Translate

Kamis, 17 Mei 2012

Bedah Buku "Talken Koneng" di Aula STKIP PGRI Sumenep


Bedah buku “Talken Koneng” himpunan puisi Alfaizin Sanasren berlangsung di Aula STKIP PGRI Sumenep pada hari Kamis,17 Mei 2012. Acara ini sangat meriah dihadiri sekitar 400 orang yang memenuhi aula dan sebagian karena kekurangan tempat duduk lesehan di depan panggung. Pembedah, Hidayat Raharja dan pembanding Syaf Anton WR  dengan moderator Mahendra.
 Foto.1: Alfaizin, Mahendra, Hidayat Raharja, Syaf Anton WR

Pembukaan diawali dengan sambutan ketua panitia, menyampaikan bahwa acara bedah buku ini merupakan salah satu kegiatan rutin di STKIP PGRI Sumenep. Kali ini adalah bedah buku yang sangat menarik, karena lebetulan buku  kumpulan puisi yang dibedah karya Alfaizin pengajar di STKIP. Sementara Ketua STKIP Bapak Drs. Musaheri, M.Pd. menyampaikan bahwa acara bedah buku ini sangatpenting untukmengembangkan kemampuan inteletual,berdebat,dan berdiskusi bagi para mahasiswa. Sebab,dalam diskusi semacam ini dapat terjadi sharing atau pun perbedaan pendapat yang bisa menambah wawasan keilmuan.
 Foto.2:Alfaizin mebaca puisi "TAlken KOneng" mengakhiri acara bedah buku
Usai acara pembukaan bedah buku diawalidengan pembacaan salah satu puisi “Sanasren” yang ada dalam kumpulan “Talken Koneng” oleh Mahendra. Pembacaan yang penuh penghayatan membuat suasana dalam ruang mencekam,semua terpesona, dan diakhiri dengan tepuk tangan yang membahana. Usai baca puisi, Mahendra menjadi moderator diskusi bedah buku meminta Hidayat Raharja untuk membedahnya. Penyair dan juga guru di SMA 1 Sumenep ini mengupas tentang mantra dalam masyarakat tradisi yang lebih banyak berkenaan dengan kegiatan ritual penyembuhan, pelarisan, balas dendam, pengasihan ataupun juga yang berhubungan dengan kematian.tetapimenurutnya kata “Mantra” terus bergerak memasuki perkembangan peradaban dan dalam masyarakat modern mantra tak lagi membutuhkan media kembang tujuh rupa,daun sirih atau pun asap dupa. Mantra masyarakat modern membutuhkan media teknologi untuk menyampaikan mantra cinta kepada kekasihnya atau mantra pelarisan bagi konsumennya. Dia juga menyinggung bahwa dalamperkembangan teknologi mantra “Iklan” mampu menjejali pikiran konsumen sehingga terpegaruh untuk membelimeski tak tahukegunaan dan kepentingan barang yang dibelinya. Orang makan di Kentucky atau di Mc. Donald bukan lagi sekedar memenuhi rasa lapar tetapi juga telah berkembang menjadi gaya hidupmasyarakat urban.
Mantra dalam puisi-puisi Alfaizin, sebagian mampu bersimbosis dengan kata-kata baru sehingga mampu membentuk makna baru yang terlepas dari beban makna asal. Sebagaimana dalam puisi “Talken Koneng” yang mampu memperbaharui makna kematian wadag atau jazad menjadi kematian nafsu atau syahwat. Kedua,sebagai dari kata-kata mantra yang dipergunakanya bersilang dengan kata-kata baru tetapi tidak mampu menghasilkan hibrid yang fertil (kaya makna),melainkan hanya sebuah turunan yang mandul,terbebani oleh makna lama. Hal ini bisa dirasakan pada puisi “Sihir” kata-kata yang ada hanya sebuah narasi penjelas terhadap ritual sihir itu sendiri.
Syaf Anton WR sebagai pembanding lebih banyak menyampaikan tetnag mantra bagi masyarakat Jawa dan di Madura.bahwadiamsasilam mantra itu memiliki makna dan fungsi yang signifikan dalam kehidupan. Mantra untuk kekebalan tubuh, ataupun untuk pengasihan. Yang sangat menarik menurutnya tak ada mantra dalam bahasa Madura yang terdokumentasi dengan baik sehingga metnyulitkan peneliti dalam mendokumentasikannya. Ia memberikan beberapa contoh folklore yang kaya dengan bahasa mantra yang puitis,namun kini kehilangan wujud, tak lagi hidup dalam masyarakat.
Lebih jauh dia menjelaskan kalau puisi-puisi Alfaizin berhasil mengawinkan Mantra dalam puisi sehingga menjadi sesuatu yang unik,karena penyair mampu meleburnya dalam pemaknaan yang baru.Penyair berhasil membangun kata-kata mantra yang smeula sangar, mencekam,menjadi sebuah nyanyian puitikal yang menggairahkan. Mantra-mantra yang menakutkan berubah menjadi cinta bagi sesama manusia.
Acara diskusi semakin menarik, dengan tiga sesi yang diberikan oleh Mahendra sebagai moderator. Hampir seluruh audiens terpukau kepada mantra, sihir dan puisi.Bahkan bebrapa di antaranya menganggap beberapa puisi Alfaizin sangat rawan karena masih menggunakan kata-kata mantra yang asal, dan memungkinkan memberikan efek yang buruka bagipembaca dan pendengarnya. Namun penyair yang kuga hadir dalam bedah buku menyampaikan bahwa apa yang dihasilkannya merupaan hasil proses kreatif yang pengaruhnya akan berbeda,takkan sama dengan pengaruh awal. Sekitar pukul 12.00 bedah buku diakhiri dengan pembacaan puisi “TalkenKOneng”oleh Alfaizin sang penyair.*****(HR)

Tidak ada komentar: