Translate

Senin, 04 April 2016

Gen Z; di antara Kegaduhan Teknologi Informatika dan Identitas Diri


Oleh: Hidayat Raharja*

"Dialog Pagi" -karya Hidayat Raharja
Perubahan adalah pasti. Masa depan adalah wujud dari pertemuan antara masa lalu dengan masa kini. Masa depan tidak akan lahir tanpa kehadiran saat ini. Maka, pastinya semua berharap perubahan itu terjadi secara sinambung sehingga tidak menimbulkan gegar bagi kehidupan. Hal ini jadi penting dalam perbincangan mengenai generasi mutakhir yang dikenal dengan generasi Z (Gen Z). Bahwa mereka hadir tidak tiba-tiba tetapi dilatarbelakangi oleh generasi sebelumnya. Sebuah generasi yang mewarisi genetika dari generasi pendahulu. Artinya secara genetis generasi mutakhir membawa sifat-sifat genetis dari pendahulunya yang akan berinteraksi dengan lingkungan yang memunculkan sifat fenotif atau perilaku pada suatu individu.

Sebegitu menarikkah Gen Z? Sangat menarik. Sebuah generasi yang hadir di era puncak kemajuan teknologi informatika, di saat dunia berada dalam genggaman tangan mereka. Dalam waktu serentak mereka bisa menyaksikan hiburan dari kamar pribadi, sekaligus bisa mengirimkan informasi ke belahan dunia lainnya. Mereka yang bergerak dari genaggaman tangan untuk melihat daerah yang akan dituju atau pun untuk mengabarkan wilayah yang tengah dilintasi.

Teknologi komunikasi telah berbaur dengan fotografi serta seperangkat piranti untuk memenuhi seluruh hasrat kaum muda dalam membangun komunikasi dan menyatakan eksistensi diri. Selfie adalah cara ungkap dan cara mengekspresikan diri yang unik. Sebuah narsisme yang menegaskan mereka berada di antara keberadaan orang lain yang tengah berrebut ruang pribadi.

Meski tak cukup bagus memiliki telinga untuk dijadikan sebagai indera pendengaran dengan gawai yang pintar yang mereka miliki tinggal pencet ikon perekam untuk menyimpan seluruh informasi yang tengah didengarkan. Ketika malas untuk mencatat keterangan guru atau narasumber yang ada di white board mereka cukup menekan tombol kamera di perangkat telpon pintar di genggaman. Sebuah zona hidup yang memberikan kenyamanan sekaligus merupakan ancaman,ketika merekatelah diperbudak oleh teknologi dan kehilangan inisiatif serta kreativitas dalam menyelasaikan persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi.

Gen Z adalah generasi yang lahir di tahun 2000 dan setelahnya. Generasi yang lahir di tengah hirup pikuk produk teknologi informatika dan globalisasi yang meretas batas-batas wilayah geografis, kebangsaan dan agama mereka. Generasi yang membuat lembaga pendidikan menata ulang  sistem pendidikan yang dijalankannya. Guru menta ulang pola komunikasi dengan peserta didik dan orang tua menata ulang pendekatan terhadap anak-anaknya. Dalam pertarungan aneka ideologi yang dipicu oleh perkebangan teknologi informatika,tidak sedikit dari penentu kebijakan dalam dunia pendidikan yang kebablasan sehingga kehilangan batas-batas antara  guru dan murid antara orangtua dengan anak.

Banyak memberikan petuah kepada mereka, tidak akan banyak digubris, sebab mereka telah banyak menyerap informasi dari lingkungan dan ruang pribadi yang terhubung ke dunia luar yang jauh tak tertempuh. Mereka yang merasa lebih tahu, dengan berbagai jejaring yang telah mereka pergunakan. Mereka berada dalamasuhan masyarakat maya, yang ada tetapi tidak nyata. Tidak nyata tapi ada. Generasi yang tidak lepas dari genggaman gawai untuk menyatakan eksistensi mereka dengan berbagai status yang setiap saat diunggah di media sosial untuk menandakan keberadaanya.

Beri mereka kesempatan untuk memaparkan gagasan atau pendapatnya dan ajaklah berdialog dengan pendapat yang dikemukakannya. Guru dan orangtua patut menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang sabar untuk merekam penuturan dan tingkah mareka, dan bila tiba waktunya ajaklah mereka bertukar pendapat. Mereka punya impian yang jauh melampaui pemikiran guru dan orangtua.

Tidak salah jika Soekarno menuturkan”Beri aku lima orang pemuda, maka akan aku guncangkan dunia” Sebab anak muda adalah agen perubahan. Orang muda adalah generasi yang akan menggantikan estafet kepemimpinan di waktu yang akan datang. Mereka dengan strategis menentukan sikap dan langkah hidup untuk menentukan masa depan. Mereka yang dengan serius menggeluti kesukaan mereka, untuk mengubah main-main menjadi sebuah kerja profesional.

Bukankah penemuan-penemuan besar diawali dengan sebuah main-main? Ya, yakinlah bahwa penemuan besar itu berawal dari sebuah mani-main yang tak  dinyana, main-main yang mustahil tetapi kemudian berhasil menjadi sebuah temuan menakjubkan. Para pendiri bangsa ini mulai bermain-main dengan dunia politik dari usia belasan tahun yang beberapa tahun kemudian menjadi tokoh yang ditakuti dan disegani para pemimpin dunia.

Bagaimana dengan remaja kita yang populer disebut Gen Z? mereka telah bermain-main dengan mengusung perpustakaan (telpon pintar) di genggaman tangan. Bila mereka awas maka, tak ada yang tak bermanfaat di setiap putaran detak jam. Sekedar narsis dimedia sosial untuk sekedar selfie atau update status sebelum dan setelah bangun dari tempat tidur. Realitas menunjukkan bahwa dari sebagian mereka dapat menjadikan main-main di media sosial menjadi sebuah peluang untuk menjadi sebuah profesi yang menggiurkan. Bayu Skak yang rutin mengunggah video kreatifnya banyak mendapatkan pengikut (follower) dan menjadi salah satu penghuni Youtube dengan bayaran yang terus meningkat. Seorang pemuda diJawa tengah mengajari anak-anak dan remaja dikampungnya untukngeblog dan menjadikan blog untuk mendapatkan penghasilan dariiklan yang ditayangkan di blognya.

Barangkali yang patut dicermati adalah bagaimana dengan generasi mutakhir dalam berinteraksi dengan sosial media. Mereka yang gamang dengan dirinya. Mereka yang narsis namun tidak menunjukkan jati dirinya. Sebab, dari gaya narsis yang mereka lakukan sebenarnya terkover apa yang ada dalam diri yang bersangkutan. Inilah sebenarnya peran orangtua dan sekolah dalam menentukan karakter dan identitas mereka sebagai kaum muda yang berpijak pada akar budaya yang unik dan menjadi bagian dari masyarakat dunia.

Mereka secara genetis mewarisi akar budaya lokal dengan berbagai kearifannya untuk tetap eksis dan bergumul dengan identitas yang jelas di tengah pergumulan peradaban masyarakat dunia. Gen Z Indonesia yang diwarnai identitas lokal (kesukuan), dan keragaman keberagamaan  yang sangat santun terhadap kehadiran orang lain yang berbeda. Maka, yang patut dipahami adalah bagaimana anak-anak muda dalam pertarungan peradaban masyarajat dunia, mampu menunjukkan identitas sebagai bangsa Indonesia yang unik dengan keragaman budayanya yang luhur. Kerifan dan kesantuan yang menjadi identitas tidak hilang ditelan kegaduhan teknologi informatika dalam arus globalisasi yang bertarung dengan glokalisasi.

                                                                                                                   Sumenep, 12 Maret 2016.

*Penulis, adalah guru, penikmat budaya pop dan kisah sehari-hari.

Puisi-puisi dari Jalan Payudan Timur



( Sebuah Catatan dari Seleksi untuk Calon Peserta FLS2N 2016)

Gambar -"Duka" - Hidayat Raharja
Apakah pernah membaca karya-karya sapardi Djoko Damono? Atau karya Sutardji Calzoum Bachri? Atau karya M.Aan Mansyur?  Itulah pertanyaan yang saya lontarkan dan sederet nama lainnya jajaran nama penyair Indonesia kepada para siswa yang mengajak untuk mendirikan sebuah ruang kreatif yang mereka sebut bengkel sastra.  Mereka tersenyum dan menggelengkan kepala, dan balik bertanya ;”Siapa Mereka?”


Gambaran di atas sebuah gambaran tentang sastra khususnya puisi di Sekolah Menengah Atas yang kurikulumnya dijejali dengan aneka mata pelajaran dengan seabreg tugas yang tak tertandingi. Kondisi yang membuat mereka tak memiliki waktu lain untuk membaca karya sastra. Sebab,selain waktunya  banyak tersita oleh tugas-tugas mata pelajaran  juga waktu yang ada digunakan untuk tambahan les mata pelajaran ataumengikuti bimbingan belajar.


Syukur mereka masih mau sedikit mengenal dan belajar menulis karya sastra. Barangkali , kelakseteahtamat dari SMA mereka bisa mendalami lebih jauh dan berkarya lebih poduktif. Harapan ini bukan hampa belaka sebab dari karya mereka yang berminat membentuk dan mengikuti bengkel sastra memilki karya yang lumayan menarik dan potensial. Karya yang mengedepankan pengalaman-pengalaman hidup mereka dan respon terhadap lingkungannya.


Juga rasa gembira itu hadir ketika dilakukan seleksi siswa untuk mengikuti lomba cipta puisi di ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat kabupaten Sumenep. Ada 12 peserta menghikuti seleksi dengan menyerahkan 2 karya setiap peserta seleksi. Seleksi dilakukan dengan tema  tentang keragaman budaya Indonesia dan dari juri memberikan lima kata untuk dimasukkan ke dalam puisinya; komputer, tegal, taneyan, rokat, mesin.

Respon mereka terhadap tema sangat menarik, sebab mereka senantiasa mengaitkan dnegan pengalaman diri yang diungkap kannya ke dalam puisi. Berikut potongan larikpuisi berjudul “Curahan Anak Pedalaman”  karya Irawati Dewi;

            …Juluran tanah yang kami sebut taneyan/Penghubung tempat rehat sedernana kami/permainan-permainan sederhana terlukis dalam kenangan/otak kami tak secanggih komputer/namun alam telah menjadi guru terbaik/leluhur melindungi kami dengan doa dan rokat/tak perduli hidup modern manusia/kisah-kasih pedalaman terus tersimpan.//

Atau  bisa pula kita nikmatipada larik puisi “Kenangan Rokat Tase’” karya Eksanti Amalia KW berikut:

            ..dengarkanlah!/leluhur renta melantunkan ayat suci/ rokat tase’dimulai/bunte’ diluncurkan/bebas…/bagai manuver dalam tegal tak terarah//aura kebahagiaan terpancar/hiruk-pikuk dalam taneyan/tersurat dalam alunan saronen/yang berderik tertatih-tatih/karatan, namun penuh arti/

            Dua buah puisi yang ditulis Irawati Dewi mengisaratkan tentang kondisi kehidupan budaya di tengah masyarakatnya. Pertama,adalah bagaimana ia memaknai tentang konmdisi anak-anak pedalaman yang tertinggal secara teknologi namun dalam kebersaman dengan sesama dan juga alam mereka belajar tentang hidup dan kehidupan. Sebuah kondisi yang mengisyaratkan betapa ikatan kekeluargaan mereka merupakan sebuah kekuatan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Sebuah narasai yang cukup menarik, namun perlu untuk meningkatkan kualitas puitika seperti dalam pemilihan diksi yang lebih konotatif. Sebab, puisi berbeda dengan sebuah berita.

            Lain halnya dengan puisi Eksanti yang berjudul “Kenangan Rokat tase’” , sebuah upaya untuk mengenang kembali tentang keindahan dari rokat tase’. Sebuah puisi yang menggambarkan suasana  di sebuah desa pesisir dengan segalakeriangan dan hirukpikuk. Suatu pertunjukan yang bukan sekedar pesat pora namun memilki kandungan makna bagi kehidupan manusia dan semesta.  Pemilihan diksi yang cukupmenarik karena di dalampuisi tersebut beberapa idiom lokal bertabur menguatkan suasana puisi. Namun hal ini akan lebih menbraiketika juga puisi ini bukan hanya sekedar suasana tetapi juga makan yang tersurat dan berekat-sekat.

            Puisi yang lainnya juga cukup menarik yang ditulis oleh Rully Aprilia ( ikarar Sajak dan Hikayat Keraton), Akbar Sulthoni (dialog alam, Kala Senja di Gereja Tua). Dian Nurul Faziah (Tanah Sendu, Kubangan), Ajeng Alfiyunika (Rayuan Pulau Madura. Menata Ruang Untuk BErsama), Haikal Fawaid ( Sihir Malam, Bisakah?), Ibnu Affan (Satu Nol Nol Nol JIwa di Masa Lalu, Berebut Rindu di Kota Tegal),  FatholBari (Putraku, Saat Dia Meninggalkanku) Risa Sufiana (Angin Kehidupan, Catatan Tinta Putih), Agisni Rahmatika ( Petang telah Tiba, Rindu Desa Kecilku),Ajeng Wahyu Samudera (Suramadu, Topeng Dhalang).

Keseluruhan puisi-puisi dalam seleksi ini sangat menarik sebagai penanda bahwa geliat puisi disekolah ini ada dan menarik. Pertama,  Barangkali karena tak ada waktu, mereka taksempat mengembangkan diri untuk berlatih tekuh menulis puisi sehingga “anak”puisi yang dilahirkannya bisa tumbuh kembang dengan baik.  Sebab, puisi bukan hanya sekedar curhat, tetapi ada sebuah muatan baik dalam bentuk atau pun dalam ungkapan, serta nilai-nilai yang bermakna bagi pembaca yang mencarinya.

Kedua, nilai yang ditawarkan. Tak ada yang hampa dalam sebuah puisi namun akan ada nilai-nilai yang disodorkan pencipta kepada pembacanya. Nilai-nilai inilah yang menjadi makna sebuah puisi di hadapan penikmat atau pembaca. Nilai yang bisa diperoleh dari hasil permenungan atau kontemplasi terhadap suatu pengalaman hidup yang ditemui atau terhadap pengalaman literer yang dialami. Bahwa kata itu bukan hanya sekesarkata tetapi memiliki makna lain yang tersurat di dalamnya.

Ketiga, intelektualitas. Bahwa dibutuhkan kecerdasan untuk menciptakan sebuah puisi, sehingga puisi bukan hanya sekedar barisan kata-kata indah yang mengawang-awang dia tas angan. Intelektualitas yang akan memberikan bobot isi dalamkarya dan juga akan sangat mempengaruhi kepada pembacanya. Puisi bukan hanya sekedar keindahan namun di dalamnya ada nilai kehidupan atau sosial,di dalamnya ada nilai-nilai pengetahuan yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia.

Bahwa mencipta puisi (juga bentuk karangan lainnya) dibutuhkan kesanggupan untuk mengembangkan wawasan pengetahuan sehingga tulisan atau karya yang dihasilkan juga terus berkembang secara dinamis. Jika anda suka menulis maka tentunya anda harus sukan membaca karya-karya hebat, sehingga berpengaruh terhadap pemikiran anda dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkan.

                                                            Bumi Sumekar Asri, 18 Maret 2016

Hidayat Raharja, guru biologi dan penikmat puisi dan kisah sehari-hari.

Rabu, 11 November 2015

Menyambut Musim Hujan; Orang-Orang Membaca Buku dan Soal Ujian


oleh: Hidayat Raharja

Ai, musim hujan mulai mengintip, tapi di halaman hanya angin basah yang lewat dengan wajah langit yang rada redup. Matahari terik,dan udara jadi panas. Keringat  tumpah dari pori-pori membasahi pakaian yang lekat di badan. Minggu-minggu ini banyak orang menunggu hujan. Sebagian dari mereka mengunggah foto hujan di halaman di dinding facebook. Sejuk terasa,mata melihatnya.

Orang bersiap-siap menyambutnya.Mengenag kembali musim hujan di tahun lalu, dengan haraphujan segera datang. Tapi hujan tak datang. Hanya angin yang membawa butir-butir udaralembab yang gagal jadi hujan. Hanya di utara sana terlihat mendung hitam dan kemudian memutih pucat dipanadangdati teras. Hujan deras nun disana.

Di tenggara Umam bercerrita kalau hujan deras mengunjunghi halamannya.Bau tanah rekah menyhambut berkah dan aroamakembang tanah.Aroma yang membangkitkan biji-biji bercambah. Bunga-bunga merekah menadahi hujan pertama yang akan membuatnya bahagia. Akar-alar di ekdalaman menggeliat seperti menyusu menghisap sari hidup yang kembali murup. Aku bayangkan wajah tanah yang berdebu kembali segar sepertidiraupi wudhu.Wajah yang dipenuhi syukur tak terukur.

Di punggung luasnya aneka benih kembali bertunas, menyambut hari-hari bernas. Kuncup daun di ketiak dahan, pucuk pete yang hijau muda di ujung batang, dan serangga kecil berseliweran dengung berdendang. Hati-hati banyak serangga tanah dan reptil yang keluar dari liang karena suhu pengap di dalam. Maka selalu aku tutuppintu ruang tamu jika tak ada yang cengeramadi teras.

Untung ada pohon nagka dan mangga. Pohon nagka yang gembur dengan cabang dan rimbun daun berjibun menggesek angin siang yang menyegarkan. Angin yang menyeka keringat di permukaan tubuh. Buah terakhirnya telah tandas menandai musim kemarau yang akan lewat. Sedangkan pohon mangga yang memeluk rimbun daunnya, namun sangat jarang buahnya. Tahun lalu di bulan seperti ini puluhan buahnya bergelantung sampai menyentuh punggung sehingga perlu disangga dengan tiang bambu. Musim ini ia seperti enggan berbuah, namun lebih suka menunaskan pucuk baru yang pupus hijau menyegarkan di pandangan mata.  

Musim ini di ujung batas kemarau dan hujan aku seperti mendapatkan banyak teman. Akulihat setiap waktu dalam seminggu ini banyak bapak-bapak dan ibu –ibu tekun membaca,tekun berdiskusi,dan tekun menyampaikan hasil belajarnya. Mereka tengah menunaikan tugas yang dilupakannya, tugas membaca. Mereka seperti akan membayar hutang terhadap kebiasaan membaca yang harus dirawatnya. Diunduhnya soal-soal paedagogig dan profesional untuk melatih kemampuannya menjawab soal. Mereka mau mengikuti ujian kompetensi guru. Mereka tengah mengumpulkan bekal yang telah  lama tidak dipedulikan. Bekal mereka untuk mengajar. Mereka ketakutan seperti layak murid mau menghadapi Ujian Nasional, sehinga ada pula diantaranya yang mencari joki untuk membantu menjawab soal ujian.

Ai, musim hujan masih terus mengintai dan menampakkan wajah langit yang kusam. Namun matahari sesekali menyeringai dengan tikaman panas membuat keringat berlepasan. Ini kemarau telah lewat tapi hujan datangnya terlambat. Sapu tangan sejak tadi sudah basah mengusap keringat bagai bah. Rindu air yang akan menyejukkan udara,. Rindu air yang akan menidurkan musiam kering. Rindu air yang akan memadamkan api pengap. Rindu air yang akan menenangkan resah tanah dan rumah.

Jika hujan datang tangannya yang gemericik menabuh atap-atap rumah seperti bunyai perkusi yang kian merapat dan cepat. Kecepatan yang kadang membangunkan rasa takut. Kecepatanhya berbarengan dengan turunnya kabut yang membuat pandangan mata jadi tersaput. Tangan hujan yang dingin lalau saling berangkul berjatuhan dari pancuran kehalaman tubuhnya berdebam ke permukaan tanah. Kulit tanah terkelupas.Tubuhnya mengaliri halaman menjauh ke tempat renbdah ke ceruk sawah. Ceruk tempat katakmnerauh berudu. Katak yang menyanyikan malam memanggil pasangan, menyanyikan bulan dan bintang.

Gang-gang malam riuh oleh nyanyian Kung, dari katak jangkung. Memanggil purnama yang lembab di timur dan barat. Nyanyian malam yang tak lagi dihiraukan oleh telinga kita, karena di kamar suara televisi menyala. Suara tivi bernyanyi dan suara tivi tertawa, menertawakan hidup kita yang terlewat.

Ai hujan belum juga datang 320C di dalam ruangan. Keringat kembali terbit dari setiap pori membasahi dahi, membasahi punggung,membasahi tubuh.membsahi pikirnaku yang terus tumbuh. Sumenep, 12 November 2015.



Kamis, 23 Juli 2015

Tellasan


(pergi pulang omben maddis;
kisah buat Aida, Azmil,Tata,Azka dan Amira)
Foto: oleh M.A Ramadhan

Usai shalat jumat, 1 Syawal 1436 H. Rencana Ayah sekeluarga dengan mantu dan cucu-cucunya berkunjung ke keluarga yang ada di Maddis –Pamekasan.  Rencana berangkat usai jumatan sedikit tertunda karena ada tamu menemui Ayah dan kelihatannya sangat prnting. Namun kegelisahan kami untuk segera bertemu family di Maddis. Saya menyuruh ponakan yang paling keciluntuk menemui Mbahnya, danmengajak untuk segera berangkat.
Jam digital di telpon pintar menunjukkan angka 13,30. Kami bersiap dan berkemas. Adiksaya tengah menyiapkan kendaraannya untukmembawa kami semua melaju ke arah timur.Arah Pamekasan. Kami berangkat bersama keluarga besar  kecuali si bungsu yang ada di kota lain bersamakeluarganya. Mobil yang tak terlalu besar dijejali tubuh orangtua, dan cucu-cucu ayah yang balita, anak-anak dan remaja.

Terik. Matahari membakar, aspal jalanan yang hitam mendidih. Tapi keinginan untuk berkunjung dan keterbatasan waktu kami  tak menghiraukan panas yang menyengat. Mobil bergerak ke arah timur, Pamekasan.Acara keluarga rutin yang dilakukan setiap tahun. Hanya pada saat iedul fitri kami bertemu dengan sanak famili. Pertemuan kali ini adalah tahun keempat setelah nenekmeninggal dunia. Sebuah pertemuan yang singkat,karena ketika masih ada nenek kami bermalam di rumah nenek. Namun, pertemuan yang sngkat ini amat bermakna untukmerekatkan kembali hubungan keluarga.

Sebulan yang lalu di pertengahan juni, kami semua berkumpul karena ada saudara sepupu seusia dengan saya meninggal dunia. Susmiyati putri pertama Nyah Rihah. Artinya kami berkumpul dengan keluarga besar dari pihak ibu,ketika ; pertama ada sanak famili yang menikah atau berkeluarga.Kedua, ada anggota keluarga yang meningal dunia, dan yang ketiga saat hari raya iedul fitri. Kali ini kami akan menuju rumah Nyah Rihah di desa Maddis. Satu-satunya saudara Ibu yang masih ada,karena yang lain (Siti Aminah, Moh. Bahrah, Moh. Sahi, dan Moh.Ali Wafa) sudah meninggal dunia.

Jalanan ramai oleh kendaraan yang bising di telinga. Di bulan semacam ini orang-orang Madura yang ada di rantau pada pulang semua. Mereka membawa kendaraan roda empat dan roda dua membuat jalan makin sesak saja. Kendaraan yang menjadi tumpangan mereka,sekaligus penanda kehidupan mereka di tanah rantau. Desa omben semkain padat,sepanjang tepain jalan bangunan rumah dan pertokoan menyita perhatian.

“Desa Kapitalis” begitu saya menyebut. Saya masih ingat sepanjang jalanan ini dulunya masih sepi rumah-rumah berdiri di natara tegal dan kebun. Kini tak ada lagi. Bangunan bertebaran dan lahan semkain mahal dan tak ada ruang untuktumbuhan mencengekramkan akar dan menjuraikan reranting. Kampung yang panas. Sedari dulu kampung dan desa ini tak pernah sepi. Seperti saat ini, shalat ied baru usai beberapa jam yang lalu. Toko-toko sudah pada buka menyediakan jasa bagi para konsumen.

Silaturahmi berlangsung di masjid dan dengan tetangga sekitar, bersalam-salaman mengucapkan idul fitri dan memohon maaf lahir dan batin. Sederhana. Tak ada kunjung-mengunjung di rumah. Ini hanya dilakukan antar sanak famili. Maka, yang berjualan kembali membuka lapaknya. Mereka yang memiliki toko membuka lagi gerainya. Juga pasar Omben yang baru saya lewati ramai dengan jual beli.

“Ada yang butuh, maka kami layani,” begitulah yang muncul dalam benak. Saat ini apa yang mereka butuhkan tersedia juga.  Meski di hari raya, mereka siap melayani. Semua tersedia dengan harga yang setara.

Sepanjang jalanan, berpapasan dengan kendaraan bermotor dengan nomorpolisi yang menunjukkan domisili diluar Madura. Mereka pada “toron” merayakan idulfitri dan menyambung kembali tali silaturrahmi. Laju kendaraan perlahan meninggalkan halaman; Omben, Temoran, Meteng, Pangundung, Madulang, Badung,Pangbatok, Panagguwan, Jambiringin, Propppo, Samatan, Nylabuh, Bugih, Gadin, Gladak Anyar, Kolpajung, Nyalaran, Blumbungan, Maddis. Desa-desa yang dilintasi. Desa yang tertanam dalam benak dan selalu kami lewati setiap berkunjung ke rumah nenek. Jarak yang tak terlalu jauh, takkurang dari 30 kilometer bentangan.

Melewati pasar Madulang, orang-orang berpakaian baru, anak-anak,remaja,tua dan muda tumpah ruah ke jalanan. Bunyi petasan bersahut dengan gelak tawa anak-anak yang kegirangan telah mengagetkan beberapa perempuan disekitarnya. Pedagang bakso, rujak, soto ramai melayani pembeli. Ya tak ketinggalan muda-mudi tengah beraksi menunjukkan kekasih mereka. Tellasan yang selalu memberikan cerita berbeda di setiap tahunnya.
Tanah-tanah tumbuh bangunan rumah di sepanjang tepian jalan.Perubahan yang terus bertumbuh, menindih lahan pertanian. Bukit-bukit dikepras, dijualpasirnya.pohon-pohon ditebang dijualkayunya. Tanah-tanah dijual didirikan bangunan di atasnya. Desa-desa tumbuh menyusul kota yang angkuh.

Bukit-bukit teah kehilangan pohon. Seperti bukit di sebelah timur rumah nenek tak ada lagi pohon ‘Polai” tebing-tebingnya diruntuhkan dijual pasirnya.  Sumur yang dulunya menjadi sumber mata air keluarga di rumah nenek, telah lama mengering. Rumah-rumah tumbuh. Orang-orang tumbuh dengan berbagai aktivitasnya. Jalanan aspal diperlebar dan kian mulus memperlancar laju mobilitas antar daerah.  Gerak akseleratif yang ditopang dnegan kemajuan teknologi informasi dalam genggaman tangan.

Skitar pukul 14.05 kami tiba di rumah nyah Rihah.  Semua sedang berkumpuldi teras rumah sambil bercengekrama bersama putra-putrinya. Suasana yang selalu hadir dan membekas dalam ingatan saya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.  Rumah ini juga tumbuh ke arah barat dan ke arah timur dan di ujung barat halaman rumah berdiri kokoh “Kobhung” tempat shalat keluarga atau ketika melakukan hajat mengundang tetangga dan sanak famili. Rumah yang teduh di antara pepohonan dan selesir angin kemarau.

Tak ada yang berubah dari atmosfer rumah ini. Pohon-pohon dan perdu menjadi pagar batas halaman; nangka, kelapa, jambu air, jambu biji, kembang sepatu, mangga, kanitu dan banyak pohon semak yang tak kukenal namanya. Pohon-pohon yang merindangi rumah Nyah Rihah, membuat iklim di rumah ini menjadi sejuk dan nyaman.

Bahagia menyelimuti kami semua, meski sebulan yang lalu dirundung duka dengan meningalnya saudara Susmiyati. Tapi kami ikhlas dan selalu mengiriminya doa semoga diampuni segala dosa dan diterima segala amal baik yang akan menjadi temannya di alam baka. Dengan kunjungan semacam ini kami berupaya merajut persaudaraan dan pertalian kerabat semakin erat setelah moyang-moyang kami meninggalkan alam fana. Setidaknya kami masih berkeumpul ketika ada acara khaul kematian,  pernikahan anggota keluarga, dan hari raya.

Di kampung Maddis, masih terdengar bunyi petasan seperti bunyimeriam bersusulan. Mercon retengan yang dibuat sendiri. Untaian mercon dari ukuran kecil sampai ukuran terbesar jadi satu ikatan beruntai,sehingga ketika salah satu mercon yang kecildisulut,maka secara berantai dan meletuskan untaiaan mercon yang suaranya terdengar semakin memebsar dan bunyi terakhir sebagai penutup memiliki dentuman bagaimeriam. Tidakmustahiljika mereka mengeluarjan biaya jutaan rupiah untukpesat mercon rentengan semacam ini.  Tradisi ini masih hidup di kampung Maddis.

Tak lama, kami disuguhi soto ayam kampung. Soto buatan nyannyah yang sedap. Suguhan yang selalu kamitunggu setiapberkunjung ke rumah Nyannyah di hari raya. Meski sudah tua, nyannyah masih terlihat sehat dan cekatan. Beliau berpesan, kalau kami harus tetap rukun, menjalin tali siaturrahmi supaya hubungan kekeluargaan tetap terjalin.

Inilah soto ayam kampung kami, soto ayam Madura. Potongan ketupat, suhun, suwiran daging ayam kampung, gorengan bawang poutih, gorengan cambah, dan potongan telur ayamkampung menyeruak aroma gurih dan sedap. Aroma yang membukakembali memori berpuluh-puluh tahun yang lalu,ketikakami masihkanak, merasa senang dan nikmat menyantap soto ayam yang tidak setiap hari kami makan. Puluhan tahun lalu ketika jaman masih tidak enak,ketika perekonomian keluarga ayah masih kembang- kempis. Kenangan ketika memori rasa kami belum dikontaminasi soto Lamongan.

Usai menyantap soto, kami sholat ashar di kobung yang ada di ujung barat halaman. Tempat yang kembali mengingatkan masa kecil, ketika tempat itu juga berfungsi untuk menanmpung tidur anggota keluarga laki-laki yang sudah dewasa dan belum berkeluarga. Sehingga di bagian depanya dilengkapi dengan penutup yang bisa diangkat dan diturunkan untu menahan  angin kencang yang berseliwer di halaman.
Kami berpamitan untukmelanjutkan silaturrahmi ke keluarga yang lain,ke rumah Nom Wafa (alm).  Ke arah selatan tepat di bawah bukit dan tanjakan jalan yang menikung.  Ternyata, ke rumah Joko Rabsodi dan Didik terlebih dahulu. Saudara-saudara sepupu yang dulu masih sangat akrab dan saling bersilaturrahmi ketika paman-pamanku masih lengkap. 

Memasuki halaman rumah Joko dan Didik, semua memori masa lampau kembali bergerak, memutar waktu. Ketika kakek dan nenek, Anom dan Nyannyah masih lengkap. Rumah yang riuh dan selalu menebarkan kisa saat bertemu sepertilebaran saat ini. Ingatan yang kembali menghadirkan kakek yang mantan opas (polisi) dengan kedisiplinan dan ketegasannya.  Serta Nenek yang penyabar dengan cucunya yang nakal dan yatim serta piatu. Ya, beliau yang mengasuh sepupu-sepupu yang ditinggal oleh Ibu dan Ayahnya karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Semoga Allah  mengasihi dan memberikan tempat yang indah di sisiNya.
Kenangan ketika halaman ini dirindangi oleh mangga golek dan pohon jeruk sedangkan di tebing timur halaman rumah pohon “Pao Tabar” yang kecildan manis. Pasti,setiapmusim berbuah tiba,kami akan dibekali oleh-oleh satu glangsing buah mangga,hasilpanen di halaman rumah dan di tegal milik  nenek.  Mandi bersama di sumber mata air yang ada di seberang jalan . Kini sduah kering kehilangan sumber mata air.

Di rumah Joko, kami dihidangi rengginang, jagung goreng, es godir,dan es manis dibungkus  plastik. Kami tak lama bermaaf-maafan,sedikit berbagi kabar dan pindah ke rumah di seberang jalan rumah Nom Wafa (alm). Kami bertemu dengan anak-anak Nom Wafa dan si bungsu Iqbal, kini menjadi siswa baru di SMP  Negeri 2 Pamekasan. Sementara Ana, baru memasuki bangku Perguruan Tinggi.

Kalau di rumah Nom Wafa, pastinya Lek Nur akan menyediakan makan besar; nasi, semur daging dan ayam.  Yang terasa khas dilidah bumbunya yang terasa manis dan gurih . Kami tak bisa makan banyak karena lambung sudah terisi soto ayam. Kami harus menghargai sajian yang ada untukmencicipi karena kalau tidak mencicipi akan mengecewakan tuan rumah.

Tak terasa sinar matahari mulai redup,gerakmatahari condong ke arah barat seakan mulai mengintip pintu sore.  Jam digital menunjukkan angka  16.45 w.i.b. Kami bersiap pulang ke Omben. Kami berpamitan, dan melanjutkan  perjalanan  pulang.  Jalan ke arah Pamekasan,ramai terutama oleh kendaraan roda dua. Mereka yang baru pulang dari bersilaturrahmi dan berkreasi di berbagai tempat wisata. Dari arah Pamekasan belok kanan menuju pusat kota ke munomen Arek Lancor depan masjid Syuhada belok kiri lurus menuju arah Omben.

Perjalanan agak terganggu memasuki wilayah Panagguwan  sampai pangbatok. Di kanan kiri jalan muda-mudi,dan orang dewasa berbaur dengan pakaian anyar yang menarik. Mereka merayakan idul fitri dengan beremai-ramai  berkumpul, Ada yang berbagi cerita ada yang tengah memesan makanan Bakso dan Rujak. Sedangkan sebagian lagi anak-anakkecilmembeli balon pada penjual mainan yang ada di lokasi. Suara petasan menjadi jeda di antara percakapan dan gurauan mereka. Saat ini  kami dapat melihat aneka model gaun dan celana serta model rambut yang paling mutakhir. 

Desa-desa yang kami lewati dengan para penghuniya telah berubah secara perlahan dan pasti. Perubahan gaya hidup yang merekaperoleh dari mobilitas mereka keluar daerah dari kampung halaman atau diperoleh dari telpon pintar yang ada dalam genggaman tangan mereka.  Mereka tengah menunjukkan perubahan identitas mereka  yang terus bergerakmendekatai kota lewat akses infrastruktur jalan yang makin mulus, dan alat transportasi  (sepeda motor dan mobil) yang semakin mudah diperoleh.

Lima kilometer menjelang rumah. Keramaian mulai terlihat lagi hala yang sama dengan keramaian sebelumnya. Berkumpulnya massa di  pasar Madulang dengan aneka aksesoris tubuh . Sepeda motor dengan aksesorisnya dan nomorpolisi yang menunjukkan mereka adalah para perantau yang pulang kampung. Mereka yang sebelas bulan mengerahkan  tenaga danpikirannya menyambut kerja untuk mengumpulkan materi dan saat ini mereka menikmatinya, berbagi dengan teman. Mereka pendistribui perekonomian perkotaan ke kampung halaman.Hasilkerja keras mereka tumpah kembali saat “toron”,pulang kembali ke kampung halaman.

Dua puluh meter dari pasar ada konvoi sepeda motor.Makin dekat raung suaranya kian keras memekakan telinga.  Tak salah, ada sekitar seratus motor yang dipimpin oleh tiga orang pemuda  menuntun sepeda motornya dengan suara gas yang ditarik ulur meninggalkan suara geronggong gaduh menabuh gendang telinga. Di belekangnya dengan warna kaos serta tulias yang sama. Tulisan yang menyudut ke kiri atas warna merah di dasar kaos yang berarna putih. Nama yang menunjukkan  kemlompok mereka.

Mereka meminta perhatian sejenak bagi warga sekitar dan orang-orang  yang berpapasan dengannya. Raung suara yang menimbulkan ketakutan bagi yang berpapasan.Namun seutas senyum dan gelak tawa terlepas di antara mereka. Senyum ynng menyapa bagi pengedara yang berpapasan dengannya.

Saya  tidak tahu, apakah mereka bekerja di jalan yang benar. Apakah mereka yang menjadi penggagu pengendara di jalanan di tempat mereka merantau. Atau mereka mengusik ketengana warga di suatu kampung. Mereka adalah saudara-saudara saya. Anak bangsa yang meminta perhatian dari sekitarnya termasuk juga negara. Pmerintah tidak pernah menanyakan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.  Persoalan apa yang mereka temukan di tanah rantau.
Saya menyebut mereka adalah petarung yang ingin mempertahankan diri dari perubahan-perubahan yang terus mendesak dan menyeretnya. Ada dari mereka yang terseret menjadikan dirinya  motor yang taklagi menggunakan hati nurani. Mereka menggerakkan hidupnya hanya untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah ini kegagalan dunia pendidikan membangun karakter anak didiknya? Entahlah karena karakater paling dasar di bangun di dalam rumah. Apakah kegagalan rumah tangga dalam mendidik putra-putrinya? Tak tahulah. Ini cerminan anak-anak muda yang ada di kampung-kampung saat ini.

Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah. Pikiran saya buyar dan mendapati matahari telah tertelan ufuk barat. Memerah beriring suara sholawat mualik di langgar sebelah.(Hidayat Raharja).
                                                Jumat, 17 Juli 2015. Lebaran hari pertama