(membaca “Suramadu; kisah kau-aku”)
Oleh:
Hidayat Raharja*
Ada berapa selat berapa
jembatan ada berapa/angin di hatimu di hatiku, yang terus saja/ bergemuruh;
maka, kelak pasti ada berita rindu melambungkan kembali gelombang/ kisah
kau-aku bernama; kenangan…// 2012 ( Suramadu #1: kisah Kau aku” halaman44-45)
Puisi masih menjadi
spesies yang sangat menarik di antara perkembangan satra Indonesia. Spesies
yang selalu berbiak di setiap kantung-kantung budaya sebagai hasil perkawinan
antara peristiwa dengan kontemplasi penyair
yang tertuang dalam kata-kata. Cinta yang lahir di antara peristiwa (pengalaman
penyair),memiliki ruang ekspresi yang amat luas. Ruang cinta yang bisa
menghablurkan seluruh jagad menjadi cinta yang hakiki dan abadi. Cinta makhluk
kepada sang Khaliq yang tercermin dalamseluruh aspek kehidupan manusia. Di sini
pertaruhan pertaruhan puisi cinta dalam puisi yang multiinterpretable. Namun tidak jarang puisi-puisi cinta terjerembab
ke dalam percintaan yang dangkal dan menjadikannya sebagai spesies sederhana di
tengah habitatnya.
Cinta takkan ada habisnya untuk digali dan ditafsirkan
kembali. Cinta terus-menerus menemukan aktualitasnya disetiap jaman beriring
dengan pergerakan kebudayaan yang
berlangsung di tengah masyarakat. Di saat dunia teknologi dan informasi
belum segawat sekarang, puisi tumbuh di dalam buku diary seorang remaja yang tengah putus cinta atau jatuh cinta. Maka
berlahiran puisi-puisi cinta yang sublim maupun yang vulgar sebagai sebuah
perjalan spesies di tengah dinamika kehidupan ekosistemnya.
Kekuatan kata-kata adalah organ-organ yang membangun
tubuh puisi sedemikian rupa sehingga menjadi tubuh yang utuh dan unik. Satu
kesatuan tubuh yang saling melengkapi, berinteraksi memberikan makna bagi setiap pembacanya. Maka,
tidak berlebihan jika setiap pembaca akan memberikan tafsir yang berbeda karena
latar belakang literer dan budaya yang dialaminya. Begitulah sebuah puisi akan
sellau membukakan pintu tafsir karena kata-kata dalam puisi tidak sama dengan berita. Puisi bukan bahasa denotatif
tetapi konotatif. Bahasa tersembunyi. Maka, wajar jika hidup puisi sebagai
spesies yang unik akan memberikan pengalaman dan tafsir baru bagi setiap
pembaca.
Spesies puisi dengan keragamannya memiliki kerumitan
sistem yang berbeda dan dipergunakan dalam permainan bentuk atau pun gaya ucap
yang dilakukan penyair. Sebuah permainan dalam hasrat penuh sipenyair sebab
puisi dilahirkan dengan kesungguhan dari permainan kreatif yang dilakukan. Ada kalanya
berkelindan dalam sebuah narasi lukisan yang mewakili warna-warna dalam kanvas.
Atau bahkan ada yang memcoba memberikan iringan atau padanan dengan lukisan
atau gambar yang menjadi ilustrasinya. Macam inilah yang saya temukan dalam buku “Suramadu;
kisah kau-aku” diterbitkan Revka
Petra Media- Surabaya (2015) setebal 52 halaman + xii, karya BH. Riyanto.
Segenggaman puisi cinta yang amat menarik, dari; (1) sisi kesederhanan kata
yang membangun tubuh puisi; (2) ilustrasi yang melengkapi setiap halaman puisi.
Buku puisi “Suramadu:
kau–aku” karya BH Riyanto, merupakan puisi yang gurih tanpa perlu mengernyitkan
kening untuk memahami maknanya. Seikat puisi yang menggenggam hasrat untuk
mengabadikan pengalaman cinta. Pengalaman pahit yang membuatnya galau atau
pengalaman senang yang membuatnya bahagia. Sebegitu sederhana cinta dirajut dan
dikekalkan sebagaimana dapat dibaca pada potonganlarik berikut:
Datang ke pestamu/ Bertabur
mekar mawar-melati/Pelangi pun bersimpuh/Di binar matamu// ;aku turut
bahagia 2001( Pesta#1, halaman 4)
Sebuah pengalaman yang jamak terjadi dan tertanam sebagai kenangan. Sebuah
peesta pernikahan. Resepsi yang dipenuhi
canda tawa. Kalau yang bersedih adalah barangkali mantan keaksih ataumereka
yang merasakan gagal dan pahitnya perkawinan.
…Gempur
ombakpun kausepikan/ muara hilang laut/ lalu garam terlarut tawar/; mengapa?// Andai
kau tahu/ ; cintamu darah cintaku.1994 (Andai, halaman 3)
Pun kemabukan cinta antara dua kekasih, gelora rindu akan
bertalu-talu dengan debar jantung seiruh
pukulan ombak ke bibir pantai. Mabuk
yang kemudian hilang kesadaran sehingga
tak lagi tahu batas antara diri dengan di luarnya. Yang lazim jadi tak lazim
begitu cinta memutarbalikkan logika. Dengan gamblang penyair menjelaskan di
akhir larik; cintamu darah cintaku.
Diluar kesadaran kadang sang pencinta mengalami kecewa
dan keraguan dan tak paham dengan kekuatan cinta yang bisa menyuburkan
kedamaian. Namun di saat yang sama sang pencinta merasakan kesepian yang tak
dipahaminya sebagaimana pada larik berikut:
Sungguh, kekasih/ tak
kupahami/ tenaga mana yang mengalirkan damai/ di redup matamu/sungguh/ tak bisa
kupahami/ lantaran tak kutemui ikan-ikan berenang/di bening airnya. 2005
(Kebekuan, 13)
Cinta di akhir tahun adalah waktu untuk mengukur
perjalanan cinta yang telah lalu dan mengukir perjalanan yang akan datang. Bagi
BH Riyanto, Tahun Baru adalah momen yang sangat sayang untuk dilewatkan walau
hanya sekedar menanti pergantian waktu dan menandai akhir tahun. Ia rekam
birahi,lengking, terompet, hujan yang tak diharapkan datang dan lompatan antara masa kanak dan ketika
kini mengantarkan anak untuk menjemput tahun yang terbit. Catatan di antara
senang dan kecewa sebab hujan yang jatuh.
Nikmati saja. sambil / kita
memainkan mata pada berpasang-pasang/muda-mudi yang kecanduan meniup terompet/ itu. Seperti kecanduan pada hangat
ciuman/(juga facebook). Lalu birahi di
akhir lengking/ terompet.// …seperti masa kanak kita dulu. Tapi/ seperti tahun
yang lalu juga; kita terjebak/ di rimba hujan. Ya, hujan.(selalu begitu)./
hanya hujan; semoga bukan air matamu!// 2009 (Tahun Baru, halaman 34-36)
Begitulah cinta merasuki setiap orang pun juga penyair yang melahirkan
speises puisi dari hasil persetubuhannya dengan pengalaman yang bunting dalam
rahim kreativitas. Masa yang memendam kontemplasi untuk mematangkan benih-benih
yang tumbuh dan berkembang secara embriologis menjadi spesies. Spesies yang
dibangun oleh organ-organ kata yang saling berinteraksi membangun tubuh puisi.
****
Teks dan ilustrasi adalah hal lain yang cukup menarik dalam buku puisi
ini. Saya melihat hampirdisetiappuisi ada ilustrasi yang entah ditujukan untuk
memberikan tafsir atas puisi atau hanya sekedar pendamping yang tak
dipertimbangkan kebersandingannya. Pola semacam ini mengingatkan pada Gendut B
Riyanto dengan puisi rupanya. Sebuah kreativitas yang memadukan seni
rupa dengan puisi. Puisi sebagai teks bukan hanya menyampaikan pesan namun juga
memberikan visualisasi yang memperkuat atau memperjelas teks. Dalam buku
puisinya “Habis Gelap Terbitlah Gelap
(1994). Gendut menulis bahwa “puisi rupa” adalah “suara, rupa
kata, konsep, ide, gerak, kata rupa yang dicabik”. Menggabungkan Lukisan dan
puisi juga dilakukan oleh kolaborasi antara Muhammad Taufik (Emte) dengan M Aan
Mansyur dalam buku puisi “ Melihat Api Bekerja”
(Gramedia,2015). Kolaborasi antara pelukis dan penyair menurut pengakuan
mereka ada saat puisi-puisi tersebut mempengaruhi karya rupa yang dihasilkan
oleh Emte namun di lain waktu beberapa puisi tersebut memberikan inspirasi baru
sebab ketika draft puisi diberikan, M. Aan
Mansyur masih melengkapi puisinya demikian pula dengan Emte masih membuat ilustrasi.
Dalam buku “Suramadu: kau dan aku” puisi dan ilustrasi
dikerjakan oleh BH Riyanto sang penyair. Ini sangat menarik, karena
kesehariannya BH Riyanto sebagai guru seni rupa di sebuah SMA dan juga menulis
puisi. Beberapa ilustrasi mengisi ruang kosong pada halaman puisi ada upaya
untuk memberikan tafsir atas puisi. Ada upaya untuk menyelaraskan pesan puisi dengan pesan rupa pada visualisasi
gambar.
Menikmati puisi-puisi
“Suramadu ;kau –aku” memasuki petualangan cinta yang galau yang tengah
mencari kesejatian di antara debur ombak kehidupan dan hidup yang
menjembatani harapan dan realit
as yang
terus bergelegak.
Sumenep,Mei 2015
*Penulis adalah guru biologi dan penikmat
puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar