Translate

Rabu, 21 Desember 2011

IBU MENJADI HUTAN BAGI TEDUHANKU

Oleh: Hidayat Raharja

Sebilan belas tahun sudah ibu meningalkan aku untuk selamanya. Banyak hal yang dia tinggalkan dan takkan pernah aku lupakan sepanjang hayatku. Ibu yang menjadi hutan bagi teduhanku, melindungi segala ketakutan dan memenuhi segala yang aku buuthkan; cinta. Semoga Ibu mendapatkan tempat yang mulia di sisi Nya. Amin.

Apa yang harus aku ungkap mengenai Ibu? Takkan ada kata –kata yang mmapu menumpahkan segala kebajikan yang telah diberikannya kepadaku. “belajarlah yang rajin, biar nanti kau jadi orang suskes, orang uang berguina bagi sesama, agama dan bangsanya!” suatu ketika ibu berpesan kepadaku. Ibu memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi cita-cita Ibu untuk anak-anaknya amatlah mulia. Ibu memang bukan lulusan pendidikan tinggi, tetapi apa yang Ibu didikkan kepada kami anak-anaknya adalah pejaran hidup yang amat berharga. Jika aku berhasil, adalah karena kasih sayang ibu dalam mendiidkan kami, dalam doa-doanya di maam-malam yang sepi sehingga hanya dia dan Tuhan saling bercengkerama dan berbagi.

Tak ada yang bisa aku kadokan buat ibu. Kesederhanaan yang pernah ibu tanamkan adalah satu-satunya kebahagiaan yang aku nikmati. Hanya doa buat kemurahan Nya menempatkan Ibu di tempat yang nyaman dan berbahagia di sisiNya. Tak ada kue ulang tahun yangh pernah kami buat untuk merayakan ulang tahunku. Namun, Ibu selalu menahan lapar , dahaga, dan memanjatkan doa untuk kemuliaaan anak-anaknya.

Kini aku sudah menjadi orangtua, dengan dua anak remaja yang tengah tumbuh meraih masa depannya. Seorang anak perempuan yang bercita-cita menjadi orang sukses yang berguna bagi orang lain, dan seorang anak laki-laki yang akan menyelesaikan pendidikan dasar. Seorang anak yang penuh misteri dan selalu suka berbagi dengan orang lain. Penyuka olah raga dan kurang suka membaca. Tetapi aku yakin dia punya jalan yang tempuh yang berbeda tetapi tetap dalam lintasan pengabdian kepada sesama, agama dan bangsanya.

Ibu, aku tak akan mengeluh, sebagaimana Ibu pernah tempuh hidup yang kadang tak teduh. Penderitaaan mematangkan Ibu dalam menjalani kehidupan yang keras dan penuh tantangan, namun Ibu senatiasa mernguatkan diri dengan doa. “Jangan mengeluh pada manusia, karena Tuhan yang punya segala,” begitu ibu sampaikan pada anak-anaknya yang sring dilanda kecewa dan putus asa. Penderitaaan yang diajalani dengan tabah, sebuah pelajaran hidup yang membuat ibu semakin matang dalam membesarkand an mengantarkan anak-anaknya ke gerabang hidup yang kian buas.

Umur Ibu memang tidak panjang, dipanggil Tuhan pada usia empat puluh dua (42) tahun. Tetapi kasih sayang, pengorbanan ibu, dan nasehat-nasehatnya teruys menyala dalam hati anak-anaknya. Lentera penerang yang selalu menjadi pengantar doa seusai sholat lima waktu. Waktu sebentar, namun bayak hal yang ibu tanamkan.
“Sholatmu, kamu jaga, tepat waktu dan jangan sampai lalu!” pesanmu pada anak tertuamu.
“Lindungi adik-adik perempuanmu. Akurlah sesama saudaramu. Bantulah saudaramu yang kurang beruntung, biar hidupmu berguna. Jangan berseleisih harta dengan saudara. Mengalahlah, karena Tuhasn Maha Kaya, mintalah kepada Nya!”

Kata orang aku separuh mirip ibu dan separuh mirip Bapak. Tentu, karena aku anak mereka. Anak yang mereka cintai dan harapkan jadi penerus generasi keluarga. Namun apa yang aku kerjakan belum sebesar pengorbanan yang ibu berikan. Maaf Ibu. Maafkanlah segala khilaf dan salah, dan tingkah polah yang pernah menyakitkanm hati ibu. Aku yakin Ibu tak akan mengutuk aku jadi batu. Hati ibu yang mulia, aku nyalakan sepanjang lorong tempuahnaku. Lorong yang menunjukkanku ke sumber mata air tempat anakanaknya membersihkan diri. Lorong menuju rumah mungil tempat anak-anaknya berdua dengan kekasihnya berhadapo-hadapan setiap waktu. Lorong menuju hutan raya, tempat segala hidup ceria. Sebelum semua fana.

Ibu, lorong kecil tempat akau mengintip dunia dan tempat aanak-anaknya meminta kunci tulus yang membukakan gerbang surga yang nyata.

Sumenep, 22 Desember 2011

Tidak ada komentar: