"Ayah" -Hidayat Raharja |
Ayah tak penah menyerah
sesekali dia mendapatkan siswa kelas satu sampai delapan puluh siswa. Jumlah
yang banyak sehingga harus dipisah dalam dua kelas. Keberhasilan yang
menyenangkan walau sifatnya sementara. Sebab, seiring dengan waktu banyak di antara
mereka yang berhenti di tengah jalan di bulan kedua atau ketiga. Mereka lebih
suka ikut bapak atau ibunya ke ladang atau ke pasar. Tahun berikutnya mereka diajak lagi untuk bersekolah, awalnya senang bertemu
dengan banyak teman, namun kemudian mereka kembali
berhenti tak mau bersekolah.
Jika dicermati mereka hanya
sekolah sampai kelas III atau kelas IV setelah bisa menulis dan berhitung
mereka sudah merasa cukup untuk menimba ilmu sebagai bekal hidup mereka bermasyarakat. Jika
anakperempuan setelah mengalami menstruasi pertama, mereka dianggap telah
dewasa dan berhenti sekolah untuk menikah. Bukan hal aneh, perkawinan usia dini
merupakan hal yang lumrah. Sebab, jika anak gadis tidak segera menikah dianggap
tidak laku dan akan menjadi pergunjingan di kampung.
Bagi anak laki-laki setelah menamatkan bangku Sekolah Dasar,
dengan selembar iiazah tersebut mereka mendatangi kota Surabaya atau ke daerah
lain untuk menjadi buruh pabrik. Ya,kota besar jadi magnet bagi mereka.
Keramaian dan segala fasilitasnya menjadi daya tarik mereka untuk mendatangi
meski tidak punya bekal keterampilan. Jadi penarik beca, kernet angkutan umum,
pemilah logam di pengolahan besi tua,dan semacamnya merupakan sasaran pekerjaan
yang mereka tuju.
Setiap lebaran mereka datang dengan aneka asesoris
kota yang mereka bawa.Gaya bicara, berpakaian dan juga mode rambut menirukan
orang kota. Meski, kadang terasa dan terlihat gerak tubuh yang berbeda. Banyak kisah
yang mereka tuturkan selama berada di rantau. Kehidupan kota yang menakjubkan
bagi mereka. Pergaulan kaum muda dan aneka hiburan yang memanjakan mata yang
melihatnya. Mereka jadi magnet baru bagi anak-anak muda di kampung halaman.
Daya tarik yang menggoda lainnya untuk mendatangi kota besar.
Ayah hanya menginginkan mereka menempuh pendidikan
yang baik, sehingga mereka bisa mengubah nasibnya. Namun bagi mereka, bekerja
dan menghasilkan uang adalah hal utama. Sekolah tak menjamin mendapatkan
lapangan pekerjaan, jawab mereka ketika diajak berdialog.
“ Orang menuntut
ilmu, bersekolah itu wajib. Apabila
seseorang berilmu, memiliki pengetahuan, keahlian, maka dia berbeda derajatnya
dengan orang yang tidak terdidik.” Jelas Ayah.
Kadang saya tidak paham
dengan apa yang dilakukan ayah. Dia mengorbankan seluruh tenaganya untuk memajukan pendidikan
di kampung. Bagi anak-anak yang berbakat
dan memiliki kecakapan lebih di antara
yang lain diberikan tambahan pelajaran sore hari secara gratis. Pengorbanan
yang membuat saya iri. Kadang saya sebagai anaknya merasa kurang diperhatikan.
Ini hanya perasaan saya. Sebab ketika memberikan tambahan pelajaran,saya sering
diajak untuk menemani mereka.
Dalam kehidupan bermasyarakat
seringkali ayah mendampingi masyarakat mengurus persoalan-persoalan berhubungan
tata pemerintahan. Sering saya melihat ayah membantu keluarga yang mengurus uang pensiun bagi ahli waris
yang ditinggalkan. Dan yang tak dapat kulupakan adalah keinginannya untuk mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan
peralatan dapur dari bahan logam ke peralatan pecah belah seperti piring, cangkir,
dan gelas dengan mengadakan arisan pecah belah yang dilotre setiap senin dan
kamis. Uang hasil arisan sebelum dibelanjakan dipnjamkan kepada pedagang kecil
di pasar, tanpa bunga.
Dari sinilah
pergaulan ayah semakin luas ke desa-desa sebelah. Dia merasa senang jika para
pedagang yang meminjam modal usahanya terus berkembang. Banyaknya persaudaraan
yang dimiliki,Ayah mengembangkan usaha dengan bisnis fotografi. Ya, ayah
belajar fotografi pada temannya di kota Pamekasan, membeli kamera murahan dan
mencucicetaknya ke Pamekasan. Pengalaman baru, karena keterampilan itu di
kampung masih merupakan barang langka. Foto dengan kamera analog dan
mempergunakan rol film merek Kodak. Satu rol berisi 36 gambar dengan warna
black white. Foto yang mewah dan saat itu saya dan adik sering kali jadi model
ayah untuk manfasihkan keterampilannya. Ayah orang yang pertama kali
memperkenalkan fotografi di kecamatan Omben.
Waktu-waktu yang
sangat membahagiakan. Seringkali ayah diundang untuk memotret resepsi pernikahan
dikampung-kampung yang jauh. Jika malam ayah mesti mengajak salah seorang
kerabat untuk menemaninya dengan mengendarai sepeda onthel. Satu-satunya moda
transportasi yang banyak digunakan di waktu itu. Pulang dari kondangan pasti Ayah akan
banyak membawa oleh-oleh jajanan dan nasi. Jajanan yang akan sampai tetangga
sebelah rumah karena banyak.
Dari hasil pemotretan
yang ayah lakukan, saya banyak tahu ragam pengantin di kampung-kampung yang
jauh. Pakaiannya khas dengan warna norak dan kaca mata hitam. Ada yang ditandu
dengan tandu berbentuk pesawat terbang pengantin diarak keliling kampung. Juga adapula
yang diiringi dengan “Jaran Kenca’”.
Ayah dikenal sebagai
tukang foto Amatir yang memenuhi undangan dari kampung ke kampung sampai
acara-acara resmi di kecamatan. Karena usaha makin maju, ayah kemudian membeli
alat cetak foto hitam putih dena menjadikan sebagian kamar tidur sebagai kamar
gelap untuk mencucui dan mencetak foto. Sesekali
saya melihat bekerja di ruang gelap yang diterangi dengan lampu dop warna
merah. Warna cahaya yang aman bagi kertas foto supaya tidak gosong atau
terbakar.
Hal paling
menyenangkan bagi saya adalah ketika ayah berbelanja perlengakapan fotografi ke
kota Pamekasan. Aya kadang diajaknya serta, dan berkunjung ke teman ayah yang
mengajari fotografi, pak Affandi. Pak Affandi ternyata memberikan ilmunya pada
beberapa orang yang mau belajar fotografi. Mereka yang akan menjadikan
fotografi sebagai sandaran hidupnya. Di antara murid-muridnya ada aturan tidak
tertulir yang diterapkan pak Affandi mereka bisa buka usaha asal di tempat yang
berbeda. Mereka tidak boleh bersaing di antara mereka.
Usaha fotografi dan arisan pecah belah berkembang maju, dan kemudian ayah mengembangkan usaha
foto berwarna. Jika hitam putih dicetak sendiri sedangkan kalau foto berwarna
ayah mencetaknya di studio foto di kota Pamekasan. Ayah makin sering menghadiri
undangan memotret resepsi pernikahan bagi keluarga tertentu yang ekonominya
cukup mapan bisa pesan dua sampai tiga rol. Foto-foto penikahan yang sangat
menarik dengan kostum dan dandanan yang sangat berbeda dengan keseharian.
Saya ingin ayah sehat
dan kembali berkisah masa lalu yang membangun kehidupan saya dan
saudara-saudara saya saat ini. Diantar anakku yang laki-laki. Saya menuju terminal Arya Wiraraja - Sumenep menumpang bis AKAS
ekonomi jurusan Jember – Banyuwangi. Pukul 14.00 Bis keluar dari terminal. Di pertigaan
kota seorang penumpang laki-laki naik Pak Haji Udin. Saya mengenalnya dan
bertegur sapa menanyakan tujuan. Dia mau keBangkalan.
Bis maju perlahan, di perjalanan ada beberapapenumpang naik, dan
kondektur mulai meminta uang ketika mau membayar,ternyata didahului pak Haji
Udin. Uang yang saya keluarkan dimasukkan lagi ke dalam dompet. Udara gerah dan
angin dari pintu depan cukupmenghilangkan rasa panas dipermukaan kulit. Rasa
kantuk tak tertahan dan sya tertidur pulas dengan keringat membasahi wajah.
Saya baru terbangun saat bis akan memasuki terminal Pamekasan.
Di terminal Pamekasan bis tidak berhenti lama, hanya
beberapa menit menaikan penumpang, melaju lagi ke arah Sampang. Saya tuntaskan
rasa kantuk dengan sesekali tertidur dan terbangun ketika bis melewati lobang
jalan. Sekitar pukul 16.00 bis memasuki terminal Sampang. Saya bersiap turun
dan makan siang di terminal di bakso Goyang Lidah . Semangkuk bakso, sepotong lontong
dan segelas es jeruk.
Saya berjalan keluar terminal ke arah selatan menuju
ke jembatan Glugur menunggu angkutan umum
jurusan Omben. Baru bersandar dipagar jembatan ,mobil jazz warna ungu
menepi dan membukakan jendela.
“Omben,Pak?!” ajaknya
Saya bingung, karena saya tahu ini bukan mobil
angkutan umum. Jendela dibuka dan pengemudinya dengan ramah mengjak saya naik.
“Ayo Pak temani, saya sendirian biar ada yang bisa
diajak ngobrol. Dia membukakan pintu. Saya masuk dan dia membuka pembicaraan
bahwa apabila berkendara sendirian dia sering mengajak orang lain yang searah
tujuan. Ternyata pengendara ini orang
sangat menyenangkan.Bebrapamenit kemudian pembivcaraan menjadi akrab karena
kebetulan dia bertugas sebagai penyalur adana bantuan dana dari Kemneterian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk komunitas seni budaya yang ada di Jawa Timur.
Dahiburahman dipanggil Dahib, begitu dia
memperkenalkan diri. Tak terasa perjalanan sampai dipetigaan jalan menuju karang penang dan kekanan ke arah
Omben. Saya minta ijin untuk turun dan Mas Dahib melanjutkkan ke arah utara ke
desa Talamba.
Saya hanya ingin Ayah
sehat dan bisa berkisah lagi tentang masa lalu. Sampai di rumah saya lihat ayah tengah bermain catur olahraga kesukaannya
ketika masih muda. (hidayat raharja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar