(catatan perjalanan Arjasa
Kalianget)
Dermaga II Arjasa - Foto Hidayat Raharja |
Matahari berkilau membentuk
bayang-bayang memanjang ke arah barat. Bayangan yang mendahului tubuh bangunan tempat saya bermalam. Pagi
beranjak. Semua berkemas mengeluarkan tas dan koper yang dibawa. Semua bersiap
dan mobil yang akan mengatar ke pelabuhan sudah siaga. Saat berpamitan kepada
panitia yang aka mengantar saya dan teman ke pelabuhan, pak Sudarman mendekat
dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil seukuran botol 600 ml.
“ Maaf Pak, sedikit oleh-oleh
Madu Kangean Asli” ujarnya sambil menaruhnya ke dalam tas.
“ Ah, kok repot Pak. Terimakasih
pak Darman”
Semua barang dimasukkan ke
bagase mobil. Hanya tas ransel yang berisi notebook dan pakaian saya cangklong
di puggung. Saya dan teman-teman berpamitan. Mobil perlahan bergerak ke arah
selatan meninggalkan halaman kantor UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Arjasa.
Kapalakan berangkat lebih pagi dari biasanya karena penumpang sangat banyak.
Saya dan teman khawatir tidakmendapatkan tempat untuk duduk. Cuma melihat cuaca
yang cerah perjalanan akanlanacar-ancar saja. Menurut mereka yang paham cuaca
bulan November bulan yang tenang tak ada ombak besar dan badai di tengah laut.
Mobil bergerak lamban dan sisi kanan dan kiri
adalah pemandangan yang sangat menarik. Lanskap yang mengingatkan pada kampung
halaman dimasa kanak-kanak. Sesekali melintasi kebun kelapa dan bukit yang
ditumbuhi pohon jati taklebat tapi cukup jelas kawasan yang dilewati dulunya
adalah kawasan hutan. Konon, pula dari teman yang lama tinggal dan mengajar di
Kangean, pulai ini juga dikenal sebagai habitat burung Beo dan orang sekitar
menyebutnya mano’ Ko’ong. Burung ini
hampir punah bersamaan dengan
kristisnya hutan jati Kangean.
Tak terasa mobil sudah bergerak
ke arah dermaga dari kejauahn tampak keriuhan penumpang. Karcis saya pegang
tujuh lebar karena ada tambahan satu orang bapak Atmojo kepala UPT Dinas
Pendidikan Kecamatan Kangean. Turun dari mobil di punggung tas tergendong dan
di tangan kardus kecil berisi oleh-oleh dari panitia.
Dari kejauhan terlihat kerumunan
penumpang penuh sampai ke geladak. Tak
ada ruang untuk duduk, hanya tersisa ruang untuk berdiri berdempetan. Tak
terbayangkan jika harus berdiri selama sembilan jam.
Di atas Kapal “Dharma Bakti Sumekar”
“Kita ke ruang kemudi di sana
kosong,” salah seorang dari teman kami memberikan usulan.
Saya coba ke ruang atas tersebut.
Namun ditolak oleh petugas. Ruang itu steril dan tak boleh ditempati penumpang.
Ketika saya meinta ijin untuk menaruh laptop dan printer. Dia mengijinkan. Dua
barang tersebut ditaruh dan kami turun lagi ke lantai dasar.
Saya dan teman-teman didatangi
salah petugas dan seorang pengangkut barang yang ada di kapal. “Tolong
bapak-bapak dari Sumenep ini dicarikan tempat dalam ruangan tak apa-apa tidak mendapatkan tempat tidur asal di
dalam.”
“Engghi, Pak.” Jawabnya dan mengajak saya dan lainnya mengikutinya
dari belakang. Dia sangat hafal dengan ruangan yang ada di kapal. Kami dibawa
masuk ke sebuah ruang tak kebagian tempat tidur tapi lumayan mendapat tempat
yang agak longgar sehingga bisa tiduran.
Sirine kapal melengking panjang,
deru mesin bergetar dan asap keluar dari ruang mesin.Kapal siap berangkat.
Suara yang menggegar dan gerakan kapal agak kasar. Amat berbeda ketika
dibandingkan dengan menumpang “Bahari
Ekspres”. Kapal memutar haluan dan perlahan meninggalkan pelabuhan. Sembilan
jam perjalanan akan mengambang di atas laut.
Penjual Tikar
Suara gaduh antara penjual tikar menawarkan dagangannya Rp.5000 per
lembar. Kelompok-kelompok orang yang bercengkerama. Suasana yang ramai sehingga
tak terasa kalau tengah berada dalam kapal. Suara televisi beradu dengan suara
kipas angin yang kasar berbaur dengan suara keras orang-orang bercerita bersaing
dengan mesin kapal. Perjalanan yang menarik. Tkar-tikar kecil ini memiliki
manfaat besar bagi penumpang yang tak kebagian kamar. TIkar didelar jadi alas
duduk dilantai atau tidur menggelimpangkan tubuh sepanjang perjalanan untuk
mnghilangkan rasa mual.
Gelombang tak terlalu besar ini
dirasakan dari gerakan lambung kapal yang mengikuti gerak gelombang. Sesekali
hanya terasa agak besar, namun bberapadetikkemudian terasa tenang. Yang berada
di dalam kamar dengan tambahan uang sewa bisa tiduran di atas dipan kecil yang
muat untu dua orang. Ada yang capai terlelap ada pula yang bersila melingkar
beberapa orang berbagi cerita sambil nyamil makanan kecil yang mereka bawa dan
beli dikantin kapal. Di lantai tubuh bergelimpang taktentu arah, sehingga
ketika berjalan ingin keluar kamar dapat dipastikan melangkahi tubuh bahkan
kepala orang yang tengah tidur. Pemandangan yang lumrah dan merekamemaklumi
menumpang di kelas ekonomi.
Sejam perjalanan, teman-teman
berkumpul di dekat pintu samping kamar mereka beli the botol dan makanan kecil
semacam krispi sambil bercerita membuang waktu di atas kapal. Sebungkus kacang
asin jadi penawar perjalanan saya sambil merebahkan tubuh di bawah kipas angin
ukuran tanggung dengan suara kemeresak yang mengganggu liang telinga. Yakin
takkan bisa tidur dengan suara gaduh. Namun tubuh butuh rebah untuk meluruskan
kepenatan yang bergelayut di punggung.
Loket di Pelabuhan Arjasa |
Tubuh-Tubuh Bergelimpangan
Rasa tak tertahan di bawah
perut, kantung kemih telah penuh dengan cairan ingin buang air kecil. Saya keluar
lewat pintu samping lorong sisi kapal yang penuh dengan orang-orang berselonjor
memandang ke arah laut. Namun saat tiba di ruangan terbuka di bagian belakang
kapal, mata saya terpaku. Gelimpangan tubuh tak tentu arah dan tak ada jalan
untuk menuju ke kamar kecil. Saya harus berhati-hati menjejakkan langkah di sisi tubuh yang rebah
melangkahi tubuh mereka. Beberapalagi berdiri di geladak menatap hamparan laut
yang luas dengan gelombang biru yang berpecahan. Usai dari kamar kecil saya mencoba berdiri di geladak
di antara beberapaorang yang mencoba membuang kejenuhan ke biru laut mebentang.
Suasana di geladak |
Di belakang pulau kangean
terlihat samar makin samar dan menghilang di hadapan kambangan pulau Raas dan
Sapudi terlihat samar. Suara ombak beresiur erbaur siut angin menerpa wajah.
Angin kering bergaram terasa lekat di wajah. Angin yang sedikit mengurangi rasa
panas ketika berada dalam ruangan kapal. Memandang ke kekauhan air laut
terlihat hitam pekat menandakan kedalamannya. Laut lepas. Ke depan laut. Ke
samping laut. Ke belakang laut.
Matahari berpantulan dari wajah
laut yang bergerak-gerak. Kilauan perak di atas muka laut yang biru kehitaman.
Laut yang jerbih karena tak terlihat kambangan sampah sepanjang perjalanan.
Buih-buih tersisih putih bersih, seputih garam yang digarap para petani garam. Kian
lamamatahari kian turun dan redup berwarna kekuningan. Matahari runduk dan sore
mulai meringkuk. Suasana yang nyaman dipandang. Beberapa orang berdiri di
tepian menghadap ke laut menaruh kedua
lengannya di jendela kapal yang terbuka. Matahari yang lembut dan air laut yang biru cerah di
sore yang akan rebah. Di sisi kanan pandangan sebuah onggokan pulau yang hijau
mirip tubuh paus yang tengah mengambang.
Poteran, Paus yang Terdampar
“Pulau Poteran,” ujar salah
seorang lelaki kepada teman yang ada di sebelahnya. Pulau itu cantikmirip tubuh
ikan paus yang tengah berenang di
permukaan laut. Punggung pulau yang miripdengan punggung ikan mengingatkan
petualangan Sinbad si Pelaut. Satu dua terliaht atap rumah penduduk yang
berwarna kemerahan ditimpa cahaya sore. Pandangan yang selalu memabuat
takjub,Kapal serasa mengitari tubuh paus yang tengah melepaskan punggungnya di
permukaan air.
Seorang perempuan mendekap
seorang anaklelakinya yang masih balita mengahdap ke pulau Poteran. Saya
perhatikan pandangannya lepas ke sekujur punggung pulau yang berwarna hijau
redup seiring makin surutnya sinar matahari. Pandangan mulai remang. Satu-dua
rumah tampak menyala. Pulau itu berwarna hitam saat matahari lenyap ditelan
bumi. Bayangan hitam yang semkain pekat diiringi dengan lenguh orang-orang yang
kecapaian.
Pelabuhan kalianget di hadapan
terlihat amat dekat, namun jauh ditangkap. Masih sekitar satu jam
lagiperjalanan akan sampai ke pelabuhan Kalianget. Lampu kapal mulai menyala
dan rumah-rumah penduduk di pulan poteran terilah memantulkan cahaya lampu dari
dalam rumah. Rumah-rumah itu seperti mengintipkapal dan mengucapkan selamat
jalan makin lama makin jauh dari pandang dan hilang dari tatapan. Perampuan itu masih bertahan
dengan mendekap anaknnya menataplaut yang mulai gelap.
Terminal Pelabuhan Kalianget |
Suara mesin makin cepat dan
kalianget makin dekat. Gerak kapal makin kencang dan emmautar haluan.
Orang-orag berkemas bersiap untuk meninggalkan kapal. Lampu pelabuhan benderang
dan kerumunan orang menunggu di dermaga menunggu kerabat keluarag dan sahabat
yang akan mendarat. Sirine kapal nyaring terdengar dan lampu sorotkapal
mmenyala benderang menerangi dermaga tempat bersandar. Saya keluar dari lambung
kapal dengan ransel di punggung dan kardus di tentengan. Lampu-lampu menyala
dan suara ramai pengojek dan mobil angkutan umum menawarkan tumpangan. Magrib
telah lewat isyak merambat.
Sumenep, 7-9
November 2013 (Hidayat Raharja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar