Translate

Jumat, 17 April 2015

Kangean; Tak ada Lagi Kisah Hutan dan "Mano' Bukong"


(catatan perjalanan Arjasa Kalianget)

Dermaga II Arjasa - Foto Hidayat Raharja

                Matahari berkilau membentuk bayang-bayang memanjang ke arah barat. Bayangan yang mendahului  tubuh bangunan tempat saya bermalam. Pagi beranjak. Semua berkemas mengeluarkan tas dan koper yang dibawa. Semua bersiap dan mobil yang akan mengatar ke pelabuhan sudah siaga. Saat berpamitan kepada panitia yang aka mengantar saya dan teman ke pelabuhan, pak Sudarman mendekat dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil seukuran botol 600 ml.
                “ Maaf Pak, sedikit oleh-oleh Madu Kangean Asli” ujarnya sambil menaruhnya ke dalam tas.
                “ Ah, kok repot Pak. Terimakasih pak Darman”
                Semua barang dimasukkan ke bagase mobil. Hanya tas ransel yang berisi notebook dan pakaian saya cangklong di puggung. Saya dan teman-teman berpamitan. Mobil perlahan bergerak ke arah selatan meninggalkan halaman kantor UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Arjasa. Kapalakan berangkat lebih pagi dari biasanya karena penumpang sangat banyak. Saya dan teman khawatir tidakmendapatkan tempat untuk duduk. Cuma melihat cuaca yang cerah perjalanan akanlanacar-ancar saja. Menurut mereka yang paham cuaca bulan November bulan yang tenang tak ada ombak besar dan badai di tengah laut.
                Mobil  bergerak lamban dan sisi kanan dan kiri adalah pemandangan yang sangat menarik. Lanskap yang mengingatkan pada kampung halaman dimasa kanak-kanak. Sesekali melintasi kebun kelapa dan bukit yang ditumbuhi pohon jati taklebat tapi cukup jelas kawasan yang dilewati dulunya adalah kawasan hutan. Konon, pula dari teman yang lama tinggal dan mengajar di Kangean, pulai ini juga dikenal sebagai habitat burung Beo dan orang sekitar menyebutnya mano’ Ko’ong. Burung ini  hampir punah bersamaan dengan  kristisnya hutan jati Kangean.
                Tak terasa mobil sudah bergerak ke arah dermaga dari kejauahn tampak keriuhan penumpang. Karcis saya pegang tujuh lebar karena ada tambahan satu orang bapak Atmojo kepala UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Kangean. Turun dari mobil di punggung tas tergendong dan di tangan kardus kecil berisi oleh-oleh dari panitia.
                Dari kejauhan terlihat kerumunan penumpang penuh sampai  ke geladak. Tak ada ruang untuk duduk, hanya tersisa ruang untuk berdiri berdempetan. Tak terbayangkan jika harus berdiri selama sembilan jam.

Di atas Kapal “Dharma Bakti Sumekar”
                “Kita ke ruang kemudi di sana kosong,” salah seorang dari teman kami memberikan usulan.
               Saya coba ke ruang atas tersebut. Namun ditolak oleh petugas. Ruang itu steril dan tak boleh ditempati penumpang. Ketika saya meinta ijin untuk menaruh laptop dan printer. Dia mengijinkan. Dua barang tersebut ditaruh dan kami turun lagi ke lantai dasar.
                Saya dan teman-teman didatangi salah petugas dan seorang pengangkut barang yang ada di kapal. “Tolong bapak-bapak dari Sumenep ini dicarikan tempat dalam ruangan tak apa-apa  tidak mendapatkan tempat tidur asal di dalam.”
                Engghi, Pak.” Jawabnya dan mengajak saya dan lainnya mengikutinya dari belakang. Dia sangat hafal dengan ruangan yang ada di kapal. Kami dibawa masuk ke sebuah ruang tak kebagian tempat tidur tapi lumayan mendapat tempat yang agak longgar sehingga bisa tiduran.
                Sirine kapal melengking panjang, deru mesin bergetar dan asap keluar dari ruang mesin.Kapal siap berangkat. Suara yang menggegar dan gerakan kapal agak kasar. Amat berbeda ketika dibandingkan dengan  menumpang “Bahari Ekspres”. Kapal memutar haluan dan perlahan meninggalkan pelabuhan. Sembilan jam perjalanan akan mengambang di atas laut.

Penjual Tikar
                Suara gaduh antara penjual  tikar menawarkan dagangannya Rp.5000 per lembar. Kelompok-kelompok orang yang bercengkerama. Suasana yang ramai sehingga tak terasa kalau tengah berada dalam kapal. Suara televisi beradu dengan suara kipas angin yang kasar berbaur dengan suara keras orang-orang bercerita bersaing dengan mesin kapal. Perjalanan yang menarik. Tkar-tikar kecil ini memiliki manfaat besar bagi penumpang yang tak kebagian kamar. TIkar didelar jadi alas duduk dilantai atau tidur menggelimpangkan tubuh sepanjang perjalanan untuk mnghilangkan rasa mual.
                Gelombang tak terlalu besar ini dirasakan dari gerakan lambung kapal yang mengikuti gerak gelombang. Sesekali hanya terasa agak besar, namun bberapadetikkemudian terasa tenang. Yang berada di dalam kamar dengan tambahan uang sewa bisa tiduran di atas dipan kecil yang muat untu dua orang. Ada yang capai terlelap ada pula yang bersila melingkar beberapa orang berbagi cerita sambil nyamil makanan kecil yang mereka bawa dan beli dikantin kapal. Di lantai tubuh bergelimpang taktentu arah, sehingga ketika berjalan ingin keluar kamar dapat dipastikan melangkahi tubuh bahkan kepala orang yang tengah tidur. Pemandangan yang lumrah dan merekamemaklumi menumpang di kelas ekonomi.
                Sejam perjalanan, teman-teman berkumpul di dekat pintu samping kamar mereka beli the botol dan makanan kecil semacam krispi sambil bercerita membuang waktu di atas kapal. Sebungkus kacang asin jadi penawar perjalanan saya sambil merebahkan tubuh di bawah kipas angin ukuran tanggung dengan suara kemeresak yang mengganggu liang telinga. Yakin takkan bisa tidur dengan suara gaduh. Namun tubuh butuh rebah untuk meluruskan kepenatan yang bergelayut di punggung.
Loket di Pelabuhan Arjasa


Tubuh-Tubuh Bergelimpangan
                Rasa tak tertahan di bawah perut, kantung kemih telah penuh dengan cairan ingin buang air kecil. Saya keluar lewat pintu samping lorong sisi kapal yang penuh dengan orang-orang berselonjor memandang ke arah laut. Namun saat tiba di ruangan terbuka di bagian belakang kapal, mata saya terpaku. Gelimpangan tubuh tak tentu arah dan tak ada jalan untuk menuju ke kamar kecil. Saya harus berhati-hati  menjejakkan langkah di sisi tubuh yang rebah melangkahi tubuh mereka. Beberapalagi berdiri di geladak menatap hamparan laut yang luas dengan gelombang biru yang berpecahan.  Usai dari kamar kecil saya mencoba berdiri di geladak di antara beberapaorang yang mencoba membuang kejenuhan ke biru laut mebentang. 
Suasana di geladak

                Di belakang pulau kangean terlihat samar makin samar dan menghilang di hadapan kambangan pulau Raas dan Sapudi terlihat samar. Suara ombak beresiur erbaur siut angin menerpa wajah. Angin kering bergaram terasa lekat di wajah. Angin yang sedikit mengurangi rasa panas ketika berada dalam ruangan kapal. Memandang ke kekauhan air laut terlihat hitam pekat menandakan kedalamannya. Laut lepas. Ke depan laut. Ke samping laut. Ke belakang laut.
                Matahari berpantulan dari wajah laut yang bergerak-gerak. Kilauan perak di atas muka laut yang biru kehitaman. Laut yang jerbih karena tak terlihat kambangan sampah sepanjang perjalanan. Buih-buih tersisih putih bersih, seputih garam yang digarap para petani garam. Kian lamamatahari kian turun dan redup berwarna kekuningan. Matahari runduk dan sore mulai meringkuk. Suasana yang nyaman dipandang. Beberapa orang berdiri di tepian menghadap ke laut  menaruh kedua lengannya di jendela kapal yang terbuka. Matahari  yang lembut dan air laut yang biru cerah di sore yang akan rebah. Di sisi kanan pandangan sebuah onggokan pulau yang hijau mirip tubuh paus yang tengah mengambang.

Poteran, Paus yang Terdampar
 
Menatap dari Jendela
                “Pulau Poteran,” ujar salah seorang lelaki kepada teman yang ada di sebelahnya. Pulau itu cantikmirip tubuh ikan paus yang tengah  berenang di permukaan laut. Punggung pulau yang miripdengan punggung ikan mengingatkan petualangan Sinbad si Pelaut. Satu dua terliaht atap rumah penduduk yang berwarna kemerahan ditimpa cahaya sore. Pandangan yang selalu memabuat takjub,Kapal serasa mengitari tubuh paus yang tengah melepaskan punggungnya di permukaan air.
                Seorang perempuan mendekap seorang anaklelakinya yang masih balita mengahdap ke pulau Poteran. Saya perhatikan pandangannya lepas ke sekujur punggung pulau yang berwarna hijau redup seiring makin surutnya sinar matahari. Pandangan mulai remang. Satu-dua rumah tampak menyala. Pulau itu berwarna hitam saat matahari lenyap ditelan bumi. Bayangan hitam yang semkain pekat diiringi dengan lenguh orang-orang yang kecapaian. 
 
Merangkul Anak Menatap Pulau Poteran
                Pelabuhan kalianget di hadapan terlihat amat dekat, namun jauh ditangkap. Masih sekitar satu jam lagiperjalanan akan sampai ke pelabuhan Kalianget. Lampu kapal mulai menyala dan rumah-rumah penduduk di pulan poteran terilah memantulkan cahaya lampu dari dalam rumah. Rumah-rumah itu seperti mengintipkapal dan mengucapkan selamat jalan makin lama makin jauh dari pandang dan hilang dari  tatapan. Perampuan itu masih bertahan dengan  mendekap  anaknnya menataplaut yang mulai gelap.
Terminal Pelabuhan Kalianget

                Suara mesin makin cepat dan kalianget makin dekat. Gerak kapal makin kencang dan emmautar haluan. Orang-orag berkemas bersiap untuk meninggalkan kapal. Lampu pelabuhan benderang dan kerumunan orang menunggu di dermaga menunggu kerabat keluarag dan sahabat yang akan mendarat. Sirine kapal nyaring terdengar dan lampu sorotkapal mmenyala benderang menerangi dermaga tempat bersandar. Saya keluar dari lambung kapal dengan ransel di punggung dan kardus di tentengan. Lampu-lampu menyala dan suara ramai pengojek dan mobil angkutan umum menawarkan tumpangan. Magrib telah lewat isyak merambat.
Sumenep,  7-9  November 2013 (Hidayat Raharja)

Tidak ada komentar: