Translate

Selasa, 18 November 2008

“Sagara Aeng Mata Ojan” , Kontroversi ditengah Lesunya Sastra Madura

Oleh: Hidayat Raharja*
Membaca beberapa keluhan mengenai bahasa dan sastra Madura selalu dipenuhi dengan aneka kecemasan, rasa putus asa, sepertinya bahasa dan sastra Madura akan menemui ajal. Beberapa pakar bahasa dan sasatra Madura bermimpi untuk dapat menumbuhkan kembali bahasa dan sastra Madura di masa kejaaannya seperti di masa silam. Kekhwatiran mengenai keadaan bahasa dan sastra Madura, sangat beralasan, karena sampai kini penggunaan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi di lingkungan keluarga kian jarang dipergunakan. Di jaman sekarang percakapan di banyak keluarga dalam masyarakat Madura banyak mempergunakan bahasa Indonesia, meski mereka asli orang Madura. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap kondisi sastra Madura yang kian sulit ditemukan dalam bentuk bacaan atau cetakan, baik itu karya sastra lama, apalagi karya sastra mutakhir.
Zawawi dalam buku Madura: Agama, Ekonomi dan Kebudayaaan – Huud de Jonge (editor) menuliskan artikel: “Sastra Madura yang Hilang Belum Berganti”. Sebuah realitas yang menegaskan bahwa para penulis Madura sudah beralih mempergunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasinya. Karya sastra yang ada dalam buku pelajaran SD dan SMP tulisan berbahasa Madura (puisi) umumnya banyak ditulis oleh mereka yang sudah berusia uzur atau sudah tutup usia; Arach Djamali, Oemar Sastrodiwiryo. Kalau pun ada dari generasi muda yang menuliskan karya dalam bahasa Madura, mereka menyimpannya dalam laci pribadi. Atau sesekali karya berbahasa Madura muncul dalam rubrik seni budaya Radar Madura – (Jawa Pos Group) di edisi hari minggu.
Ditengah kecemasan akan eksistensi bahasa dan sastra Madura, sepertinya ada angin semilir yang memberikan ruang udara bagi tumbuh dan berkembangnya bahasa dan sastra Madura. Ruang bernafas tersebut hadir dengan adanya kepedulian dari Balai Bahasa Surabaya menerbitkan anotologi puisi berbahasa Madura. Juga berencana akan menerbitkan bulletin berbahasa Madura – (Jokothole). Konon, bulletin tersebut akan diluncurkan pada saat berlangsung kongres bahasa Madura di Pamekasan tahun ini.. Semoga.
Terbitnya dua kumpulan puisi berbahasa Madura, diterbitkan oleh Balai Bahasa Surabaya, antara klain; “Nemor Kara” (Balai Bahasa Surabaya, 2006) sebanyak 25 Puisi dari 20 penyair, merupakan kumpulan karya para pemenang lomba cipta puisi berbahasa Madura uyang dislenggarakan oleh Balai bahasa Surabaya. Kumpulan Puisi “ Sagara Aeng Mata Ojan” (Balai Bahasa Surabaya, 2008) berjumlah 57 puisi - karya Lukman Hakim AG dengan editor ejaan Drs.H.Moh.Imran – Tim Pembina Bahasa Madura (NABARA) Songennep.
“Nemor Kara” merupakan karya yang cukup berarti bagi perkembangan sastra Madura, karena di dalamnya memunculkan para penulis berusia muda dari lingkungan pesantren sebagai basis reproduksi dan pertahanan sastra di Madura. Meski beberapa di antara penulis yang ada di dalamnya sudah dikenal dalam penulisan berbahasa Indonesia. Lebih menarik lagi bahwa dari karya yang ada di dalam buku ini ejaannya kacau-balau tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Madura yang benar. Akibatnya buku “Nemor Kara” menuai kritik pedas dari lembaga Pakem Maddu – Pemerhati dan Pengembang Bahasa Madura di Pamekasan maupun Tim Nabara – Tim Pembina Bahasa Madura – di Songennep. Realitas yang menandaskan buruknya kondisi berbahasa Madura tertulis di kalangan muda.
Hadirnya dua buku tersebut sepertinya menjadi penanda akan bangkitnya bahasa dan sastra Madura, karena dari “Nemor Kara” banyak bermunculan penulis puisi berbahasa Madura yang berusia muda. Juga munculnya Lukman Hakim yang tergolong sebagai generasi baru namun cukup menjanjikan terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Lukman dapat dibilang sangat prodiuktif dan ia banyak menulis karya berbahasa Madura. Salah satu kelebihannya Lukman Hakim memperhatikan pengunaan ejaan dalam penulisan teks sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Madura yang ada di Sumenep. Hal ini amat memungkinkan karena karya dalam buku tersebut khusus untuk ejaannya dieditori oleh Drs. Moh. Imran - anggota Tim NABARA – Songennep yang memiliki kompetensi sebagai lembaga pembina Bahasa Madura yang ada di Songennp. Apa yang dituliskannya dalam teks “Sagara Aeng Mata Ojan” sesuai dengan kaidah penulisan berbahasa Madura khususnya ejaan yang dipergunakan di Sumenep.
Namun demikian kehadiran antologi puisi berbahasa Madura karya Lukman Hakim memberikan ruang ucap baik sebagai teks atau sebagai wacana perkembangannya. Sebuah oase terhadap kegersangan karya sastra Madura pada saat ini karena, pertama karya sastra berbahasa Madura sudah banyak tidak ditulis dan diajarkan di sekolah. Pelajaran Bahasa dan sastra Madura di SD dan SMP lebih banyak menekankan pada pengajaran bahasa secara verbalistis. Kalau ada materi sastra masih memberikan materi karya yang dihasilkan oleh para sastrawan yang kini sudah tutup usia. Kondisi ini melengkapi suramnya eksistensi sastra Madura. Juga kesulitan menemukan karya sastra mutakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Madura. Kondisi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan karya sastra Madura hasil terjemahan di jaman kejayaan Balai Poestaka di tahun 1920-an.
Kedua, “Sagara Aeng Mata Ojan” karya Lukman Hakim, beberapa pilihan bahasa atau diksi yang dipergunakan sudah banyak yang tidak dikenal lagi oleh pembaca terutama oleh kaum muda. Artinya kehadiran teks puisi tersebut mempergunakan bahasa lokal yang tak lagi dikenal oleh masyarakatnya. Ini sesuatu yang unik karena bahasa lokal menjadi asing di daerahnya sendiri meyang, pamengkang, ngobal, ajuman, ceddu, abatthowangan, dhapen, salokke’, acangkalongan, kajal , jimbrti, takennyer, ekaong-saong, sapeltong, galagas. Beberapa kosa kata yang kemungkinan sudah tak dikenal lagi oleh kaum muda. Sisi lain, hadirnya kembali beberapa kata yang hampir punah ini menjadi pilihan yang sangat menarik untuk mengenalkan kembali kekayaan frase bahasa ibu (Madura). Namun hal ini akan sangat terbantu apabila pada setiap kosa kata yang sudah tidak dikerlnal diberikan catatan kaki, sehingga menunjang terhadap pencapaian apresiasinya di kalangan pembaca terutama kalangan pelajar SMP yang mendapatykan muatan lokal Bahasa Madura.
Ketiga, penggunaan ejaan dalam kumpulan puisi “Sagara Aengmata Ojan” mempergunakan ejaan bahasa Madura yang berlaku di Sumenep dan tidak menerima terhadap perubahan ejaan hasil keputusan bersama pengguna bahasa Madura yang dilakukan di Balai Bahasa Surabaya tahun 2004. Kondisi ini memperjelas kontroversi kehadiran buku kumpulan puisi karya Lukman Hakim, mengingat Balai Bahasa Surabaya adalah lembaga yang memfasilitasi mengenai pembaharuan ejaan bahasa Madura, namun sekaligus mendukung penerbitan buku yang nota bene ejaan di dalamnya menentang keputusan dari Balai bahasa. Bagaimana?

Tidak ada komentar: