Translate

Kamis, 23 Juli 2015

Tellasan


(pergi pulang omben maddis;
kisah buat Aida, Azmil,Tata,Azka dan Amira)
Foto: oleh M.A Ramadhan

Usai shalat jumat, 1 Syawal 1436 H. Rencana Ayah sekeluarga dengan mantu dan cucu-cucunya berkunjung ke keluarga yang ada di Maddis –Pamekasan.  Rencana berangkat usai jumatan sedikit tertunda karena ada tamu menemui Ayah dan kelihatannya sangat prnting. Namun kegelisahan kami untuk segera bertemu family di Maddis. Saya menyuruh ponakan yang paling keciluntuk menemui Mbahnya, danmengajak untuk segera berangkat.
Jam digital di telpon pintar menunjukkan angka 13,30. Kami bersiap dan berkemas. Adiksaya tengah menyiapkan kendaraannya untukmembawa kami semua melaju ke arah timur.Arah Pamekasan. Kami berangkat bersama keluarga besar  kecuali si bungsu yang ada di kota lain bersamakeluarganya. Mobil yang tak terlalu besar dijejali tubuh orangtua, dan cucu-cucu ayah yang balita, anak-anak dan remaja.

Terik. Matahari membakar, aspal jalanan yang hitam mendidih. Tapi keinginan untuk berkunjung dan keterbatasan waktu kami  tak menghiraukan panas yang menyengat. Mobil bergerak ke arah timur, Pamekasan.Acara keluarga rutin yang dilakukan setiap tahun. Hanya pada saat iedul fitri kami bertemu dengan sanak famili. Pertemuan kali ini adalah tahun keempat setelah nenekmeninggal dunia. Sebuah pertemuan yang singkat,karena ketika masih ada nenek kami bermalam di rumah nenek. Namun, pertemuan yang sngkat ini amat bermakna untukmerekatkan kembali hubungan keluarga.

Sebulan yang lalu di pertengahan juni, kami semua berkumpul karena ada saudara sepupu seusia dengan saya meninggal dunia. Susmiyati putri pertama Nyah Rihah. Artinya kami berkumpul dengan keluarga besar dari pihak ibu,ketika ; pertama ada sanak famili yang menikah atau berkeluarga.Kedua, ada anggota keluarga yang meningal dunia, dan yang ketiga saat hari raya iedul fitri. Kali ini kami akan menuju rumah Nyah Rihah di desa Maddis. Satu-satunya saudara Ibu yang masih ada,karena yang lain (Siti Aminah, Moh. Bahrah, Moh. Sahi, dan Moh.Ali Wafa) sudah meninggal dunia.

Jalanan ramai oleh kendaraan yang bising di telinga. Di bulan semacam ini orang-orang Madura yang ada di rantau pada pulang semua. Mereka membawa kendaraan roda empat dan roda dua membuat jalan makin sesak saja. Kendaraan yang menjadi tumpangan mereka,sekaligus penanda kehidupan mereka di tanah rantau. Desa omben semkain padat,sepanjang tepain jalan bangunan rumah dan pertokoan menyita perhatian.

“Desa Kapitalis” begitu saya menyebut. Saya masih ingat sepanjang jalanan ini dulunya masih sepi rumah-rumah berdiri di natara tegal dan kebun. Kini tak ada lagi. Bangunan bertebaran dan lahan semkain mahal dan tak ada ruang untuktumbuhan mencengekramkan akar dan menjuraikan reranting. Kampung yang panas. Sedari dulu kampung dan desa ini tak pernah sepi. Seperti saat ini, shalat ied baru usai beberapa jam yang lalu. Toko-toko sudah pada buka menyediakan jasa bagi para konsumen.

Silaturahmi berlangsung di masjid dan dengan tetangga sekitar, bersalam-salaman mengucapkan idul fitri dan memohon maaf lahir dan batin. Sederhana. Tak ada kunjung-mengunjung di rumah. Ini hanya dilakukan antar sanak famili. Maka, yang berjualan kembali membuka lapaknya. Mereka yang memiliki toko membuka lagi gerainya. Juga pasar Omben yang baru saya lewati ramai dengan jual beli.

“Ada yang butuh, maka kami layani,” begitulah yang muncul dalam benak. Saat ini apa yang mereka butuhkan tersedia juga.  Meski di hari raya, mereka siap melayani. Semua tersedia dengan harga yang setara.

Sepanjang jalanan, berpapasan dengan kendaraan bermotor dengan nomorpolisi yang menunjukkan domisili diluar Madura. Mereka pada “toron” merayakan idulfitri dan menyambung kembali tali silaturrahmi. Laju kendaraan perlahan meninggalkan halaman; Omben, Temoran, Meteng, Pangundung, Madulang, Badung,Pangbatok, Panagguwan, Jambiringin, Propppo, Samatan, Nylabuh, Bugih, Gadin, Gladak Anyar, Kolpajung, Nyalaran, Blumbungan, Maddis. Desa-desa yang dilintasi. Desa yang tertanam dalam benak dan selalu kami lewati setiap berkunjung ke rumah nenek. Jarak yang tak terlalu jauh, takkurang dari 30 kilometer bentangan.

Melewati pasar Madulang, orang-orang berpakaian baru, anak-anak,remaja,tua dan muda tumpah ruah ke jalanan. Bunyi petasan bersahut dengan gelak tawa anak-anak yang kegirangan telah mengagetkan beberapa perempuan disekitarnya. Pedagang bakso, rujak, soto ramai melayani pembeli. Ya tak ketinggalan muda-mudi tengah beraksi menunjukkan kekasih mereka. Tellasan yang selalu memberikan cerita berbeda di setiap tahunnya.
Tanah-tanah tumbuh bangunan rumah di sepanjang tepian jalan.Perubahan yang terus bertumbuh, menindih lahan pertanian. Bukit-bukit dikepras, dijualpasirnya.pohon-pohon ditebang dijualkayunya. Tanah-tanah dijual didirikan bangunan di atasnya. Desa-desa tumbuh menyusul kota yang angkuh.

Bukit-bukit teah kehilangan pohon. Seperti bukit di sebelah timur rumah nenek tak ada lagi pohon ‘Polai” tebing-tebingnya diruntuhkan dijual pasirnya.  Sumur yang dulunya menjadi sumber mata air keluarga di rumah nenek, telah lama mengering. Rumah-rumah tumbuh. Orang-orang tumbuh dengan berbagai aktivitasnya. Jalanan aspal diperlebar dan kian mulus memperlancar laju mobilitas antar daerah.  Gerak akseleratif yang ditopang dnegan kemajuan teknologi informasi dalam genggaman tangan.

Skitar pukul 14.05 kami tiba di rumah nyah Rihah.  Semua sedang berkumpuldi teras rumah sambil bercengekrama bersama putra-putrinya. Suasana yang selalu hadir dan membekas dalam ingatan saya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.  Rumah ini juga tumbuh ke arah barat dan ke arah timur dan di ujung barat halaman rumah berdiri kokoh “Kobhung” tempat shalat keluarga atau ketika melakukan hajat mengundang tetangga dan sanak famili. Rumah yang teduh di antara pepohonan dan selesir angin kemarau.

Tak ada yang berubah dari atmosfer rumah ini. Pohon-pohon dan perdu menjadi pagar batas halaman; nangka, kelapa, jambu air, jambu biji, kembang sepatu, mangga, kanitu dan banyak pohon semak yang tak kukenal namanya. Pohon-pohon yang merindangi rumah Nyah Rihah, membuat iklim di rumah ini menjadi sejuk dan nyaman.

Bahagia menyelimuti kami semua, meski sebulan yang lalu dirundung duka dengan meningalnya saudara Susmiyati. Tapi kami ikhlas dan selalu mengiriminya doa semoga diampuni segala dosa dan diterima segala amal baik yang akan menjadi temannya di alam baka. Dengan kunjungan semacam ini kami berupaya merajut persaudaraan dan pertalian kerabat semakin erat setelah moyang-moyang kami meninggalkan alam fana. Setidaknya kami masih berkeumpul ketika ada acara khaul kematian,  pernikahan anggota keluarga, dan hari raya.

Di kampung Maddis, masih terdengar bunyi petasan seperti bunyimeriam bersusulan. Mercon retengan yang dibuat sendiri. Untaian mercon dari ukuran kecil sampai ukuran terbesar jadi satu ikatan beruntai,sehingga ketika salah satu mercon yang kecildisulut,maka secara berantai dan meletuskan untaiaan mercon yang suaranya terdengar semakin memebsar dan bunyi terakhir sebagai penutup memiliki dentuman bagaimeriam. Tidakmustahiljika mereka mengeluarjan biaya jutaan rupiah untukpesat mercon rentengan semacam ini.  Tradisi ini masih hidup di kampung Maddis.

Tak lama, kami disuguhi soto ayam kampung. Soto buatan nyannyah yang sedap. Suguhan yang selalu kamitunggu setiapberkunjung ke rumah Nyannyah di hari raya. Meski sudah tua, nyannyah masih terlihat sehat dan cekatan. Beliau berpesan, kalau kami harus tetap rukun, menjalin tali siaturrahmi supaya hubungan kekeluargaan tetap terjalin.

Inilah soto ayam kampung kami, soto ayam Madura. Potongan ketupat, suhun, suwiran daging ayam kampung, gorengan bawang poutih, gorengan cambah, dan potongan telur ayamkampung menyeruak aroma gurih dan sedap. Aroma yang membukakembali memori berpuluh-puluh tahun yang lalu,ketikakami masihkanak, merasa senang dan nikmat menyantap soto ayam yang tidak setiap hari kami makan. Puluhan tahun lalu ketika jaman masih tidak enak,ketika perekonomian keluarga ayah masih kembang- kempis. Kenangan ketika memori rasa kami belum dikontaminasi soto Lamongan.

Usai menyantap soto, kami sholat ashar di kobung yang ada di ujung barat halaman. Tempat yang kembali mengingatkan masa kecil, ketika tempat itu juga berfungsi untuk menanmpung tidur anggota keluarga laki-laki yang sudah dewasa dan belum berkeluarga. Sehingga di bagian depanya dilengkapi dengan penutup yang bisa diangkat dan diturunkan untu menahan  angin kencang yang berseliwer di halaman.
Kami berpamitan untukmelanjutkan silaturrahmi ke keluarga yang lain,ke rumah Nom Wafa (alm).  Ke arah selatan tepat di bawah bukit dan tanjakan jalan yang menikung.  Ternyata, ke rumah Joko Rabsodi dan Didik terlebih dahulu. Saudara-saudara sepupu yang dulu masih sangat akrab dan saling bersilaturrahmi ketika paman-pamanku masih lengkap. 

Memasuki halaman rumah Joko dan Didik, semua memori masa lampau kembali bergerak, memutar waktu. Ketika kakek dan nenek, Anom dan Nyannyah masih lengkap. Rumah yang riuh dan selalu menebarkan kisa saat bertemu sepertilebaran saat ini. Ingatan yang kembali menghadirkan kakek yang mantan opas (polisi) dengan kedisiplinan dan ketegasannya.  Serta Nenek yang penyabar dengan cucunya yang nakal dan yatim serta piatu. Ya, beliau yang mengasuh sepupu-sepupu yang ditinggal oleh Ibu dan Ayahnya karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Semoga Allah  mengasihi dan memberikan tempat yang indah di sisiNya.
Kenangan ketika halaman ini dirindangi oleh mangga golek dan pohon jeruk sedangkan di tebing timur halaman rumah pohon “Pao Tabar” yang kecildan manis. Pasti,setiapmusim berbuah tiba,kami akan dibekali oleh-oleh satu glangsing buah mangga,hasilpanen di halaman rumah dan di tegal milik  nenek.  Mandi bersama di sumber mata air yang ada di seberang jalan . Kini sduah kering kehilangan sumber mata air.

Di rumah Joko, kami dihidangi rengginang, jagung goreng, es godir,dan es manis dibungkus  plastik. Kami tak lama bermaaf-maafan,sedikit berbagi kabar dan pindah ke rumah di seberang jalan rumah Nom Wafa (alm). Kami bertemu dengan anak-anak Nom Wafa dan si bungsu Iqbal, kini menjadi siswa baru di SMP  Negeri 2 Pamekasan. Sementara Ana, baru memasuki bangku Perguruan Tinggi.

Kalau di rumah Nom Wafa, pastinya Lek Nur akan menyediakan makan besar; nasi, semur daging dan ayam.  Yang terasa khas dilidah bumbunya yang terasa manis dan gurih . Kami tak bisa makan banyak karena lambung sudah terisi soto ayam. Kami harus menghargai sajian yang ada untukmencicipi karena kalau tidak mencicipi akan mengecewakan tuan rumah.

Tak terasa sinar matahari mulai redup,gerakmatahari condong ke arah barat seakan mulai mengintip pintu sore.  Jam digital menunjukkan angka  16.45 w.i.b. Kami bersiap pulang ke Omben. Kami berpamitan, dan melanjutkan  perjalanan  pulang.  Jalan ke arah Pamekasan,ramai terutama oleh kendaraan roda dua. Mereka yang baru pulang dari bersilaturrahmi dan berkreasi di berbagai tempat wisata. Dari arah Pamekasan belok kanan menuju pusat kota ke munomen Arek Lancor depan masjid Syuhada belok kiri lurus menuju arah Omben.

Perjalanan agak terganggu memasuki wilayah Panagguwan  sampai pangbatok. Di kanan kiri jalan muda-mudi,dan orang dewasa berbaur dengan pakaian anyar yang menarik. Mereka merayakan idul fitri dengan beremai-ramai  berkumpul, Ada yang berbagi cerita ada yang tengah memesan makanan Bakso dan Rujak. Sedangkan sebagian lagi anak-anakkecilmembeli balon pada penjual mainan yang ada di lokasi. Suara petasan menjadi jeda di antara percakapan dan gurauan mereka. Saat ini  kami dapat melihat aneka model gaun dan celana serta model rambut yang paling mutakhir. 

Desa-desa yang kami lewati dengan para penghuniya telah berubah secara perlahan dan pasti. Perubahan gaya hidup yang merekaperoleh dari mobilitas mereka keluar daerah dari kampung halaman atau diperoleh dari telpon pintar yang ada dalam genggaman tangan mereka.  Mereka tengah menunjukkan perubahan identitas mereka  yang terus bergerakmendekatai kota lewat akses infrastruktur jalan yang makin mulus, dan alat transportasi  (sepeda motor dan mobil) yang semakin mudah diperoleh.

Lima kilometer menjelang rumah. Keramaian mulai terlihat lagi hala yang sama dengan keramaian sebelumnya. Berkumpulnya massa di  pasar Madulang dengan aneka aksesoris tubuh . Sepeda motor dengan aksesorisnya dan nomorpolisi yang menunjukkan mereka adalah para perantau yang pulang kampung. Mereka yang sebelas bulan mengerahkan  tenaga danpikirannya menyambut kerja untuk mengumpulkan materi dan saat ini mereka menikmatinya, berbagi dengan teman. Mereka pendistribui perekonomian perkotaan ke kampung halaman.Hasilkerja keras mereka tumpah kembali saat “toron”,pulang kembali ke kampung halaman.

Dua puluh meter dari pasar ada konvoi sepeda motor.Makin dekat raung suaranya kian keras memekakan telinga.  Tak salah, ada sekitar seratus motor yang dipimpin oleh tiga orang pemuda  menuntun sepeda motornya dengan suara gas yang ditarik ulur meninggalkan suara geronggong gaduh menabuh gendang telinga. Di belekangnya dengan warna kaos serta tulias yang sama. Tulisan yang menyudut ke kiri atas warna merah di dasar kaos yang berarna putih. Nama yang menunjukkan  kemlompok mereka.

Mereka meminta perhatian sejenak bagi warga sekitar dan orang-orang  yang berpapasan dengannya. Raung suara yang menimbulkan ketakutan bagi yang berpapasan.Namun seutas senyum dan gelak tawa terlepas di antara mereka. Senyum ynng menyapa bagi pengedara yang berpapasan dengannya.

Saya  tidak tahu, apakah mereka bekerja di jalan yang benar. Apakah mereka yang menjadi penggagu pengendara di jalanan di tempat mereka merantau. Atau mereka mengusik ketengana warga di suatu kampung. Mereka adalah saudara-saudara saya. Anak bangsa yang meminta perhatian dari sekitarnya termasuk juga negara. Pmerintah tidak pernah menanyakan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.  Persoalan apa yang mereka temukan di tanah rantau.
Saya menyebut mereka adalah petarung yang ingin mempertahankan diri dari perubahan-perubahan yang terus mendesak dan menyeretnya. Ada dari mereka yang terseret menjadikan dirinya  motor yang taklagi menggunakan hati nurani. Mereka menggerakkan hidupnya hanya untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apakah ini kegagalan dunia pendidikan membangun karakter anak didiknya? Entahlah karena karakater paling dasar di bangun di dalam rumah. Apakah kegagalan rumah tangga dalam mendidik putra-putrinya? Tak tahulah. Ini cerminan anak-anak muda yang ada di kampung-kampung saat ini.

Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah. Pikiran saya buyar dan mendapati matahari telah tertelan ufuk barat. Memerah beriring suara sholawat mualik di langgar sebelah.(Hidayat Raharja).
                                                Jumat, 17 Juli 2015. Lebaran hari pertama

Tidak ada komentar: