Si "Anak Manja" |
Lombang pagi hari . Matahari sejuluran
tangan menerangi pasir pantai. Daunan cemara udang berisik ditiup angin tenggara. Tarian ombak berbaur dengan angin menimbulkan suara gedebur
berpecahan di pasir pantai. Pagi yang tenang, tak banyak orang
berkunjung hari ini. Barangkali karena bulan puasa. Tapi di sudut kiri terlihat
seorang perempuan dengan anak gadisnya tengah berbincang dengan pemilik kuda
yang menawarkan jasa di kawasan pantai ini.
Saya menikmati kesiur angin kencang dan gedebur ombak berdebar-debar. Suara nyanyian pantai di pagi
hari.N yanyian puitikal yang berbaur antara angin, ombak dan kemeresak ranting
cemara udang. Aida, Tania dan Elok melepaskan alas kakinya. Mereka berlari ke
arah pantai menyambut ombak membasahi kakinya.
Terdengar tawa mereka dari jarak yang agak jauh. Tawayang lepas di
antara tumpukan tugas yang selalu menggandoli sepanjang waktu.
Lelaki tua itu datang menuntun seekor kuda berwarna coklat kehitaman. Kuda yang bersih
dan rambutnya terpotong rapi.Langkahnya anggun mengiringi tuan yang ada
didepannya.
“Naik kuda,Pak” sapa lelaki
itu mendekat.
“Tidak Pak, saya nagntar
anak-anak itu berlibur.”
“nanti, kalau anak-anak
bapak mau naik kuda, pakai jasa kuda
saya,ya?!” pintanya sambil mengelus kudanya. Kuda berdehem seakan mengerti
perasaan tuannya.
Dibelakang saya datang lagi
seekor kuda dengan tuannya. Tiga ekor uda sudah ada di tepian pantai. Kuda-kuda
itu bernaung di bawah kerindangan cemara udang.
“Sepi,Pak?” tanya saya
membuka pembicaraan kembali.
“Ya, bulan puasa. Tapi, masih
ada yang datang dan menggunakan jasa kuda untuk mengitari pantai”
Tengah asyik
bercakap, seorang tukang kuda menuju ke arah pantai mendekati tiga anak-anakku
yang tengah bermain-main dengan ombak.
Dari tempat saya duduk, terlihat tukang kuda itu tengah menawarkan jasa
untuk menunggang kuda. Tania naik ke
atas kuda. Terdengar tawanya riang dan
Aida mengmabilkan gambarnya tengah naikkuda.
“Pak, sampeyan kesana,
merekanaik kuda.” Pintaku pada lelaki di
dekat saya. Dia beranjak menuntun kudanya dan saya memanggil Aida untuk
menunggang kuda yang baru mendekat ke arahnya. Raut lelaki tua itu senang. Ini
adalah jasa pertama di hari ini.
Tania,Elok dan Aida
menunggang kuda yang tali kekangnya dipegang tuannya. Saya dapat tugas untuk
mengabadikan mereka. Takada pilihan lain karena arah mereka menentang sinar
matahari, maka gambar siluet yang terbentuk. Mereka bergerak menjemput matahari
dan semakin jauh dari tempat saya berdiri.
Sepi. Hanya gemuruh ombak
berkejaran ke arah pantai dan angin tenggara yang kencang. Tiga kuda dan
penunggangnya kembali dari arah timur dan saya berjalan menuju ke tempat
berteduh. Terdengar para pemilik kuda itu menceritakan kudanya.
Tiga anakku puas menunggang kuda. Para pemilik kuda
mempersilahkan untuk mengambil gambar, buat kenang-kenangan. Bahkan mereka
tidak keberatan untuk diambil gambar berpose dengan kudanya. Aida mengeluarkan dompet
dan membayar jasa naik kuda Rp. 30.000 untuk bertiga.Tiap orang sepuluh
ribu.Harga yang sangat murah tak sebanding dengan layanan yang mereka berikan.
“tiap hari,mangkal di sini
pak?”
“ Ya, saban hari. Daripada
di rumah tiduran. Kalau bulan-bulan biasa hari minggu seperti saat ini banyak
pengunjung yang datang dan menggunakan jasa naik kuda. Ini bulan puasa, sepi.” Terang
salah seorang di antara mereka.
“Ayo, Bapak naik kuda
saya. Ambil gambar buat kenang-kenangan.” Pinta salah seorang tukang kuda yang
perawakannya tinggi kurus,dan berkumis.Lelaki yang terlihat gagah dan periang,
dengan senyum selalu terlempar dari selabibirnya.
“terimakasih, bapak.” Jawab
saya sambil membalas senyumnya.
“Tidak, bapak harus mau. Tidak
usah membayar. Ayo,naik dan foto untuk kenang-kenangan. Bisa ditaruh di layar
ponsel.” Lelaki itu tersenyum dan menyiapkan kudanya di hadapan saya dan
dengan menggunakan bangku taman untuk
pijakan saya menunggang kuda. Aida mengambil gambar dengan
menggunakan kamera milikTania.
Lelaki pemilik kuda itu
riang dan tersenyum lebar sambil memberi tahu saya untuk melenturkan tubuh
mengikuti arah gerakan tubuh kuda. Ini
kali kedua saya ada di punggung kuda. Pertama ketika masih kelas empat SD
menaiki punggung kuda milik Sidik. Kuda yang biasa dipergunakan untuk manarik
dokar mengangkut penumpang yang akan berbelanja ke pasar Omben.
Saya kembali duduk di kursi beton taman. Lelaki itu pamit untuk
menambatkan kudanya di arah barat. Namun sebelum meninggalkan saya
lelakiitu melakukan atraksi menarik dengan memegang kendali kuda dan
menariknya dengan cara tertentu kuda itu
manari melenggok-lenggokkan tubuh dan menagangkat kaki (akenca’). Gerakan seperti menari. Saya kaget, ternyata kuda yang
ada di hadapan saya adalah jenis ”Kuda
Kenca’” kuda yang terlatih untuk menari sesuai dengan permintaan tuannya. Kuda itu bergerak menjauh dengan gerakan
tubuh yang lentur dan gemulai.
*******
Lelaki Tua yang Ramah |
Dari arah sudut datang
lagi lelaki tua dengan menuntun kudanya baju engan panjang dengan kancing
seluruhnya terbuka. Terlihat kaos yang bergambar dua calon kepaladaerah di
dadanya. Topi laken hitam dan celana pendek selutut. Di belakangnya seekor kuda
bergerak mengikutinya.
Lelaki tua, rautnya bulat
dan kerutan-kerutan di wajahnya memahat
waktu yang hinggap di tubuhnya. Ketuaannya terlihat dari giginya yang mulai tanggal.
Bila tertawa terihat seluruh gigi serinya telah habis. Sesekali terdengar dengus nafasnya tersengal.
“ Tidak mau nunggang
kuda, Pak?”
“ Tidak, pak terimakasih.”
“Kuda milik sendiri, Pak?”
“Ya, Pak. Saya punya
empat ekor kuda. Semuanya kuda kenca’.
Ini yang saya bawa “Si Anak Manja”.
Sesuai dengan namanya kuda ini selalu ingin dimanja. Selalu minta diperhatikan.
Bahkan kadang kalau tak disambangi ke kandangnya di malamhari,dia akan lepas
dari kandang.” Cerita lelaki tua itu
sambil mengelus-elus tubuh kudanya.
“ Empat kuda dioperasikan
semua,Pak?”
“Ya, mempekerjakan orang
lain dengan bagi hasil. Jika sehari dapat seratus ribu, maka saya sebagai
pemilik kuda mendapat bagian lima puluh ribu rupiah. Tapi sekarang lagi sepi,
Pak. Nanti setelah lebaran baru akan ramai tanggapan.”
“Tanggapan apa, Pak?”
saya tak mengerti apayang dimaksud tanggapan.
“Ya usah hari raya idul
fitri, biasanya banyak yang punya hajat
menanggap “ jharan kenca’”. Lumayan,
Pak. Satu kuda untuk melakukan atraksi di tempat hajatan honornya Rp.550.000. Biasanya
kalau hajatan sepeti itu mengundang tiga ekor kuda.”
Sampai saat ini menurut
lelaki tua itu masih ada yang menanggap “Jharan Kenca’”; Hajat mantenan, sunatan di beberapa desa di wilayah
Sumenep. Raut lelaki itu terlihat ceria saat menceritakan tanggapan yang
didatanginya di beberapa desa di kecamatan lain. Konon, menurutnya Si Anak
Manja dibelinya tiga tahun yang lalu seharga 12 Juta rupiah.tetapi saat ini
sudah ditawar dengan harga 20 juta rupiah.
Kuda yang bagus, bersih,
dan ramah. Lelaki itu pula mengisahkan untuk kuda-kudanya ia memberikan rumput
pilihan. Rumput gajah. Jika musim kemarau seperti sekarang, makanannya adalah
tabungan rumput yang telah dikeringkan sebagai cadangan makanan yang telah
dipersiapkan.
“Dilatih sendiri
kudanya,Pak?”
“Tidak Pak. Pelatihnya, tadi
yang minta Bapak naik kudanya. Dia salah satu pelatih “Jharan Kenca’” yang
cukup dikenal di kawasan ini.”
Lelaki tua itu kemudian
pamit meninggalkan saya mau menawarkan jasa pada sepasang pengunjung yang baru
datang di kawasan pantai. Jika anda sempat berkunjung ke pantai Lombang, jangan
lupa naik kuda, sebab dengan naik kuda para pemelihara Jharan Kenca’ punya penghasilan tambahan. Bila ada penghasilan
tambahan mereka akan semangat memelihara kudanya, dan dengan demikian anda
turut menyelamatkan tradisi “Jharan Kenca’”
yang ada di kabupaten Sumenep. Lombang,
28 Juni 2015. (Hidayat Raharja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar