Oleh: Hidayat
Raharja.
Di suatu masyarakat yang dianggap tidak membaca, tentu
ada hal-hal yang patut dicatat bahwa di antara yang tak dianggap masih ditemukan hal-hal
yang ganjil yang mencoba menawarkan tradisi membaca di masyarakat yang katanya
tak membaca.
Suatu hari ketika pulang dari diklat di hotel Utami Surabaya saya menunggu
bus di terminal Bungurasih. Saya harus menunggu beberapa lama menunggu jadwal pemberangkatan
bus ke Madura. Di antara waktu menunggu, pedagang asongan keluar masuk bus
menawarkan aneka barang dagangannya.Makanan, minuman, aneka macam pisau dapur
yang diekmas dengan harga 10 ribu rupiah , alat tulis pulpen dan pensil,dan
juga pedagang buah-buahan dan koran.Satu halyang ditawarkan mereka dan mengusik
pikiran saya untuk mencatat peristiwa ini adalah menawarkan buku bacaan dengan
harga miring. Buku-buku yang dicetak dengan kertas dan cover yang tak terllau
bagus.
Asongan buku ini menawarkan buku resep masakan, tuntunan shalat, kisah
para nabi, perihalpijat refleksi, pengibatan herbal sampai buku motivasi Mario
Teguh dan buku si Anak Singkong – Chairul Tanjung tentu dua buku terakhir ini
bukan terbitan aslinya alias “Bajakan”.
Di tengah fenomena yang meramaikan minat baca masyarakat, kehadiran buku
di dalam bis kota merupakan sebuah gejala yang menepis anggapan masyarakat yang
tak membaca. Usaha gigih para pedagang asongan bukan tak ada yang membeli.
Satu-dua penumpang bus ada yang tertarik dan berminat membeli. Sebuah realitas
yang memberikan ruang baru bahwa bus antar kota dan bisa menjadi ruang
persebaran buku.
Namun juga keadaan ini membuat tidak nyaman,sebab buku-buku yang
ditawarkana dalah buku bajakan. Kenyataan yang menejlaskan bahwa para pembajak
kian getol melakukan invasinya bukan hanya di toko buku, tetapi secara agresif
memasuki ruang publik yang takpernah dipikirkan oleh penerbit buku. Dapat
dibayangkan buku Mario Teguh yang aslinya seharga di atas 50ribu rupiah dalam
bus hanya ditawarkan seharga 15 ribu.Buku Chairul Tanjung yang dibandrol 70.000
rupiah ditawarkan 40ribu rupiah.
Dapat dibayangkan berapa kerugian para penulis yang bukunya dibajak.
Kondisi yang membaut penulis kian terpuruk karena hasil jerih payahnya dan keuntungannya
dinikmati orang lain. Fakta yang menguatkan banyaknya pembajakan buku di negeri
ini, tapi tak pernah dikenakan sangsi hukum yang tegas.
Di antara semangat menulis dan bercita-cita membuat buku, ternyata
pembajak sudah mengintai di berbagai sudut dan siap mengambilalih buku-buku
laris untuk dibajak dan mengambil keuntungan tanpa pernha memberikan royalti
kepada penulisnya.(HR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar