"Dengarlah" - Lukisan Hidayat Raharja |
Memperingati hari pendidikan bagi saya sangat sederhana. Bukan dengan
upacara yang penuh formalitas atau dengan menyanyikan Hymne Guru. Saya hanya
merenungi kembali apa yang telah diperoleh dari dunia pendidikan dan apa yang
telah saya berikan kepada dunia pendidikan. Pertanyaan sederhana, hanya untuk
diri saya. Saya merasakan bahwa banyak hal yang belum saya perbuat. Banyak hal
belum saya lakukan untuk memajukan pendidikan.
Terimakasih saya buat
ayah dan ibu. Ayah yang menuntun saya belajar dan diajaknya saya ke tempatnya mengajar, sehingga saya jadi peserta didik yang paling
muda di kelasnya. Usia 4 tahun dikelas 1 Sekolah Dasar. Saya hanya dilatih
untuk membuat garis lurus, garis lengkung, sehingga
tanganku lemas memegang pensil. Lalu diajarinya
menulis huruf kapital dan huruf kecil. Saya ikut-ikutan belajar di kelas 1 yang jumlah
muridnya sekitar 50 orang. Ya, jumlah yang banyak, karena saat itu belum dikenal
keluarga berencana. Dalam satu keluarga memiliki setidaknya 5 anak sehingga benar-benar
merupakan sebuah kelauarga besar. Maka dikelas 1 jumlah siswa setiap tahun
banyak, namun tak bertahan lama karena beberapa bulan kemudian mereka berhenti.
Ayah yang mengajari saya menulis dan membaca. Di rumah
ayah menuliskan huruf kapital dan huruf kecil di atas kertas tebal dengan
menggunakan spidol. Ayah mengambil abjad secara acak dan saya menyebutkannya.
Demikian selalu sehingga saya benar-benar mengenal huruf dan bisa membaca. Di
kelas satu saya sudah bisa membaca dengan baik. Ayah selalu memotivasi agar
saya giat belajar. Sampai saya menyelesaikan pendididkan dasar di usia 10
tahun.
Waktu di Sekolah
Dasar kelas V ayah mengajari saya membaca puisi dan membacakannya di
panggung Agustusan di halaman kantor kecamatan. Puisi berjudul “Pahlawan”,
puisi pertama kali yang saya bacakan di atas panggung. Ini barangkali awal saya
mencintai dunia puisi. Meski kemudian dilarang oleh ayah untuk membaca
buku-buku fiksi, diam-diam saya membacanya sembunyi-sembunyi tanpa
sepengetahuan ayah.
Untuk memasuki SMP saya harus mengikuti tes tulis di
SMP Negeri 1 Sampang. Ayah menyuruh saya mencobanya,jika tidaklulus saya
diminta untukmengikutikembali pelajaran kelas VI dan mengikuti ujian masuk
SMPdi tahun berikutnya. Tak dinyana, hasil tes yang saya diikuti dinyatakan
lulus dan diterima di SMP 1 Sampang. Betapa girang hati saya. Sepulang melihat
pengumuman saya memberikan kabar gembira kepada ayah dan ebuk bahwa saya
diterima di SMP 1 Sampang. Ayah sempat ragu-ragu apakah saya harus melanjutkan
ke SMP atau mengulang lagi di kelas VI. Saya menangis memohon kepada ayah untuk
mencoba sekolah di SMP 1 Sampang. Hari berikutnya baru ayah memutuskan saya
boleh melanjutkan ke SMP dan membayar uang seranag lengkap saat itu Rp. 15.000
(lima belas ribu rupiah). Aku paham kekhawatiran ayah, karena jarak dari rumah
ke SMP sampang 14 Km. setiap hari saya harus naik angkutan umum bersama dengan
bakul sayur ke kota, tentu dengan uang transpor yang harus disediakan setiap
hari. Barangkali ini salah satu keberatan ayah.
Memasuki SMP di kota Sampang, ada perubahan jadwal
kegiatan harian baru. Saya harus bangun pagi jam 04.00 wib, sholat subuh dan
menyiapkan berangkat sekolah, sarapan pagi. Pukul 05.00 saya harus sudah keluar
rumah untuk menunggu angkutan umum yang mengangkut bakul sayur ke kota Sampang.
Pukul 05.30 mobil angkutan sudah berangkat. Saya siswa dari kampung yang paling
pagi berangkat ke sekolah. Sampai di Sampang sekitar pukul 06.00 dan dari
tempat pemberhentian mobil angkutan ke sekolahku berjarak 2 km, saya tempuh dengan
berjalan kaki. Pukul 06.15 saya sudah sampai di sekolah yang datang baru tukang
kebun yang tengah membersihkan ruang kelas dan halaman sekolah.
Saya sering diolok-olok tukang kebun oleh teman
sekampung yang sekolah di SMP 1 Sampang. Tapi saya tak perduli. Ayah dan ibu
selalu menyemangati supaya saya bersungguh-sungguh. Lebih baik datang lebih
pagi daripada datang terlambat, begitu selalu yang dituturkannya ketika saya
mengeluh karena terlalu pagi sampai di sekolah. Pulang sekolah pukul 12.30 saya
berjalan kaki ke tempat angkutan jurusan Omben. Siang yang terik. Bila ada
teman yang bersepeda kadang aku diboncengnya. Karena sudah terbiasa berjalan
kaki, siang terik tak masalah, sebab saya ingin segera sampai rumah.
Pukul 13.00 atau 13.30 saya sudah sampai di rumah, dan
ibu sudah menyiapkan makan siang. Ibu yang selalu sabar dan penuh kasih
melayani anak-anaknya. Jika ingat ibu, tak terbalaskan jasa yang pernah
diberikan kepada anak-anaknya. Hanya doa yang selalu tercurah supaya ibu
mendapatkan ampunn-Nya dan berbahagia di alam sana. Amin. Ia hanya menginginkan
saya menjadi orang yang berilmu dan
berguna bagi orang lain. Keinginan yang sederhana, sebab bagi ibu tak
ada gunanya orang pintar tapi tidak memberikan manfaat bagi orang lain.
Di SMP 1 Sampang, saya pernah hendak mengikuti lomba
mengarang yang diadakan oleh Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lomba itu saya
ketahui dari bapak Derajat guru bahasa Indonesia dan juga wali kelas saya
dikelas I-A. Naskah karangan sudah saya buat, empat halaman kertas buku. Karangan
mengenai lingkungan. Sambil membuat karangan saya membayangkan sebagai pemenangnya, dan mendapatkan hadiah.
Namun sayang, ketika naskah akan saya serahkan kepada pak Derajat, naskahnya
hilang. Saya kecewa, hanya kecewa. Entah,
ini barangkali yang menjadikan menulis
sebagai salah satu aktivitas saya hingga saat ini.
Bila sore tiba ibu memanggil saya dan adik untuk mandi
dan bersiap-siap belajar mengaji di langgar. Sebuah langgar kecil dan embah
Fudholi dan Mbah Hadiyah yang mengajari saya dan saudara-saudara sepupu dan
tetangga dekat. Mbah Hadiyah lebih sering mengajar daripada mbah Fudholi,
karena mbah Fudholi lebih sering di Surabaya mengurus dagangan besi tuanya.
Saya diajarinya mengeja bacaan Al-Quran, menirukan dan mengulangi. Lambat
memang untuk mengerti tapi disini saya merasakan proses belajar bukan hanya
membaca tetapi juga belajar mengenal kehidupan. Jika bak kamar mandi mbah
kosong maka kami bergantian untuk mengisinya sampai penuh, karena disitu pula
saya dan teman-teman mengambil air wudhu. Dari maghrib sampai isyak – kami
belajar mengaji. Santri yang sudah lancar membaca membimbing santri yang masih
mengeja. Hanya bila malam jum’at kegiatan mengaji diganti kegiatan belajar
sholat dan menghafal surat-srat pendek dan beberapa doa.
Usai isyak saya belajar dan mengerjakan tugas untuk
pelajaran esok pagi. Kegiatan belajar ini berlangsung sampai pukul sembilan.
Istirahat dan sebelum subuh kembali bangun melakukan aktivitas pagi hari
menjelang sekolah. Sebuah rutinitas yang berlangsung saban hari, sehingga bila
hari sabtu tiba, bahagianya tak terkira. Hari itu hari bebas bagi saya untuk
bermain dan melepaskan beban belajar. Sabtu siang sampai minggu sore adalah
hari yang menyenangkan. Malam minggu adalah saat nonton acara televisi di rumah
H. Mattahir atau di rumah H. Matsaid – kepala desa Temoran.
Pendidikan SMA bagi saya merupakan pengalaman yang
paling berkesan. Karena saya memasuki masyarakat yang baru, yaitu kota
Pamekasan. Sebuah kota yang menjadi impian saya sebelumnya untuk bisa
bersekolah di kota ini. Saya bersekolah di SMA Negeri 1 Pamekasan setelah lulus
tes tulis. Sekolah dengan bangunan bersejarah dan banyak hal yang saya timba di
tempat ini.
Saya kos didekat sekolah di sebelah Masjid Al-Anshor –
Sedandang – jalan KH. Agus Salim. Sebuah tempat kos yang sangat peduli dengan
pendidikan penghuninya. Saya bersyukur bisa sampai di tempat ini karena selain
sekolah dilibatkan pula dengan kegiatan keagamaan yang berlangsung di masjid.
Tiga tahun terasa kesannya sangat mendalam disini saya menempuh pendidikan,
bukan hanya mengembangkan intelektual tetapi juga mengembangkan akhlak secara
praksis. Terimakasih kepada Bapak Ahmad Hadrawi (Alm) dan Nyai Hasiyah yang
telah banyak membimbing saya dalam belajar di kehidupan ini. Mereka adalah guru
yang mengajarkan dengan sabar bagaimana belajar yang sebenarnya. Mereka
benar-benar sebagai penganti ayah dan ibu yang ada di kampung. Di tempat ini
saya mengenal bagaimana semangat belajar dan berkompetisi. Bagaimana menggantungkan cita-cita setinggi langit
supaya tidak jatuh.
Kesenian adalah mata pelajaran yang paling aku suka.
Bapak Helmy, terimakasih Bapak, telah memberikan kebebasan saya meuangkan
kreativitas. Bapak telah menumbuhkan kepercayaan terhadap apa yang saya
kerjakan. Saya pernah ingin mengikuti jejakmu tetapi saya masuk ke ruang kuliah
biologi, sehingga kini jadi guru biologi. Namun kreativitas yang telah bapak
pantik, kini terus menyala dalam diri.
Sekolah yang saya alami adalah dunia belajar yang sangat menarik.
Matematika yang bersudut dan kaku selalu membuat tengkuk gemetar dengan
soal-soal bidang dan ruang yang tumpah di papan. Saya hanya berani mengerjakan
aritmatika dan aljabar. Bila pelajaran matematika berlangsung yang saya tunggu
dentang bel berakhir.
Fisika. Vektor dan arah putaran baut itu lekat di
jidat saya, karena ketika saya tidak bisa mengerjakan soal vektor sebatang
kapur tulis menyentuh jidat menyuruh saya berpikir. Namun kebencian pada fisika
ini kembali punah dengan rasa gembira saat bapak Purwedi Bambang Rusdianto
(PBR) mengenalkan belajar fisika 24 jam. Sangat Menarik, dan saya menemukan
fisika yang lebih mengasyikkan di tetatralogi Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata.
Kimia. Ocatana, dietilmetana. Pusing saya dibuatnya
saya ingat nomer atom. Ah, waktu-waktu yang sangat mendebarkan. Saya hanya
tertarik dengan kimia lingkungan, sebab disinilah saya merasakan kebermanfaatan
ilmu kimia yang saya rasakan jlimet menemukan aktualisasinya.
VOC ( Vereenigde
Oostindische Compagnie) sebutan yang snagat lekat dnegan pelajaran sejarah.
Ibu Martini yang cantik mengajarkan sejarah, mengenalkan sejarah dengan
korporasi VOC yang menguasai wilayah Nusantara. Aku baru paham kemudian jika
sejarah bukan hanya tahun dan tanggal peristiwa, namun sejarah adalah bagian
dari kehidupan manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejarah yang
menempatkan peristiwa sebagai sebuah konteks yang dialogis dan memberikan
banyak tafsir baghi setiap peminatnya.
Jangan suruh pidato di depan kelas, karena saya tak
bisa mengatur irama pembicaraan. Saya hanya menghafal teks yang saya susun dan
dibacakan kembali di depan kelas. Semua tegang,karena memang tak pernah mencoba
berpidato di depan kelas. Saya menjelaskan rencana pertarungan Thomas Americo
dalam memperebutkan sabuk kejuaraan OPBF. Thomas Americo merupakan petinju Indonesia
perta yang menantang juara dunia kelas welter yunior WBC, Saoul Mamby di
Jakarta pada tahun 1981.
Saya senang pelajaran PKK. Saya belajar membuat pola
dan menjahit baju. Saya diajari memadu-madankan warna kostum yang serasi. Di
sini saya mengenal sedikit tentang ilmu fashion. Fungsi gari vertikal dan
horizontal yang ada pada kain. Warna netral dan warna kontras. Terimakasih ibu
Siti hajar. Saya belajar membuat masakan dan menyajikannya. Kenangan yang
sangat mengesankan.
Ada Uki (Achmad Marzuki) teman belajar yang sangat
kritis, progressif, darinya saya kenal bagaimana belajar otodidak dan
bertanggungjawab, berani dan tidak takut menghadapi tantangan. Ia belajar
bahasa Inggris melalui siaran Radio Asutralia dan memperlancar coversation
dengan menjadi guide amatir pada saat berlangsung kerapan sapi memperebutkan
piala Presiden Republik Indonesia.
Orang-orang yang selalu saya kenang setiap
memperingati Haria Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Kepada mereka saya
banyak belajar dan kepada mereka saya banyak berterimakasih yang dengan tulus
memberikan ilmunya dan menjadikannya saya seperti sekarang ini. Seorang Guru
dan penulis.
Sumenep,
2 Mei 2015
Hidayat
Raharja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar