Translate

Rabu, 10 Juni 2015

Puisi dan Rupa BH Riyanto





(membaca Suramadu; kisah kau-aku”)



Oleh: Hidayat Raharja*

Ada berapa selat berapa jembatan ada berapa/angin di hatimu di hatiku, yang terus saja/ bergemuruh; maka, kelak pasti ada berita rindu melambungkan kembali gelombang/ kisah kau-aku bernama; kenangan…// 2012 ( Suramadu #1: kisah Kau aku” halaman44-45)



Puisi masih menjadi spesies yang sangat menarik di antara perkembangan satra Indonesia. Spesies yang selalu berbiak di setiap kantung-kantung budaya sebagai hasil perkawinan antara peristiwa dengan kontemplasi penyair yang tertuang dalam kata-kata. Cinta yang lahir di antara peristiwa (pengalaman penyair),memiliki ruang ekspresi yang amat luas. Ruang cinta yang bisa menghablurkan seluruh jagad menjadi cinta yang hakiki dan abadi. Cinta makhluk kepada sang Khaliq yang tercermin dalamseluruh aspek kehidupan manusia. Di sini pertaruhan pertaruhan puisi cinta dalam puisi yang multiinterpretable. Namun tidak jarang puisi-puisi cinta terjerembab ke dalam percintaan yang dangkal dan menjadikannya sebagai spesies sederhana di tengah habitatnya.

Cinta takkan ada habisnya untuk digali dan ditafsirkan kembali. Cinta terus-menerus menemukan aktualitasnya disetiap jaman beriring dengan pergerakan kebudayaan yang  berlangsung di tengah masyarakat. Di saat dunia teknologi dan informasi belum segawat sekarang, puisi tumbuh di dalam buku diary seorang remaja yang tengah putus cinta atau jatuh cinta. Maka berlahiran puisi-puisi cinta yang sublim maupun yang vulgar sebagai sebuah perjalan spesies di tengah dinamika kehidupan ekosistemnya.

Kekuatan kata-kata adalah organ-organ yang membangun tubuh puisi sedemikian rupa sehingga menjadi tubuh yang utuh dan unik. Satu kesatuan tubuh yang saling melengkapi, berinteraksi  memberikan makna bagi setiap pembacanya. Maka, tidak berlebihan jika setiap pembaca akan memberikan tafsir yang berbeda karena latar belakang literer dan budaya yang dialaminya. Begitulah sebuah puisi akan sellau membukakan pintu tafsir karena kata-kata dalam puisi tidak  sama dengan berita. Puisi bukan bahasa denotatif tetapi konotatif. Bahasa tersembunyi. Maka, wajar jika hidup puisi sebagai spesies yang unik akan memberikan pengalaman dan tafsir baru bagi setiap pembaca.

Spesies puisi dengan keragamannya memiliki kerumitan sistem yang berbeda dan dipergunakan dalam permainan bentuk atau pun gaya ucap yang dilakukan penyair. Sebuah permainan dalam hasrat penuh sipenyair sebab puisi dilahirkan dengan kesungguhan dari permainan kreatif yang dilakukan. Ada kalanya berkelindan dalam sebuah narasi lukisan yang mewakili warna-warna dalam kanvas. Atau bahkan ada yang memcoba memberikan iringan atau padanan dengan lukisan atau gambar yang menjadi ilustrasinya. Macam inilah yang saya temukan dalam buku  Suramadu; kisah kau-aku” diterbitkan  Revka Petra Media- Surabaya (2015) setebal 52 halaman + xii, karya BH. Riyanto. Segenggaman puisi cinta yang amat menarik, dari; (1) sisi kesederhanan kata yang membangun tubuh puisi; (2) ilustrasi yang melengkapi setiap halaman puisi.

                Buku puisi “Suramadu: kau–aku” karya BH Riyanto, merupakan puisi yang gurih tanpa perlu mengernyitkan kening untuk memahami maknanya. Seikat puisi yang menggenggam hasrat untuk mengabadikan pengalaman cinta. Pengalaman pahit yang membuatnya galau atau pengalaman senang yang membuatnya bahagia. Sebegitu sederhana cinta dirajut dan dikekalkan sebagaimana dapat dibaca pada potonganlarik berikut:

Datang ke pestamu/ Bertabur mekar mawar-melati/Pelangi pun bersimpuh/Di binar matamu// ;aku turut bahagia  2001( Pesta#1, halaman 4)

Sebuah pengalaman yang jamak terjadi dan tertanam sebagai kenangan. Sebuah peesta pernikahan. Resepsi  yang dipenuhi canda tawa. Kalau yang bersedih adalah barangkali mantan keaksih ataumereka yang merasakan gagal dan pahitnya perkawinan.

                …Gempur ombakpun kausepikan/ muara hilang laut/ lalu garam terlarut tawar/; mengapa?// Andai kau tahu/ ; cintamu darah cintaku.1994 (Andai, halaman 3)



Pun kemabukan cinta antara dua kekasih, gelora rindu akan bertalu-talu  dengan debar jantung seiruh pukulan ombak  ke bibir pantai. Mabuk yang kemudian hilang kesadaran  sehingga tak lagi tahu batas antara diri dengan di luarnya. Yang lazim jadi tak lazim begitu cinta memutarbalikkan logika. Dengan gamblang penyair menjelaskan di akhir larik; cintamu darah cintaku.

"Perahu"(1994)  Karya Hidayat Raharja - Oil Pastel


Diluar kesadaran kadang sang pencinta mengalami kecewa dan keraguan dan tak paham dengan kekuatan cinta yang bisa menyuburkan kedamaian. Namun di saat yang sama sang pencinta merasakan kesepian yang tak dipahaminya sebagaimana pada larik berikut:



Sungguh, kekasih/ tak kupahami/ tenaga mana yang mengalirkan damai/ di redup matamu/sungguh/ tak bisa kupahami/ lantaran tak kutemui ikan-ikan berenang/di bening airnya. 2005 (Kebekuan, 13)



Cinta di akhir tahun adalah waktu untuk mengukur perjalanan cinta yang telah lalu dan mengukir perjalanan yang akan datang. Bagi BH Riyanto, Tahun Baru adalah momen yang sangat sayang untuk dilewatkan walau hanya sekedar menanti pergantian waktu dan menandai akhir tahun. Ia rekam birahi,lengking, terompet, hujan yang tak diharapkan datang  dan lompatan antara masa kanak dan ketika kini mengantarkan anak untuk menjemput tahun yang terbit. Catatan di antara senang dan kecewa sebab hujan yang jatuh.

Nikmati saja. sambil / kita memainkan mata pada berpasang-pasang/muda-mudi yang kecanduan meniup terompet/  itu. Seperti kecanduan pada hangat ciuman/(juga facebook). Lalu  birahi di akhir lengking/ terompet.// …seperti masa kanak kita dulu. Tapi/ seperti tahun yang lalu juga; kita terjebak/ di rimba hujan. Ya, hujan.(selalu begitu)./ hanya hujan; semoga bukan air matamu!// 2009 (Tahun Baru, halaman 34-36)

Begitulah cinta merasuki setiap orang pun juga penyair yang melahirkan speises puisi dari hasil persetubuhannya dengan pengalaman yang bunting dalam rahim kreativitas. Masa yang memendam kontemplasi untuk mematangkan benih-benih yang tumbuh dan berkembang secara embriologis menjadi spesies. Spesies yang dibangun oleh organ-organ kata yang saling berinteraksi membangun tubuh puisi.

****

Teks dan ilustrasi adalah hal lain yang cukup menarik dalam buku puisi ini. Saya melihat hampirdisetiappuisi ada ilustrasi yang entah ditujukan untuk memberikan tafsir atas puisi atau hanya sekedar pendamping yang tak dipertimbangkan kebersandingannya. Pola semacam ini mengingatkan pada  Gendut B  Riyanto dengan puisi rupanya. Sebuah kreativitas yang memadukan seni rupa dengan puisi. Puisi sebagai teks bukan hanya menyampaikan pesan namun juga memberikan visualisasi yang memperkuat atau memperjelas teks. Dalam buku puisinya “Habis Gelap Terbitlah Gelap  (1994). Gendut menulis bahwa “puisi rupa” adalah “suara, rupa kata, konsep, ide, gerak, kata rupa yang dicabik”. Menggabungkan Lukisan dan puisi juga dilakukan oleh kolaborasi antara Muhammad Taufik (Emte) dengan M Aan Mansyur dalam buku puisi “ Melihat Api Bekerja”  (Gramedia,2015). Kolaborasi antara pelukis dan penyair menurut pengakuan mereka ada saat puisi-puisi tersebut mempengaruhi karya rupa yang dihasilkan oleh Emte namun di lain waktu beberapa puisi tersebut memberikan inspirasi baru sebab ketika draft puisi diberikan,  M. Aan Mansyur masih melengkapi puisinya demikian pula dengan Emte  masih membuat ilustrasi.

                Dalam buku “Suramadu:  kau dan aku” puisi dan ilustrasi dikerjakan oleh BH Riyanto sang penyair. Ini sangat menarik, karena kesehariannya BH Riyanto sebagai guru seni rupa di sebuah SMA dan juga menulis puisi. Beberapa ilustrasi mengisi ruang kosong pada halaman puisi ada upaya untuk memberikan tafsir atas puisi. Ada upaya untuk menyelaraskan pesan  puisi dengan pesan rupa pada visualisasi gambar.

                Menikmati puisi-puisi  “Suramadu ;kau –aku” memasuki petualangan cinta yang galau yang tengah mencari kesejatian di antara debur ombak kehidupan dan hidup yang menjembatani  harapan dan realit
as yang terus bergelegak.

Sumenep,Mei 2015

*Penulis adalah guru biologi dan penikmat puisi.

Tidak ada komentar: