Perlawanan -1994- Karya Hidayat Raharja |
Beberapa waktu yang lalu
saya didatangi dua orang teman (Mahendra dan Amin Bashiri) membawa tiga
eksemplar buku yang ternyata; 2 eksemplar Jurnal
Pon-Minimalis,sebuah jurnal yang bermuatan silang budaya urban culture, globalisasi,
dunia ke-3,
gender, dan kampung-kampung hibrid. Satu eksemplar Kehadiran jurnal tersebut sangat
menarik, karena keduanya lahir ditengah kuasa media kapital yang memborbardir
informasi dan kebudayaan atas kepentingan ekonomi kapital.
Pon-Minimalis yang diterbitkan oleh Language Theatre mengambil jalan
sebagairuang bagi budaya dan kampung hibrid,dunia ketiga, dan kultur urban.
Sebuah pilihan yang amat menarik dengan jalur yang tak tersentuh ruang media
massa komersial. Sebuah ruang kreatif dan kritis yang mewadahi hal-hal yang
takmungkin ditemukan dalam surat kabar. Sebuah kelahiran yang tanpa takut
menghadapi kenyataan onformasi dan ruang budaya yang tumpang tindih dan saling
bertubrukan diantara persilangan yang selalu memposisikan pihakmenag dan kalah.
Pilihan yang diambil Po-Minimalis adalah sebuah keberanian untuk melawan arus
informasi yang sedemikian tertib (bahasa) dan topik dalam sebuah ruang yang
longgar dengan bahasa hibrid dan topik urban yang selalu tersisihkan.
Ruang yang memberikan pembebasan dan alternatif untuk menandai
detak-gelegak yang tak teralirkan dalam koran atau media massa komersial.
Kesungguhan atas pilihan ini diawali dengan menghadirkan penulis-penulis dari
luar daerah Madura, yang menadakan jurnal Pon-Minimalis melintasi wilayah
geografis dan lokalitas. Edisi pertama tahun 2012 menghadirkan penulis tamu
Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Mario F Lawi (Kupang), Dewi K Hidayat (Sidoarjo),
Tony Lesmana (Jawa Barat). Pada edisi kedua (desember 2012); Irmansyah
(Padang), Galah Denawa (Jawa Barat), Alek Subairi (Surabaya) dan Y Thendra BP. Sedangkan
dari Sumenep; Amin Bashiri, Mahendra, Salamet, S(lam)et Wahedi, Muhammad Affan.
Gelegak itu tumpah dalam : Tor-ator (dari redaksi),esai,puisi,dan
cerpen. Meski tampak benar apa yang dimaui oleh kehendak redaksi jurnal telah
menunjukkan sebagai ruang “Urban Culture” dengan bahasa hibrid
(madura-inggris-indonesia) yang bersejajar sebagai ejawantah keurbanan yang
demikian longgar dan tanpa beban,sebagai ruang bisik-bisik sampai ruang serius
untuk membedah atau menelaah. Adalah hal yang sangat menarik untuk menjadi
bacaan pilihan yang mengkayakan pemahaman dunia ketiga, kampung urban,dan
budaya urban. Dari sebuah perlawanan untuk menandai setiap peristiwa yang tak
terungkap di ruang baca umum, ke dalam ruang baca yang ebih privat.
Kesungguhan ini ditandai dengan pilihan tulisan (esai
khususnya) yang takmungkin ditemukan diruang media massa,sehingga menarik.
Perlawaanan ini sendiri adalah sebuah kesungguhan yang serius dikerjakan oleh
Pon-Minimalis dengan membenahi kemasan dan lay-out di terbitan yang ke-2.
Keseriusan ini otomatis akan berhadapan dengan ruang-ruang media massa yang
mengatur alur informasi. Juga jejaring sosial dengan aneka bentuknya yang
demikian narsis dan masif.
Maka, pilihan berbeda ini menjadi ruang alternatif
yang menyimpan kepalan-kepalan kemungkinan yang akan terlempar ke hadapan
publik.Kepalan kebudayaan yang takterjamah oleh koran atau pun media massa
komersial. Nilai inilah yang bisa menjadi bargaining
bagi pembaca untuk menjadikan pilihan sehingga bisa melengkapi informasi yang
meruah di media massa. Informasi yang tidak menjadi sampah di antara sampah
infromasi yang berjatuhan dari ruang publik yang bersesakan dan saling
bertubrukan.
Tawaran itu bisa berangkat dari kemasan yang mendakan
dunia ketiga, dunia urban – tempat berbaurnya segala kemungkinan dan peradaban
sehingga menjadi sebuah hibrid yang adaptif bisa bertumbuh di segala ruang dan
cuaca. Di tangan orang-orang muda segala kemungkinan bisa menjadi mungkin.
Kemustahilan bisa menjadi mungkin. Karena begitu banyak dari remahan dunia
ketiga, kampung hibrid, budaya urban, gender, globalisasi, yang tak terjamah
dan kemungkinan kita telah tergilas di dalamnya dalam sebuah rupa yang tanpadisadari
telah terseret oleh geretan waktu yang berderit di engsel tubuh memutar jam
biologis di antara tikaman peradaban yang berdarah dan bernanah. Waktu!
Sumenep, 2@13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar