka semakin berkenan di hati masyarakat. Sebuah hubungan guru dengan masyarakatnya yang bisa sling mengisi, saling memberi dan bisa saling menerima. Masyarakat tidak mau ditinggalkan dan guru-guru itu tak mau mengabaikan. Mereka yang sampai kini tetap ada di desa kami membangun rumah, bermantukan orang desa tak kembali lagi ke tanah Yogya. Aku malu kepada mereka, karena betapa besar pengorbanan telah diberikan untuk mencerdaskan anak-anak didiknya. Aku takkan pernah mampu membalas jasanya.

35 tahun kemudian, saat ini kejadian ini sudah menjadi basi tak ditemukan lagi dalam sekolah kami.