Kongres Kebudayaan Madura
II kembali digelar setelah lima tahun kongres I. Kongers yang semula akan
dibuka olehPresiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri urung dilakukan karena
sesuatu danlain hal.Akhirnya kongres tersebut dibuka oleh Dewan Pembina Said
Abdullah Institute – MH.Said Abdullah
dengan membacakan sambutan (pidato kebudayaan) Mengawati. Pembukaan yang dihadiri sekitar 2000 undangan yang datang dari utusan
4 kabupaten di Madura serta beberapa undangan dari luar Madura.
Acara berlangsung sangat meriah dibuka dengan tari “Rokat Polay’ Koreografi Agus Gepeng dan penata musik
Iyan Perawas, kemudian dilanjutkan panduan suara – Ghai’ Bintang Voices
menyanyikan lagu “OlleOllang” dan “Ke’ rangke’” yang dinyanyikan oleh band
Plat-M. Acara tersebut disiarkan secara life di
TV-One dihadiri sekitar 2000 undangan yang datang dari berbagai kota dan dari luar daerah Madura.
Kongres akan berlangsung mulai tanggal 21-23 Desember
2012 di Gedung Zansibar dan Hotel Utami Sumekar dengan narasumber:
Prof.Dr.Mien.A Rifai, Dr. A. Latief Wiyata,Prof.A.Syukur Ghazali, M,Pd.,Wiwik
Afifah,dan D. Zawawi Imron. Acara seminardilkan dilangsungkan di hari jumat
pukul 19.00-22.00 diaula hotel Utami Sumenep dan pagi harinya sabtu (22/12)
dilakukan sidang komisi sampaidengan siang hari,meliputi Komisi: Bahasa dan
sastra, Budaya dan Pariwisata Madura, Komisi Perempuan, Suramadu dan Kebijakan
Publik. Sidang pleno dilakukan pada pukul15.00-17.00 WIB.
Seminar di malam hari berlangsung hangat dan penuh
keakraban dipandu oleh Abrari Alzael (Pemimpin Redaksi – Koran Madura) diawali
oleh Pemaparan Syukur Ghazali yang membeberkan pengeroposan bahasa Madura yang
antara lain disebabkan oleh serbuan bahasa prokem dan bahasa Inggris yang telah
diajarkan semenjak di bangku sekolah dasar,sedangkan bahasa Madura diajarkan di
SD dan SMP dengan segala keterbatasannya (sarana dan prasarana).
Keterpengaruhan
ini disebabkan bahasa Madura sendiri banyak yang mengadosi dari bahasa
Jawa, Melayu, Cina, Arab dan
Belanda,serta dalam perkembangannya takmampu beradaptasi dengan
perubahan-perubahan sains dan teknologi. Kendala lainnya adalah dengan
memanfaatkan bahasa Madura dengan sebaik-baiknya,sebab saat ini lembaga
pendidikan di Madura belum sepenuhnya memanfaatkan kearifan lokal.
Salah
satu alternatif untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Madura dibutuhkan
keberanian para penentu kebijakan di masing-masing kabupaten di daerah Madura
untuk mewajibkan Bahasa Madura sebagai salah satu mata pelajaran yang diampukan
di sekolah,mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas.
Berbeda
dengan penyampaian Mien A Rifai mengenai keberadaan Bahasa Madura yang kian
berjarak dengan masyarakatnya, karena bahasa Madura dengan unggah-ungguhnya
bersifat feodalistik. Konon, menurutnya kondisi ini menyebabkan anak muda
Madura enggan mempergunakan bahasa Madura, karena takut disalahkan oleh
orangtua karena tidak sesuai dengan tatanan penggunaan bahasa Madura yang
benar.
Alternatif
yang ditawarkan Mien A Rifai adalah dengan memasyarakatkan bahasa Madura
“Bagongan”yaitu bahasa Madura yang tidak memakai unggah-ungguh,atau bahasa
kasaran yang banyak dignakan oleh masyarakat. Hal ini lebih sesaui dengan kondisi
kaum muda saat ini di tengah perkembangan demokratisasi.
Jembatan
Suramadu,menjadi sorotan A,Latief Wiyata, sebab dia melihat kontras antara
suramadu di daratan Madura dan Suramadu di dataran Jawa (Surabaya).Di dataran
Surbaya secara ekonomis jauh lebih mapan.sedangkan di sisi pulau Madura, hanya
didominasi dengan lapak penjual sovenir yang berderet dan jenisnya sama,
sehingga terlihat sangat monoton dan seragam tak terlihat pengaruh dan
perkembangan Suramadu.
Tingkat
pendidikan, dan kreativitas serta mentalitas masyarakat amat berpengaruh
terhadapperubahan dan perkembangan Suramadu di kawasan Madura. Artinya perlu
penanganan yang terencana dan serius sehingga bisa berkembang baik secara
sosial mau pun secara ekonomi. Bila kita menelaah dan memaknai lagu “Olle
Ollang” yang diciptakan di masa lampau dan sampai sekarang masih populer
sebagailagu daerah Madura, dalam salah satu bait syairnya mengisyaratkan ‘Alajara ka Madura” berlayar ke Madura.
Makna yang meniscayakan Madura sebagai tujuan – Madura yang didatangi bukan
yang ditinggalkan.
Pembicara
terakhir D Zawawi Imron menyampaikan makalahnya yang taktercetak dalam kumpulan
Makalah mengenai “Kebudayaan Menghadapi Tantangan Masa Depan”. Kebudayaan harus
didialogkan untuk menghadapi masa depan. Jika tidak,maka kebudayaan akan
mati.Melaluidialog maka komponen-komponen kebudayaan akan berinteraksi yang
cocok akan tersu berkembang dan yang tidak cocok dengan sendirinya akan
ditinggalkan.
Jika
di negara barat ada culture exebition maka yang hadir adalah Teknologi. Pada
awal perdebatan mengai tradisi dan modernisme Sutan Takdir Alisyahbana
mengkontraskan antara tradisi dan modernitas. Baru pada tahun 1980-an WS Rendra
megemukakan warisan tradisi perlu dipertimbangkan, dipilih yang baik untuk masa
depan. Pun juga mengenai kebudayaan Madura perlu dipertimbangkan secara
dialogis mana yang baik untuk masa depan dan mana yang harus ditingalkan sebab
kebudayaan bersifat dinamis bukan statis. Untukitu dibutuhkan kerja nyata dan
kerja keras untuk menggerakkan kebudayaan. Sebab,hanya dengan optimisme dan
kerja keras akan diperoleh ahsil yang bermakna.
Dibutuhkan
kesadaran kebudayaan, kesadaran untuk melakukan perubahan atau mengubah
nasib.Potensi manusia 100% dari Allah sehingga manusia ditempatkan sebagai
khalifah di permukaan bumi. Manusia sebagai pengelola alam semesta. Disini
dibutuhkan etos belajar dan etos bekerja dalam kosa kata Madura “Bajeng”. Pendidikan kedepan adalah
pendidikan yang memberdayakan putra-putri di Madura agar bisa mengurus Sumber
Daya Alam yang ada di Madura.
****
Kongres Kebudayaan Madura II kali ini bagi saya amat
menarik, karena: pertama, para penggagasnya
anak-anak muda dan pesertanya banyak kaum muda, namun disayangkan mereka tak
diberi tempat di depan panggung. Pada hala mereka kelak yang akan melanjutkan
dinamika kebudayaan Madura. Para pembicara sebagai narasumber usianya di atas
60 tahun hanya seorang pembicara dari Koalisi Perempuan Indoensia yang masih
muda. Sangat menarik! Kedua,
komisinya lebih jelas dibanding kongres I dan sepertinya mendapat respon
positif dari Bupati Sumenep dan Wakil Bupati Sampang yang sebentar lagi akan
dilantik jadi Bupati. Ketiga, Suasana
seminar dan diskusi lebih nyaman dibanding tahun lalu dan lebih tertata,seperti
moderator (Abrari) yang mampu mengatur jalannya diskusi menjadi lebih familiar.Keempat, disiarkan langsung (live) oleh
TVOne meski kabarnya itu harus mengeluarkan dana yang cukup besar ratusan juta
rupiah untuk tayangan seremonip
pembukaan yang taklebih dari 1 jam. Kelima,
kongres ini didanai dengan dana yang cukup besar, harapannya semua rekomendasi
dapat menjadi acuan kebijakan bagi pemerintah daerah setempat.(Hidayat Raharja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar