Perahu,Karya Hidayat Raharja, 1994. |
Pelajaran menggambar adalah mata pelajaran yang amat menyenangkan bagiku. Aku merasa senang karena guru gambarku ketika masih
Sekolah Dasar amat menghargai karya siswa apapu
bentuknya.Aku mamahami kalau kegaiatan menggambar baginya bukan menjadikan
anak-didiknya menjadi seorang pelukis atau
semacamnya, tetapi menjadikannya sebuah pelajaran untuk mengeksplorasi
keberanian mengungkapkan melalui media gambar. Setiap
gambar baginya adalah bagus, sehingga tidak ada anak merasa takut untuk menggambar. Jadilah aneka macam gambar dengan anekamacam cerita.
Setelah selesai menggambar, guruku akan menyuruh
setiap anak untuk menceritakan gambar yang telah dibuatnya. Suasana kelas jadi
riuh dengan berbagai cerita,dan kadang ceritanya mengalahkan keindahan gambar
yang telah dibuatnya. Jadilah aku senang menggambar, kadang “ngeblat“ gambar yang kusukai dengan cara
mengunakan minyak tanah yang dioleskan kepermuakaan kertas sehingga tembus
pandang dan gambar yang akan ditiru ditaruh di bawah kertas yang telah transparan.
Aku menyadari kalau pada saat itu kegiatan menggambar
adalah kegiatan belajar yang benar-benar penuh dengan kegiatan kreatif dan
rekreatif. Kegiatan kreatif, karena kami bersama teman-teman diajak untuk
menggunakan (menaklukkan) bahan yang ada. Papan tulis bisa kami gunakan media
menggambar secara bergantian. Kertas yang warnanya kekuningan dengan kualitas
yang amat buruk produksi kertas “Letjes”. Pada saat itu merupakan media yang
amat mewah. Kadang aku menggambar di permukaan tanah sembari bercerita mengenai
apa yang aku gambar. Menggambar menjadi kegiatan rekretaif, karena yang
dituntut bukan hasil bagus atau jelek, tetapi bagaimana aku dan teman-teman
berproses dan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan yang telah dibuat.
Kadang aku dan teman-teman menirukan gambar yang ada
lembaran kertas yang dijual di halaman sekolah.kertas bergambar petinju
Mohammad Ali yang bertarung dengan Ken Norton.Kertas tersebut merekam gambar
pertarungan selama dua belas ronde dan menjadi bahan mainan yang menarik bagi
teman spermainanku karen masih sangat jarang televisi di kampungku.
Tak kalah menariknya ketika pelajaran menggambar tiba,
guru kami sering menyuruh kami untuk menggambar di luar kelas.Gambar anak-anak yang
tengah bermain di halaman sekolah, gambar penjual makanan dan minuman yang ada di samping
gedung sekolah, atau gambar perbukitan yang ada di sebelah selatan gedung
sekolah dengan anekapohon buah yang memenuhi lereng bukit. Kalau menggambar
pemandangan temanku Sawir, jagonya. Teapi kalau menceritakan hasil gambar, Raheman
jagonya. Aku sendiri hanya senang menggambar, menirukan gambar yang sudah ada.
Ketika menggambar, aku seperti menemukan ruang baru
untuk menembus batas kejenuhan dan menemukan ruang baru untuk menumpahkan
segala yang mengganjal dalam pikiranku. Saking senangnya kadang smapai di rumah
gambar-menggambar mengisi di antara waktu belajar. Karenanya, aku kadang
dimarahi ayahku.
Aku bayangkan kelak akan menjadi pelukis. Tetapi, selalu
dinasehati ayahku untuk tidak menjadi pelukis, karena pelukis hidupnya tak
jelas. Ya, di lingkungan tempat aku tinggal tak ada pelukis. Kakekku melukis
kaligrafi diatas kaca (lukisan kaca) hanya menjadikan aktivitas tersebut
sebagai hobi untuk mengisi waktu luang di antara kesibukannya sebgai pegawai
pengairan. Tetapi aku membayangkan, betapa enaknya menjadi pelukis, bebas
mengekspresikan ide kedalam bentuk dan warna, memajang karyanya, ditonton
orang, dikerubuti media massa dan di kenal orang. Keinginan itu selalu ada dan
selalu menghentak jantungku sesekali waktu.
Keinginanku untuk bisa menggambar kian menggebu ketika
melihat kepala sekolahku – Bapak Abdullah Fagi menggambar candi Brobudur dan
Prambanan dengan mempergunakan alat gambar dan tinta hitam. Lukisan hitam-putih
di atas kertas karton, kemudian dipigora dengan bilahan bambu dan dengan
cantelan kawat digantung di dinding ruang kelas dijadikan media belajar
sejarah.
Bila malam tiba usai belajar mengaji di langgar, aku
dan teman-teman biasanya menggamabr di atas aspal jalan dengan
mempergunakan batu putih yang biasanya
dijadikan bahan bangunan. Potongan batu tersebut dijadikan alat tulis untuk
menggambar di sepanjang jalan.Waktu itu amat memungkinkan, karena belum ada
penerangan listrik dan dilakukannya saat bulan terang di angkasa malam. Aku dan
teman-teman mengambar anekamacam tulisan grafiti di antara lukisan yang dibuat
di aspal jalan. Grafiti yang muncul hampir seragam, biasanya tulisan di jalan
dijadikan olok-olok untuk teman yang lain. Waktu itu, umumnya anak laki
danperempuan telah dijodohkan oleh orangtuanya sewaktu masih kanak-kanak. Maka
jalanan menjadi media ungkap denga grafiti yang begitu menarik, karena
tulisannya tidakfromalsehiongga menimbulkan estetika tertentu.”BLiroh
BKL Muzakki”(salah satu contoh grafiti yang muncul di aspal jalan).BKL
merupakan singkatan dari “bakallah” (Madura) artinya
Tunangannya. Grafiti lainnya yang hadir adalah nama-nama yang mengidentifikasi
kampung atau kelompok tertentu.
Peristiwa dan pengalaman macam itu menguatkan aku
untuk bisa menggambar. Aku yakin dengan menggambar bisa menyampaikan sesuatu
lewat bentuk dan warna. Meski, kurang berkenan bagi orangtuaku, diam-diam aku
belajar menggambar sesuka hatiku. Namun lamunan untuk bisa menggambar dan
menjadi pelukis buyar berantakan ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP)
di kota Sampang.
*****
Pelajaran Menggambar (Kesenian) di SMP Negeri 1
Sampang memberikan pengalaman baru bagi aku, karena gurunya berbeda dan metode
mengajarnya berbeda. Seorang guru yang displin dan tegas kadang membuat aku
takut, karena ketika masih di Sekolah Dasar pelajaran ini amat santai dan
menyenangkan. Aku ingat betul diawali dari pelajaran menggambar bentuk benda
tiga dimensi. Gambar yang menyenangkan bagiku karena aku bisa membuatnya meski
tidak bagus. Di minggu-minggu berikutnya menggambar ornamen daun dan bunga
dengan mempergunakan pensil. Namun ketika disuruh menggunakan warna dan
pewarnanya ditentukan berupa ”Waterproof”,
aku tak menguasainya. Warnanya berlepotan sehingga melebihi kontur dan gambar menjadi rusak. Aku ulangi lagi membuat
sket dari pensil di lembaran kertas gambar yang lain. Aku mewarnainya dengan
sangat hati-hati supaya tidak melewati garis batas yang telah aku buat. Namun
karena jenis “waterproof” kualitas jelek,
maka yang muncul di permukaaan gambar seperti butiran tepung dengan warna pucat,
meski aku coba memilih warna cerah.
Habi,
teman sebangkuku tak lebih bagus, mengalami nasib yang sama, gambarnya
berlepotan dan warnanya meleleh melewati kontur pada ornamen yang dibuat. Dia
buat gambar lagi sepertiku. Namun malang bagiku, ketika guru gambar memeriksa
gambar yang aku buat, kepalaku kena jitak. Rupanya, guruku taksuka dengan warna
norak. Aku pilih warna merah, hijau dan kuning. Warna yang kerap aku lihat di
lingkunganku, bahkan dapat dikatakan warna tersebut warna favorit di daerahku.
“Orang gunung turun kota” kata guruku.
Namun aku tak risih meski sedikit jengkel, karena warna itulah yang selalu
mencolok mataku, jadi pilihan utama ketika aku memilih warna.
Aku jadi takut ketika pelajaran menggambar karena
teringat dengan jitakan di kepala. Maka, setiap pelajaran mengambar yang paling
aku rasakan adalah bagaimana secepatnya aku menyelsaikan gambar dan guruku tak
memeriksanya. Kalau guruku memeriksanya, pasti dia akan tersenyum sinis dan
keluar lagi ucapannya, warnanya norak. Aku menyerah, dan di akhir semester
nilai pelajaran menggambar (kesenian) di buku rapor=4,5,yanilai mepat setengah
(jaman segitu ada nilai tengahan).
Aku kecewa dengan nilai yang kuperoleh, tetapi apa
boleh buat, aku sudah dicap tidak bisa menggambar. Aku lampiaskan rasa tidak puas
dengan menggambar kesenanganku, gambar mickymouse
atau menirukan gambar kartun yang ada di koran “Jawa Pos” langganan ayahku. Aku
gambar karikatur Mario Kempes pesepakbola Argentina yang menjadi bintang
lapangan hijau di piala dunia pada saat itu. Aku gambar wajah Slamet Rahardjo,
Christin Hakim yang menjadi aktor dan aktris terbaik peraih pila citra Festival
Film Indonesia (FFI) saat itu. Apa pun
tugasnya gambar itulah yang aku serahkan.Sudah dapat dipastikan nilaiyang
kuperoleh takbergeser dari 4 dan 5.
Ayahku tidak marah,karena dia tahu kalau aku sudah
berusaha.Bahkan,diamemotivasi aku untuk belajar menggambar potret atau
pemandangan (lanskap).Tetapi aku hanya boleh latihan menggambar di hari minggu.
Saat sekolah di SMA, aku menemukan kembali keasyikan
mengggambar. Aku sekolah di SMA Negeri 1 Pamekasan. Aku ingat benar,pak Suharto
guru gambarku di sekolah.Beliau juga pelukis dan cukupdikenaldi kota
Pamekasan.Beberapaposter dan baliho dipinggiran jalan adalah karyanya.
Senangnya lagi, dia tidakmuluk-muluk dalam mengajar,tidak memaksa siswa
untukmenjadi tukang gambar atau pelukis, tetapimengajari siswadengan melukis
untuk bertanggungjawab dan menghargai karya seni. Cukupmenarik cara dia
menanamkan apresiasi bagi siswanya. Setiap karya yang sudah dinilai
dikembalikan lagi kepada siswa untuk disimpan, dan di akhir semester semua
karya yang telah dikembalikan dikumpulkan kembali (harus lengkap). Apabila
karya yang dikumpulkan kurang jumlahnya, maka akan dikurangi sebanyak jumlah
kekurangan. Sebuah upaya untuk menamkan sikap bertanggungjawab dan menghargai
karya seni. Dia pernah bilang bahwa penghargaan terhadap karya seni (atau
lainnya) harus dimulai dari diri sendiri. Jika diri sendiri tidak bisa
menghargai karya yang telah dihasilkan, bagaimana oranglain bisa menghargai.
Pesan yang selalu aku ingat dalam mengapresiasi karya seni. Sayang beliau hanya
mengajarku selama satu tahun.
Di tahun kedua,saat aku kelas 2 SMA, ada guru
menggambar yang baru-Bapak Helmy menggantikan pak Harto karena dia guru
pinjaman dari sebuah SMP di kota Pamekasan. Pak Helmy seorang guru muda yang
tampan dan sangat akrab dengan murid. Disini aku menemukan kembali kebebasan
kreatif dalam mengambar. Guru kreatif dalam bidang seni. Aku diajarinya
mneggambar hias batikdi atas. Aku diajarinya mneggambar hias batikdi atas
kertas dan kemudian permukaannnya dilapisi denganlilin supaya kedap air. Kami
diajarinya bikinpatung dari sabun batangan dan juga dari batu
bata.Hebatnyauntukmengapresiasikarya siswa, karya yang terilih akan
dipamerkan di akhir semester sebelum orangtua
murid mengambil rapor.
Aku senang karena setiappenugasan meski bukan yang
terbaik, karyaku terpilih untuk dimasukkan dalam materi pameran. Suatu ketika
materi ajarnya menggambar sketsa, makasemua siswa disuruh keluar kelas dengan
membawa perlengakapan buku gambar dan pensil. Semua siswa wajib keluar dan mencari
obyek yang akan digambar di lingkungan sekolah. Setiapsiswa diperiksa
perlengkapannya sebelumkeluar kelas.
Setelah enampuluh menit,siswa dimita kembali kedalam
ruangan dan beberapasiswa diminta untuk menceritakan apa yang telah digambarnya
diluar kelas. Dari sketsa kemudian dilanjutkan dnegan tugas rumah untuk mewarnai
gambar yang telah dibuat.Sungguh menyenangkan dan aku semakin intens untuk
melukis meski hanya di hari minggu atau senggang ketikatak ada ulangan. Dari
sini ketertarikanku untuk menggambar kian menggebu, namun sayang aku dianjurkan
orangtuaku untuk melanjutkan ke pendidikan Biologi bukan kependidikan seni
rupa. Namun disini pula aku menemukan banyak hikmah sehingga kemudian aku bukan
hanya senang menggambat tetapi juga senang menulis. (Hidayat Raharja).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar