Translate

Rabu, 15 Oktober 2008

BUDAYA TV vs BUDAYA BACA

oleh: Hidayat Raharja

Kita belajar: 10% dari apa yang kita baca

(Dr. Vernon A Magnesen)

Tidak dapat diingkari pabila televise sebagai kotak ajaib yang mampu mempengaruhi penontonnya. Tayangan yang bias memberikan inspirasi, dan mengubah hidup seseorang. Namun di sisi lain banyak tayangan sampah dalam televisi yang menjerumuskan hidup manusia. Basgaimana persepsi cantik disodorkan televisi lewat iklan kosmetika, bahwa gemuk diidentikan dengan tidak cantik, sementara tubuh kurus seorang perempuan identik dengan konsep cantik. Penjajahan konsepsi, kemudian membuat tak nyaman wanita yang bertubuh gemuk. Sisi mata pedang yang bisa menghunus nasib buruk, juga secara bijak dapat menyibak kehidupan menjadi lebih baik.

Saat kemajuan teknologi komunikasi mampu menayangkan berbagai informasi dan bahkan mampu menyalurkan acara televisi dari bebragai benua ke tengah-tengah keluarga. Televisi telah menjadikan manusia sebagai obyek yang dijadikan sasaran empuk para pengelola televisi untuk menjadi pengikutnya, sehingga TV dikatakan sebagai “Second God” dalam kehidupan modern. Bagaimana ketergantungan ibu rumah tangga dan gadis remaja untuk selalu menyaksikan serial sinetron yang ditayangkan televisi. Bagaimana pula pengaruh gaya hidup dalam sinetron mempengaruhi kehidupan nyata dalam masyarakat kita. Juga bagimana gaya berbicara para artis di dalam sinetron mempengaruhi gaya bicara anak-anak muda. Sebuah realitas yang menunjukkan hadir dan berkembangnya budaya menonton di tengah-tengah masyarakat.

Lalu apakah dengan demikian, maka perlu secara mendesak untuk membuat buku TV; buku yang didengar sekaligus dilihat, sehingga masyarakat kita menjadi melek buku. Nantinya akan terbangun masyarakat yang mencintai buku. Sebuah anggapan bahwa buku mampu meningkatkan kecerdasan dan kehidupan seseorang. Pada hal dalam realitas kehidupan, banyak orang sukses yang tidak bisa membaca atu hanya berpendidikan rendah dan bukan pencinta buku. Tetapi yang harus diyakini mereka mampu membaca kegagalan dan peluang yang dapat diraih dalam kehidupannya.

Menyalahkan kehadiran teknologi informasi – televisi adalah tidak bijaksana, juga menggantungkan semua harapan kepada televisi berlebihan karena setia media memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Bahwa tayangan di dalam televisi sangat menarik bagi pemirsa karena kemasan yang memikat bisa ditonton, didengar, dan dilihat. Namun tayangan semacam ini amat berbeda dengan pembacaan tekstual (literer) karena dalam pembacaan teks akan memicu pembaca untuk mengembangkan dan membangun imajinasi sehingga merangsang berpikir keratif berdasarkan serapan informasi yang dibacanya. Rangsangan imajinasi yang dibangun dari pembacaan teks akan sangat bergantung kepada pengalaman literer teks, atau pengalaman riel pembaca. Di sinilah sebenarnya uniknya buku dan sangta berbeda dengan media audiovisual.

Jika buku dijadikan sebagai media untuk memperoleh informasi atau media belajar , maka berpijak kepada pendapat Vernon A Magnesen di awal pembuka tulisan ini. Peran membaca amat kecil pada kehidupan seseorang hanya sekitar 10 % . Artinya kita tidak perlu ngotot untuk menjadikan budaya membaca teks sebagai satu-satunya upaya untuk memintarkan masyarakat. Namun budaya setempat yang dapat mengembangkan wawasan adalah cara yang paling bijak untuk mengambangkannya tanpa membuat masyarakat terpaksa, tetapi dengan kesadaran untuk senantiasa mendapatkan informasi.Juga tidak kalah pentingnya, adalah memberikan informasi yang berhubungan dnegan kebutuhan masyarakat setempat. Kebutuhan untuk selalu mendapatkan informasi dan mengembangkan diri patut untuk dikembangkan. Karena ternyata efektifitas belajar menurut Magnesen 90% diperoleh dari apa yang kita katakan dan lakukan.

Sangat tidak mungkin kita membacakan buku-buku politik di hadapan petani, karena yang dibutuhkan petani adalah bagaimana meningkatkan produksi pertanian. Sangat tidak mungkin utnuk merubah kehidupan para petani yang minat bacanya rendah disodorkan buku pertanian, tetapi yang dibutuhkan mereka adalah bagaimana mempraktikan peningkatan produksi pertanian dalam kehidupan mereka yang berbeda dengan lingkungan di tempat lain. Betapa banyak kearifan lokal di tengah-tengah masyarakat yang kaya makna, namun kita abaikan karena sering diekjutkan oleh informasi-informasi dari luar yang kadang kurang kondusif dengan lingkungan setempat.

Seberapa besar prosentase masyarakat Indonesia yang membaca dan mencintai buku. Bila menengok kembali”pledoi “ Gunawan Mohamad terhadap kesusastraan Indoensia yang terpencil. Pembaca keusastraan Indonesia adalah 15 % penduduk Indonesia. Bahkan jauh kurang dari itu (Rosjidi,1997:535-542). Meski asumsi Gunawan mengenai pembaca kesusastraan Indonesia, keadaannya tidk jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Jumlah yang tidak akan jauh berbeda dari waktu ke waktu. Buku masih banyak tersentuh oleh kaum terpelajar, masyarakat perkotaan dan sekitarnya.

Situs www//multiply.com di halaman utamanya menginformasikan sekitar 8 jutaan orang setiap hari yang mengakses data foto, informasi, musik, dan video. Mereka melakukan pengunduhan data, berinteraksi dari dan ke berbagai belahan dunia. Jika diprosentasekan dengan jumlah penduduk dunia yang sekitar 6 milyar prosentase tersebut tak jauh berbeda dengan paparan data Gunawan Mohamad dua-tiga puluh tahun lalu. Artinya dari waktu ke waktu pembaca buku tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Persoalannya apakah dengan pembuatan “Buku TV” serta merta akan meningkatkan pembaca buku di negeri ini? Pertama, saya teringat jaman kejayaan radio di tanah air, saat itu muncul majalah radio yang memberikan aneka informasi mulai dari masak-memasak sampai tips untuk menanggulangi gigitan nyamuk. Suatu masa yang kemudian diikuti dengan pembentukan klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa)di tiap-tiap desa, antar kelompok dikompetisikan mulai dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat nasional. Seberapa banyak yang mengikutinya, setidak-tidaknya hanya para anggota klompencapir yang akan mengikuti lomba antar klompencapir.

Kedua, ada tayangan 100 file tokoh berpengaruh di dunia ditayangkan oleh metroTV. Tayangannya cukup menarik, detail, dan sangat informatif. Anda bisa meragukan bahwa penontonnya tidak akan sebanyak penonton tayangan sinetron remaja yang berbusa-busa. Artinya ada spesifikasi yang berbeda antara tayangan sebuah informasi dengan sebuah hiburan. Dengan kata lain pembuatan “Buku TV” adalah sesuatu yang menarik, namun perlu diragukan untuk bisa meningkatkan minat atau budaya baca. Karena budaya baca, jika yang dimaksudkan budaya pembacaan literer, maka segmen pembacanya tidak akan jauh berberda dari waktu ke waktu.

Ketiga, komik sebagai alternatif bacaan untuk menumbuhkan budaya baca. Jika yang dimaksudkan adalah komik percintaan, barangkali itu pangsa remaja kita, Namun seberapa peningkatan pembaca dengan hadirnya “komik buku” yang didalamnya memuat materi fisika, kimia, biologi, matematika. Ternyata tak mampu memberikan kontribusi yang berarti terhadap kecintaan terhadap fisika, kimia, biologi, dan matematika di kalangan remaja.

Namun begitu bukan sia-sia untuk membuat buku TV, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menguatkan tradisi lokal dalam “Permbacaan” sebagai salah satu kekuatan di dunia timur yang spesifik dan ternyata benar-benar menjadi kanal alternatif di saat modernisme mengagungkan kedanggihan teknologi. Hakikatnya bahwa alam terbentang adalah sebuah teks yang bergera berinteraksi yang membutuhkan pembacaan bukan hanya secara literer namun juga secara filosofis.

Tidak ada komentar: