Translate

Kamis, 29 Desember 2011

KEKERASAN

Oleh: Hidayat Raharja
Menjelang tutup tahun 2011 ada beberapa kasus kekerasan yang mengusik pikiran kita. Pertama,kasus kekerasan di Mesuji- Lampung, Kekerasan di Bima keduanya menyangkut persoalan tanah dan meminta korban jiwa. Peristiwakekerasan yang ketiga adalah pemabakaran sebuah pesantren di desa Karanggayam – Omben – Sampang. Kasus yang ketiga disebabkan karena mengajarkan aliran agama ,dan itu terjadi antara sesaudara; kakak beradik. Berita aneka tindak kekerasan berlngsung secara bersambung dilayar televisi,di antara hirukpikuk kasus korupsi yang membelit pengusaha dan pejabat di negeri ini.
Kekerasan sepertinya menjadi jalan keluar di antara kebuntuan persoalan yang selalu mengorbankan rakyat kecil,dan keberpihakan penguasa pada pemilik modal. Jika demikian habis sudah rasa percaya diri orang kecil kepada para pemimpin negeri ini, karena harga diri telah dipertukarkan dengan modal atau uang. Para penguasa menurut salah seorang pengamat sosial politik di televisi telah berpihak pada kekuatan kapital; “Maju tak gentar membela yang bayar.” Sungguh ironis para pemimpin yang dipilih rakyat menindas rakyat. Orang kecil hanya diperlukan saat menjelang pileg, pilkada,dan pilpres.
Benarkah karena sudah tidak ada jalan keluar? Ada banyak hal yang dapat kita uraikan, dari berbagai sudut pandang. Sujiwo Tedjo dalam sebuah diskusi bersama Radhar Panca Dahana, dan Moh. Sobari mengurai mengenai kekerasan dari sisi budaya. Menurut Sujiwo Tedjo, kekerasan itu merupakan salah satu budaya dalam masyarakat kita. Orang Jawa yang lemah lembut di belakangnya menyungging Keris. Orang Madura menggenggam clulit. Orang Aceh memegang Rencong, dan hampir di setiap daerah memiliki senjata yang khas yang dipergunakan sebagai senjata. Berlatar pada budaya kekerasan tersebut,maka hendaknya setiap pemimpin berlaku adil dalam memimpin dan mengayomi rakyatnya.Sebab, jika para pemimpin tidak bijaksana maka rakyat akan memberontak, mereka akan melakukan kekerasan untuk melawannya.
Rakyat malakukan kekerasan karena mereka diperlakukan tidak adil, penguasa seringkali berpihak kepada pemilik modal. Kekerasan bukan merupakan sebuah budaya masyarakat Indonesia, melainkan sebuah bias karena pemimpin yang tidak adil.Menurut Sobari dan Radhar pemerintah tidak mampu melakukan diplomasi sebagai mana dilakukan oleh para pemimpin terdahulu. Perlu diingat bahwa Indonesia merdeka,bukan hanya karena senjata bambu runcing, tetapi karena hasil diplomasi para pemimpin sehingga banyak mendapat dukungan dan pengakuan dari berbagai negara di dunia.
Sangat disayangkan memang ketika tanpa disadari kita telah menanamkan “kekerasan”dalam berbagai sisi kehidupan kita. Kererasan psikhis dalam berbagai ancaman dalamkehiduan yang membuat tidak nyaman. Kekerasan ekonomi, yang memaksa kita untuk membayar lebih dari ketentuan yang ditetapkan dalam layanan, karena jika tidakmemberikan “tips”maka layanan kita akan tertunda. Kekerasan “politik” yang berbagaikekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan meski rakyat kelimpungan mempertahankan hidupnya seharihari. Kekerasan dalam bidang pendidikan yang tak mampu memberikan honor yang layak bagi Guru Tidak Tetap (GTT) yang dibayar dibawah UMR daerah setempat. Di beberapa tempat sukarelawan guru Sekolah Dasar ada yang dibayar Rp.50.000 (limapuluh ribu rupiah) setiap bulan. Mungkin inipemecah rekor MURI seorang sarjana dengan honor limapuluh ribu rupiah. Ah, betapa banyakkekerasan berlangsung di sekitar kita, tetapi hanya kesabaran dan ketabahanlah yang membuat mereka bertahan, dan bersyukur dengan apa yang dihadapi hari ini.Namun kesabaran orang kecil perlu diimbangi dengan kesungguhan para pemimpin untuk memulaikan dan mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Jika tidak?! selamat tahun baru 2012.

Tidak ada komentar: