Oleh :
Hidayat Raharja | Pendidik dan Pelaku Kebudayaan
Apa sebenarnya yang menarik dari sebuah karya sastra? Apa
manfaat yang diperoleh dari sebuah karya sastra? Pertanyaan yang selalu
berkecamuk ketika karya sastra
diperjuangkan mati-matian bahkan sampai menimbulkan perselisihan hanya karena
tidak disebut sebagai karya sastra. Perdebatan yang berpusar kepada dikotomi karya
sastra dan populer. Ada sementara yang
menganggap karya populer lebih rendah dari pada karya sastra. Perdebatan
semacam ini takkan pernah usai sebab kedua berangkat dari ranah yang berbeda.
Karya-karya Habiburrahman ElZirazy (kang Abik) yang
fenomenal dengan novelnya “Ayat-Ayat
Cinta” dan Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi dalam berbagai
diskusi didedahkan sebagai karya populer dan kering nilai sastra. Keduanya hanyalah karya yang diketegoriakn
sebagai novelmotivasi yang mampu memberikan spirit dalammencapai kesuksesan di
antara keterbatasan yang ada.
Munculnya perdebatan tersebut sebenarnya telah
menggerakkan dinamika pemikiran dunia sastra dan penulisan kreatiuf di
Indonesia. Kenapa? Saya sangat
terkesan ketika pada suatu waktu bertemu dengan Kang Abik (Habiburrahman) saat
melakukan launching Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Pamekasan. Saat itu saya
tanya apamotivasi kang Abik menuliskan novel Ayat-Ayat Cinta – dengan gamblang
dia menjelaskan bahwa sebenarnya diawali dari sebuah kegelisahan banyaknya
novel-novel remaja (teenLit) yang menyerbu bacaan dunia remaja. Dia khwatir
dengan hadirnya bacaan novel asing terejamahan mempengaruhi pada perilaku
remaja. Secara kebetulan hadirnya Ayat-ayat Cinta dapat mengisi kejenuhan
bacaan di dunia remaja dan menjadi booming dan digemari.Novel tersebut telah
menjadi bahan kajian ilmiah dalam tuigas akhis skripsi yang dikerjakan oleh
mahasiswa sastra Indonesia.
Popularitas novel Ayat-ayat Cinta diterjemahkan ke
berbagai bahasa dan bahkan dibuat film
layar lebar serta secara berseri ditayangkan dilayar televisi. Popularitas yang
kemudian memberikan banyak keuntungan bagi penerbit dan produser tak terkecuali
juga keuntungan finansial bagi pengarangnya Habiburrahman El-Zirazy. Namun
keuntungan yang diperoleh bukan dipergunakan untu kesenangan pribadi tetapi
digunakan untuk membangun asrama pesantren. Keuntungan yang kemudian
diperguankan untuk memberdayakan masyarakatnya.
Tidak jauh berbeda dengan Laskar Pelangi – karya
Andrea Hirata. Karya tersebut semula dedikasikan untuk Bu Muslimah guru di SD
Muhammadiyah Belitong. Namun manuskrip naskah itu kemudian dikirimkan ke
penerbit dan ternyata tertarik untuk menerbitkannya. Novel ini menarik
perhatian pembaca, karena mengangkat kearifan lokal. Larisnya novel Laskar
Pelangi juga mengagetkan Andrea, sebab dia tak menyangka akan menjadi novel best seller. Bahkan secara jujur dia
mengatakan saat itu bahwa dia tidak banyak mengenal karya sastra.Dia seorang
ekonom yang mencoba menuliskan pengalaman dan impiannya, tulisan yang kemduian
banyakmemberikan motivasi dan inspirasi bagi pembacanya. Dia kemudian masuk ke
dalam sebuah industri perbukuan sampai memutuskan keluar dari pekerjaannya.
Sebuah pilihan yang kemudian menyibukkan dirinya bukan
hanya sebagai pengarang tetapi juga menjadi musisi dengan menciptakan lagu
“Cinta Gila” yang dinnyanyikan oleh kelompok band “Ungu” melengkapi kehadiran Andrea dalam
dunia industri. Bahkan juga buku Laskar Pelangi
diterjemahkan ke panggung musik dalam sebuah opera musikal “Laskar Pelangi” begitu populernya Laskar
Pelangi. Disadari atau tidak Andrea Hirata telah masuk ke mesin Industri
perbukuan di Indonesia,juga industrimusik yang telah memberinya banyak
keuntungan secara finansial. Sebagian royalti buku dan film Laskar Pelangi
digunakan untuk membuka bimbingan belajar gratis bagi anak-anak SMA di Belitong
yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi,sebagian lagidipergunakan untuk
membangun perpustakaan, serta menggerakkan budaya masyarakat sehingga bisa
beralih dari masyarakat buruh menjadi masyarakat pariwisata. Sebuah penyadaran
ketika tambang timah tinggal lubang galian dia berupaya untuk mengalihkan
masyarakat ke industri pariwisata. Film laskar pelangi yang diangkat dari novel
dengan judul yang sama mampu menarik para wisatawan untuk menikmati eksotisme
pulau Belitong.
Novel Laskar Pelangi sebagai novel populer amat
menarik untuk ditelaah dan ditelusuri.Bila sebagian orang mencermati dari
khazanah kesastraan dan dinilai sebagai karya yang kering nilai sastranya. Di
sisi lain novel “Laskar Pelangi” memiliki makna penting sebagai karya sastra
yang memberikan kontribusi budaya bagi masyarakatnya. Dengan dikenalnya pulau
Belitong sebagai daerah yang “eksotik” banyak wisatawan yang datang dan bebrapa
tradisi budaya lokalkembali dihidupkan di antaranya adalah bahasa Belitong.
Namun juga karya yang tergoloang ke da;am kanon sastra
juga banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.Novel “Korupsi” karya
Pramoedya Ananta Toer (1953) yang
menceritakan balada koruptor. Enam puluh tahun lalu kasus korupsi telah
menggelisahkan sastrawan karena dirasakan sangat merugikan bagi negara dan rakyat.
Cerita yang megisahkan seseorang yang semula jujur, tergiur oleh beberapa rekan
yang melakukan tindak korupsi.Coba-coba korupsi dan kemjudian mencari
pemebenaran-pembenaran untuk terus melakukannya.
Maka ketika novel dipertentangkan sebagai yang populer
atau sebagai kanon sastra adalah sesuatu yang lumrah sebab pada keduanya
tedapat tempat dan masyarakat penikmatnya. Sastra populer tidak sellau jelek
sebab didalamnya dapat terbenam nilai-nilai inspiratif sehingga bisa memberikan
inspirasi bagipembacanya. Diibaratkan sebagai makanan ada makanan populis yang
bisa dinikmatioleh semua lapisan masyarakat, namun juga ada makan khas yang
disukai oleh kelompok tertentu. Keduanya sama-sama bisa menikmati apa yang
disantapnya. Persoalan nikmat adalah persoalan selera, sehingga lebih bersifat
subyektif. Maka,sebenarnya pertentangan akan menjadi sesuatu yang bermakna
ketika ditempatkan sebagai dinamika pemikiran yang saling melengkapi. Sastra
atau kah karya populer yang penting adalah bagaimana karya itu diniatkan dan
seberapa besar kontribusinya bagi perubahan. Bahwa di dalam sebuah karya sastra
baik cerpen, novel atau pun puisi sebenarnya adalah sebuah upaya untuk
mengalihkan dunia realitas ke dalam dunia rekaan, dunia ideal yang diimpikan semua.
Sumenep, 19 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar