Translate

Jumat, 26 Juni 2015

Hujan Informasi dan Madura yang Dirindukan


Oleh: Hidayat Raharja



…Sebab,kemanapun tubuhku pergi,/

kaki ini rindu rumah sendiri/

madura, kau ayah sekaligus ibuku//

( Benazir Nafilah, Selamat Pagi Madura,halaman 82)



1. Spesies Puisi

                Puisi sebagai salah satu spesies dalam ekologi sastra,merupakan sesuatu yang unik dan menarik. Unik karena dibangun oleh organ kata yang saling berinteraksi membentuk atau membangun makna. Menarik karena puisi bukan hanya bangunan kata-kata namun lebih jauh bisa menjadi sebuah rakaman peristiwa yang tak tertuang dalam pemberitaan (news). Sehingga setiap kali puisi dibaca di waktu yang berbeda, dia bisa memberikan makna yang berbeda.

                Hadirnya banyak buku puisi menandakan bahwa sampai saat ini puisi masih ditulis dan disebarluaskan. Dalam perkembangan teknologi digital –digital printing – dengan sistem POD (Pay On Demand) memungkinkan setiap orang untuk menerbitkan buku. Juga buku puisi. Diantara produktivitas buku puisi yang terus berlahiran di berbagai tempat, maka tidak berlebihan pula jika upaya-upaya untuk mengapresiasi puisi terus-menerus tumbuh dan berkembang.

                Hadirnya buku puisi “Migrasi Hujan” karya Moh. Fauzi dan “Madura: Aku dan Rindu” karya Benazir Nafilah adalah sepasang buku dan juga sepasang keluarga. Pasangan buku dan pasangan keluarga yang sangat menarik. Sepasang buku ini kehadirannya memberikan variasi dari spesies puisi yang ada. Juga sebagai sepasang keluarga merupakan sebuah perkawinan karya antara rindu dengan kegetiran-kegetiran terhadap perkembangan peradaban budaya lokal (Madura).

Permasalahan ini sangat menarik, sebab di satu sisi Benazir Nafilah  merindukan mengenai kearifan budaya lokal yang mampu memberikan karakteristik. Di sisi yang lain M. Fauzi mengungkapkan kegetiran-kegetirannya dengan gempuran budaya asing yang saling sengkarut dengan budaya lokal. Madura yang ada adalah Madura yang dipengaruhi oleh budaya global yang menggelontor. Madura yang saling bersilang dengan berbagai peradaban dunia.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Persoalan-persoalan yang menarik untuk ditautkan dengan perkembangan peradaban yang terjadi di skala lokal dan global. Lokal dalam artian Madura dalam konteks ke- Indonesiaan atau Indonesia dalam konteks global.

Ritzer dalam Sartani (2004) menyatakan globalisasi sebagai ‘peredaran yang dipercepat’ menciptakan suatu masyarakat global, dimana sensitivitas hubungan personal mulai berkurang atau bahkan tidak ada.Pelayanan sangat impersonal dana bahkan besifat mekanis,sebut saja mesin ATM pelayanan supermaket. Sebuah pelayanan yang dilakukan secara terkontroldan rigit.

Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya

daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Upaya-upaya untuk mempertahankan kearifan lokal banyak ditemukan pada beberapa karya penyair/sastrawan (Kelahiran) Madura.



2. Rindu dan hujan yang bendentam

 Menikmati puisi-puisi Benazir Nafilah kita akan bertemu dengan berbagai ikon budaya lokal yang antara lainl; Celurit, jagung, karapan sapi, bakau, laut, nyiur, singkong, tembakau, suramadu, garam, dan beberapa filosofi yang hidup dalam masyarakat Madura. Unsur budaya lokal yang menjadi pilihan kata (diksi) dalam puisi. Sebagai orang Madura yang hidup di tanah Madura,dia tak bisa melepaskan dengan atrbiut kemaduraan tersebut. Hal ini dapat terbaca pada larik berikut:

Jangan tinggalkan jalanan ini/ Sebab kau akan rindu/ Dan mati perlahan/../Jalanan ini/Adalah lubang sekaligus tambal sulam/ tawa kita// (Madura, halaman 57)



Lubang sekaligus tambal sulam. Sebuah konteks peradaban lokal yang babak belur berhadapan dan berbenturan,berinteraksi dengan aneka peradaban yang terus berdatangan bersama arus teknologiinformasi yang masuksampai ke ruang pribadi. Perkembangan peradaban yang kian dirasakan menggerus peradaban lokal, dan dalam interaksinya menimbulkan varian baru sebegai bentuk dinamika yang senantiasa meniscaya.

Terhubungnya Pulau Madura dengan Surabaya melalui jembatan Suramadu, telah memungkinkan mobilitas antar pulau semkain cepat dan perubahan-perubahan ini telah memberikan warna baru bagi kehidupan masyarakat kita.Jarak Sumenep- Surabaya yang semula ditempuh dengan 6 jam di atas bus dengan menyeberangi selat Madura menggunakan kapal Ferry. Kini hanya ditempuh dengan waktu yang lebih singkat sekitar 4 jam, dan antara bibir pulau Madura dengan daratan Surabaya ditempuh dalam waktu hanya sekitar 10-15 menit. Apa yang dirasakan penyair dengan jembatan Suramadu terlihat pada sepotong larik berikut:

Suramadu,/Jutaan mata menyerbu/

Melata gugurkan ngilu/ (Suramadu, halaman 54)



Ada ngilu melata. Bagaimana tidak? sampai saat ini Suramadu bagi masyarakat Madura hanya sekedar bentangan yang menghubungkan Madura dan Surabaya. Kontras terlihat ketika membandingkan sisi Madura dengan daratan Surabaya dari jembatan Suramadu.



Senada dengan Benazir, M.Fauzi menejelajah lebih dalam dan jauh ketika Suramadu diproyeksikan sebagai jembatan penghubung yang akan menggerakkan industri ekonomi di Madura.Akan terjadi migrasi kebudayaan yang mobilitasnya sangat cepat dan intens. Perubahan yang akan  menciptakan persoalan-persoalan baru sebagai tantangan kehidupan:

Jembatan itu adalah tulangbelulang juga ikanikan yang berjalan di atas/ gelombang/ samak wajah anakanak di persimpangan/ tissue bakar wajah anakku yang mengasinkan/segala rindu tentang perahu dan nenek moyangku// di selat yang berkarat aku ingat ibu// (Di Selat Madura,halaman 56-57)



Bagi Fauzi perubahan –perubahan yang menggerus peradaban lokal bukan hanya terjadi di tanah Madura.Namun globalisai dan gempuran arus informasi telah mengguncang berbagai kantung-kantung kebudayaan yang ada di berbagai belahan bumi termasuk Indonesia.

/;anakanak tersesat dalam gelap kota persegi empat/pekat melipat nasab dalam segenap dalam sekejap/dalam kartupos yang/ melarikan musim di belakang rumahmu di balik/ punggungmu/pohonpohon pisang berladah getah/tak madura-tak papua-tak jawa-tak Indonesia/ (Kota dan Hujan Kemarin Siang, halaman 61-62)



Hujan deras informasi telah menggenangi kehidupan kita. Genangan yang memberikan perubahan siginifikan dalam hubungan kehidupan antar kita. Bila Nokia di masa kejayaannya mengeluarkan slogan “ Connect the People” betapa hidupkita telah dijajah ileh alat komunikasi yang dinamakan handphone dengan layanan SMS atau pesan pendek, BBM, tweeter,path, dan berbagai sosial media yang terus tumbuh berkembang mengepung kehidupan kita. Kepungan yang telah mengubah pola dan gaya hidup,hubungan antara orangtua dengan anak. Siswa dengan guru, dan ant’ ara mereka. Perubahan yang mengusik rasa rindu. Pola hubungan inimengguncangkan tatanan dimasyarakat Madura dalam hubungan anutan yang sangat populer “Buppa’ babbu’, guru, rato” – Kepatuhan pada kedua orangtua, kepada guru sebagai pengganti orangtua dan Rato sebagai pemimpin pemerintahan yang mengatur dalam hubungan kita berbangsa dan bernegara. Bagaimana Benazir memposisikan ayah ibu dalam larik berikut:

Setiap waktu/kalian adalah cermin rahasia diriku/

Buppa’ban babbu’ engkaulah langit/

yang menyala// (Buppa’ ban Babbu’, halaman 45)



Persentuhan M Fauzi dengan lingkungan rural yang membesarkanya dan perbenturannya dengan perubahan yang dibawa arus teknologi dan informasi telah menggemaskan terhadap eksistensiperadabannya, sehingga tanpa ragu-ragu dia mewadahi seluruh serphan-serpihan benturan peradaban tersebut dalam tubuh puisinya yang kadang terasa tajam menikam perih. Ia tak peduli dengan semua itu. Semua benturan peradaban itu dibenturkannya menjadi sebuah makhluk baru yang bergerak diantara keriuhan benda-benda. Opa, oma,logamata, kakikaki besi, amnesia, inersia,kredit card, Paspor.

Dalam “Dialog Kamar Mandi: Narasi 24 Jam Dari Rindu Yang Terbakar” sebuah puisi yang mengaduk-aduk persoalan-persoalan yang sangat kompleks dan rumit. Hubungan sosial yang mulai renggang dan digugat. Hubungan yang telah menimbulkan saling kecurigan sehingga ada wajib lapor bagi tamu yang tinggal sampai 24 jam. Perubahan-perubahan sosial yang beriring dengan perkembangan politik dan keamanan sehingga dipenuhi dengan slogan dan jargon. Dalampuisi ini terlihata bagaiman kita berhubungan dengan negara dan bangsa lain.bagaimana negara memperlakukan kita sebagai warganya adalah perubahan-perubahan yang bisa menjadi saksi.



                Hujan banyak muncul dalam beberapa judul puisi dalam buku ini. Diksi yang memberikan banyak tafsir keindahan dan kegelisahan dengan berbagai bebunyian yang ditimbulkan. Kadang seperti nyanyian yang menyibak rindu namun disisi lain umpama gemuruh yang membuat pandangan terhalang sehingga harus berbenah untuk menyiapkan dan menyelamatkan diri.



Dalam puisi “Kaca dan Jendela” Fauzi mempertegas gelontoran informasi dan peradaban tersebut sebagai sesuatu yang datang dan sesuatu yang pergi. Sesuatu yang datang memberikan perubahan dan sesuatu yang hilang tergusur oleh arus perubahan itu sendiri.



Wow segenggam kacang tumbuh di kaca jendela memaksaku keluar rumah/dengan tissue basah.wajahmu basah.sayang.seperti irisan warna semangka/turun dari kereta.selamat tinggal.selamat datang.seperti purnama merah saga./dan salju turun dari lenganmu.naga.paku,jarum. Bunda theresia juga di sana./seperti pecahan kaca jendela meninggalkan bahasa. embu’ baru belajar pakai/celana.eppa’ baru saja pulang dengan sandal jepit yang hilang.runcing kaki.api./api.//kapan ayah lembali!//(halaman, 137)



Kalimat yang rapat saling bersesakan ditutup dengan kalimat kapan ayah kembali! Yang diakhiri dengan tanda seru bukan tanya. Ayah yang hilang tidak dipertanyakan tapi ditegaskan kapan akan kembali.

Bgitulah sajak-sajak M.Fauzi yang meleburkan antara modernitas,post modernisme dengan yang bersifat rural,lokal tanpa rasa canggung dan cuek bebek menyanyikan,melantunkan bahkan membuat kelakar.  Dan meyakni bahwa kenangan akan apa yang pernah dimiliki adalah separuh luka dan separuhnya adalah rahasia sebagaimana dalamlarik berikut:



                Sehabis percakapan, sehabis itu gelombang/ aku simpan kenangan yang separuhnya adalah luka/ dan/peta rahasia// (Sehabis Percakapan Sehabis Itu Gelombang. Halaman 8)         



3. Puisi menyaksikan sejarah     

Puisi menyaksikan sejarah./Ia mengucapkannya sekali./

Dengarlah, itu setara dengan semua buku sejarah //

(Rocky Gerung)-tweet 10 Juni 2015

                Maka,sebenarnya membaca puisi adalah menyaksikan sejarah. Menyaksikan sebuah perubahan dalam hidup yang memberikan pesan dan makna bagi setiap pengahayatnya. Karenanya puisi menjadi penting untuk dihadirkan dan dibaca sebab disitu akan terlihat sejarah kehidupan umat manusia dengan berbagai peradaban dan persoalannya.

                Bahwa derasnya arus informasi telah mengubah berbagai tatanan kehidupan ada yang tergusur dan ada yang berinteraksimembentuk varian-varian baru sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupan dalam gejolak hidup yang dinamik. Di sini puisi menjadi saksi atas apa yang datang dan me nemui atau ditemui penyair.

                                                                                                                                                Sumenep, 14 Juni 2015





Bacaan penunjang:



Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya,Jakarta.

Sartani,2004. Menggali Kearifan LokalNusantara Sebuah Kajian Filsafati.

.( http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewPDFInterstitial/45/41

Globalisasi menjadi pertarungan antara Glokalisasi Vs Grobalisasi. http://www.kursikayu.com/2011/06/globalisasi-pertarungan-antara.html







Tidak ada komentar: