Translate

Senin, 17 Desember 2012

BUKU, BUS ANTAR KOTA, DAN PEMBAJAKAN

Oleh: Hidayat Raharja.
Di suatu masyarakat yang dianggap tidak membaca, tentu ada hal-hal yang patut dicatat bahwa di antara yang tak dianggap masih ditemukan hal-hal yang ganjil yang mencoba menawarkan tradisi membaca di masyarakat yang katanya tak membaca.

Suatu hari ketika pulang dari diklat di hotel Utami Surabaya saya menunggu bus di terminal Bungurasih. Saya harus menunggu beberapa lama menunggu jadwal pemberangkatan bus ke Madura. Di antara waktu menunggu, pedagang asongan keluar masuk bus menawarkan aneka barang dagangannya.Makanan, minuman, aneka macam pisau dapur yang diekmas dengan harga 10 ribu rupiah , alat tulis pulpen dan pensil,dan juga pedagang buah-buahan dan koran.Satu halyang ditawarkan mereka dan mengusik pikiran saya untuk mencatat peristiwa ini adalah menawarkan buku bacaan dengan harga miring. Buku-buku yang dicetak dengan kertas dan cover yang tak terllau bagus.

Asongan buku ini menawarkan buku resep masakan, tuntunan shalat, kisah para nabi, perihalpijat refleksi, pengibatan herbal sampai buku motivasi Mario Teguh dan buku si Anak Singkong – Chairul Tanjung tentu dua buku terakhir ini bukan terbitan aslinya alias “Bajakan”.
Di tengah fenomena yang meramaikan minat baca masyarakat, kehadiran buku di dalam bis kota merupakan sebuah gejala yang menepis anggapan masyarakat yang tak membaca. Usaha gigih para pedagang asongan bukan tak ada yang membeli. Satu-dua penumpang bus ada yang tertarik dan berminat membeli. Sebuah realitas yang memberikan ruang baru bahwa bus antar kota dan bisa menjadi ruang persebaran buku.

Namun juga keadaan ini membuat tidak nyaman,sebab buku-buku yang ditawarkana dalah buku bajakan. Kenyataan yang menejlaskan bahwa para pembajak kian getol melakukan invasinya bukan hanya di toko buku, tetapi secara agresif memasuki ruang publik yang takpernah dipikirkan oleh penerbit buku. Dapat dibayangkan buku Mario Teguh yang aslinya seharga di atas 50ribu rupiah dalam bus hanya ditawarkan seharga 15 ribu.Buku Chairul Tanjung yang dibandrol 70.000 rupiah ditawarkan 40ribu rupiah.
Dapat dibayangkan berapa kerugian para penulis yang bukunya dibajak. Kondisi yang membaut penulis kian terpuruk karena hasil jerih payahnya dan keuntungannya dinikmati orang lain. Fakta yang menguatkan banyaknya pembajakan buku di negeri ini, tapi tak pernah dikenakan sangsi hukum yang tegas.

Di antara semangat menulis dan bercita-cita membuat buku, ternyata pembajak sudah mengintai di berbagai sudut dan siap mengambilalih buku-buku laris untuk dibajak dan mengambil keuntungan tanpa pernha memberikan royalti kepada penulisnya.(HR).

Tidak ada komentar: