Guru-guru di Sumenep saat mengikuti workshop |
Oleh: Hidayat Raharja | Pendidik dan Pelaku Kebudayaan
Semula
saya masih memberikan banyak harapan terhadap kurikulum 2013
untuk memperbaiki kualitas guru dan mutu pembelajaran di sekolah. Sebab guru sudah tidak
direpotkan lagi untuk membuat silabus, dan buku pelajaran pegangan guru dan
siswa telah disiapkan oleh pemerintah. Kemudahan yang mengisyaratkan kepada
guru untuk menyiapkan kualitas pembelajaran yang bermutu dengan memusatkan pembelajaran
kepada siswa, serta mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran.
Dalam polemik mengenai penyelenggaraan
kurikulum 2013 yang sebagian ditunjuk untuk melaksanakannya, sementara sekolah
yang tidak menjadi sekolah sasaran bisa menerapkan secara mandiri (Kompas,10
Juni 2013). Pelaksanaannya harus melalui koordinasi dinas pendidikan daerah.
Sekolah yang melaksanakan kurikulum 2013 secara mandiri menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah.Anggaran pengadaan buku siswa, buku pegangan guru, pelatihan
guru dilakukan secara mandiri dengan berkoordinasi dengan dinas pendidikan di
daerah.
Pengadaan buku pegangan guru dan siswa
diserahkan kepada setiap pemerintah daerah, sebuah persoalan baru yang akan
membelit dinas pendidikan di daerah. Sebab tak semudah yang dituliskan di atas
kertas untuk bisa memenuhi anggaran penerbitan buku di daerah. Masih lekat
dalam ingatan kita, saat penerbitan atau pencetakan buku paket mata pelajaran
yang dulu diterbitkan oleh depdikbud diserahkan kepada pemerintah daerah bersamaan
dengan otonomi daerah diharapkan akan mampu membangkitkan usaha penerbitan di
daerah. Penerbitan di daerah mendapatkan order dan toko buku di daerah akan
tumbuh dan berkembang.Nyatanya sampai 12 tahun otonomi daerah berjalan tidak
juga membangkitkan dunia penerbitan di daerah,bahkan juga tidak merangsang guru
untuk menulis buku pelajaran.
Justru peluang itu direbit oleh penerbit
komersial dengan menerbitkan buku yang kemudian mendapatkan pengesahan dari
BSNP dan kemudian disebarluaskan ke berbagai daerah. Hadirnya Buku Sekolah
Elektronik (BSE) sebenarnya sangat berarti dalam upaya pemenuhan kebutuhan
peserta didik dengan biaya murah. Namun tak banyak penerbit yang
menerbitkannya, karena salah satu kemungkinannya harga eceran tertinggi telah
ditetapkan oleh kementerian pendidikan.Jika demikian dapat dipastikan para
penerbit kapitalis tersebut kurang banyak mendapatkan laba. Serta tidak banyak
sekolah yang memanfaatkan buku sekolah elektronik.
Jika hal ini yang terjadi, maka pasti
penyelenggaraan kurikulum 2013 akan kacau, salah satu di antaranya mengenai
buku wajib yang dikendalikan oleh pusat pengadaannya atau penerbitannya
diserahkan kepada pemerintah daerah. Tidak semua pemerintah daerah merespon
positif terhadap perubahan semacam ini. Lagi-lagi guru yang akan dijadikan
korban,bahkan tidak tertutupkemungkinan beban pembiayaan untuk pelatihan guru
yang berkaitan dengan penyelenggarakann kurikulum 2013 dibebankan kepada guru.
Ini sangat dimungkinkan ketika dalam penilaian kinerja guru(PKG) dalam pengembangan
keprofesian berkelanjutan guru wajib mengikuti atau melakukan pengembangan diri
sebagai bagian dari Pengembangan Keprofesionalan Berkelanjutan (PKB). Pelatihan
yang berkenaan dengan peningkatan kualitas pembelajaran termasuk kepada
kegiatan pengembangan diri.
Betapa rumit sistem yang mengatur dan
mengedalikan dunia pendidikan kita, tarik-ulur antara berbagai kepentingan yang
sering kali mengutarakan demi kepentingan masa depan anak-anak bangsa. Namun
semuanya kian terlihat tanpa kendali dan koordinasi dari pengurangan jumlah
sekolah sasaran dan target, serta
penawaran penyelenggaraan secara mandiri yang akan memperpanjang jalur
birokrasi.
Tahun ajaran baru di depan pintu namun
sampai pertengahan juni yang dijanjikan untuk dilakukan pelatihan bagi guru
sekolah sasaran juga masih belum jelas. Pun jika dilakukan di waktu liburan yang
dua minggu. Apakah mungkin melakukan perubahan mindset pola pembelajaran pada guru dalam waktu sesingkat itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar