Ing Ngarso sung tulada
Ing madya mangun karsa
Tut Wuri Handayani (Ki
Hadjar Dewantara)
Inilah semangat yang membakar Ki
Hadjar untuk membangkitkan pendidikan. Senmangat yang penuh tauladan dan
kearifan sehingga semua bisaberperan dan berfungsi untuk memajukan
masyarakat-bangsa melalui dunia pendidikan. Sebab, melalui
pendidikan harkat dan martabat manusia lebih berharga.
Jangan dihitung seberapa besar pengaruh dengan
semangat yang dinyalakan oleh Ki Hadjar, sarat filosifis yang menginspirasi
perkembangan pendidikan yang berpihak kepada rakyat kecil dengan Pendidikan
Taman Siswa yang didirikannya. Penidikan yang lebih menakankan kepada
pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga guru bukan hanya
menjadi pentransfer ilmu tetapi berperan sebagai “tulada”yang bisa dicontoh
oleh peserta didik dan juga masyarakat disekitarnya.
Maka, di Hari Pendidikan yang kita peringati setiap
tanggal 2 Mei sepatutnya apabila kita merenung kembali filosofi pendidikan yang
berbasis kebangsaan dan ke Indonesiaan. Hal ini amat penting mengingat
perkembangan pendidikan diera globalisasi dan induatrialisasi nilai-nilailuhur
yang pernah diusung Ki Hadjar seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk komersialisasi
pendidikan yang berhitung modal dan peruntungan finansial.
Renungan ini bukan tanpa alasan, ketika orientasi guru
sebagai pilihan profesi bukan lagi sebagai pengabdian semata, tetapi juga
sebagai tempat menggantungkan dirisebagai sumber penghidupan yang layak. Terutama
ini menjadi penting ketika guru mendapatkan tunjangan profesi pendidik sebesar
satu kali gaji membuat “iri”para
profesi lain yang juga memilkiki peran dan pengabdian besar untuk memajukan
bangsa. Tidak sedikit orangtua yang menyuruh anaknya untuk memasuki pendidikan
profesi guru.
Pertama, pergeseran profesi guru yang semula berorientasi
pada pengabdian pada masyarakat modern berkembang sebagai profesi yang
mendapatkan upah atau bayaran sesuai dengan ketentuan berlaku. Sehingga guru
lebih berperan sebagai pentransfer ilmu yang dibatasi oleh waktu dan jam kerja.
Perkembangan yang juga memisahkan profesi dengan pribadi. Artinya tidak semua
guru mampu menempatkan diri sebagai tauladan sebagai mana juga yang ditetapkan
dalam kompetensi guru. Hal ini lumrah dan menjadi jamak ketika seorang guru
melakukan tindakan amoral atau asusila, semisal perselingkuhan dan perjudian
atau juga penipuan.
Kedua, dalam perkembangannya bukan hanya lulusan lembaga pendidikan
keguruan yang bisa menjadi guru tetapi juga dari fakultas non kependidikan
(ilmu murni) dengan mengambil akta
mengajar (akta IV) dan pada waktu yang akan datang semua yang memiliki
sertifikat pendidik bisa menjadi guru. Hal ini berkeadilan karena semua
memiliki kesempatan dan paluang yang sama. Namun, pengaruhnya sangat besar
dalam realitas di lapangan. Guru yang berasal dari non kependidikan ini
seumpama perambah hutan yang mengusai dasar dan detail keilmuan dibandingkan
dengan jurusan kependidikan, sehingga dalam beberapa kasus yang saya temui
guru-guru yang berasal dari ilmu murni memeiliki bekalkeilmuan yang lebih
banyak sehingga lebih kaya dan menarik sajian yang diberikan kepada peserta
didik.
Jika terjadi demikian, lebih baik jurusan atau
fakultas pendidikan ditutup diubah menjadi ilmu murni sebab nantinya semua
lulusan atau sarjana yang ingin menjadi guru harus mengikuti pendidikan
keahlian untuk mendapatkan sertifikat pendidik. JIka dibirkan dapat dipastikan,
lulusan pendidikan keguruan akan kalah wawasan keilmuannya dibandingkan dengan
merekayang berasaldariilmu murni yang mengambil sertifikat pendidik.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan masih banyak yang kurang
sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pelanggaran yang membebani
biaya pendidikan bagi wali murid. Menjual buku pelajaran, memungut biaya dalam memberikan
bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan. pada hal
pengggunaan buku paket atau buku pelajaran (Pasal 181 PPNo.17 Tahun 2010) .
Sementara dalam Permendikas no 11 Tahun 2005 Pasal 7
(1) Satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks
pelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling sedikit 5 tahun.
(2) Buku teks pelajaran
tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila:
a. ada perubahan standar nasional pendidikan;
b. buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri.
Penjualan buku paket
disiasati penerbit dengan memberikan revisi pada materi tetapi secara esensi
tetap sama. Bahkan ada beberapa penerbit
yang mampu memberikan bonus bagi sekolah yang mampu membeli dalam skala besar.
Sehingga diam-diam bisnis ini menjadi bisnis yang menguntungkan bagi guru dan
pihak sekolah.
Maka tidak berlebihan jika pada peringatan hari pendidikan
2 Mei, kita merenung kembali dan merentang jalan lurus sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku, sehingga dunia pendidikan benar-benar menjadi pemberdaya
(bukan memberdayai) peserta didik sehingga menjadi manusia yang bermartabat.
Mengembalikan peran guru sebagaimana yang dicitakan
oleh Ki Hadjar bukan hanya sekedat pendidik tetapi bisa juga berperan sebagai
pemberi tauladan,seorang pekerja yang berkarya, dan mampu memberikan dorongan
atau morivasi sehingga peserta didik berkembang, maju, berdaya, dan bermartabat
sehingga mampu mengaktulisasikan diri di tengah persaingan masyarakat global.*****(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar