Ruang publik merupakan hak masyarakat untuk bisa mendapatkan
kenyamanan, ruang terbuka yang sehat, dan pandangan
yang mengenakkan. Ruang publik sebagai
bagian dari tata ruang hunian atau perkotaan harus mempertimbangkan kenyamanan warganya. Ruang publik menjadi salah satu
penyeimbang kesesakan ruang oleh laju pembangunan kota, keribetan, dan
hilangnya pekarangan rumah. Karenanya, di beberapa daerah dikeluarkan Peraturan
Daerah (perda) mengenai penempatan (peletakan) iklan dan berbagai alat peraga
visual dalam bentuk banner, baliho atau pun spanduk di ruang terbuka. Perda
bukan hanya mengatur peletakan tetapi juga perijinan serta biaya perijian yang
harus dibayar.
Perkembangan kota dengan berbagai aktivitas warganya telah
menjadikan ruang publik sebagai ruang untuk publikasi ekonomi dan ruang
pencitraan bagi komunitas politik. Pada kepentingan yang pertama, sebagai ruang
publikasi ekonomi telah mengubah ruang publik sebagai lahan promosi berbagai
produk barang konsumtif. Penjarahan ruang yang menyebabkan para penghuni
tertekan oleh gambar yang sedemikianbesar menonjok mata para pejalan yang
berlalu-lalang. Rambahan ruang bukan hanya merampas open space (ruang terbuka)
dalam perkembangannya serbuan iklan berbagai produk konsumtif memenuhi dinding
bangunan pemukiman dan perkantoran yang ada di pertigaan atau perempatan jalan.
Iklan semacam ini jarang yang mempertimbangkan kenyamanan publik sebab yang
terpenting bagi mereka adalah bagaimana penempatan baliho menyita perhatian
publik, sehingga terkesan memaksa dan mengeram dalam memori.
Tak banyak publikasi tentang hubungan publikasi di ruang
terbuka dengan berbagai baliho ukuran raksasa. Tetapi dari produsen selalu
mengganti gambar dan topik yang ada dalam layar untuk mempengaruhi konsumen
(publik). Setiap waktu persaingan antar produsen sejenis semakin sengit dan
kian menyesakkan ruang publik. Indikasi yang kian menguatkan pengaruh
pemasangan baliho di ruang publik terhadap penjualan barang atau produk.
Hadirnya berbagai gambar iklan di ruang publik jarang
dipersoalkan, atau kalau pun dijadikan sebagai persoalan adalah ketika produsen
yang meletakkan baliho tersebut belum membayar dana perijinan bagi pemerintah
daerah.
Namun persoalan ruang publik tidak hanya disesaki oleh
berbagai iklan produk konsumtif yang menikam penglihatan publik, tetapi
akhir-akhir ini baik menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) atau
pun pemilu legislatif (Pileg) berbagai ruang publik diserbu dengan berbagai
baliho, banner, yang memajang foto orang tertentu dengan memasang senyum yang
diatur sedemikian rupa untuk memikat publik. Gambar atau foto-foto sebagai alat
peraga kampanye para calon legislatif
untuk memperkanlakan wajahnya yang nantinya akan dipajang di surat
suara.
Seberapa efektifkah pemasangan gambar-gambar yang menyesaki
ruang publik dengan perolehan suara? Barangkali yang penting bagi mereka telah
menyodorkan muka untuk dikenal dan dipilih.
Persoalan gambar-gambar tersebut benar-benar telah meresahkan ruang publik,
sebab banyak dari mereka yang tidak mempertimbangkan unsur estetika, sehingga
kadang terkesan lucu bahkan kadang menjengkelkan. Persoalannya, adalah: pertama, hampir semua gambar atau foto
yang diperagakan monoton; sedikit tersenyum dengan berpakaian jas dan dasi,
beberapadi antaranya bersisian dengan fototokoh masyarakat. Tak ada visi dan
misi yang ditawarkan yang ada hanya nama lengkap dengan gelarnya dan daerah
pemilihan (Dapil) dalam Pileg yang akan datang. Kerja visual yang tanpa
mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai dan pertimbangan keunikan
gambar sehingga dikenang oleh yang melihatnya. Jika demikian tidak berlebihan
jika kemudian foto dan gambar-gambar mereka disebut sebagai sampah visual yang
mengotori ruang publik.
Kedua, tidak ada tawaran atau bukti yang ditawarkan kepada
ruang publik apa yang bisa mereka berikan atau abdikan kepada masyarakat. Realitas yang menandaskan tak ada apa-apa
yang akan mereka lakukan kepada masyarakat ketika kelak mendapatkan kedudukan
yang mewakili rakyat yang telah memilihnya. Sebuah pencitraan, dan hanya
mencitrakan diri dengan mematut wajah yang diolah dalam photoshop sehingga
terkesan ramah dan bersahabat. Konon, biaya untuk membuat gambar-gambar semacam
itu dan dipasang di berbagai tempat strategis salah satu parpol mengharuskan
calegnya menyediakan dana tiga ratus juta rupiah untuk tingkat kabupaten dan
lima milyar untuk tingkat nasional (Surabaya Post, 27/2/2013).
Sayang, memang kalau mereka hanya mengotori ruang publik
dengan dana yang cukup besar, dan memang perlu diatur mengenai pemasangan alat
peraga kampanye ini. Namun tulisan ini tidak akan membahas mengenai aturan
tersebut, tetapi lebih menekankan kepada pilihan cerdas dan kreatif dalam
memanfaatkan ruang publik sehingga mencerdaskan pula bagi yang melihatnya. Pertama, mengapa mereka tidak
menyodorkan visualisasi apa yang bisa mereka lakukan untuk memberikan perubahan
bagi masyarakatnya sebagai wujud dari visi dan misi mereka. Kedua, mengapa mereka tidak
mempertimbangkan aspek ekologis dan visual dimana gambar dan baliho dipajang
sehingga bisa mempercantik lingkungan, membuat nyaman bagi yang memandang.
Pertimbangan semacam ini telah dilakukan oleh berbagai produk
konsumtif, dengan mempertimbangkan budaya lokal
tempat iklan akan dipajang juga mengubah tema secara berkala. Serta
terlibat langsung dengan berbagai kegiatan masyarakat sehingga memang
berdekat-dekat dan semakin dekat sehingga masyarakat terpikat. JIka tidak
mereka hanya akan menjadi penjarah ruang publik dan menjarahi hak masyarakat
untuk mendapatkan ruang nyaman dan bersahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar