Translate

Senin, 20 Oktober 2008

NARASI MELAWAN KEMATIAN

Oleh: Hidayat Raharja*

(1)
Puisi adalah alibi kata-kata...
Puisi adalah dalih, kilah untuk dunia. Agar ada alasan untuk hidup di bumi ini dengan makna[1]

Bahasa puisi adalah dunia kata-kata yang memberikan aneka kemungkinan untuk menafsirkannya. Ada makna langsung (denotatif) yang dapat dicecap pembaca, dan makna terselubung (konotatif) yang harus ditelusuri kedalamannya. Terselubungnya makna puisi menurut Riffaterce dalam Pradopo menyebutkan disebabkan 3 hal, yaitu: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).[2]
Bahasa tidak melulu bekerja sebagai instrumen penyampai maksud, melainkan juga bisa bermain atau bergerak mengikuti impuls-impuls yang tak selalu terjelaskan. Kadang sebuah citraan yang begitu kuat memukau, hingga tak penting lagi apakah hal itu masuk akal atau tidak.[3] Maka, karya sastra atau puisi hanyalah sebuah citraan yang membayangkan kenyataan baru di dalam teks yang terinspirasi dari realitas fakta dalam kehidupan penyair sebagai kreator. Dalam realitas imajinasi puisi bisa menjadi sebuah bandingan ideal dari dunia nyata. Menurut Sutardji imajinasi hanya mungkin bila bertaut dengan realitas.[4] Lalu, puisi sebagai dunia imajinasi tersendiri bisa menjadi bahan bandingan terhadap realitas.[5]
Citraan dalam puisi adalah sebagai penanda bagi setiap penyair yang mengidentifikasi bahasa personal sebagai bahasa penyair bersangkutan. Setiap penyair dituntut untuk memiliki bahasanya sendiri dan berbeda dengan orang lain. Bahkan kehadiran sebuah puisi bukan hanya sekedar bermain-main dalam ruang imajinasi, namun lebih jauh bisa menjadi penanda pembaruan dan pemberontakan secara intratekstual dan intertekstual, zaman, lingkungan alam dan masyarakat manusia. Kesungguhan dalam bermain-main dengan sajak diutarakan Sutardji kalau engkau penyair niatmulah yang segala-galanya . Jangan serahkan niatmu pada kata-kata apalagi pada pembaca.[6]
Menurut Sutardji menyair adalah pekerjaan serius. Namun penyair tidak harus menyaire sampai mati.[7] Pekerjan serius yang membutuhkan kesungguhan sehingga mampu menemukan bahasa yang menjadi identitas kepenyairannya. Tawaran Tardji semacam ini tidak berlebihan, karena kemapanan seorang penyair kerapkali memberikan pengaruh bagi generasi berikutnya sehingga kerapkali menghambat proses kreatif dunia kepenyairan. Kredo tersebut hadir bukan tanpa alasan.Kemapanan Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan imaji-imaji pada puisi Sapardi Djoko Damono, lirisisme Goenawan Mohamad, serta prosaisnya Rendra, sebuah kekuatan mapan dalam perkembangan sastra (puisi) Indonesia. Kondisi stagnan yang kemudian memicu pemberontakan Sutardji untuk menciptakan kemapanan baru ditengah kebekuan pembaruan.
Telaah mengenai puisi merupakan telaah yang sangat menarik ,karena bisa bergerak dan berseliweran di antara realitas dan imajinasi. Sinyalemen ini terdedahkan pada perkembangan historis puisi Indonesia. Periode tahun 20-an dipenuhi dengan teks-teks puisi yang menumbuhkan kobaran semangat nasionalisme –sampai hadirnya teks puisi monomental “Sumpah Pemuda” yang amat puitis. Teks sumpah pemuda bisa dipandang sebagai teks puisi yang ditulis dalam bahasa prosa yang sarat dengan unsur puisi.[8]
Angkatan 45 yang populer dengan angkatan penyair revolusioner , karya-karyanya meradang dan menerjang memberikan spirit untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suatu masa dimana sosok kepenyairan saat itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Chairil Anwar yang jalang dan nyalang. Chairil indentik dengan pembangkang bukan hanya pada ranah geografis namun juga sampai pada wilayah estetis dan kreatif , keluar dari pengaruh tradisi pantun dalam penulisan sajak-sajaknya. Secara heroik chairil menegaskan proses kreatifnya dalam dunia kepenyairan dengan larik yang sangat puitis,”aku ingin hidup seribu tahun lagi”[9]
****


(2)
Membaca O Amuk Kapak
Membaca kumpulan puisi O Amuk Kapak, tiga kumpukan puisi Sutardji Calzoum Bachri seperti membuka kitab kehidupan. Sulit bagi penyair untuk melepaskan realitas dahsyat sehari-hari yang melampaui “imajinasi”. Namun penanya hampir tak berkutik berhadapan dengan peristiwa-peristiwa semacam ini.[10] Penanda bahwa bahasa dalam puisi harus beda dengan bahasa informasi secara formal karena kalau penyampaian informasi secara denotatif takkan mampu mengalahkan dahsyatnya peristiwa dalam kehidupan yang jauh lebih imajinatif. Tidak akan pernah ditemukan kata-kata untuk mengungkapkan kedahsyatan bencana tsunami yang meluluhlantakkan Nangroe Aceh Darussalam.
Sebuah proses kreatif dalam pencarian makna kehidupan pergulatan dengan kata sebagai bahasa ungkap penyair dalam menyampaikan gagasan dan pemikirannya. Susunan dan kombinasi kata yang tidak lazim bertebaran dalam bangunan puisi yang dikonstrusi. Dalam suasana semacam itu realitas sajak Sutardji seperti menikam kesadaran kita, bahwa bahasa Indonesia terbukti memiliki banyak kemungkinan dengan yang diduga selama ini.[11] Bisakah kelak orang mengatakan bahwa sastra Indoensia secara plural yakni sastra Indonesia bukan hanya sastra yang ditulis dalam bahasa nasional saja. Namun juga karya yang berbahasa daerah termasuk problem kedaerahan yang ada di dalamnya.[12] Sebuah gagasan otentik Sutardji untuk memandang sastra daerah sebagai sastra Indonesia yang juga memiliki peran dan kontribusi dalam perkembangan sastra nasional. Dan bahkan dalam hubungan antar bangsa.
O bagian pertama dalam kumpulan ini berisikan sajak-sajak bertahun 1966-1973 dan dibuka dengan kredo puisi ; “Amuk” berisikan sajak-sajak bertahun 1973-1976 diawali dengan sebuah foto sutardji yang tengah membacakan sajak di atas podium dengan sangat ekspresif. Tak ada pegantar pada bagian kumpulan ini, namun yang sangat mencekam perhatian pembaca sajak Amuk membentang sepanjang 24 halaman. Di Bagian ketiga “Kapak” berisikan sajak-sajak bertahun penciptaan 1976-1979. Di bagian awal yang ketiga dibuka dengan “Pengantar Kapak” yang memberikan celah apresiasi bagi pembaca untuk membedakan dengan sajak-sajak yang dibuat di bagian sebelumnya. Bagian sajak yang lebih terpesona kepada maut: “tidakseperti sajak-sajak terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih memesona saya”[13]
***
Salah satu kelebihan puisi-puisi Sutardji dalam buku ini adalah bahasanya yang unik, pada setiap sajaknya kata-kata dibiarkan menari-nari, mengerang, menikam dan telanjang. Hal ini disebabkan selalu ingin menampilkan kelainan dan keunikan kata-kata.[14] Pertama, keberaniannya mempergunakan kata dasar sebagai kata itu sendiri dan bersambut dengan kata lain yang kadang sangat tidak familiar, bangunan puisi kerap menusuk pandangan visual, inkovensional dan anarkhis.
O
daun
burung
sungai
kelepak
mausampai langit
siapa tahu
buah rumput selimut
dada biru
langit dadu
mari!
rumput pisau batu kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau
(petikan O halaman 21)
Rumput dan selimut, dada dan dadu, dan sebutan kau yang ganjil dan ditengahnya muncul KAU (kapital) bertebar semburat, mengacaukan pandangan yang selama ini menghadapi bahasa yang tertib dan rapi dalam bangunan puisi yang dikenal sebelumnya. Puisi semacam ini juga ditemukan pada sajak: Ah, mana Jalanmu, Mari, Q,Jadi, Pot, Biarkan.
Kedua, penyimpangan dari bentuk puisi yang lazim, suatu pembangkangan kreatif yang akhirnya menemukan jalan lain (meski bukan baru) pemotongan kata yang beridiri-sendiri juga ditemukan pada sajak-sajak Chairil Anwar. Namun pada sajak yang ditulis Sutardji penempatan dan penampakan visual seperti menjadi sebuah pertimbangan untuk menyimpang dari pendahulunya. Bahkan upaya untuk mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.[15] Sekuat tenaga Sutardji bergulat untuk memenuhi kredo yang dilontarkan sehingga kata bebas untuk menentukan dan menempatkan diri sebebas-bebasnya dan memungkinkan membuka peluang memberikan tafsir makna yang lain di hadirat pembaca.

POT
pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapapotitu potkaukah potaku?
POT
(Pot, halaman 18)
Saat membaca judul puisi “POT” yang terbayang dalam benak dan imajinasi pembaca adalah wadah yang terbuat dari tembikar atau semen dan di dalamnya berisi tanah untuk tempat menanam tanaman. Sebuah jebakan pengertian yang mengerangkeng pemahaman pembaca terhadap penafsiran makna.Keganjilan muncrat dalam pikiran pembaca saat memperhatikan bangun tubuh puisi, rekaman makna tercabik-cabik dan tergantikan tayangan visual puisi, bentangan kata, pengulangan kata yang sama berulang-ulang dengan frekuensi yang cepat memukul indera visual dan auditif. Judul dan penutup dengan huruf yang sama. Munculnya rekaman auditif dari pengulangan kata yang cepat dan mampat, berdesak, tanpa jeda diakhiri dengan cabikan gramatika yang inkonvensional.
Pemotongan kata menjadi suku kata yang terputus-putus seperti hendak memisahkan pemahaman komunikasi kata selama ini. Sebuah upaya menunjukkan kebebasan kata untuk menetukan dirinya sendiri.
siapa dapat kembalikan sia
pada
mula
sia
pa
sia
tinggal?
(petikan sajak” Dapatkau?” ,halaman 10)

Ketiga, keeganjilan Sutradji bukan hanya ditunjukkan dengan konstruksi bangunan puisinya, namun secara ekspresif ditunjukkan saat membacakan puisi-puisinya di waktu itu. Di atas podium dengan garang ia bacakan puisinya sambil menenggak beer, ia seperti mengigau dan maracau, laksana kucing yang mengamuk karena kehilangan buah hati dan diusik saat ingin menyalurkan hasrat seksualnya
Pada “Pameran Puisi Konkrit” dalam pertemuan puisi ASEAN 1978 bersama sejumlah penyair lainnya. Sutardji memamerkan sebuah kanvas putih yang digantungi daging segar berlelehan darah, lalu dituliskan komposisi secara grafis “LUKA” haha. Semacam suatu usaha mengkombinasikan antara puisi dan seni rupa , dan di waktu selanjutgnya dikenal dengan seni instalasi. Suatu usaha sadar Sutardji untuk membangkitkan puisi sehinga terasa lebih ekspresif, menjebol batas-batas konvensional antara puisi (sastra) dengan seni rupa. Belakangan konjugasi antara puisi dan seni rupa dikenal dengan puisi rupa dikerjakan oleh perupa Gendut Riyanto dengan puisi rupa yang tragis memvisualisasikan kematian kata yang ditikam dengan garpu dari arah vertikal[16]. Penegasan kan kematian kata-kata yang telah kehilangan makna.
Penolakan dengan tawaran yang ganjil. Tawaran yang menyungsang pikiran pembaca Dalam puisi “Q” Sutardji sepertinya ingin menegaskan kembali melepaskan kata dari beban makna yang disandangkan sehingga dengan leluasa memotong kata menjadi suku kata pada kata aliflamim yang di dalam tafsir Quran juga tidak pernah dijabarkan. Eksperimentasi yang kemudian mengundang rasa simpati dan antipati. Menerima dan menolak. Ada yang mampu memahami, namun ada juga yang menolak untuk menyebutnya sebuah puisi. Eksperimentasi yang kemudian memunculkan komentar Goenawan Mohamad, bahwa puisi Sutardji merupakan puisi main-main. Juga tak terpahami oleh Teeuw, bahwa ia tak mengerti puisi-puisi Sutardji.[17]



Q
! !
! ! !
! ! ! ! ! !
!
! a
lif ! !
!
l
l a
l a m
! !
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
iiiiiiiiiiiii
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
(puisi Q, halaman26)
Sajak yang dipenuhi dengan tanda seru yang semburat dengan beberapa huruf m yang mampat, sebuah permainan, bermain-main dengan kata yang dipenggal dalam suku kata dan suku kata dikembalikan lagi ke dalam huruf vokal dan konsonan yang membangunnya. “Aliflamimm” sepatah kata yang menyerahkan makna kepada pembaca. Namun akan melupakan makna visualisasi sajak kembali berkelebat dalam sebuah gambar visual yang menapisi semburan kata seru dan kematian konsonan m dan vokal i saling merapat, dan berdesak dan macet.. Sekelebat akan tampak visualisasi yang membangun citraan orang tengah menghadap . lalu rukuk dan barisan orang tengah bersujud. Desakan visual yang berkelebat menapis teks yang macet dan serakan potongan kata dan kosnan yang sekarat menunggu kematian atau hilangnya makna. Bayangan visual dari sebuah teks yang menawarkan alibi lain dari konsonan dan penggalan kata yang mengalami limbung makna. Sisi yang saling bersebalikan antara teks dengan rupa
Sungsang kata dan kemudian dipotong menjadi suku kata, desakan tipografi yang tidak lazim menampilkan visualisasi yang menampar penglihatan pembaca.
TRASEDI WAINKA DAN SIHKHA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

Permainan yang menimbulkan tragedi yang tak tersangka, tak terduga. Kawin dan kasih disungsang sepertinya menantang dan menyungsang pikiran pembaca. Betapa bahagianya perkawinan dalam bingkaian kasih terekam memori pembaca. Namun di balik kebahagiaan sebuah perjalanan perkawinan dipenuhi liku-liku, zigzag hidup mengintai menuntut waspada. Sebuah visulisasi yang kemudian mencongkel kornea mata untuk menatap dan mebongkar gambar mental dunia perkawinan yang selama ini digenggam.
Kelima, penghancuran makna kata dan pembentukan makna baru.Sebuah eksperimentasi yang menjebol tembok pemahaman pembaca terhadap sajak yang senantiasa dibingkai oleh baris atau larik yang teratur dengan makna yang tersandang di dalamnya. Sebuah tafsir visual yang muncul manakala kata sudah tak menemukan makna sebagai kata . Kondisi yang menurut Seno Gumira Ajidarma karena, di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengarnya . Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.[18]
Kata dalam puisi Sutardji laksana virus yang memiliki virulensi untuk mengambil alih makna kata yang dimasukinya menjadi belahan semacam fragmentasi yang tidak terkendali
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepaisau duka sepisau diri
sepisau sepi sepaisau nyanyi

sepisaupa sepaisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepaisaupi
sepikul diri keranjang duri

Potongan sajak Sepisaupi merupakan konjugasi kata: sepi +pisau----sepisau; sepi+ pukau ------- sepukau; sepi+pisau + apa ------ sepisaupa. Pertautan kata yang kemudian menamparkan gambaran-gambaran makna yang unik. Pertautan kata atau konjugasi karena tidak diketahui jenis kelaminnya menghasilkan reproduksi kata yang tak terduga dan tak terkendali. Sebuah reproduksi yang mengingatkan kepada sifat virulensi virus yang mampu mengambil alih kode-kode pewarisan sifat (DNA) sel atau jaringan yang diserangnya. Aktivitas sel inang atau yang diserang tergantikan aktivitas virus. Semacam itulah pertautan kata berontak pada beberapa sajak Sutardji yang mengharuskan pembaca keluar dari frame pemaknaan konvensional. Luka bersanding dengan duri, dosa dengan sepi, duka dengan diri, sepi dengan nyanyi, diri dengan duri, pasangan-pasangan kata yang membuat pembaca harus merekonstrukssi ulang mengenai pemaknaan kata yang telah terekam dalam memori. Lebih jauh di sinilah kekuatan Sutardji untuk mengeluarkan kata dari beban makna yang disandang selama ini. Kata-kata melakukan reproduksinya memasuki kata berikutnya dilebur dan dihancurkannya, membiak bentukan kata dan makna yang lain.
Pergulatan dan pergumulan kata dengan dirinya penuh girang-riang, menari-nari, tak hirau, dan memukau. Namun di saat yang lain menjadi beringas, rakus dan terkam- menerkam dan menghancurkan beban makna yang ditanggung, menyisakan hurup-hurup mati yang tertekan
he kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilmu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papalko arukabazuku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh......!
nama-nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
(petikan sajak “Amuk” halaman 54)
Papaliko, arukabazuka, kodega, zuzukalibu, zukuzangga, zegezegeze. Kosa kata yang tidak akan pernah ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia. Susunana kata yang datang menampakkan diri, mewujud dan membiarkan diri sebagai kata yang tidak mau tahu akan makna apa yang akan disandang.
PUAKE
puan jadi celah
celah jadi sungai
sungai kadi muare
muare jadi perahu
perahu jadi buaye
buaye jadi puake
puake jadi pukau
pukau jadi mau
mau jadi tanah
tanah jadi jemu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
pukau perahu
pukau seligi
pukaulah camar
pukau laut
pukaulah hiyu
pukau pulau
pukaulah bulan
pukau buaye
buaye biru
pukau rimau
pukaulah bakau
pukau camar
harimau biru
pukau tanah
pukaulah resah
pukau risau
pukau sembilu
pukau seligi
pukau waktu
pukaulah rindu
pukau aku!
kau jadi sia
sia jadi aku
aku jadi siape
siape jadi aku?
(halaman, 16-17)
Sebuah permainan yang membutuhkan pembaca sejenak mengernyitkan dahi pada perubahan-perubahan asosiasi yang berlangsung cepat tak tertebak untuk mencari hubungan antara puan dan celah, celah dan sungai, sungai dan muare, muare jadi perahu. Irasionalitas yang berbiak dengan gaya repetitif sepertinya menguatkan kehendak untuk tidak menebak tapi mendengarkannya dalam dunia batin.
Repetisi kata semacam ini juga ditemukan pada sajak-sajak; Batu, Colons Sans Fin, Jadi, Herman, Solitude, Apa kau Tahu, Sepisaupi, Tapi, Sejak, Tengah Malam Jam, dan Kukalung. Disini kata-kata berbiak, berulang, berderet, menari-nari dengan bebas. Namun meski tidak harus dicari dan ditemukan makna harfiahnya, menandakan sebuah alamat dari kematian kata dari beban makna kata yang berontak mengembalikan kata kepada asalnya. Kata pertama adalah mantra.[19]
Kembali kepada Mantra. Sebuah ungkapan kesadaran kosmik kepenyairan Sutardji ketika mainstream kepenyairan di tanah air saat itu sarat dengan konflik untuk menjadi bagian masyarakat dunia. Sastra Universal. Beberapa sastrawan dengan surat kepercayaan gelanggang menyatakan bagian masyarakat dunia. Saat sastra eropa dan barat demikian menguat pengaruhnya, sehingga menafikan sastra lokal yang menjadi karakteristik. Sutardji melakukan clone (memasukkan mantera ke dalam khazanah perpuisian mutakhir. Sebuah komplemen terhadap kepemberontakan Chairil yang keluar puisi-puisi tradisional dan inkonstitusional. Sutardji tidak hanya ingin menjadi bagian masyarakat dunia sebagaimana pernyataan beberapa sastrawan dalam surat gelanggang. Namun Sutardji ingin memberi kepada masyarakat dunia:
Dalam puisi rasanya sudah mulai datang waktu untuk memberi warisan pada dunia, dan bukan seperti generasi sastrawan Surat Kepercayaan Gelanggang yang meminta warisan dari kebudayaan dunia.
(petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998)

Sajak Sutardji merupakan suatu varian dari hasil clone mantra terhadap
Puisi modern. Merupakan kesadaran sejarah dalam proses kreatif pemikiran, sebagaimana pernah diucapkan TS Elliot dan Moh. Arkoun[20] Suatu varian yang tentu berbeda dengan mantra di asalnya (Riau). Mantra pada sajak-sajak Sutardji telah berubah menjadi pukau yang menjerat pembaca pada bangun teks yang tak lazim bahkan kadang terasa anarkhis, inkonvensional, serta hadirnya tayangan visual yang berkelebat di bayangan teks. Sulit dipahami maknanya. Namun sajak tidak harus dipaksa-paksa untuk dimaknakan. Meminjam ungkapan Frans Nadjira , puisi ... tak ada tempat penyederhanaan, simplifikasi. Karena dalam kehidupan nyata, segala ikhwal terhibur dalam suatu kompleksitas yang rumit namun menantang.[21]
Pencarian yang sangat menantang dan mendebarkan, sehingga menciptakan diskurus yang berkepanjangan untuk dapat disambut kehadirannya dalam sastra Indonesia. Pencarian sebagai pergulatan menghadapi rintangan, godaaan, ilusi sebelum meyakini kemantapan suaranya. Hanya mereka yang amat mujur sekaligus agak pongah yang sanggup berkata (dan bukan berdusta).[22]
Sajak-Sajak Sutardji bukan tidak memiliki muatan yang dapat dicecap oleh pembaca, karena beberapa di antaranya di dalamnya mengungkapkan pemikrian dan permasalahan sosial.[23] Meski demikian puisi-puisi Sutardji sebagaimana hakekat sastra tidak terjebak ke dalam sebuah agitasi atau pamfletis. Puisi tetap memiliki peran membangun citraan, membayangkan, dan mengkonstruksikan hubungan masyarakat dan negara lewat semacam strategi tekstual dan intelektual.[24] Citraan yang bisa mejadi bandingan ideal dari dunia nyata. Pada gilirannya pembaca akan mudah terpanggil untuk berada dalam nilai-nilai akrab dan segar dari kemanusiaan yang akan membawanya dan menukik dalam pencerahan kehidupan.[25] Ada baiknya sejenak bisa kita cecapkan rasa pada potongan larik sajak “ Satu” berikut:
jika ususmu belum bisa mencernkan ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke ddalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Sajak yang sarat dengan nilai sosial kemanusiaan. Upaya pemahaman manusia untuk bisa memahmi diri dan orang lain. Bahkan pemberontakan terjadi saat kata kelamin yang selama ini dibekap dalam sebuah kata yang tabu bagi masyarakat disini terciptakan makna yang lain, bukan makna mesum. Kelebat rasa sosial kemanusiaan ini dapat pula dirasakan dalam sajak ; Siapa, Berdarah, Belajar Membaca.


(3)

Amuk; Pemberontakan terhadap Kematian Tuhan dalam Diri Manusia

“Amuk” puisi sepanjang 24 halaman. Puisi terpanjang dalam kumpulan ini menempatkan kucing sebagai subyek dalam mengerangkan pencarian yang meradang. Pemberontakan yang mencabik-cabik tirai otoritas pemahaman puisi konvensional juga menerabas sekat-sekat keagamaan yang kadang dipandang sakral. Bebasnya kata-kata yang menari dan berlompatan dalam puisi sepanjang dua puluh empat halaman ini menjadi bahasan yang menarik mengingat beberapa baris dalam puisi ini sempat pula berlompatan dalam sajak “Kucing” seakan menegaskan petualangannya yang bebas menerkam ke berbagai penjuru pengertian.
Riris K Sarumpaet menyebutkan untuk memahami sajak-sajak Sutardji tidak cukup memahami bahasa kiasan , diksi, sarana retorika, dan keselarasan bunyi. Untuk memahami sajak Sutardji dibutuhkan ketahanan jasmani dan rohani,serta daya asosiasi yang tinggi.[26]
Awal bab pada bagian Amuk dipajang foto Sutardji yang tengah membacakan puisi di atraspodium dengan wajah yang menyeringai, dengan guratan wajah yang amat jelas dan sangat ekspresif. Mimik wajah geram dengan telunjuk menuding langit, mata nyalang dan sringai menyiratkan erang dan geram. Pose yang mengingatkan, sebuah citraan saya pada “kucing” dalam puisinya. Makhluk karnivora dengan ukuran tubuh mungil namun memiliki kecakapan dalam menangkap mangsa, serta kelenturan tubuh yang sangat elastis. Ketahanan dan kelenturan tubuh kucing, bisa melompat dari atap yang tinggi tanpa mengalami patah tulang kaki dan tubuh. Kucing yang jalannya gemulai lagak peraga busana yang tengah memeragakan busana di atas panggung (baca; cat walk). Keanggunan jalan kucing yang memberikan inspirasi bagi manusia untuk menirukannya.
Keliaran, kelenturan dan geram kucing membangun citraan dalam mental pembaca dan juga terpantul dari seringai wajah Sutardji yang dipampang di pembuka bagian “Amuk”. Isyarat yang mencitrakan kekuatan, kelenturan, ketahanan dan keindahan.
Ngiau, huss, puss!! Adalah sebuah onomatope yang menggambarkan keadaan sebuah kucing yang berada dalam keadaan gerak bisa dalam keadaan lapar, berkelahi, mengamuk, atau tengah susah mencari buah hatinya yang hilang, atau tengah diganggu saat akan menyalurkan berahi. ngiau! kucing dalam darah dia menderas/lewat dia mengalir ngilu ngiau dia/berbegas.Pembuka yang mencabik citraan pembaca saat kucing mengiau karena ngilu lalu menderas lewat darah karena menahan ngilu, menderas lewat aorta, pembuluh darah besar yang keluar dari jantung, kaya oksigen. Sebuah metafor yang menegaskan pencarian yang jernih dan suci. Pencarian terhadap kesucian. Pemberontakan untuk melepaskan diri dari sakit dan kesakitannya terhadap dunia yang tak pernah puas. Betapa penat kucing Sutardji berontak dengan amuknya, meraung dan mengerang-erang. Jangan beri daging ia tidak mau daging. Kehadiran kucing nasib yang tidak dimauinya (Tuhan menciptakan kucingku tanpa mauku) yang sekarang meraung mencari MU.
Pencarian yang tidak kenal lelah sehingga dipasangnya perangkap di afrika, amazon, di kota-kota siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena. Pencarian penuh berontak dan suatu ketika kerap terbentur dalam kebuntuan-kebuntuan.
Aku tak tuhan aku tak tuah aku tak setan
Aku tak wauwau aku tak jimat aku tak tamtam
taktaktaktaktaktaktaktak

Kebuntuan yang tak membuatnya jera, sehingga ia banyak menjelajah ke berbagai pengembaran spiritual dan rohani ia temui Socrates, Archimedes, Zeno, Sartre, laotze. Ia datangi mpu,Musa, Plato, Nuh, Adam, Habil, Kabil, Venus, dan Jesus, yang membuat banyak bijak belum menjangkau MU. Ia jelajahi Amazon, Babilon, Eropa, Riau, Afrika, Mesopotamioa, Ninivesch, Sphinx untuk menemukan kearifan.
Pertarungan yang terus-menerus berkecamuk dalam kehidupan penuh cakar dan amuk; benci perserteruan dari perkelahian dan bunuh-membunuh Habil dan Kabil, membuat semakin kehilangan jejak Nya. Kecamuk yang tiada pernah berhenti dan tuhan semakin terasing dalam diri tanpa bisa memberi pencerahan bagi orang lain. Dari banyak peristiwa, kerapkali kematian menjadi perjumpaan kesadaran bahwa setiap yang bernyawa kembali kepada Nya. Dalam kondisi berketuhanan semacam ini Sutardji secara parodis menyampaikan:
harimau mati tak meninggalkan kenyang
manusia mati tuhan hidup entah dimana
(Petikan “Amuk” halaman 49).
Latar kesadaran yang kemudian semakin menguatkan kemanusiaanya sebagai makhluk pada larik yang lain ia berucap;
aku telah menemukan jejak
aku telah mencapai jalan
tapi belum sampai tuhan
(Petikan “Amuk” halaman 52) Puncak kesadaran ini semakin menguat saat apa yang didapatkan tidak seperti apa yang diharapkan. Sebuah sekat antara aku sebagai hamba (makhluk) dan Tuhan sebagai pencipta (Khaliq).
kuharap isi Nya kudapat remah Nya
kuharap hari Nya kurasa resah Nya
kusangat ingin Nya kujumpa ogah Nya
kumau Dia nya kutemu jejak Nya

Pada puncak pencarian yang hanya sampai jejak, maka titik balik kesadaran (juga kelelahannya) menemukan titik pusat kesadaran ilahiah, dalam penyerahan sepenuhnya:
diamlah
makanlah
se
ada
mmmmMu
(halaman 65)
Dalam sajak “Kucing” penjelajahan estetik dan ruhaniah kembali berkecamuk, visualisasi yang berledakan tanpa ada jeda, koma dan titik. Kata saling berdesak dan menyembur semburat dalam, sebuah bingkai tipografi yang bersegi, pencarian dari berbagai sisi dan arah; dia hanya minta tuhan sejumpuit saja untuk tenang sehari untuk kenyang sewaktu untuk tenang di bumi ngiau (halaman71) Sebuah keinginan sederhana untuk mendapatkan ketenangan di dalam kehidupan yang sesaat, fana.
Pergulatan dalam pencarian tuhan, sebuah pencarian mendaki namum kembali menggelinding ke bawah, mendaki lagi sembari membawakan segala keinginan; bunga, darah, resah, mimpi, duka, mayat, dan arwah. Tapi dibilang masih, hanya, cemas, meski, tapi, lumpur, dan kalau. Ternyata ketakterdugaan datang manakala menghampiri dan mendekati tanpa tendensi dan membawa apa-apa.
tanpa apa ku daaing padamu
wah!
(petikan larik “Tapi” halaman 73)

Tumbuhnya keikhlasan dalam pencarian yang melelahkan. Titik puncak penemuannya dalam dunia kepenyairan yang berseberangan dengan pencariannya terhadap tuhan. Walau ia temukan kata hadir dan menari berserah diri, berjingkrak-jingkrak dalam puisi. Sutardji menegaskan kepenyairannya:

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
(petikan sajak “ Walau” halaman 107)


(4)
Pesona Maut
Di saat mengingat kematian, para pengikut paham vitalisme meyakini adanya élan vital yang menyebabkan sesuatu menjadi hidup. Sesuatu yang menyebabkan sesuatu itu memiliki daya hidup. Secara teologis merupakan sebuah paduan antara Jazad + Ruh = hidup, dan ketika hidup – ruh = jazad / tubuh mati. Pada batas-batas pengenalan terhadap diri merupakan jalan untuk mengenal tuhan dan siapa yang mengenal tuhan maka menyadari ada batas-batas antara yang dicipta dengan yang menciptakan. Perihal kematian ini dengan menggali diri Sutardji menggali makna hidup (kematian):

daging
coba bilang
bagaimana arwah masuk badan
….
daging
gingging
kugali gali kau
buat kubur
dari hari
ke hari
(petikan puisi “Daging”, halaman 105)
Sebuah Tanya yang menegangkan , dan terus-menerus menggaligali dalam diri. Penanda kematian yang begitu akrab, erat-lekat yang takkan pernah bisa terlepaskan. Disitu otoritas tuhan menjadi sesuatu yang mutlak untuk mengambil kembali makhluk yang diciptakannya. Otoritas mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.

kembalikan ke
abadian kata kudaku. kekasih telukmu dalam kapalku sampai
pelabuhan hilang
(petikan sajak “Siapa” halaman 106)

Kematian bagi masyarakat Jawa adalah wajib. Kepastian yang akan menghampiri setiap manusia, sebuah kepastian seperti halnya hidup itu sendiri. Dalam konsep teologis kematian merupakan sebuah ketentuan yang semakin mendekat ke dalam kehidupan manusia. Semakin bertambah usia seseorang, sebenarnya semakin dekat waktu untuk sampai kepada ajal. Makin bertambah usia seperti tabungan kematian yang kian menumpuk di dalam diri dan sampai penuh, tibanya waktu kematian.

HEMAT
dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan

dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan

maut mmenabung ku
segobang segobang

Pesona maut bagi Sutardji merupakan batas kendali pencarian dan arti hidup. Suatu kendali yang semakin menguatkan kesadaran manusia yang takkan sampai dan atau menyamai tuhan maha pencipta yang menciptakannya. Di saat di rasa panjang disitu pula maut mengeram karena kematian berserak di berbagai ruang dan waktu
di lapangan berlayar kubur-kubur
kau dengar denyarnya
membawa pelabuhan pergi.
(petikan sajak “Kubur” halaman 94)

Kematian akan mendatangi setiap yang bernyawa dan tidak bisa terhindar darinya. Sebuah kepastian, yang setiap waktu menggali lubangnya di dalam daging kehidupan.:
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan mebawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
(Petikan sajak” Perjalanan Kubur” halaman 96)
Maut tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau ditakutkan. Maut menjadi arah sebagai sungai menuju laut, sebagai laut menuju awan, dan awan menurunkan hujan. Sebuah sirkulasi hidup yang akan kembali kepangkal ke akar. Ke pohon ke bunga-bunga. Pesona yang indah, di saat bunga-bunga menebarkan semerbaknya. Bukankah setelah kematian seseorang maka akan terbaca kitab kehidupan baik dan buruknya. Usia yang terus mengalir bagai hujan melayarkan kubur-kubur:

lalu
di dalamnya
kulayarkan kubur-kubur
kayuh
demi
kayuhku
(petikan sajak “Hujan” halaman 98)
Aroma maut juga dapat ditemukan pada sajak-sajak: Hyang Tak Jadi, Lalat, Hujan, dan Bayangkan.
Betapa maut menebarkan pesona sebagai tapal batas perjalanan duniawi yang selalu mengucap-ucap, memanggil-manggil dalam diri Sutardji. Pergumulannya begitu intens dalam nyeri sekaligus pesona bahkan kadang terasa mengenaskan. Kematian yang akan datang dan mengakhiri riwayatnya, tetapi tidak sajak-sajaknya.
Kalau mati
Mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
Jiwa membumbung dalam baris sajak
(Petikan sajak “ Walau” halaman 107)


(5)
Penutup

Tak dapat dipungkiri kalau akhirnya sajak-sajak dalam O, Amuk, Kapak adalah puncak kepenyairan Sutardji, puncak yang lain dari sastrawan di masanya. Apa yang dikerjakan akhirnya menjadi penanda akan keberadaan dan pembaharuannya dalam khazanah sastra Indonesia. Melalui kredo “ membebaskan Kata dari beban Makna” Sutardji telah membebaskan kata dari beban makna, menghancurklan perangkap-perangkap pengertian yang selama ini memenjara kata dari kebebasan sebagai dirinya sendiri.
Sutardji telah berhasil melawan terhadap kematian bahasa atau bahasa yang telah kehilangan makna. Untuk mengembalikan kata pada awalnya. Mantra! Pengembalian kata pada asal, yang kemudian memberikan aneka kemungkinan, aneka tafsir secara tekstual, bahkan lebih jauh menghadirkan tafsir visual dan auditif.
Pergumulan melawan kematian bahasa dengan menghancurkan sekaligus menawarkan pemahaman yang lain (baru). Pergumulan melawan kematian bahasa sekaligus menghadapi kematian atau kehadiran tuhan dalam dirinya, diri manusia. Betapa nyeri dan pedih di antara liar dan garang Sutardji mencari dan memaknai tuhan. Sutardji sebagai aku yang bukan penyair sekedar,” tetapi/aku (penyair)/depan/depan yang memburu/membebaskan kata/ memanggil Mu. Pemberontakan yang merindukan kehadiran tuhan dalam dirinya, keinginan untuk menyatu dengan tuhan. Namun kesadaran akan keterbatasannya sebagai makhluk akhirnya memalingkan keinginnannya untuk menghadirkan tuhan dalam dirinya,: sekarang tak!
Perlawan-perlawanan yang terkadang terasa inkovensional, anarkhis, dan chaos telah memulangkan kata bebas untuk menentukan dirinya. Bebas dari penajara makna dan pengertian. Ternyata kemudian memenjara Sutardji yang tidak bisa keluar dari kredo yang memerangkapnya. Tiga puluh lima tahun sudah sejak kredo “membebaskan kata dari Beban Makna” diteriakkan. Telah 27 Tahun “O, Amuk, Kapak” dibukukan oleh penerbit Sinar Harapan, namun belum lahir buku puisi Sutardji berikutnya. Meski belum ada buku sajak yang diterbitkan, beberapa sajak Sutardji berlahrian yang terkumpul dalam antologi bersma atau diterbitkan di beberapa media cetak.
Di saat publik puisi merindukan kehadiran buku sajaknya yang baru justru Sutardji menerbitkan kumpulan cerpen, “Hujan Menulis Ayam” cerpen-cerpen yang pernah ditulisnya ketika mahasiswa dan menurut beberapa pengamat memiliki kualitas yang lumayan bagus, meski tidak sefenomenal kumpulan puisi “O,Amuk, Kapak”. Penungguan yang tak kunjung tiba, sebagai penantian Sutardji yang tak kunjung menemukan pijakan puncak yang lain.
tanah tanah tanah
beri aku puncak
untuk mulai lagi berpijak
(Potongan sajak “ Nuh” halaman 95)
Tidak ada lagi tanah puncak kreatifitas kepenyairan Sutardji setelah O, Amuk, Kapak. Apakah akhir dari puncak kepenyairan Sutardji di usianya yang kian mendaki? Wallahualam bisshawab.
Sumenep, Mei 2008

[1] Petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998 di Teater Besar - Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Juga dimuat dalam majalah sastra HOROSON XXXII/5/1998. Halaman 4-7
[2] L Tengsoe Tjahjono, 2005. Menembus Kabut Puisi, Malang : Penerbit Dioma hal 7-9.
[3] Hasif Amini. 2002. “Derau”-Bentara Kompas jumat, 4 april halalan 44.
[4] Baca Penyair dan Telurnya, esai Siutardji Calzoum Bachri dalam Bentara – KOMPAS- jumat, 2 noverber 2001 halaman 44.
[5] Lihat esai Sutardji dalam Bentara KOMPAS berjudul “Puisi Besar” 1 Juni 2001 halaman 40.
[6] Sutardji Calzoum Bachri. 2001. “ Khotbah di Bukit Sajak” Lembaran Bentara KOMPAS -2 Feburari – halaman 30.
[7] Petikan dari Pengantar Kapak dalam buku O Amuk Kapak, terbitanYayasan Indonesai dan Majalah Sastra Horison cetakan ke-2 tahun 2002 halaman 84.
[8] Sutardji Calzoum Bachri. 2001. “Rasa Hormat Terhadap Puisi” Catatan Kebudayaan Majalah Horison XXX/V/7/2001.
[9] Potongan baris sajak Chairil Anwar yang berjudul’ Aku”
[10] Lihat Sutardji Calzoum Bachri.2002. “ Tak Terperi” Lembar Bentara KOMPAS.- jumat, 5 April – halaman 32
[11] Agus R Sarjono, 2004. “Kucing di Tanah Air Mata Sutardji Calzoum Bachri” HORISON – Kakilangit 93 september.
[12] Sutardji Calzoum Bachri.2001. “Stateless”- di Lembar Bentara KOMPAS, jumat 7 September hal.44
[13] Petikan Pengantar Kapak halaman 82 dalam buku Puisi “O Amuk Kapak” . Jakarta: Yayasan Indonesia dan Majalah Horison
[14] Petikan pidato Sutardji Calzoum Bachri pada acara penyerhan Anugerah Sastra Chairil Anwar pada tanggal 20 Maret 1998 di Teater Besar Taman Ismail Marzuki – Jakarta.
[15] Petikan Kredo Puisi dalam O Amuk kapak halaman 5
[16] Gendut Riyanto, “Puisi Rupa, Habis Gelap Terbitlah Gelap” . Yogyakarta. 1992.
[17] Baca Curriculum Vitae Sutardji, tulisan Ikranegara dalam Majalah Horison XXXII/5/1998.
[18] Kutipan dari tulisan esai Afrizal Malna yang berjudul “ Narasi Baru dari Kematian Kata dan Pluralisme Media “ dalam majalah Horison XXXII/10/1997 halaman 7
[19] Petikan dari kredo puisi halaman 5
[20] Lihat Sumadji. 2004. :Hu! Aku Bukan Penyair Kelas Dua”, Kakilangit HORISON XXXIX/9/ halaman 23.
[21] Baca Arief B Prasetyo.2001. “Dalam Pusaran Takdir Sisyphus – Biografi Literer Sastrawan – Pelukis – Frans Nadjira. Majalah Horison XXXV/9/2001.
[22]Hasif Amini.2002. “Mencari”,, Lembaran Bentara KOMPAS, Senin 9 Desember – halaman 30.
[23] Slamet Sukirnanto .. “Sekitar Pemikiran dan Permasalahan Sosial dalam Puisi Indonesia Mutakhir”. Jakarta: Majalah Horison /XXIII/293-294 N0.9 Th.XIII September 1988.
[24] Jamal D Rahman, “Bahasa – Sastra dan Civil Society” dalam catatan Kebudayaaan Horison XXXV/5/2002.
[25] Lihat esai Sutardji Calzoum Bachri,” Nama Akrab Kata-kata” dalam lembaran Bentara – Kompas, Jumat 2 Maret 2001 halaman 32.
[26] Cuplikan dari Pidato Kebudayaan berjudul “ Sutardji Calzoum Bachri, Penyair Yang Terus MencarI” yang dibacakan pada acara penyerahan Hadiah Sastra Chairil Anwar di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 20 Maret 1998 dan dimuat dalam Majalah Horison XXXII/5/1998.

Tidak ada komentar: