Oleh: Hidayat Raharja|Pendidik dan Pelaku
Kebudayaan.
Kawasan ladang garam di
Girpapas – Sumenep adalah kawasan yang banyak memproduksi garam di musim
kemarau. Bertonton-garam menggunung di tempat penampungan (gudang) ada di
sekitar tambak. Produksi garam rakyat yang memberikan sumber penghidupan bagi para
pemilik dan pekerja ladang. Namun sayang perekonomian garam tidak pernah
berpihak kepada para pekerja yang seumur hidupnya tetap akan menjadi kuli di ladang
garam.
Kondisi perekonomian dari ladang garam kerap terganggu oleh cuaca dan juga
besarnya impor garam dari luar negeri sehingga memperburuk kondisi
harga garam rakyat. Produksi sampai juli
2012 158.596 ton, garam rakyat masih dibeli Rp 450.000/ton, padahal
bila disesuaikan dengan keputusan pemerintah, harganya seharusnya Rp
750.000/ton.
( Minggu, 2 Desember 2012 SURYA Online).
Menjadi buruh ladang garam mendapatkan upah sebesar Rp
27.500 perhari dengan perhitungan Rp 825.000/30 hari. Sebuah peghasilan yang
sangat minim untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup para pekerja. Kondisi yang
rutin mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Jika saja mereka hidup dengan jumlah anggota keluarga empat
orang maka setiap kepala hanya mendapatkan penghasilan tidak lebih tujuh ribu
rupiah per hari.
Maka, upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja di ladang garam tidak bisa hanya bergantung
kepada produksi garam. Menyikapi kondisi semacam ini harus ada pilihan lain yang
bisa memberikan tambahan penghasilan bagi mereka. Jika ladang garam hanya
dipandang sebagai lahan produksi garam, maka sepanjang waktu tidak akan ada
pergeseran nasib para pekerja yang ada. Di sinilah peran ekonomi kreatif untuk
memandang ladang garam sebagai wilayah lain yang bisa produktif selain sebagai
penghasil garam.
Hamparan ladang yang
membentang di sisi barat dan timur jalan, adalah sebuah hamparan jejak sejarah
kejayaan di masa silam ketika garam rakyat mempu meberikan devisa bagi negara. Ketika
daerah-daerah sekitar ladang dan pelabuhan menjadi pusat kesibukan dan
keramaian ekonomi. Kini hanya meninggalkan bau lumpur dan amis yang menyebar di
antara petak-petak yang menghitam.
Perkembangan teknologi
dan informasi telah mengubah segalanya. Garam bukan lagi produksi yang mampu
meningkatkan harkat dan martabat pekerjanya, ketika mereka sebagai buruh dengan
upah yang rendah.
Film “Semesta Mendukung”
atau “Mestakung” yang dibintangi Rivalena S Temat, di antaranya melakukan
pengambilan gambar di lokasi perladangan garam yang ada di sekitar PT. Garam
Sumenep. Pengangkatan lokasi ladang garam dengan kincir angin untuk memindahkan
air. Sebuah panorama yang amat menarik, semula diharapkan mampu memberikan
ekses terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Efek ekonomi hanya berpengaruh
pada saat pengambilan gambar dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai
figuran dan menjadikan ladang sebagai salah satu setting pengambilan gambar.
Film “Mestakung” tak mampu mengangkat
budaya lokal sebagaimana film “Laskar Pelangi”.
Dijadikannya ladang
garam sebagai salah satu obyek pengambilan gambar dalam”Mestakung” adalah
sebuah realitas yang mendedahkan kepada penentu kebijakan di daerah, untuk
melihat obyek ladang garam dari berbagai sisi dan sudut yang bisa memberikan
dampak ekonomi bagi masyarakatnya. Eksotisme, dan keunikan yang ada di dalamnya
adalah sumber pengembangan ekonomi kreatif yang perlu ditelaah dan dikembangkan.
Ladang garam adalah
hamparan kisah sejarah dan manusianya dengan berbagai dinamika kehidupan yang
menarik. Hamparan ladang ekonomi kreatif
yang patut dipikirkan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Dalam perkembangan teknologi dan informasi, dan mengggeliatnya
pusaran ekonomi kreatif yang mampu menghasilakan uang untuk meninkatkan
kesejahteraan warga sekitar dalam pengelolaan yang melibatkan amsyarakat
setempat untuk mengambil peran dan mengaktualisasikan diri dalam percaturan
ekonomi kreatif. Tentu, pemerintah
daerah Sumenep dapat bertindak sebagai fasilitator sehingga masyarakat kaum
pekerja atau buruh ladang garam menjadi berdaya.
Beranikah pemerintah
daerah memasarkan jejak sejarah, eksotika, dan pengetahuan yang menghampar di
seluas ladang dan kehidupan masyarakat yang bergerak dinamis sebagai penghasil
ekonomi yang mampu meningkakan harkat dan martabat masyarakat setempat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar