Translate

Rabu, 05 Agustus 2009

JAWARA TOUR (4):DI ATAS KERETA GANTUNG KE MONUMEN NASIONAL


Bising jalanan dan hiruk pikuk orang berbelanja membuat jakarta semakin sesak, dan membuatku merasa gerah dan harus segera berpindah dari kawasan ini. Pukul 13.30 setelah memeriksa semua penumpang, dan telah lengkap perjalanan merambat (karena memang busnya tua dan batuk-batuk segala) menuju tempat Wisata Taman Mini Indonesia Indah. Dari Tour Leader kami mendapat informasi bahwa rombongan akan diajak untuk melihat teater “Keong Emas”. Sebuah bioskop tiga dimensi. Namun di jam-jam siang seperti ini adalah jam-jam sibuk jalanan Jakarta; Macet dimana-mana! Sampai di pintu gerbang TMII sekitar pukul 14.30 antrian mobil memnajang meliuk-liuk bagai naga kalah tarung, lamban. Bahkan untuk mencario tempat parkir di sisi jalan sudah tak ada tempat. Kami semua sadar kalau hari ini adalah lburan umum akhir tahun pelajaran, semua ingin bervakanasi.

Dengan bersusah payah, akhirnya tour leader memutuskan untuk berhenti di tempat parkir dekat dengan loket kereta gantung. Semua penumpangtururn. Lega rasanya seperti terlepas dari tekanan berat dan menyesakkan. Namun tetap saja kami berada dalam kerumunan manusia yang bergerak ke berbgai arah. Sebagian rombongan berpencar dan ada yang emnuju ke teater keong emas. Lebih banyak lagi yang tak mau susah payah berjalan menuju ke loket terdekat; kereta gantung.

Empat tiket untuk aku, istri dan dua anakku. Aku pernah neik kereta gantung dulu tahun 1999, ketika aku menjadi pemenang lomba penulisan naskah kebudayaan daerah yang diselenggrakan Dirjen Kebuayaan RI – Depdiknas. Aku naik kereta gantung bersama dengan pak Anton guru bahasa indoensia SMA Santo Yosef Malang yangtengah mengantar siswanya di lomba diskusi pergaulan sosisal mewakili jawa timur.

Ternyata amat banyak yang berminat menaiki kereta gantung. Antrian mengular dan berbeleuk, ada empak kelokan antrian. Dengan sabar aku mengikuti antrian yang bergerak amat lamban. Hawa terasa semakin panas dan keringat mengucur dari dahiku. Anak-anak kecil mulai banyak yang menangis di tengah antrian, gerah. Di lantai dasar ada empat antrian dan untuk menaiki kereta, aku harus menaiki tangga. Aku bayangkan, setelah menaiki tangga langsung naik kereta.
Setelah menaiki tangga, ternyata antrian masih mengular, empat deret berbanjar antri untuk menuju pintu kereta, total hampir 2 jam aku berdiri untuk bisa menaiki kereta gantung.

Saat menaiki kereta gantung, debar jantung kian kencang membayangkan kalau kawat penggantungnya putus, namun lambat laun perasaan itu menghilang, karena dari atas ketinggian aku bisa menyapu pandangan ke seluruh sisi taman mini yang begitu luas. Keramaian di water boom, miniatur kepulauan indonesia di tengah kolam yang luas dengan sepeda bebek yang dikayuh untuk mengitari miniatur pulau. Betapa luas negeriku. Pulau-pulau yang tersebar dan berpencaran, disatukan oleh lautan yang menjadi penguhubung di antaranya.

Sekitar 10 menit menaiki kereta gantung, aku kembali smapai di stasiun pemberangakatan, tanda perjalanan sudah berakhir. Antrian penumpang masih berderet panjang. Hari libur yang menyenangkan.
Aku dan keluargaku mencari tempat sholat, dan kemudian mencari pangkalan bus yang akan membawa kami ke taman Monas.
******
DETAK jam tangan menunjukkan angka 17.00 wib. Setelah seluruh penumpang lengkap di tempat duduk yang telah ditetapkan, bus melaju lamban menuju area Pekan Raya Jakarta (PRJ). Tourleader juga menginformasikan bahwa kami akan dibawa menuju Pekan Raya untuk menyaksikan aneka produk dari berbgai wilayah Indonesia pameran besar yang setahun sekali adanya. Namun sayang ketika sampai di lokasi bekas bandara ini, janan sesak padat, sehingga tak ada sela bagi bus yang kami tumpangi untuk parkir. Sebagian penumpang meminta untuk tidak menuju arena PRJ, tetapi perjalanan dialihkan menuju Monumen Nasional. Semua sepakat menuju ke Monas. Hari mulai gelap, dan jakarta semakin berkilau oleh lampu-lampu jalanan yang berwarna-warna. Disini aku takkan pernah melihat bintang karena terhalang oleh gumpalan awan hitam. Jakarta penuh polusi udara. Asap ekndaraan bermotor dan bsingnya bunyi laksana iringan musik yang menghentak dan memekakkan gendang telinga. Jakarta, ibu kota yang ramai, dan tak pernah sepi. Semua orang bergegas seperti tak mau ketinggalan. Pantas, kalau peredaran uang negeri ini 80% nya beredar di Jakara, sedangkan sia 20% beredrak ke seluruh wilayah republik tercinta.

Dari kejauhan puncak Monas terlihat menyala, seperti api di mulut obor. Indah namun merana. Ya, monas merana karena banyak dihimpit oleh bangunan gedung bertingkat yang tinggi mencakar langit. Namun inilah salah satu kebanggaan negeri ini, dengan puncak yang dilapisi emas. Sekitar pukul 19.00 wib kami tiba di Monas bus diparkir dan kami diminta berjalan berkelompok-kelompok untuk menjaga keamanan bersama. Rawan! Begitu bisik pimpian tour. Di malam itu monas sangat ramaai. Ada serombongan siswa dengan guru mereka tengah menikmati keindhan malam di taman Monas. Mereka berpakaian seragam kaos olahraga yangmenunjuukkan asal sekolah dan kota metreka. Konon cara ini paling aman untuk menghindari keterpisahan dengan kelompok. Dan yang sangat menarik bagiku adalah para penjual mainan dan minuman yang kucing-kucingan dengan petugas tramtib. Sebagian dari mereka menyembunyikan di lubang tersembunyi yang mereka buat untuk mengelabui jika ada petugas yang akan mengobrak mereka. Aku dengar percakapan di antara mereka. Bahasa komunikasi yang amat aku kenal. Bahasaku. Dialeknya sama dengan asalku.

Saudaraku!!!! Ya mereka saudara sekampung yang terdampar mencari hidup di Jakarta. Kutanyakan mereka dengan bahasa daerah. Ternyata mereka tetangga desa. Mereka masih muda dengan bekal pendidikan yang terbatas, mengadu nasib dengan berjualan kopi, susu dan minuman energi dengan pelbagai mainan anak yang ditawarkan kepada pengunjung dari berbagai penjuru arah.
Aku dan keluarga sempat foto-foto di depan Monas. Aku telah sampai di Monumen yang dibuat oleh Bung Karno, proklamator yang aku dan ayah kagumi.

Tidak ada komentar: