Oleh: Hidayat Raharja
…Sebab,kemanapun tubuhku pergi,/
kaki ini rindu rumah sendiri/
madura, kau ayah sekaligus ibuku//
( Benazir Nafilah, Selamat Pagi
Madura,halaman 82)
1. Spesies Puisi
Puisi sebagai salah satu spesies
dalam ekologi sastra,merupakan sesuatu yang unik dan menarik. Unik karena
dibangun oleh organ kata yang saling berinteraksi membentuk atau membangun
makna. Menarik karena puisi bukan hanya bangunan kata-kata namun lebih jauh
bisa menjadi sebuah rakaman peristiwa yang tak tertuang dalam pemberitaan
(news). Sehingga setiap kali puisi dibaca di waktu yang berbeda, dia bisa
memberikan makna yang berbeda.
Hadirnya banyak buku puisi
menandakan bahwa sampai saat ini puisi masih ditulis dan disebarluaskan. Dalam
perkembangan teknologi digital –digital
printing – dengan sistem POD (Pay On
Demand) memungkinkan setiap orang untuk menerbitkan buku. Juga buku puisi.
Diantara produktivitas buku puisi yang terus berlahiran di berbagai tempat,
maka tidak berlebihan pula jika upaya-upaya untuk mengapresiasi puisi
terus-menerus tumbuh dan berkembang.
Hadirnya buku puisi “Migrasi
Hujan” karya Moh. Fauzi dan “Madura: Aku dan Rindu” karya Benazir Nafilah
adalah sepasang buku dan juga sepasang keluarga. Pasangan buku dan pasangan
keluarga yang sangat menarik. Sepasang buku ini kehadirannya memberikan variasi
dari spesies puisi yang ada. Juga sebagai sepasang keluarga merupakan sebuah
perkawinan karya antara rindu dengan kegetiran-kegetiran terhadap perkembangan
peradaban budaya lokal (Madura).
Permasalahan ini sangat menarik, sebab di satu sisi Benazir Nafilah merindukan mengenai kearifan budaya lokal
yang mampu memberikan karakteristik. Di sisi yang lain M. Fauzi mengungkapkan
kegetiran-kegetirannya dengan gempuran budaya asing yang saling sengkarut
dengan budaya lokal. Madura yang ada adalah Madura yang dipengaruhi oleh budaya
global yang menggelontor. Madura yang saling bersilang dengan berbagai
peradaban dunia.
Globalisasi
sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh
dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world
culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya
dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke
berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Persoalan-persoalan yang menarik untuk ditautkan
dengan perkembangan peradaban yang terjadi di skala lokal dan global. Lokal
dalam artian Madura dalam konteks ke- Indonesiaan atau Indonesia dalam konteks
global.
Ritzer dalam Sartani (2004) menyatakan
globalisasi sebagai ‘peredaran yang dipercepat’ menciptakan suatu masyarakat
global, dimana sensitivitas hubungan personal mulai berkurang atau bahkan tidak ada.Pelayanan
sangat impersonal dana bahkan besifat mekanis,sebut saja mesin ATM pelayanan
supermaket. Sebuah pelayanan yang dilakukan secara terkontroldan rigit.
Sementara Moendardjito (dalam
Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius
karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Upaya-upaya untuk mempertahankan kearifan lokal banyak ditemukan pada
beberapa karya penyair/sastrawan (Kelahiran) Madura.
2. Rindu dan hujan yang bendentam
Menikmati puisi-puisi Benazir Nafilah
kita akan bertemu dengan berbagai ikon budaya lokal yang antara lainl; Celurit,
jagung, karapan sapi, bakau, laut, nyiur, singkong, tembakau, suramadu, garam,
dan beberapa filosofi yang hidup dalam masyarakat Madura. Unsur budaya lokal
yang menjadi pilihan kata (diksi) dalam puisi. Sebagai orang Madura yang hidup
di tanah Madura,dia tak bisa melepaskan dengan atrbiut kemaduraan tersebut. Hal
ini dapat terbaca pada larik berikut:
Jangan tinggalkan jalanan ini/ Sebab kau akan rindu/ Dan mati
perlahan/../Jalanan ini/Adalah lubang sekaligus tambal sulam/ tawa kita//
(Madura, halaman 57)
Lubang sekaligus tambal sulam. Sebuah konteks peradaban lokal yang babak belur
berhadapan dan berbenturan,berinteraksi dengan aneka peradaban yang terus
berdatangan bersama arus teknologiinformasi yang masuksampai ke ruang pribadi.
Perkembangan peradaban yang kian dirasakan menggerus peradaban lokal, dan dalam
interaksinya menimbulkan varian baru sebegai bentuk dinamika yang senantiasa
meniscaya.
Terhubungnya Pulau Madura dengan Surabaya melalui jembatan Suramadu, telah
memungkinkan mobilitas antar pulau semkain cepat dan perubahan-perubahan ini
telah memberikan warna baru bagi kehidupan
masyarakat kita.Jarak Sumenep- Surabaya yang semula ditempuh dengan 6 jam di
atas bus dengan menyeberangi selat Madura menggunakan kapal Ferry. Kini hanya
ditempuh dengan waktu yang lebih singkat sekitar 4 jam, dan antara bibir pulau
Madura dengan daratan Surabaya ditempuh dalam waktu hanya sekitar 10-15 menit.
Apa yang dirasakan penyair dengan jembatan Suramadu terlihat pada sepotong
larik berikut:
Suramadu,/Jutaan mata menyerbu/
Melata gugurkan ngilu/ (Suramadu, halaman 54)
Ada ngilu melata. Bagaimana tidak? sampai saat ini Suramadu bagi
masyarakat Madura hanya sekedar bentangan yang menghubungkan Madura dan
Surabaya. Kontras terlihat ketika membandingkan sisi Madura dengan daratan
Surabaya dari jembatan Suramadu.
Senada dengan Benazir, M.Fauzi menejelajah lebih dalam dan jauh ketika
Suramadu diproyeksikan sebagai jembatan penghubung yang akan menggerakkan
industri ekonomi di Madura.Akan terjadi migrasi kebudayaan yang mobilitasnya
sangat cepat dan intens. Perubahan yang akan
menciptakan persoalan-persoalan baru sebagai tantangan kehidupan:
Jembatan itu adalah tulangbelulang juga ikanikan yang
berjalan di atas/ gelombang/ samak wajah anakanak di persimpangan/ tissue bakar
wajah anakku yang mengasinkan/segala rindu tentang perahu dan nenek moyangku//
di selat yang berkarat aku ingat ibu// (Di Selat Madura,halaman 56-57)
Bagi Fauzi perubahan –perubahan yang menggerus peradaban lokal bukan hanya
terjadi di tanah Madura.Namun globalisai dan gempuran arus informasi telah
mengguncang berbagai kantung-kantung kebudayaan yang ada di berbagai belahan
bumi termasuk Indonesia.
/;anakanak tersesat dalam gelap kota persegi empat/pekat melipat nasab
dalam segenap dalam sekejap/dalam kartupos yang/ melarikan musim di belakang
rumahmu di balik/ punggungmu/pohonpohon pisang berladah getah/tak madura-tak papua-tak
jawa-tak Indonesia/ (Kota dan Hujan Kemarin Siang, halaman 61-62)
Hujan deras informasi telah menggenangi kehidupan kita. Genangan yang memberikan
perubahan siginifikan dalam hubungan kehidupan antar kita. Bila Nokia di masa kejayaannya
mengeluarkan slogan “ Connect the People”
betapa hidupkita telah dijajah ileh alat komunikasi yang dinamakan handphone dengan layanan SMS atau pesan
pendek, BBM, tweeter,path, dan berbagai sosial media yang terus tumbuh
berkembang mengepung kehidupan kita. Kepungan yang telah mengubah pola dan gaya
hidup,hubungan antara orangtua dengan anak. Siswa dengan guru, dan ant’ ara
mereka. Perubahan yang mengusik rasa rindu. Pola hubungan inimengguncangkan
tatanan dimasyarakat Madura dalam hubungan anutan yang sangat populer “Buppa’ babbu’, guru, rato” – Kepatuhan
pada kedua orangtua, kepada guru sebagai pengganti orangtua dan Rato sebagai
pemimpin pemerintahan yang mengatur dalam hubungan kita berbangsa dan
bernegara. Bagaimana Benazir memposisikan ayah ibu dalam larik berikut:
Setiap waktu/kalian adalah cermin rahasia diriku/
Buppa’ban babbu’ engkaulah langit/
yang menyala// (Buppa’ ban Babbu’, halaman 45)
Persentuhan M Fauzi dengan lingkungan rural yang membesarkanya dan
perbenturannya dengan perubahan yang dibawa arus teknologi dan informasi telah
menggemaskan terhadap eksistensiperadabannya, sehingga tanpa ragu-ragu dia
mewadahi seluruh serphan-serpihan benturan peradaban tersebut dalam tubuh
puisinya yang kadang terasa tajam menikam perih. Ia tak peduli dengan semua
itu. Semua benturan peradaban itu dibenturkannya menjadi sebuah makhluk baru
yang bergerak diantara keriuhan benda-benda. Opa, oma,logamata, kakikaki besi,
amnesia, inersia,kredit card, Paspor.
Dalam “Dialog Kamar Mandi: Narasi 24
Jam Dari Rindu Yang Terbakar” sebuah puisi yang mengaduk-aduk
persoalan-persoalan yang sangat kompleks dan rumit. Hubungan sosial yang mulai
renggang dan digugat. Hubungan yang telah menimbulkan saling kecurigan sehingga
ada wajib lapor bagi tamu yang tinggal sampai 24 jam. Perubahan-perubahan
sosial yang beriring dengan perkembangan politik dan keamanan sehingga dipenuhi
dengan slogan dan jargon. Dalampuisi ini terlihata bagaiman kita berhubungan
dengan negara dan bangsa lain.bagaimana negara memperlakukan kita sebagai
warganya adalah perubahan-perubahan yang bisa menjadi saksi.
Hujan banyak muncul dalam
beberapa judul puisi dalam buku ini. Diksi yang memberikan banyak tafsir
keindahan dan kegelisahan dengan berbagai bebunyian yang ditimbulkan. Kadang
seperti nyanyian yang menyibak rindu namun disisi lain umpama gemuruh yang membuat
pandangan terhalang sehingga harus berbenah untuk menyiapkan dan menyelamatkan
diri.
Dalam puisi “Kaca dan Jendela” Fauzi mempertegas gelontoran informasi dan
peradaban tersebut sebagai sesuatu yang datang dan sesuatu yang pergi. Sesuatu
yang datang memberikan perubahan dan sesuatu yang hilang tergusur oleh arus
perubahan itu sendiri.
Wow segenggam kacang tumbuh di kaca jendela memaksaku
keluar rumah/dengan tissue basah.wajahmu basah.sayang.seperti irisan warna
semangka/turun dari kereta.selamat tinggal.selamat datang.seperti purnama merah
saga./dan salju turun dari lenganmu.naga.paku,jarum. Bunda theresia juga di
sana./seperti pecahan kaca jendela meninggalkan bahasa. embu’ baru belajar pakai/celana.eppa’
baru saja pulang dengan sandal jepit yang hilang.runcing kaki.api./api.//kapan
ayah lembali!//(halaman, 137)
Kalimat yang rapat saling bersesakan ditutup dengan kalimat kapan ayah
kembali! Yang diakhiri dengan tanda seru bukan tanya. Ayah yang hilang tidak
dipertanyakan tapi ditegaskan kapan akan kembali.
Bgitulah sajak-sajak M.Fauzi yang meleburkan antara modernitas,post
modernisme dengan yang bersifat rural,lokal tanpa rasa canggung dan cuek bebek
menyanyikan,melantunkan bahkan membuat kelakar.
Dan meyakni bahwa kenangan akan apa yang pernah dimiliki adalah separuh
luka dan separuhnya adalah rahasia sebagaimana dalamlarik berikut:
Sehabis percakapan, sehabis itu
gelombang/ aku simpan kenangan yang separuhnya adalah luka/ dan/peta rahasia//
(Sehabis Percakapan Sehabis Itu Gelombang. Halaman 8)
3. Puisi menyaksikan sejarah
Puisi menyaksikan sejarah./Ia mengucapkannya sekali./
Dengarlah, itu setara dengan semua buku sejarah //
(Rocky
Gerung)-tweet 10 Juni 2015
Maka,sebenarnya membaca puisi
adalah menyaksikan sejarah. Menyaksikan sebuah perubahan dalam hidup yang
memberikan pesan dan makna bagi setiap pengahayatnya. Karenanya puisi menjadi
penting untuk dihadirkan dan dibaca sebab disitu akan terlihat sejarah
kehidupan umat manusia dengan berbagai peradaban dan persoalannya.
Bahwa derasnya arus informasi
telah mengubah berbagai tatanan kehidupan ada yang tergusur dan ada yang
berinteraksimembentuk varian-varian baru sebagai upaya untuk mempertahankan
kehidupan dalam gejolak hidup yang dinamik. Di sini puisi menjadi saksi atas
apa yang datang dan me nemui atau ditemui penyair.
Sumenep,
14 Juni 2015
Bacaan penunjang:
Ayatrohaedi,
1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya,Jakarta.
Sartani,2004. Menggali
Kearifan LokalNusantara Sebuah Kajian Filsafati.
.( http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewPDFInterstitial/45/41
Globalisasi menjadi pertarungan antara Glokalisasi Vs Grobalisasi. http://www.kursikayu.com/2011/06/globalisasi-pertarungan-antara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar