Oleh: Hidayat Raharja[2]
Buku sehimpunan puisi seorang kawan penyair
Alfaizin Sanasren dengan judul “Talken
Koneng”. Buku dengan tebal 50+xiv halaman ini dipenuhi
dengan puisi-puisi mantra yang diangkat dan berangkat dari perjumpaanya dengan
naskah-naskah mantra (Madura) pemberian leluhurnya.
Mantra adalah bahasa pertama yang muncul dalam tradisi masyarakat sebagai bahasa komunikasi paling sublim untuk berbagai kebutuhan komunikasi. Dalam masyarakat Madura
masa silam, Mantra banyak diperguakan untuk berbagai
keperluan; penyembuhan, kekebalan, sihir,kejantanan, perdagangan, pekasihan
atau percintaan dan juga dalam hubungan kelamin. Suatu fungsi praktis dalam kehidupan sesuai
dengan kebutuhannya.
Bagi masyarakat Riau
mantra di antaranya diyakini sebagai penakluk buaya. Sebuah tradisi yang
menjadi muasal tradisi yang kemudian diangkat kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri ke dalam puisi mantra. Bahasa mantra yang
kemudian melompat ke dalam bahasa puisi. Bahasa yang kemudian menjadi bangunan
kata-kata yang mebawa dirinya, sehingga menjadi sebuah tafsir yang lain. Tafsir
yang berada diluar makna kata-kata asal. Sebuah lompatan dalam puisi-puisi
Sutardji CB, dan tiba-tiba menjadi musikal, menggeram, syahdu, sakit,atau
berontak keluar dari makna yang disandangnya. Kekuatan mantra yang kemudian
bergerak dan mengeram dalam puisi-puisi sutardji.
Kata pertama adalah
mantra, demikian ujar Sutardji Calzoum Bachri. Sebuah ungkapan yang mencoba melapaskan
kata-kata dari beban makna. Kata-kata yang dibiarkan bebas menari jumpalitan
dalam teks puisi yang dibangunnya untuk kembali sebagai kata dan membiarkan
pembaca untuk membacakan tafsirnya. Sebuah pembebasan yang memerdekakan pembaca
untuk memaknai, atau membuangnya karena tidak membutuhkannya.
Dalam hidup kekinian
mantra terus menyihir ruang publik dalam berbagai bentuk aktualisasinya. Mantra
iklan telah menjejali pikiran para konsumen untuk membeli barang yang tak dibutuhkannya.
Iklan makanan menipu rasa kerumunan massa untuk memilih makanan bukan pengisi
lapar tetapi sebagai bagian dari gaya hidup urban yang mesti makan di Kentucky Fried
Chicken (KFC) atau di Mc.Donald (Mc.D).
Sehimpun puisi yang
berjudul “Talken Koneng” adalah
sebentuk reaktualisasi mantra Madura yang bermetamorfosis dan memberikan bentuk
dan pengaruh lain dari muasalnya. Perkembangan makna dan fungsi yang luput dari
perhatian kita ditengah serbuan mekanisasi industri yang melupakan kita pada
esensi. Kata-kata adalah kekuatan dalam sebuah mantra seperti halnya beberapa
kata yang menjadi penguat dalam puisi-puisi Alfaizin,antara lain: Huuummma, hum, hu’, siur, buh, sir, asapdupa,
jerengkong, dhammong gurjem, kaf ha ya ain shot, lam, duh reduh, sah sih sah
sih, kullu nafs, manhar,injangganjing, leng
alengleng, kun, bis, sin jin, semar pulang, ling keiling, lam alif.
Di dalam pemanfataannya
kata-kata mantra bisa sampai pada tujuan dengan mempergunakan beberapa media
sesuai dengan maksud mantra ditujukan; Kafan,
paku, boneka, asapdupa, rerempahan pekuburan, sirih, kembang tujuh rupa, janur
kuning, gambir, sirihkuning, air mawar, daun dadap, Media yang menjadi
penyampai sekaligus maksud. Untuk pengasihan, pelarisan, balas dendam atau
menyakiti orang lain, atau mendamaikan orang berselisih adalah mantra-mantra
dalam masyarakat Madura yang mungkin sudah tak dikenal lagi ketika teknologi
dan alat komunikasi menjadi media penyampai yang cepat dan akurat, sebab bisa
sampai ada tujuan. Bahkan dengan aneka bentuk produk layanan yang diberikan
oleh jasa telekomunikasi kita bisa berhubungan dengan orang yang tak dikenal
yang kemudian menjadi teman dan bahkan kekasih.
Sekumpulan puisi dalam “Talken Koneng” adalah puisi-puisi
Alfaizin yang semula dipublikasikan dalam catatan facebook dan direkomendasikan untuk beberapa temannya. Sebenarnya
merupakan sebuah bentuk aktualisasi mantra yang semula merupakan komunikasi
batin jarak jauh menjadi komunikasi terbuka yang tak lagi dibatasi atau
disekati oleh jarak dan waktu. Inilah yang saya katakan sebagai reaktualisasi
bahasa ‘mantra” dalam perkembangan teknologi komunikasi. Suatu idiom mantra
yang kemudian beralih ke dalam bentuk puisi sebagai komunikasi dengan orang
diluar dirinya. Komunikasi yang kemudian direspon dengan komentar, mengulang
kembali kata atau bahasa yang menarik, dan atau menambahkan dengan kalimat baru.
Dalam kumpulan
puisi “Talken Koneng” beberapa mantra telah diprotoli dan dipelintir
menjadi sesuatu dengan makna yang lain. “Unik”nya
pada beberapa puisi, kata-kata mantra tersebut tetap dalam bentuknya yang
kemudian bersimbiosis dan bersilangan dengan kata-kata baru yang datang dalam
diri penyair. Bersimbiosis, karena kata mantra tersebut mampu membangun
komunikasi yang baru, sehingga keluar dari makna dan tujuan awal. Namun kadang
gagal dalampersilangan karena tak mampu menghasilkan hibrida yang fertil selain
sebuah keturunan yang bernasib mandul dan tak berdaya. Simbiosis dan
persilangan yang kadang membayangkan
pada keberhasilan Darmanto Jatman dalam menyilangkan bahasa Jawa, Indonesia
dan Inggris dalam bangunan rumah puisinya yang terasa lapang dan terbuka untuk
menerima segala.
Talken berkenaan dengan
kematian manusia awalnya adalah sebentuk sihir untuk memanggil kematian
seseorang dengan aneka laku dan ritual yang dilakukan oleh penujum dengan puasa
dan membuat boneka kain yang diikat dengan kain kafan dan ditusuk dengan paku,
jarum, pada bagian tubuh tertentu yang
diinginkan. Paku-paku yang dihujamkan ke organ-organ vital dalam tubuh yang
dipetakan pada sebuah boneka kain. Si penyihir akan memanggil-mangil nama
korban sembari menghunjamkan paku membacakan mantra kematian. Sesuatu yang kadang membangkitkan wingit, cemas,
takut, menjadi sesuatu “wirid” yang menenangkan. Dari kematian jazad berubah
menjadi kematian nafsu.
Kengerian mantra
kematian berbalik arah di tangan Alfaizin menjadi sebuah ritual musikal yang
ritmik dan mengubah panggilan kematian jiwa pada kematian nafsu: hum, hum,
huuuuumma,/datang, datang, datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas
kekuningkangn tembaga/ tiga puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradang-radang/legamsaga
barabara/berkelokan/ memungut letup garammulutku berkutub/ huuummma,/ datanglah
kepadaku/ aku tuntaskan wujudmu/ maut tubuhmu/maut nafsumu// (Talken Koneng, halaman 1)
Mengapa membunuh nafsu?
Ya manusia lahan subur nafsu, birahi, serakah, ambisi jabatan, kekuasaan,
dengan berbagai jalan dan cara dikerjakan. Nafsu serakah dengan berbagai siasat
yang terus berkelit sebagaimana para pemimpin rakus yang penuh nafsu dan ambisi
mempergunakan kesempatan yang ada. Video porno para anggota dewan adalah nafsu
birahi khewani yang memang pantas untuk dimatikan. Nafsu kelelakian dan
kehilangan harga diri kaum perempuan yang tak mampu menjaga harkat dan
martabatnya.
Nafsu lelaki adalah
kitab kelelakian yang selalu terbaca dan selalu terulang dalam kehidupan. Dalam
sejarah tardisi hadrilah mantra pekasihan untuk
menaklukkan cinta perempuan.
Pekasihan yang memunculkan memoripanjang sehingga menangis bagai “semar tangis”
atau meronta bagai “jaran Goyang”.
Tuah mantra yang mendebarkan dan menakutkan karena siapa pun akan bertekuk
lutut dan menyerahkan seluruh kepasrahan. Namun dalam “Kitab Kelelakian” ada ingatan baru yang ditumbuhkan tidak hendak
meletakkan kebirahian itu dalam sebuah dialog baru;/ telah
aku kunci sembilan lubang di tubuhmu/ lubang dzubur/lubang kelamin/lubang
pusar/lubang hidung/ lubang mulut/ libang telinga/ juga matamu//lubanglubang
tanpa rasa/tanpa detak/ tanpa sukma/ (halaman 3)
Kaum perempuan sebagai
kaum pemuja tubuh. Sebuah mantra semacam ”letrek”,
“Susuk” yang menyungsang pandang para lelaki. JIka susuk itu ditaruh di
pelupuk mata, maka siapa yang dipandang atau menatapnya akan jatuh cinta. Pun
juga ketika kartu letrek itu dimainkan tak
ada lelaki yang bisa kembali pulang ke rumah atau keluarga. Dia akan
tersesat dalam rumah tubuh perempuan yang menaklukkannya./ gurjem,pandang tubuhku/matamu silau kemilau/mengigau bila tak
berucap/ diam kalangkabutan/ (ayat-ayat
pemuja tubuh, halaman 15)
Dari bebrapa puisi
daamkumpulan ini dapat ditarik dalam dua ranah, pertama mantra yang mampu
bersimbiosis dengan kata-kata baru dan bisa keluar dari makna awal,makna yang
memberikan aneka tafsir bagi para pembaca dari berbagai sudut dan pengalaman
ritual.
Kedua, mantra hanya
merupakan persilangan dengan kata-kata dan tak bisa melepaskan diri dari beban
yang disandang sebelumnya. Persilangan kata yang tidak bisa menghasilkan hibrid
yang fertil (kaya makna), tetapi hibrid yang mandultakberdaya menyandnag beban
maknamanteran yang takmampu dilepaskannya. Dalam kasus ini kata-kata mantra
berndingan dengan kata-kata yang lain tanpa bisa bersimbiosis dan melebur untuk
menemu makna baru. Ini terlihat pada puisi “Sihir”(halaman 24) narasi yang
menegaskan tentang waktu dan bagaimana sihir dijalankan.Ini yang saya katakan
takbisakeluar ke makna yang baru.
Hal ini memang amat
berbeda dengan Pola yang dibangun Sutardji CB yang juga berangkat dari sebuah
mantra. Keberbedaan yang sebenarnya dapat menjadimodal Alfaizin untuk
berjelajah lebih jauh dalam pengembaraan kreativitas.
Bila Alfaizin masih
terishir dengan kata mantra, sementara Sutradji CB lebih menukik kepada ruh
mantra yang kemudian dijadikan nyawa untuk menggerakkan kata menemukan dirinya
sendiri, untuk melepaskan beban makna yang disandangnya, sehingga memberikan
ruang yang lebih luas bagi para pembaca untuk memberikan tafsir. Mantra yang
liar, brutal, sadis,dan kadang menggiris menjadi ruh dalam menggerakkan pola
dan bentuk puisi-puisi Sutardji seperti dalam “O Amuk Kapak” yang kadang asimetris,berhamburan,atau
sesekali seperti barisan yang rapi menuju suatu tujuan.
Sesungguhnya diantara
sekian banyak mantra yang hidup dalam kumpulan “Talken Koneng” adalah
keberanian bermain-main dengan percintaan secara meluas. Kadang terasa komikal
dan musikal dengan adanya repetisi mau pun dengan permainan bunyi yang mirip
kadang terasa liris dan menghentak.
Percintaan dan kematian
dua sisi mata uang yang saling melapisi. Jika percintaan itu dilakukan dengan
dilandasi nafsu dalam sebuah perselingkuhan maka lambat dan pasti akan
membawanya pada “kematian”. JIka politisi akan mematikan karier politiknya.Jika
pejabat akan jatuh dari singasana,mati jabatan yang diagungkannya. Jika tokoh
masyarakat akan diasingkan dari tengah khalayaknya, “mati” wibawanya.
Apabila cinta itu
dilakukan dengan tulus dalam sebuah pernikahan, akan mematikan nafsu badani dan
syahwat ke dalam sebuah cinta yang tentram. “Talken Koneng” tidak lagi untuk takluk-menaklukan, melainkan
berselagu dalam sebuah nyanyian mantra
kehidupan; cinta, lelaki, perempuan, pernikahan, nafsu, kematian dan
keabadian. Membaca buku ini seperti membaca
kelebatan masa silam yang menakutkan dan mendebarkan dalam sebuah lompatan ke masa
kini yang penuh tegangan, canda, dan kenakalan-kenakalan dalam bahasa yang
kadang sulit dimengerti atau tak ditemukan dalam kamus. Tersebab, karena bahasa
puisi lebih dekat ke dalam hati.*****(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar