Guru SMA Negeri 1 Sumenep (Ki-Ka) : Dewi Istiwatie,M.Pd, Dra.Istiqimah, dan Dra.Yayuk Ribut SR |
Oleh: Hidayat Raharja |Pendidik dan Pelaku Kebudayaan
Perubahan kurikulum adalah hal yang pasti, sebagai upaya
untuk mengikuti perkembangan sains, teknologi dan seni serta tuntutan kebutuhan
masyarakat. Akan diberlakukannya kurikulum 2013 di awal tahun pelajaran yang
akan datang menimbulkan pendapat pro dan kontra, namun rupanya pemerintah
(kementrian) berkukuh untuk tetap menyelenggarakannya. Keresahan para guru
bukan tanpa sebab, karena banyak yang belum tahu perubahan apa saja dalam
kurikulum.
Secara filosofis kurikulum 2013 berbasis kepada nilai-nilai luhur, nilai
akademik, kebutuhan peserta didik dan
masyarakat. Sementara perubahan kurikulum lebih berorientasi kepada
pengembangan kompetensi.
Salah satu hal yang menarik dalam perubahan kurikulum adalah penyempurnaan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai budaya
bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa. Begitu pentingkah metode
pembelajaran? Bagaimana membangun karakter dari nilai budaya bangsa? Ragam
metode pembelajaran adalah bentuk cara-cara penyampaian materi supaya efektif
dan mudah dipahami oleh peserta didik. Metode pembelajaran yang berpusat kepada
murid (active learning), dan populer
disebut dengan cara belajar siswa aktif.
Pendekatan semacam ini sebenarnya telah dikenalkan semenjak kurikulum 1984, pendekatan
pengajarannya berpusat pada siswa melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA
adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dan diarahkan
pada perkembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pilihan
strategi dan metode pembelajaran sebagai upaya penganeka ragaman pembelajaran,
sesuatu yang membutuhkan kemampuan berpikir analitis dan kritis. Berpikir
analitis terhadap kondisi dan situasi peserta diidk dan fasilitas belajar yang
tersedia di sekolah, sehingga secara kritis mampu menentukan materi dan metode
yang tepat dan efektif dalam penyajian pembelajaran, dan menyenangkan bagi
siswa yang tengah belajar. Tidak mudah menjadi pelayan (fasilitator) tanpa ada
kesiapan dan kesungguhan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan potensi
pribadi siswa yang beragam.
Kerapkali
keterbatasan fasilitas dijadikan sebagai alasan untuk menyajikan pembelajaran
yang baik dan bermutu.Pada hal keterbatasan menyimpan potensi kreatif bagi yang
mau berpikir anakitis dan kritis. Tidak sedikit kawan-kawan guru yang berada
didaerah terpencil dengan fasilitas terbatas mampu memanfaatkan alam dan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar yang menyenangkan. Seorang kawan guru
SMA yang sekolahnya berada di dekat hutan menjadikan hutan yang dipenuhi
tanaman anggrek sebagai sumber belajar biologi mengenai keanekaragaman dan
pengklasifikasian makhluk hidup. Seorang guru fisika yang mengajar di daerah
pinggiran kota Sumenep dengan segala keterbatsannya mampu memanfaatkan benda di
sekitar untuk melaksanakan pembelajaran secara efektif dan menyenangkan.
Kertarikan peserta didik terhadappermainan peran dapat dijadikan sebagai salah
stau pilihan cara belajar dengan metode Role
Playing.
Tidak
ada yang tidak mungkin bagi seorang guru untuk mengembangkan potensi diri dan
potensi peserta didik sehingga berkembang dan lebih maju.Maka,upaya untuk melaksanakan
kurikulum baru (2013) yang dicanangkan Kemenerian Pendidikan dan Kebudayaan
adalah hal yang lumrah untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan yang berkembang
di tengah masyarakat di di dunia global. Namun yang patut diperhatikan adalah
upaya-upaya untuk mengembangkan keprofesian guru sebagai ujung tombak
penyelenggara penerapan kurikulum di lapangan. Sebab, penggampangan terhadap
urgensinya pengembangan ini akan bisa menghambat terhadap penyelenggaraan
kurikulum 2013.
Mengubah
sikap guru dalam hal pilihan metode dan strategi pembelajaran bukan hal mudah,
sebab: (1) Guru di sekolah, tidak
sedikit yang sudah merasa nyaman dengan apa yang telah dilakukanya. Mereka jika
dikenalkan dengan metode-metode pembelajaran mutakhir seringkalimenganggap
ribet. Juga beranggapan yang penting nilai peserta didiknya bagus, metode tidak
penting. Sikap seperti ini hanya menganggapsiswa sebagai obyek. Pada hal setiap
peserta didik adalah sosok yang unik sehingga kebutuhan mereka berbeda,
sehingga memerlukan cara metode yang berbeda. (2) Perubahan pola atau cara
mengajar sehingga proses belajar berpusat kepada murid membutuhkan latihan atau
kebiasaan sehingga dalam upaya pengenalan kepada guru bukan secara teoritis
tetapi secara praktik. Terlalu sering penataran mau pun workshop mengenai
pembelajaran kreatif dan menyenangkan,
namun semua masih berpijak kepada teoritis. Juga setiap pelatioah atau
workshop jumlah pesertanya sampai ratusan orang.Jika demikian maka workshop itu
adalah hal yang sia-sia, omong kosong akan mampu membekali guru sebagai peserta
yang jumlahnya demikian banyak.(3) Seringkali ketika sampai di lapangan
(sekolah) upaya yang dilakukan oleh guru untuk memperbaharui metode dan cara
mengajanya tidak mendapatkan dukungan dari teman guru yang lain, sehingga membutuhkan
kesabaran lebih untuk bisa meyakinkan guru-guru yang lain. (4) Tidak
penghargaan dari sekolah terhadap guru yang berbuat lebih bagus daripada guru
yang biasa-biasa saja. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, sebab kerja kreatif
itu menuntut kesadaran sang guru untuk senantiasa mencari tantangan baru.
Mereka yang selalu kelauar dari zona aman untuk mencari tantangan dan
kesuksesan yang lain.
Jika
guru sudah melakukan perubahan tidak sulit untuk mempengaruhi murid dalam cara
belajar. Guru sebagai fasilitator akan mampu mengelola murid sesuai dengan
kondisi dan latar belakang budaya. Artinya budaya lokal yang tumbuh dan
berkembang di sekitar peserta didik dapat jadi pertimbangan dalam pengembangan
pembelajaran. Mulai dari budaya yang ada disekitar lingkungan sekolah, keluarga
atu pun masyarakat.
Pembentukan karakter berbudi
pekertiluhur dan berakhlak mulia, sebagaimana tujuan ideal diamanatkan
Undang-Undang Sisdiknas. Tujuan yang menjadi kewajiban dari setiap guru mata
pelajaran untuk melakukan implementasi pembelajaran yang mengembangkan karakter peserta didik.
Sangat disayangkan ketika persoalan pengembangan karakter dan akhlak mulia
peserta didik hanya ditudingkan kepada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaan
(PKn) dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Jika bertolak dari Undang-Undang
Sisdiknas,maka menjadi kewajiban setiap mata pelajaran untuk
mengimplementasikannya.
Kearifan lokal merupakan salah
satu sumber daya untuk membangun karakter peserta didik, baik dalam etika,
estetika, maupun dalam hubungan sosial antar sesama manusia atau dengan
lingkungannya. Hampir di setiap daerah ada kearifan yang perlu diaktualkan
sehingga kemajuan dalam persaingan global tetap memiliki ciri lokalitas yang
menjadi identitas kebangsaan. Guru kerap kali lupa bahwa membangun pengetahuan
peserta didik secara konstruktif akan lebih bermakna sebab hal yang diperoleh
dibangun dan dihubungkan dengan oengalaman nyata yang pernah di alami atau
nyata di tengah kehdiupannya. Pada suatu kesempatan seorang guru Bahasa Indonesia
di sebuah madrasah Tsanawiyah membuat buku pegangan sendiri dengan mengambilosa
kata dan benda-benda yang ada dilingkungannya sebagai bahan pengajarannya.
Sebuah upaya untuk mengenalkan pesrta didik terhadap kosakata bahasa indoensia
benda yang ada di lingkungannya. Persoalan-persoalan yang diambil adalah
persoalan – persoalan lokal dan kemudian dihubungkan dengan persoalan yang
lebih luas.
Tidak sedikit pula
persoalan-persoalan lokal yang menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan
pengetahuan. Sejarah masa lampau telah membuktikan bahwa pengetahuan dalam
bidang pengobatan yang dilakukan oleh nenek moyang kita telah dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah. Maka tak ada salahnya jika pengobatan
herbaltradisional tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber pengathuan dalam
bidang kesehatan, misalnya. Menjadikan pengetahuan (kearifan) lokal sebagai
sumber belajar bukan bermaksud kita kembali hidupke jaman dahulu,tetapi
menjadikan pengathuan masa lampau tersbeut sebagai wawasan(pijakan) untuk
diaktulisasikan pada saat ini dan dikembangkan untuk menghadapi tantangan masa
depan.
Maka,tidak ada alasan bagi guru
untuk mengimplementasikan dalam setiap mata pelajaran. Implementasi tersebut
akan selalu berkait dengan perilaku guru sebagai pelaksana pembelajaran,
artinya untuk menumbuhkan karakter
kepada peserta didik harus diawali dari karakter guru yang baik sehingga
dapat meberikan tularan yang baik terhadap siswa. Persoalan pengembangan
karakter adalah persoalan perilaku bukan persoalan teoritis yang bisa dituliskan
bagus di lembaran kertas namun tercabik-cabik saat diimplementasikan dalam
realitas kehidupan.
Sangat disayangkan ketika
upaya-upaya pengembangan karakter peserta didik didengungkan di berbagai
kesempatan di saat yang sama masih ada guru-guru yang berbuat cela dengan
melakukan kekerasan fisik bahkan kekerasan seksaul terhadap murid yang
seharusnya diayomi dan dibimbingnya.
Sudah saatnya guru bersiap untuk
melakukan perubahan, baik perubahan kurikulum yang akan menjadi haluannya pada
saat melakukan pembelajaran mau pun perubahan personal dan profesional sehingga
bisa bertindak profesional dan memberikan manfaat bagi kemajuan pendidikan dan
kemajuan bangsa. Perubahan yang mampu menyiapkan peserta didik untuk berani menghadapi
tantangan hidup sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya di waktu yang akan
datang.
Perubahan kurikulum memberikan banyak harapan akan
perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, meski pada kenyataannya ide bagus
dan tujuan mulia tersebut kerap tersungkur di lapangan. Implementasi kurikulum
akan bersintuhan langsung dengan guru-guru yang berhadapan langsung dengan
peserta didik. Apabila guru sebagai ujung tombak tidak memiliki
kecakapan-kecakapan profesional sebagaimana yang dipersyaratkan maka tidak
tertutup kemungkinan strategi dan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) akan kembali terjeremus kepada
plesetan Catat Buku Sampai Abis. Kenapa demikian? Semua berkenaan dengan
kemampuan dan kemauan guru untuk mengembangkan diri baik dari sisi penguasaan
materi sebagai syarat profesionalisme mau pun penguasaan paedagogik. Bukan hal
yang mudah, ketika guru-guru yang ada di sekolah hanya menjadi sebagai
pentransfer ilmu dan menganggap dirinya selalu lebih tahu daripada peserta
didik. Guru belum bisa bertindak sebagai fasilitator yang melayani klien
(peserta didik) untuk mengembangkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar