Translate

Rabu, 26 Agustus 2009

Reportoar Acethak Batho - Dewan Kesenian Sumenep


(Sebuah Refleksi Kematian WS Rendra dan Gugatan atas Kematian Birokrasi Kesenian)

Oleh : Hidayat Raharja

Bertepatan dengan tujuh hari wafatnya WS Rendra, pengurus Dewan Kesenian Sumenep menyelenggarakan acara doa dan refleksi yang diikuti oleh komunitas teater di kota Sumenep dan beberapa seniman di kota ini. Acara doa ini menjadi menarik karena acara yang berlangsung selama 3 hari ( 14 -16 Agustus 2009) diadakan di parkir Taman Kota.
Tidak kurang dari tujuh komunitas teater, masyarakat umum dan komunitas musik indie menyemarakkan acara ini.

Di pintu timur Taman Kota berdiri tegak dua pilar sebagai gerbang dari arah timur. Disitulah kain hitam disandangkan sebagai penanda ada kegiatan di depan pintu. Tak ada tulisan dan hanya seperangkat sound sederhana di tata di kiri kanan pilar, drum dan beberapa tong kosong bertuliskan pertamina dijadikan property pangngung. Arena pementasa ini berbaur dengan para pedagang kaki lima serta mengambil parkir tamu undangan yang menghadiri pesta pernikahan di Gedung Nasional Indomesia berjarak 10 meter dari tempat acara. Di depannya jalan raya dengan lalulalang kendaraan dan manusia yang hilir mudik ke taman. Sebuah kondisi yang seakan menentang kegaduhan dan keterasingan. Semua mata memandang curiga, karena memang tidak ada penanda atas kegiatan yang dilakukan. Aku sendiri tahu ada kegiatan, karena diundang oleh teman-teman DKS untuk ikut diskusi dalam acara bertajuk “Acethak Batho “ (Berkepala Batu, red) sekaligus untuk memperingati tujuh hari wafatnya WS Rendra.

Acara dibuka dengan doa bersama untuk mengenang jasa almarhum WS Rendra, dilanjutkan pertunjukan musik perkusi dengan alat berupa drum kosong bertuliskan pertamina dan satu set drum di belakang panggung. Sebuah harmoni yang mencoba mengungkai kekosongan dalam sebuah tabuhan perkusi yang menimhulkan bunyi gegap dan kadang mencekam. Harmoni yang mencoba meneguhkan kembali keberadaan setiap bunyi yang terdapat dalam benda-benda sekitar yang tak lagi diperdulikan. Kegegapan kaum muda dalam mereaksi perubahan yang tengah berlangsung. Saat kesenian hanya dijadikan sebagai alat dan pemuas kepentingan penguasa. Terutama dalam otonomi daerah kekuatan dan kekuasaan birokrasi kesenian dalam sebuah lembaga bernama “ Dinas Budaya dan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga” (Disbudparpora), lebih menekankan kepada kepentingan-kepentingan turistik semata tanpa memandang keniscayaan terhadap dinamika bekesenian kaum muda. Suara gaduh drum yang kadang tertelan keramaian dan hiruk pikuk taman sesekali berdegum memekaki keramaian dan mencomot perhatian orang-orang sekitar taman untuk berkumpul dan menyaksikannya.

Sebuah harmoni yang mencoba menggugat keramaian taman dan lalu lalang orang-orang di seputar taman. Tak jauh dari lokasi gedung nasional Indonesia merupakan gedung persewaan untuk hajatan umum, biasanya digunakan untuk resepsi pengantin. Semakin mengesampingkan hiruk pikuk kesenian yang berkembang secara dinamis dan sporadis tanpa pernah memiliki wadah atau gedung untuk mengungkapkan ekspresi mereka. Celakanya kesenian hanya dipandang oleh mereka yang bernama kekuasaan sebagai aset yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi secara cepat. Maka, upaya-upaya eksplorasi untuk mereaksi dan merefkleksi perubahan-perubahan kebudayaan pasca berfungsinya jembatan Suramadu yang dilakukan kaum muda hanya dipandang sebelah mata. Aktivitas mereka tak pernah didukung secara finansial oleh dinas budaya dan pariwisata, sehingga mereka sepertinya menggugat kembali keberadaan kesenian di tengah masyarakatnya. Bahwa kesenian hadir dan muncul sebagai dinamika peradaban masyarakatnya. Tidak berlebihan jika kemudian mereka mengambil tempat di taman kota Sumenep untuk melakukan refleksi dan ekspresi berkesenian yang bebas, sebagaimana bebasnya manusia berlalu lalang di taman. Mereka yang mencoba menghirup udara segar, sekedar melepaskan kesumpekan dan atau mereka yang tengah merajut janji bertemu kekasihnya.

Musikalisasi Puisi oleh Fauzi and his gang cukup menarik, karena diiringi dengan tetabuhan drum kosong , memekak dan vokalnya kadang serak dan pecah seperti menyobek gendang telinga. Pembacaan yang sepertinya mau meretakpecahkan benda keras yang menghadang .Suara yang sepertinya menghantam dinding tebal kekuasaaan. Lengkingan suara yang melengkung memuntir pendengaran dan seakan menyamai keramaiaan lalulalang kendaraan bermotor di sekeliling taman. Suara yang berbaur dengan kereta kelinci yang tengah mengangkut anak-anak balita dan ibu muda mengelilingi taman bersilang segkarut dengan suara nyanyian kanak-kanak dari sound permainan odong-odong. Situasi yang meminta setiap penikmat dan pendengar di taman ini harus memiliki kekebalan bunyi, sehingga bisa bersaing dan merebut kebisingan bunyi yang saling bertabrakan di sekelilingnya.

Refleksi meninggalnya WS Rendra, menjadi sebuah momentum untuk menggali dan membangun spirit berkesenian yang selalu dipandang sebelah mata. Sebuah aktivitas yang dianggap tak memberikan ekses ekonomi dan bahkan dianggap mengganggu karena aktivitasnya kadang mengkritisi terhadap kebijakan pembangunan dan politik penguasa. Tak jauh berbeda dengan pertunjukan yang ditampilkan oleh komunitas teater Kates dan Pelangi dengan dramatisasi puisi yang mencekam. Acara malam pertama itu diakhiri dengan “Adhon Jandhon Budaya” sebuah diskusi kebudayaan dengan menggali dan mengmabil spirit yang telah dibangun Rendra dalam berkesenian di Indonesia. Pada acara tersebut dipandu oleh Fauzi dengan Pembicara Hidayat Raharja , Turmedzi Jaka (Ketua Umum Dewan Kesenian Sumenep), dan Syah Latief (Manajer Program DKS).

Menurut Hidayat Raharja dalam diskusi tersebut menuturkan bahwa, “terlalu banyak untuk menggali spirit yang telah ditinggalkan Rendra dalam membangun peradaban bangsa ini. Namun kita harus terus bergerak melakukan yang terbaik untuk bangsa ini. Menjadi diri kita yang berguna, dan yakin bahwa setiap jaman akan melahirkan anak jamannya yang memberikan kontribusi terhadap peradaban masyarakat dan bangsanya”. Sementara Syah Latief menuturkan bahwa yang bisa digali dari spirit yang dibangun Rendra bahwa untuk memajukan kesenian di kota ini diperlukan orang-orang maniak terhadap kesenian. Dibutuhkan mereka yang memiliki perhatian penuh baik secara ideologis maupun praksis dalam berkesenian. Sebuah maniak yang juga telah ditunjukkjan oleh Rendra bersetia dalam berkesenian. Militansi dari setiap pelaku kesenian amat dibutuhkan, karena hanya dengan kesungguhan yang sungguh-sungguh maka kesenian akan berkembang dan maju.

Namun dari sisi strtegi berkesenian Turmedzi Jaka lebih menekankan kepada keterlibatan dengan komunitas-komunitas yang ada di wilayah Sumenep. Kita tidak bisa bergantung kepada birokrasi karena pada kenyataannya birokrasi terlalu rumit dan rigid, sementara kesenian merupakan sebuah wilayah yang fleksibel dan senantiasa bergerak secara dinamis. “Tidak ada salahnya walau kita tak memiliki gedung kesenian taman kota ini menjadi alternatif pementasan, sekalian mendekat kepada pedagang kakilima dan para pejalan serta keramaian.”


***


Pada malam kedua, acara semakin menarik dengan pembacaan puisi yang dibacakan oleh mahendra. Puisi “Achetak Bato” sebuah ketahanan membaca yang menabrak kelaziman dan keramaian. Disini suara berbaur gerak tubuh dan lengkingan suara tong kosong yang ditabuh secara rancak dan kadang-kadang meliar tak terduga. Keliaran ini semakin mencekam dengan reportoar tari “ Kucing Dalam Sarung” oleh Susan Cs. Arena dibuka dengan dua orang lelaki yang membawa kursi plastik dicorongkan tepat di wajahnya. Mereka kemudian meletakkan kursi tepat di tengah arena dan duduk. Dua wanita dengan gerakan tubuh yang semula gemulai dan makin lama kian meliarkan musik yang dimainkan Mahendra dengan lengking terompet yang terasa tertindas berontak seiring dengan hentakan suara perkusi melamban dan suara gagu yang mengigau seperti ada ketertekanan. Perlawan yang beradu dengan kecekatan tubuh penari yang kian meliar. Gerakan-gerakan laksana kucing liar yang tengah mengaung, karena terhalangi hasrta seksualnya yang tengah menggila.

Cukup menarik pula karena dimalam kedua ini banyak anggota masyarakat yang terlibat ke dalam arena, mereka membacakan puisi, berrefleksi dan mengomentari acara berbaur dengan keramaian taman dan para pedagang kaki lima. Pertarungan malam itu makin sengit karena di seberang jalan Gedung GNI melaksanakan resepsi hajatan pengantin. 50 meter dari arena gedung Disbudparpora tengah dilaksnakan panggung pertunjukan yang megah dan mewah untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah kontras antara lembaga Dewan Kesenian Sumenep yang sekarat mencari dana pementasan dan Disbudparpora dengan panggung megah menyelenggrakan pentas musik dan hiburan.

Acara malam kedua ditutup dengan pertunjukan musik perkusi yang dipimpim Turmedzi Jaka dengan komposisi “Harmoni” secara ritmis mereka memainkan musik dengan menabuh tong minyak pelumas diringi tiupan terompet oleh Mahendra. Harmoni yang muncul dari suara-suara tong kosong tak berguna, sesekali suara menggelinding seakan menyeret persoalan kehidupan yang kian berderit, tong jatuh seperti mengisyaratkan bom yang siap meledak sesekali waktu di tempat tak tentu, dan lengkingan suara gagu Mahendra yang menegaskan kegaguan kita. Kegaguan kesenian yang kian jauh dan tercerabut dari persoalan-persoalan masyarakatnya
***
Di Hari ketiga acara dimulai sejak pagi dengan pertunjukan musik indie oleh anak-anak muda kota Sumenep dan di malam hari acara ditutup dengan pementasan musik Adz- Dzikir pimpinan Turmedi Jaka. Sebuah akhir pertunjukan yang menegaskan sebuah perjuangan dengan memakai cethak batho - kepala batu untuk tidak peduli terhadap keterbatasan baik tempat, alat, maupun finansial. Hal ini diperkuat hadirnya musik Adz- Dzikir, kelompok musik yang mulanya adalah sebuah keinginan dan kreativitas dengan peralatan seadanya dan selanjutnya berkembang ke dalam wilayah kreatif dan tetap menjaga jarak dengan industri sehingga mampu mengawal kebebasan kreativitas yang mereka bangun. Demikian pula hasrat dan keinginan para pengurus Dewan Kesenian Sumenep mencoba menyiasati keterbatasan-keterbatsan dalam sebuah wilayah kreatif dan mampu meledakkan ide-ide segar sembari memperingati tujuh hari kepulangan WS Rendra kerumah asala yang kekal; kematian.

Hidayat Raharja, penyair sumenep dan penikmat seni pertunjukan.

Tidak ada komentar: