Translate

Senin, 26 Maret 2012

Guru, Ketulusan, dan Keterbukaan

Pada suatu ketika saya didatangi oleh seorang wali murid. Kedatangannya adalah untuk melaporkan kepada kepala sekolah bahwa ada salah seorang guru (teman saya) yang memberikan nilai tidak ssuai dengan hasil ujian yang diperoleh si anak. Orangtua siswa tersebut sdah mendatangi rumah Bu Guru yang dimaksud untuk meminta hasil pekerjaan anaknya. Sebuah upaya untuk memastikan bahwa nilai yang diberikan guru tersebut sesuai dengan perolehan hasil belajar anak. Namun, sayang Bu Guru tidak bisa menunjukkan hasil ujian si anak, dan bahkan mengatakan bahwa berkasnya sudah tidak ada.

Orangtua siswa tersebut datang ke sekolah untuk melaporkan Bu Guru yang dianggapnya tidak adil dalam memberikan penilaian. Namun sayang, pada saat itu Bapak Kepala Sekolah sedang berada di luar kota. Aku diminta teman-teman untuk menemuinya, karena orangtua siswa itu dalam keadaan emosi. Teman guru BK yang menemuinya ditolak, karena dia hanya mau bertemu dengan kepala sekolah. Akhirnya karena diminta oleh beberapa orang teman guru, aku menemui orangtua siswa yang berada di ruang lobby.

Di hadapannya aku utarakan, bahwa hari ini kepala sekolah sedang tugas ke luar kota, apabila ada hal-hal yang ingin disampaikan khusus kepada kepala sekolah, aku mengharap beliaunya datang esok pagi. Namun beliaunya menolak, karena kesibukannya. Aku tawarkan, jika tidak keberatan aku bersedia untuk menyampaikan keluhannya kepada Kepala sekolah. Sebelumnya aku menyampaikan banyak terimakasih kepada beliau karena mau mengutarakan permasalahan putranya ke sekolah, sehingga dengan demikian akan ditemukan jalan keluar, dan memberikan masukan yang berarti bagi sekolah untuk membenahi diri di dalam sekolah.

Mulailah si Bapak bercerita kalau bu guru putranya berbuat tidak adil. Anaknya merasa mampu mengerjakan soal-soal ujian, bahkan ulangan hariannya selalu mendapat angka di atas tujuh. Ujian semester juga bisa mengerjakan dengan baik, namun nilai yang tertera di dalam rapor hanya angka 7. Si anak tidak puas, dan orangtua mencoba mencari tahu kepada Bu Guru pengajar. Namun jawabannya tidak memuaskan. Bu gur u tidak mampu menunjukkan bukti hasil ujian semester yang katanya jelek. Ketika orangtua siswa ingin melihat hasil ujian semester, Bu guru beralasan kalau berkasnya ada dalam tumpukan berkas dalam lemari. Sulit untuk mengambilnya. Orangtua siswa tersebut berupaya kepada Bu Guru untuk bisa melihat hasil ujian anaknya. Namun, hasilnya hampa belaka.

Orangtua siswa itu meluapkan emosinya di hadapanku. “Masa di jaman keterbukaan seperti saat ini, masih ada guru yang tertutup dan merahasiakan nilai siswanya. Bukankah hak siswa untuk mengetahui hasil ujian yang diperolehnya. Dengan mengetahui hasilnya siswa bisa introspeksi diri untuk memperbaiki cara belajarnya, sehingga dapat meninkatkan hasil belajarnya. “ Orangtua siswa itu begitu berapi-api menyampaikan kekesalannya, dan hal itu cukup aku pahami. Aku memberikan respek terhadap orangtua siswa tersebut, karena beliau adalah salah satu orangtua yang peduli terhadap pendidikan anaknya. Apa yang dilakukannya adaah merupakan sebuah hak yang harus diperoleh setelah beliau memenuhi kewajibannya sebagai orangtua siswa.

Aku berterimaka kasih kepada orangtua siswa tersebut. Orangtua macam inilah yang dibutuhkan untuk memajukan sekolah. Oragtua yang peduli terhadap kemajuan belajar anaknya dan ingn mengetahui perkembangannya. Sangat disayangkan emmang, apabila guru menutup diri untuk memberikan hak-hak yang harus diterima oleh siswa atau orangtua siswa. Karena proses belajar juga tidak mungkin tanpa melibatkan orangtua siswa. Keterbukaan, kejujuran adalah kunci keberhasian belajar siswa dan juga kemajuan guru dalam pembelajaran.

Bapak, andai semua guru bisa bersifat terbuka dan bisa bekerja sama dengan orangtua siswa betapa menyenangkan. Interaksi antara guru dan orangtua siswa terjadi secara harmonis dan informasi perkembangan anak dapat diketahui oleh orangtua murid setiap saat adalah idaman dan dambaan setiap pengguna jasa layanan pendidikan. Hal itu bukan sesuatu yang mahal dan tidak mungkin. Idaman semacam itu hanya membutuhkan keterbukaan si guru dan kelapangan dada untuk berbagi dan menerima masukan dari orang tua murid sebagai klien.

Setelah panjuang lebar aku dengarkan keluhannya dan aku tanggapi secara positif. Aku dukung apa yang dilakukannya, kemarahan yang mengwali perjumpaan kami berubah menjadi suasana yang nyaman. Kami kemudian saling tertawa dan kemudian berbagi alamat, dan beliaunya mengajakku untuk mampir di rumah makan yang dimilikinya untuk menyantap menu yang disediakannya.

Aku semakin yakin betapa besar manfaat ketulusan dan keterbukaan bagi seorang guru untuk memajukan pendidikan anak-anak yang dibinanya.

Tidak ada komentar: