Translate

Senin, 26 Maret 2012

Menulislah dari Hal yang Paling Dekat

Sebuah Catatan Harian:

Tidak akan pernah terlupakan saat itu, saat mengajak anak-anakku belajar menulis. Umumnya mereka mengeluh tidak bisa menulis. Pertanyaan yang selalu muncul: Berapa halaman, Pak? Apa temanya? Betapa kegiatan menulis selama ini mereka jadikan beban. Pada hal seandainya percakapan mereka dengan teman karibnya yang berlangsung setengah jam, dipindahkan ke dalam teks woow…. beberapa halaman akan sudah tertulis.

Menghadapi berondongan pertanyaan yang disodorkan anak-anakku, aku berpikir bagaimana menulis tidak menjadi beban dalam kehidupan mereka. Kuajak mereka untuk menuliskan hal yang paling menyenangkan dalam kehidupan mereka atau hal yang paling menyedihkan atau menjengkelkan. Pilihan semacam itu dilatari bahwa anak-anakku akan benyak cerita yang akan dituang jika berkenaan dengan hal yang menyenangkan atau hal yang menyusahkan.

Waktu pun dimulai. Setiap anak boleh memilih tempat di luar ruangan atau tetap di dalam ruangan. Pak saya akan menulis tentang sepak bola. Pak, saya akan menulis tentang sejarah, pak saya akan… Banyak usulan yang akan mereak tuliskan. Tulislah, yang penting kamu harus memulai dari hal-hal yang paling dekat dengan diri kamu, sehingga kamu menguasai persoalannya dan tidak kesulitan untuk memaparkannya.

Waktu terus bergerak, dan kulihat anak-anak itu begitu menikmati kegiatan menulis. Ada yang duduk di lantai, di luar ruangan, dan ada pula yang menulis seabari diiringi dendang musik dari Hand Phone mereka. Semuanya menulis. Waktu 30 menit, tidak lama. Maka, semua tugas pun dikumpulkan. Semua menyerahkan hasil tulisannya. Ada yang hanya setengah halaman, ada yang sampai satu halaman. Aku tata lembaran tugas itu, sambil aku baca judul yang dituiskan mereka.

From Six to Five” salah satu judul yang dituliskan salah seorang anakku; Dony Arisandy. Judul yang sangat menarik, kare4na berbeda dengan teman yang lain. Judul itu mencuri perhatianku untuk membacanya sejenak. Sebuah penglaman Dony dengan diberlakukannya full day di sekolah tempatku mengajar. Dia bercerita bagaimana dia mempersiapkan diri ke sekolah semenjak pukul 06.00 pagi sampai kemudian balik ke rumah pukul 17.00. Pengalaman baru yang melelahkan baginya. Dengan cara sederhana, dia menjelaskan kecapaian tubuhnya berada di sekolah sampai sore hari. Ada beban yang kemudian dilepaskan dalam tulisan.

Beda dengan Wiillibrodus yang menyenangi olah raga sepakbola, dituliskannya mengenai sepakbola.”Bisnis dalam Sepakbola” judul tulisan yang dibuatnya. Dengan singkat dalam satu lembar kerts dengan tulis tangan diceritakannya bagaoimana sepak bola sebagai cabang olah raga yang menjadi lahan bisnis. Sepakbola yang dikemas dalam sebuah entertain sehingga disitu kita bisa melihat sebuah dance (tarian), music, dagangan (sponsor), jual-beli pemain. Tulisan yang cukup menarik mengingatkanku pada kemeriahan pertandingan sepakbola yang selain berfungsi sebagai bisnis yang menghibur, juga menumbuhkan semangat kebangsaan. Semangat yang dimiliki para pendukung Tim Nasional PSSI yang tetap dibanggakan meski tak pernah menang.

Usai menata seluruh hasil pekerjaan anak-anakku, sampai di rumah aku baca ulang. Aku urutkan tulisan mereka dari yang paling menarik. Aku beri catatan kecil kelebihan dan potensi yang bisa dikembangkan dlam tulisan itu. Dari beberapa ide yang aku baca, sesampai di tempurung kepalaku, ide tersebut berbiak lagi, sehingga menghasilkan ide baru dalam tulisanku. Kenyataan yang meyakinkan asumsiku bahwa setiap oarang pada dasarnya bisa menulis, hanya kerena mereka tidak berani untuk memulainya. Buktinya anak-anak yang semula keberatan itu terbukti bisa mengungkapkan ide dan pengalamannya.

Pada pertemuan berikutnya naskah yang telah aku baca dan koreksi, aku kembalikan lagi kepada mereka. Kemudian satu per satu dari mereka diminta untuk membacakan tulisannya di depan kelas, dan menceritakan latar beakang ide dalam tulisannya. Suasana kelas jadi riuh dan mereka memberikan applaus setiap temannya selesai membacakan tulisannya di depan kelas. Bahkan, ada salah seorang siswa yang dicap “nakal” oleh beberapa orang guru tidak percaya kalau tulisannya memiliki keunikan. Eko, anak yang dioanggap “Nakal” ternyata memiliki ide yang liar dan spontan, sehingga ada sesuatu yang saya rasakan lain dengan teman-temannya. Tidak salah jika ada sebuah adagium menyatakan bahwa kenakalan seorang adalah sebuah kecerdasan atau kreatvitas yang dimilikinya.

Beberapa tulisan yang aku pilih kemudian aku minta diketik kembali oleh mereka dan kemudian filenya aku satukan. Aku kumpulkan jadi sebuah buku, diberi ilustrasi , dan hard cover. Buku itu kemudian aku simpan sebagai dokumen ditaruh di perpustakaan sekolah. Aku hanya ingin mendokumentasikan tulisan mereka, siapa tahu bisa memberikan manfaat dan ide bagi teman-temannya yang membaca di perpustakaan.

Tidak ada komentar: